Cerpen Terjemahan Entri 15
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Hari Perempuan InternasionalSalwa Bakr
Ketika kepala sekolah perempuan memasuki ruang
kelas, Utsman, sang guru, berseru dengan penuh semangat, “Berdiri!”
Para murid laki-laki dan perempuan berdiri serentak
diiringi gumaman kecil. Utsman menatap sekeliling kelas, memastikan perintahnya
segera dipatuhi dan keheningan dijaga. Ia sering berkata kepada murid-muridnya,
“Berdiri berarti kalian semua diam. Semua harus tenang. Itu berarti kalau aku
menjatuhkan jarum ke lantai, aku akan mendengar bunyinya. Paham?”
Setelah yakin seluruh kelas berdiri tanpa bergerak
sedikit pun, ia berkata dengan suara tenang namun tinggi hati, “Duduk.” Para
murid pun duduk kembali seperti beberapa saat sebelumnya. Sementara itu, Utsman
menyapa kepala sekolah dan menawarkan kursinya yang berada di belakang meja,
menghadap murid-murid, agar beliau dapat duduk dan memeriksa buku rencana
pelajarannya.
Begitu melihat kepala sekolah mulai meneliti buku
rencana pelajarannya dengan saksama, Utsman berbalik ke arah papan tulis dan
menulis dengan huruf besar-besar yang bentuknya kasar, tidak pantas bagi
seorang guru bahasa Arab, sebuah kalimat “Perempuan dan Kehidupan.”
Kepala sekolah mulai membaca di buku rencana
pelajaran itu sebuah pidato panjang lebar tentang pentingnya perempuan dalam
masyarakat. Utsman telah menyiapkan pidato itu untuk memperingati Hari
Perempuan Internasional. Ia memperhatikan bahwa sang guru tidak lupa menyebut
istri-istri Nabi—semoga salawat dan damai tercurah kepada beliau—serta
perempuan-perempuan Arab terkenal di masa lalu, di antaranya penyair Al-Khansa,
Hind binti Raja Nu‘man, dan Zubaidah, istri Khalifah Harun ar-Rasyid. Kepala
sekolah mengabaikan kelalaiannya—atau mungkin ketidaktahuannya—karena tidak
menyebut Zarqa al-Yamama.
Dari dua puluh tahun pengalamannya mengajar di
sekolah dasar, ia sudah tahu bahwa Utsman pasti akan menutup pidatonya dengan
bait terkenal dari penyair Hafiz Ibrahim, “Ibu adalah sekolah; bila engkau
mempersiapkannya, berarti engkau telah mempersiapkan sebuah bangsa yang kuat
fondasinya.”
Pada saat itu, kepala sekolah tersenyum dan
mengangkat kepalanya dari buku rencana pelajaran untuk mendengarkan apa yang
sedang dikatakan guru kepada para muridnya. Saat menatapnya, ia memperhatikan
rambut Utsman yang tebal dan kasar, rambut yang bahkan dari kejauhan pun mudah
dikenali, sekalipun ia berdiri di ujung halaman sekolah.
Ia menyimak ketika sang guru mulai membacakan sebuah
hadis, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapat kasih sayang dan
persahabatanku yang terbaik?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Laki-laki itu bertanya
lagi, ‘Lalu siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Ia bertanya lagi, ‘Kemudian
siapa?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Lalu laki-laki itu bertanya sekali lagi,
‘Setelah itu siapa?’ Nabi bersabda, ‘Ayahmu.’”
Belum sempat Utsman melanjutkan penjelasannya, salah
satu murid laki-laki di barisan belakang, Usamah Abd al-Fattah, berteriak,
“Permisi, Pak! Muhammad Mansur sedang memegang kemaluannya. Dia ingin buang air
kecil sekali!”
Telinga Utsman memerah, sementara kepala sekolah
segera menunduk, mengalihkan pandangan dari wajahnya, lalu pura-pura kembali
sibuk membaca buku rencana pelajaran itu. Sementara itu, tawa anak-anak meledak
begitu keras hingga membuat dua ekor burung pipit yang sedang bertengger di
pinggir jendela kelas terbang ketakutan. Tak lama kemudian, tawa mereka
terhenti perlahan, berubah menjadi cekikikan tertahan, ketika wajah Utsman
mengeras dan dahinya berkerut penuh amarah dan peringatan.
Hening pun kembali menguasai kelas ketika ia mengaum
marah, “Diam, dasar keledai!”
Namun, Usamah Abd al-Fattah adalah anak yang jujur,
bersemangat, berani, dan teguh untuk menegakkan kebenaran apa pun risikonya. Ia
terus bicara untuk membela pernyataannya.
“Demi Allah, Pak, dia benar-benar ingin buang air
kecil! Lihat, celananya sudah agak basah.”
Kepala sekolah yang terhormat tak bisa lagi
berpura-pura tidak tahu. Ia tersenyum untuk mencairkan suasana. Sang guru
menelan amarahnya dan memaksakan senyum, lalu memberi isyarat kepada Muhammad
Mansur agar pergi ke kamar mandi.
“Cepat sana, dasar anak nakal! Dan jangan
berani-berani kembali terlambat!” teriaknya.
Kemudian, ingin mengalihkan topik, ia mencondongkan
badan ke arah kepala sekolah dan berbicara pelan, menjelaskan bahwa dirinya
sangat ketat dalam memberi izin murid keluar kelas untuk ke kamar mandi, karena
anak-anak itu sangat nakal dan sering beralasan ingin ke toilet hanya untuk
bolos. Ia juga menambahkan bahwa ia sudah menyiapkan seluruh pelajaran untuk
hari-hari berikutnya dalam minggu ini, dan bahwa pelajaran hari ini memang ia
rancang khusus untuk memeringati Hari Perempuan Internasional, sesuai dengan
instruksi dari pihak sekolah.
Namun kepala sekolah memberi isyarat kepadanya agar
melanjutkan pelajaran supaya waktu tidak terbuang sia-sia. Sebenarnya, pikiran
kepala sekolah sedang melayang jauh oleh persoalannya sendiri. Ia berharap
salah satu pejabat datang berkunjung ke sekolah hari itu, agar ia bisa
menyampaikan masalah pribadinya.
Sementara Utsman menjelaskan kepada murid-muridnya
bahwa anak perempuan harus sopan dan berperilaku baik supaya kelak menjadi
perempuan terhormat, kepala sekolah berdoa agar sebuah keajaiban terjadi, yakni
agar Ibu Negara berkenan datang mengunjungi sekolah mereka. Ibu Negara dikenal
lembut, penyayang, dan rendah hati. Ia yakin, jika Ibu Negara mendengarkan
keluhannya, beliau pasti akan bersimpati. Ia membayangkan akan berkata kepada
beliau:
“Apakah pantas, Ibu, seorang perempuan seusia saya
dan dengan jabatan seperti ini harus naik transportasi umum setiap hari,
menanggung pelecehan yang begitu berat hanya untuk sampai di tempat kerja?
Masalah mutasi saya ke sekolah yang lebih dekat dengan rumah sebenarnya
sederhana dan berada di tangan Bapak Abd al-Hamid Fakri, wakil menteri. Tetapi
entah mengapa, beliau bersikeras menahan saya di Sekolah Al-Nur, meskipun
beliau tahu saya harus mengurus rumah tangga, suami, dan empat anak yang
masing-masing berada di jenjang pendidikan berbeda. Karena itulah saya memohon
agar Ibu sudi membantu saya menyelesaikan masalah ini. Saya benar-benar lelah
dan bingung menghadapinya.”
Kepala sekolah membayangkan dirinya menyerahkan
surat permohonan yang sudah ditulis tangan dengan huruf yang indah. Ibu Negara
akan menerimanya dengan penuh keramahan, berbicara lembut menenangkan hatinya,
lalu segera menyerahkan surat itu kepada Wakil Menteri Abd al-Hamid Fakri, yang
pastilah menemani beliau dalam kunjungan inspeksi ke sekolah-sekolah pada hari
seperti Hari Perempuan Internasional. Sang wakil menteri tentu akan segera
menandatangani surat permohonan mutasi itu di tempat.
Namun lamunan kepala sekolah terhenti sebelum
mencapai bagian paling bahagia, saat ia berjabat tangan dengan Ibu Negara dan
mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam, karena suara Utsman terdengar
lagi, keras dan kasar, tak kalah dari rambut tebal di kepalanya. Ia terpaksa
meninggalkan khayalan tentang surat mutasi, jabat tangan, dan tanda tangan sang
wakil menteri ketika suara guru itu meninggi, “Perempuan adalah separuh dari
masyarakat! Tuhan memerintahkan kaum laki-laki agar memperlakukan mereka dengan
baik. Dahulu kala orang bijak pernah berkata…”
Salah satu murid perempuan, Fatimah Mitwalli, tidak
mendengar apa yang dikatakan Utsman tentang “zaman dahulu,” karena ia sibuk
menulis pesan di meja sekolahnya untuk temannya, Aisyah Ma‘ri.
Begini pesannya:
“Aku akan pura-pura seperti Muhammad tadi,
bergerak-gerak dan pura-pura menahan pipis. Lalu kau bilang ke guru, ‘Fatimah
sedang memegang kemaluannya. Ia ingin buang air kecil sekali.’ Setelah itu,
semua anak akan tertawa, dan guru akan berkata padaku, ‘Bangun, Nak, dan
pergilah ke kamar mandi.’”
Aisyah menyukai ide itu, apalagi ia memang agak
nakal dan gemar meniru tingkah anak laki-laki. Mungkin karena ia satu-satunya
anak perempuan dari tiga bersaudara. Atau mungkin karena ia memang suka
menyaingi anak laki-laki, terutama dalam hal berlari dan bermain permainan
fisik. Karena sifatnya yang sedikit ceroboh dan suka bertualang, ia segera
berdiri dan berseru lantang, “Pak, Fatimah sedang memegang kemaluannya! Ia
ingin buang air kecil. Ia mau ke kamar mandi tapi malu untuk minta izin!”
Seperti disambar petir, sang guru langsung melompat
ke tempat Aisyah berdiri. Dengan telapak tangan tebalnya, ia hendak menampar
pelipis murid itu, sementara kata-kata makian berebut keluar dari mulutnya
bersama semburan ludah. Ia mencaci Aisyah sebagai anak perempuan yang jelek,
kurang ajar, dan tidak tahu sopan santun. Setelah itu, ia memerintahkannya
keluar dari bangkunya dan berdiri menghadap tembok.
Dengan suara bergetar oleh amarah, ia mengancam,
“Semoga Tuhan berkehendak, kau akan menghadapi hari yang lebih hitam dari tinta
Cina!”
Kepala sekolah agak terganggu karena Utsman tampak
terlalu kasar terhadap Aisyah. Tentu kepala sekolah tak tahu bahwa alasan di
balik kekerasan Utsman adalah karena, saat bicara tentang “zaman dahulu,”
pikiran Utsman melayang kepada istrinya, dan bagaimana cara terbaik untuk
menghukumnya atas sikap buruknya terhadap keluarga Utsman.
Ia menimbang-nimbang, apakah sebaiknya ia
memukulinya sampai tulangnya bergetar, atau meninggalkannya di ranjang dan
menahan uang belanja sampai istrinya menyesal dan sadar bahwa Allah adalah
Kebenaran? Namun ketika bayangan tubuh istrinya muncul dalam benaknya, kaki
jenjang, bokong putih berisi, dan tawanya yang genit, Utsman merasa cara kedua
hanya akan membuatnya gelisah dan merugikannya sendiri. Tak mampu menahan
amarah, ia menampar wajah Aisyah keras-keras.
Kepala sekolah sempat berpikir untuk membisikkan
peringatan bahwa memukul murid dilarang oleh Kementerian Pendidikan. Ia merasa
tamparan itu terlalu kuat; mungkin telinga anak itu sampai cedera. Namun ia
menunda niatnya. Ia memutuskan untuk menyampaikan tegurannya nanti saja setelah
pelajaran usai, dan untuk saat ini lebih baik menenangkan suasana dengan bicara
sebagai seorang pendidik yang bijaksana.
Dengan suara lembut dan tenang, ia menasihati
murid-murid, “Kita semua tahu bahwa kita harus bersikap sopan, bicara dengan
kata yang baik dan hormat. Bahasa yang dipakai di rumah beda dengan yang pantas
digunakan di sekolah. Tak pantas menggunakan kata-kata kasar di sekolah atau di
jalan. Seorang anak perempuan harus berperilaku santun dan bicara dengan suara
lembut. Tak pantas menyentuh bagian tubuh yang najis. Seorang anak perempuan
tak boleh menyentuh atau mendekatkan tangannya ke bagian itu, apa pun alasannya.”
Kemudian ia menoleh kepada Fatimah, mencubit lembut
telinganya, dan menuntut, “Minta maaf pada gurumu.”
Setelah itu, kepala sekolah keluar dari kelas,
menuju ruang lain untuk memastikan bahwa para guru menjalankan instruksi
Kementerian Pendidikan sebagaimana mestinya dalam rangka Hari Perempuan
Internasional. Saat melangkah di lorong, pikirannya sudah beralih ke rumah, ia
harus segera pulang untuk menyiapkan makan siang.
Sementara itu, Utsman menggaruk bagian di antara
pahanya dengan rasa puas. Para murid pun menarik napas lega ketika bel sekolah
berbunyi nyaring, menandai berakhirnya jam pelajaran.
.jpg)