Cerpen Terjemahan Entri 13
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
EvelineJames Joyce
Eveline duduk di dekat
jendela, memerhatikan senja yang perlahan menyelimuti jalan. Kepalanya
bersandar pada tirai jendela, sementara hidungnya mencium bau kain penutup
kursi yang berdebu. Ia merasa lelah.
Hanya sedikit orang yang
lewat. Seorang pria dari rumah terakhir lewat menuju pulang; Eveline mendengar
langkah kakinya berderak di trotoar semen, lalu berderak halus di jalan kerikil
di depan deretan rumah bata merah yang baru dibangun. Dulu, di tempat itu ada
sebuah lapangan tempat ia dan anak-anak lain bermain setiap sore. Namun,
seorang pria dari Belfast membeli tanah itu dan mendirikan rumah-rumah
baru—rumah bata merah dengan atap berkilau, tidak seperti rumah-rumah cokelat
kecil tempat ia tinggal.
Anak-anak di jalan itu dulu
sering bermain bersama di lapangan: keluarga Devine, keluarga Waters,
keluarga Dunn, Keogh si kecil yang pincang, dirinya bersama saudara-saudara.
Ernest, kakaknya, tidak pernah ikut bermain karena sudah terlalu dewasa.
Ayahnya sering mengusir mereka dari lapangan dengan tongkat kayu hitamnya;
tetapi biasanya Keogh yang kecil bertugas berjaga, lalu berteriak ketika
melihat ayahnya datang. Walau begitu, masa itu terasa cukup menyenangkan.
Ayahnya belum terlalu keras, dan ibunya masih hidup.
Itu semua sudah lama sekali.
Kini ia dan saudara-saudaranya sudah dewasa, ibunya telah tiada. Tizzie Dunn
juga sudah meninggal, dan keluarga Waters pindah kembali ke Inggris. Segalanya
berubah. Sekarang, Eveline pun akan pergi, meninggalkan rumah seperti yang
lain.
Ia menoleh ke sekeliling
ruangan, memperhatikan benda-benda yang sudah sangat akrab, yang sudah ia
bersihkan setiap minggu selama bertahun-tahun. Ia bertanya-tanya dari mana
datangnya debu yang tak pernah habis itu. Mungkin ia takkan pernah melihat lagi
semua benda yang selama ini menemaninya, benda-benda yang tak pernah ia
bayangkan akan ia tinggalkan. Namun, selama ini ia bahkan tidak pernah tahu
nama pastor yang fotonya tergantung di dinding—foto yang warnanya sudah
menguning—di atas organ kecil yang rusak, di samping gambar berwarna tentang
janji kepada Santa Margareta Maria Alacoque. Pastor itu dulu teman sekolah
ayahnya.
Setiap kali ada tamu, ayahnya
hanya menunjuk foto itu sambil berkata santai:
“Dia sekarang ada di Melbourne.”
Eveline sudah berjanji pada
dirinya untuk pergi, meninggalkan rumahnya. Namun, apakah itu keputusan bijak?
Ia mencoba menimbang. Di rumah, setidaknya ia punya tempat berteduh, makanan,
dan orang-orang yang dikenalnya seumur hidup. Tentu saja, ia harus bekerja
keras, baik di rumah maupun di toko. Bagaimana jika orang-orang di toko tahu ia
kabur bersama seorang pria? Mereka mungkin akan menganggapnya bodoh; posisinya
akan segera digantikan oleh orang lain yang melamar lewat iklan. Miss Gavan
pasti senang—perempuan itu selalu bersikap tajam padanya, apalagi bila ada
orang lain yang melihat.
“Eveline, tidak lihat
Nyonya-nyonya ini sedang menunggu?”
“Ayo cepat, Eveline!”
Ia tidak akan meneteskan
banyak air mata untuk meninggalkan pekerjaannya di toko itu.
Mungkin, di rumah baru yang
berada di negeri yang jauh dan asing, hidup Eveline tidak akan sama lagi. Di
sana ia akan menikah. Orang-orang akan memperlakukannya dengan hormat. Ia tidak
akan diperlakukan seperti ibunya dulu. Sekarang pun, meski usianya sudah
sembilan belas tahun, ia masih sering merasa terancam oleh ayahnya. Ia tahu
rasa takut itulah yang membuat jantungnya sering berdebar kencang.
Saat mereka masih kecil,
ayahnya sering memukul Harry dan Ernest, tetapi tidak pernah memukul Eveline
karena ia perempuan. Namun belakangan, ayahnya mulai mengancam, mengatakan apa
yang akan dilakukannya jika bukan karena rasa hormat pada almarhum istrinya.
Kini, Eveline tidak punya siapa pun yang bisa melindunginya. Ernest sudah
meninggal, sementara Harry, yang bekerja menghias gereja, hampir selalu pergi
ke luar kota.
Selain itu, pertengkaran soal
uang setiap malam Sabtu membuatnya sangat letih. Eveline selalu menyerahkan
seluruh gajinya dan Harry selalu mengirimkan sedikit yang ia bisa. Masalahnya,
setelah itu akan sulit sekali mendapatkan uang dari ayahnya. Ayahnya beralasan
bahwa Eveline hanya menghambur-hamburkan uang, tidak tahu cara mengatur uang,
dan tidak mau memberikan uang hasil kerja kerasnya untuk dihamburkan di jalan.
Biasanya, pada malam Sabtu, ayahnya akan mabuk dan marah. Pada akhirnya,
ayahnya memang memberikan uang itu, tetapi sambil bertanya apakah Eveline
berniat membeli makanan untuk makan malam Minggu.
Setelah itu Eveline harus
segera berlari ke pasar, berbelanja secepat mungkin sambil menggenggam erat
dompet kulit hitamnya, menyikut kerumunan orang, lalu pulang larut malam dengan
belanjaan berat di tangannya. Ia bekerja keras agar rumah tetap terurus dan
memastikan dua anak kecil yang dititipkan padanya bersekolah dengan teratur dan
makan dengan cukup. Itu pekerjaan berat—kehidupan yang berat—namun ketika ia
hendak meninggalkannya, ia menyadari bahwa hidup itu tidak sepenuhnya buruk.
Sekarang, ia akan memulai
hidup baru bersama Frank. Frank lelaki yang baik, jujur, dan penuh perhatian.
Eveline akan pergi bersamanya dengan kapal malam, menikah, lalu tinggal di
Buenos Aires, di rumah yang sudah Frank siapkan untuknya. Ia masih ingat betul
saat pertama kali bertemu dengannya. Saat itu Frank menumpang di sebuah rumah
di jalan besar yang sering ia lewati. Rasanya seperti baru beberapa minggu
lalu. Frank berdiri di gerbang, topi pelautnya miring ke belakang, rambutnya
jatuh ke wajahnya yang legam.
Setelah itu mereka semakin
akrab. Frank sering menjemputnya di depan toko setiap sore, lalu mengantarnya
pulang. Ia pernah mengajaknya menonton The
Bohemian Girl, dan Eveline merasa begitu senang duduk di kursi teater yang
tak biasa ia tempati. Frank sangat menyukai musik, bahkan bisa bernyanyi
sedikit. Orang-orang tahu mereka berpacaran, dan ketika Frank bernyanyi tentang
seorang gadis yang mencintai pelaut, Eveline selalu merasa malu sekaligus
bahagia. Frank juga sering memanggilnya “Poppens” hanya untuk bercanda.
Awalnya, Eveline merasa hanya
senang karena memiliki seorang kekasih. Tetapi lama-kelamaan, ia benar-benar
menyukai Frank. Ia kagum dengan cerita-ceritanya tentang negeri-negeri jauh.
Frank bercerita bahwa ia memulai hidup sebagai anak kapal dengan gaji satu
pound sebulan di kapal Allan Line menuju Kanada. Ia menyebutkan nama-nama kapal
yang pernah ia tumpangi dan jalur pelayaran yang sudah ia lewati. Ia pernah
melewati Selat Magellan, bercerita tentang orang-orang Patagon yang menakutkan.
Ia berkata bahwa di Buenos Aires ia berhasil hidup dengan baik, dan ia kembali
ke negeri asal hanya untuk liburan.
Tentu saja, ayah Eveline
akhirnya tahu hubungan itu dan melarangnya bertemu dengan Frank.
“Aku tahu betul kelakuan para pelaut
itu,” katanya.
Pernah suatu hari ayahnya
bertengkar dengan Frank, dan sejak saat itu Eveline harus bertemu kekasihnya
secara diam-diam.
Senja semakin pekat di jalan
itu. Dua surat di pangkuannya mulai sulit terlihat jelas—satu untuk Harry, satu
lagi untuk ayahnya. Ernest memang yang paling ia sayangi, tetapi ia juga
menyukai Harry. Ia sadar, belakangan ayahnya mulai menua; ia akan merindukannya.
Kadang-kadang ayahnya bisa bersikap baik. Beberapa waktu lalu, ketika Eveline
sakit sehari, ayahnya membacakan cerita hantu untuknya dan memanggang roti di
perapian. Ia juga ingat, saat ibunya masih hidup, mereka pernah pergi piknik
bersama ke Bukit Howth. Ayahnya bahkan mengenakan topi ibunya hanya untuk
membuat anak-anak tertawa.
Waktu semakin habis, tetapi
Eveline tetap duduk di dekat jendela, kepalanya bersandar pada tirai, menghirup
bau kain penutup kursi yang berdebu. Dari kejauhan, ia mendengar suara organ
jalanan. Lagu itu ia kenali. Aneh rasanya, lagu itu justru datang malam ini,
mengingatkannya pada janjinya kepada ibunya untuk menjaga rumah tetap utuh
selama ia bisa. Ia kembali teringat malam terakhir ibunya. Ia seakan melihat
lagi kamar gelap di seberang lorong, mendengar musik muram dari seorang pemain
organ Italia di luar. Orang itu akhirnya diusir dan diberi enam peni. Ia juga
ingat ayahnya masuk lagi ke kamar ibunya sambil menggerutu, “Orang Italia
sialan! Datang ke sini seenaknya!”
Bayangan menyedihkan tentang
kehidupan ibunya yang penuh pengorbanan, berakhir dengan kegilaan, menghantui
Eveline. Ia menggigil saat mendengar lagi suara ibunya yang lemah,
mengulang-ulang kata-kata aneh, “Derevaun Seraun! Derevaun Seraun!”
Eveline berdiri dengan
dorongan ketakutan yang tiba-tiba. Ia harus melarikan diri! Ia harus! Frank
akan menyelamatkannya. Frank akan memberinya kehidupan, mungkin juga cinta.
Yang jelas, ia ingin hidup. Mengapa ia harus menderita? Ia berhak bahagia. Frank
akan merangkulnya, melindunginya. Ia yakin Frank akan menyelamatkannya.
Beberapa hari kemudian,
Eveline berdiri di antara kerumunan yang bergoyang di pelabuhan North Wall.
Frank menggenggam tangannya sambil bicara, terus-menerus menjelaskan tentang
perjalanan mereka. Pelabuhan itu penuh dengan tentara yang membawa koper cokelat.
Dari pintu besar gudang, Eveline bisa melihat sekilas kapal hitam besar di tepi
dermaga, jendela bulatnya menyala terang.
Eveline tidak berkata
apa-apa. Wajahnya pucat dan dingin. Dari dalam hatinya yang kacau, ia berdoa
kepada Tuhan agar ditunjukkan jalan, agar tahu apa kewajibannya. Kapal itu
membunyikan peluit panjang, sedih, menembus kabut. Jika ia ikut, besok ia sudah
berlayar bersama Frank menuju Buenos Aires. Tiket mereka sudah dipesan.
Mungkinkah ia mundur sekarang, setelah semua yang Frank lakukan untuknya?
Pikirannya yang bingung membuat tubuhnya mual. Ia hanya bisa menggerakkan
bibir, berdoa dalam hati.
Suara lonceng menggema di
dadanya. Frank menarik tangannya. “Ayo!”
Hatinya terasa ditimpa ombak
samudra yang bergulung-gulung. Frank menariknya ke arah ombak itu, seakan akan
menenggelamkannya. Eveline menggenggam erat pagar besi dengan kedua tangannya.
“Ayo!”
Tidak! Tidak! Tidak!
Mustahil! Tangannya mencengkeram besi dengan panik. Ia merintih di tengah
gelombang rasa takut.
“Eveline! Evvy!” Frank
berlari melewati pagar dan memanggilnya untuk ikut. Orang-orang menyuruhnya
maju, tapi ia tetap memanggil Eveline. Eveline menatapnya dengan wajah pucat,
kaku, seperti binatang yang tak berdaya. Matanya tidak memberi tanda cinta, tidak
ada salam perpisahan, bahkan tidak ada pengakuan.
.jpg)