Cerpen Terjemahan Entri 38
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Antrean (Bagian 2)Amor Towles
6.
Tak butuh waktu lama bagi warga Moskow untuk menyadari bahwa jika
kau tak punya pilihan selain berdiri dalam antrean, maka Pushkin adalah orang
yang paling tepat untuk berdiri di sebelahmu. Dikaruniai pembawaan yang lembut,
ia tak pernah kasar atau merendahkan, tak penuh pendapat dan tak pula penuh
diri. Setelah ia berkomentar tentang indahnya cuaca atau keelokan sebuah
bangunan, biasanya ia akan bertanya tentang anak-anakmu. Dan begitu tuluslah
minatnya, hingga matanya akan berbinar bahagia saat mendengar kabar baik, dan
berkaca air mata pada tanda-tanda kesulitan sekecil apa pun.
Sementara di pihaknya sendiri, Pushkin mulai menjalani kehidupan
kota dengan rasa puas yang kian tumbuh. Saat bangun di pagi hari, ia akan
melirik kalender dan berpikir, Ah, hari
ini Selasa. Waktunya antre roti. Atau, Apakah
sudah tanggal dua puluh delapan? Sekali lagi, waktunya pergi ke Jalan Yakusky
untuk antre teh. Maka, bulan-bulan pun akan berganti menjadi tahun, dan
tahun-tahun menjadi dekade tanpa sesuatu yang layak dicatat, jika bukan karena
sebuah kejadian tak terduga di musim dingin tahun 1921.
Pada sore hari yang dimaksud, setelah menunggu tiga jam untuk
mendapatkan sebutir kol, Pushkin hendak menuju ke sebuah toko serba ada kecil
di Jalan Tverskaya untuk mengantre dua gulung benang, ketika seorang kenalan
memanggilnya dari belakang antrean kol. Seorang ibu berusia tiga puluh tahun
dengan empat anak, ia tampak jelas berada dalam keadaan gelisah.
“Nadezhda!” seru sang tokoh kita. “Ada apa?”
“Anak bungsuku,” jawabnya. “Ia demam seratus dua derajat. Dan
sementara aku harus mengambil sebutir kol untuk sup keluarga kami, aku khawatir
tempatku seharusnya adalah di antrean apotek.”
Ekspresi Pushkin mencerminkan seluruh kecemasan di hati perempuan
malang itu. Ia menatap ke langit dan memperkirakan dari posisi matahari, yang
mulai tenggelam di balik atap-atap rumah, bahwa meski Nadezhda masih punya
waktu untuk satu antrean, ia tak akan punya waktu untuk keduanya. Tanpa
berpikir dua kali, Pushkin menatap delapan perempuan di belakang Nadezhda, yang
semuanya telah condong ke depan untuk mendengar percakapan itu.
“Mungkin para wanita baik hati ini tidak keberatan jika aku
menjaga tempatmu sementara kau pergi ke apotek. Lagipula, hari ini Selasa,
antreannya di sana seharusnya tidak terlalu panjang. Dan setelah kau
mendapatkan obat untuk Sasha, kau bisa segera kembali dan melanjutkan
posisimu.”
Sekarang, jika kau atau aku yang mengajukan saran sederhana
seperti itu, hampir pasti akan disambut dengan tatapan sinis dan pengingat
bahwa antrean adalah antrean, bukan korsel yang bisa kau naiki dan tinggalkan
sesuka hati! Tetapi pada satu waktu atau lainnya, semua perempuan itu pernah
menunggu bersama Pushkin dan telah merasakan kelembutan jiwanya. Maka, tanpa
keberatan, mereka memberi ruang untuknya sementara sang ibu muda bergegas
pergi.
Seperti yang telah diperkirakan Pushkin, antrean di apotek hanya
terdiri dari tiga puluh orang. Jadi, ketika Nadezhda sampai di kasir dengan
obat di tangan, diliputi rasa lega dan niat baik, ia memanjakan diri dengan
membeli sebungkus permen batang berwarna cerah. Dan ketika ia kembali ke
antrean kol, ia menolak keberatan Pushkin dan bersikeras agar ia menerima
segenggam permen itu sebagai tanda terima kasihnya.
7.
Masa-masa kekacauan melepaskan anak-anak yatim seperti percikan
api. Di mana pun roda giling bertemu logam, mereka melesat ke udara dalam
lengkung-lengkung berkilau, lalu entah memantul sekali di jalan dan lenyap,
atau jatuh di tumpukan jerami dan membara perlahan. Pada suatu pagi di tahun
1923, salah satu dari mereka, seorang anak laki-laki bernama Petya, duduk di
tangga batu dingin sebuah gereja yang sudah tidak digunakan lagi, dengan siku
bertumpu pada lutut dan dagu di atas telapak tangan, menatap tanpa tujuan ke
arah antrean roti di seberang jalan.
Bagi yang belum terbiasa, antrean roti mungkin tampak seperti
tempat menjanjikan bagi seorang anak jalanan. Bagaimanapun, sebagian besar dari
mereka yang mengantre adalah perempuan yang pernah merawat anak-anak mereka
sendiri, pengalaman yang hampir pasti membangkitkan rasa iba terhadap seorang
anak yatim piatu. Yah, mungkin begitu. Tapi seperti yang bisa diceritakan Petya
dari pengalamannya, bocah laki-laki yang mendekati para perempuan di antrean
roti dengan tangan terulur biasanya akan menerima puntiran di telinganya.
Pagi itu, saat Petya mengamati pergerakan para perempuan dengan
sikap pasrah yang tenang seperti seekor anjing terlatih, sesuatu yang luar
biasa menarik perhatiannya. Seorang pria di dekat bagian depan antrean sedang
bercakap-cakap dengan ramah bersama para perempuan di sisinya, ketika seorang
istri muda berkerudung kuning muncul dari tikungan dengan membawa tas di
lengannya. Saat ia mendekat, pria itu melepas topinya, menyambutnya dengan
hangat, lalu keluar dari barisan untuk memberinya tempat.
Nah, jika para ibu di antrean roti terkenal suka memelintir
telinga anak yatim, mereka tentu juga akan menegur keras pemotong antrean yang
berani melangkahi mereka. Namun para perempuan itu tidak berteriak atau
mengacungkan tinju. Mereka memberi ruang bagi si pendatang baru. Lalu, ketika
pria bertopi itu berpamitan pada mereka semua, sang istri muda merogoh tasnya
dan menawarkan seutas sosis kering kepadanya. Melihat itu, pria tersebut
meyakinkannya bahwa isyarat itu tak perlu. Namun ketika sang istri muda bersikeras
(bersikeras, sungguh!), ia menerimanya dengan ucapan terima kasih yang tulus
dan sekali lagi menundukkan topinya.
Petya, yang kini duduk tegak, memperhatikan pria bertopi itu
dipanggil oleh seorang perempuan lain yang berdiri lebih jauh di belakang
antrean. Sambil menunjuk ke sana kemari, perempuan itu berbicara dengan nada
cemas, dan pria itu mendengarkan dengan simpati yang jelas terlihat. Lalu,
ketika ia mengangguk, perempuan itu segera berlari pergi, dan ia mengambil
tempatnya tanpa menimbulkan masalah.
Petya akhirnya menghabiskan sisa hari itu di tangga gereja, dan
selama jam-jam itu ia melihat pria bertopi itu melewati antrean tiga kali,
masing-masing atas nama tiga perempuan berbeda, dan setiap kali menerima
imbalan: seutas sosis, sekaleng kacang, dan dua cangkir gula!
Ketika akhirnya tukang roti menutup pintunya dan pria itu berjalan
pulang, Petya segera mengikutinya dengan cepat.
“Hoi, si topi!” panggilnya.
Berbalik dengan sedikit terkejut, Pushkin menatap ke arah bocah
itu.
“Kau memanggilku, Nak?”
“Kau dan tak ada yang lain. Dengarkan, aku sudah hidup di kota ini
seumur hidupku. Aku sudah melihat berbagai macam akal licik. Tapi ini jenis
tipu daya apa?”
“Tipu daya?” tanya Pushkin.
Dengan mata menyipit penuh curiga seperti orang duniawi, Petya
hendak melanjutkan tuduhannya, ketika seorang apparatchik berusia lima puluh tahun datang tergesa-gesa,
terengah-engah. Dari cara perutnya menekan rompinya, kau bisa tahu bahwa roti
orang ini berlapis mentega di kedua sisinya. Namun, ia menyapa pria bertopi itu
dengan sikap hormat yang tak bisa disangkal.
“Pushkin! Syukurlah! Aku khawatir tak sempat menemui Anda!”
Melihat Petya, si Tuan Mentega-Roti itu merangkul bahu Pushkin,
memutarnya sembilan puluh derajat, lalu melanjutkan dengan suara pelan.
“Aku mendapat kabar yang bisa dipercaya, temanku, bahwa kiriman
lampu listrik akan tiba di departemen penerangan GUM besok sore. Tak perlu
dikatakan lagi, aku akan berada di rapat hampir sepanjang hari. Menurutmu,
apakah kau punya waktu untuk menahan tempat bagiku sampai aku bisa datang ke
sana?”
Berdiri di ujung jari kaki dan mencondongkan tubuh ke kanan, Petya
dapat melihat bahwa Pushkin, yang mendengarkan dengan sepenuh perhatian,
tiba-tiba dilanda rasa menyesal.
“Kamerad Krakovitz, aku khawatir aku sudah berjanji pada Marya
Borevna bahwa aku akan mengantre untuknya di tukang daging sementara ia berada
di Gastronome Nomor Empat membeli buah ara untuk merayakan hari nama suaminya.”
Krakovitz menurunkan bahunya dengan kekecewaan begitu besar hingga
hampir membuat kancing rompinya lepas. Namun ketika ia berbalik hendak pergi,
Petya bersuara.
“Kamerad Pushkin,” katanya. “Tentunya kita tak bisa membiarkan
sang tuan mempersiapkan rapat-rapat pentingnya tanpa penerangan listrik!
Sebagai asistennya, mungkin aku bisa mengantre di tukang daging, sementara kau
mengantre di GUM.”
“Tentu saja!” seru Krakovitz, wajahnya bersinar seperti lampu yang
ingin ia peroleh. “Bagaimana, Pushkin?”
Maka, keesokan harinya, sementara Pushkin menunggu di GUM, Petya
menunggu di toko daging. Dan ketika Marya Borevna datang untuk mengambil
kembali tempatnya, sebagai tanda terima kasih, ia memberikan kepada Petya
segenggam buah ara.
“Betapa baiknya Marya membagikan sebagian buahnya padamu,” kata
Pushkin ketika Petya datang ke GUM untuk melapor. “Kau memang pantas
mendapatkannya, Nak.” Tapi Petya menolak begitu saja. Ia bersikeras agar mereka
membagi buah ara itu sama rata, lima puluh banding lima puluh, dengan alasan
bahwa meski ia yang melakukan pekerjaan lapangan, rencana bisnisnya adalah
milik Pushkin.
Begitulah semuanya dimulai. Dalam waktu seminggu, Petya sudah
berdiri di dua atau tiga antrean setiap hari, agar Pushkin bisa berdiri di dua
atau tiga antrean lainnya. Sebagai bocah yang berpikiran profesional, Petya
berusaha keras untuk berperilaku persis seperti Pushkin. Artinya, ia tak pernah
menunjukkan sedikit pun rasa tidak sabar; sebaliknya, ia berbicara tentang
cuaca dan gedung-gedung di seberang jalan; ia menanyakan tentang anak-anak
mereka, mengangguk setuju atau menggeleng dengan simpati sesuai kebutuhan
situasi; dan ketika berpisah, ia selalu menundukkan topinya. Dengan cara ini,
Petya segera diterima sebagai wakil resmi Pushkin, dan ia disambut dengan
kehangatan yang sama oleh semua perempuan yang menunggu dalam antrean.
8.
Jika ada sebidang tanah yang cocok untuk pohon apel, dalam
beberapa generasi akan tumbuh segala macam pohon apel yang bercabang-cabang
berdampingan. Jika ada lingkungan yang kondusif bagi puisi, segala macam
penyair akan segera menulis bersebelahan. Dan begitulah halnya dengan antrean
di Moskow Soviet. Pada waktu tertentu, di seluruh kota kini dapat ditemukan
antrean untuk kebutuhan pokok dan antrean untuk barang-barang sepele. Ada
antrean untuk naik bus dan antrean untuk membeli buku. Ada antrean untuk mendapatkan
apartemen, tempat di sekolah, dan keanggotaan serikat pekerja. Pada masa itu,
jika ada sesuatu yang pantas dimiliki, maka itu juga pantas untuk diantrekan.
Namun dari semua macam antrean itu, yang paling diperhatikan oleh
Petya adalah antrean yang melayani kaum elit.
Sebelum bertemu Pushkin, Petya mengira hal semacam itu tidak ada.
Lagi pula, bukankah itu tujuan mendaki di atas pundak sesama manusia, agar bisa
terbebas dari antrean selamanya? Tapi jika kaum elit tidak perlu mengantre
untuk mendapatkan hal-hal yang ditunggu oleh semua orang, mereka punya alasan
sendiri untuk mengantre. Mereka menginginkan apartemen yang lebih besar. Mereka
menginginkan mobil dan sopir. Mereka menginginkan mantel bulu untuk simpanan
mereka dan sebuah dacha di pinggiran kota.
Seseorang tidak perlu membaca Das
Kapital versi anotasi untuk memahami bahwa mereka yang menginginkan sesuatu
yang lebih berharga cenderung menunjukkan rasa terima kasih yang lebih besar
ketika keinginan mereka terpenuhi. Dan karena kau tak bisa mematahkan sepotong
dacha atau membagi dua mantel kasmir, kaum elit biasanya menunjukkan rasa
terima kasih mereka dalam bentuk uang tunai.
Namun apa pun bentuknya, panjang atau pendek, pemalu atau licik,
ikan atau unggas, Moskow memiliki lebih banyak antrean daripada jumlah kaki
yang dimiliki Pushkin dan Petya. Maka Petya merekrut beberapa temannya, lalu
beberapa lagi. Hingga pada tahun 1925, Pushkin memiliki sepuluh anak laki-laki
yang menunggu di tiga puluh antrean, masing-masing menyerahkan tanda terima
kasih mereka ke atas rantai komando.
9.
Manusia dikenal mudah beradaptasi, tetapi tidak ada yang lebih
cepat diadaptasi manusia selain peningkatan standar hidup. Maka, meskipun Irina
datang ke Moskow dengan dedikasi sepenuh hati terhadap pembalikan tatanan
sosial, yakni, kekalahan kaum istimewa dan kemenangan proletariat, seiring
berjalannya waktu, pemahamannya tentang bagaimana hal itu sebaiknya dicapai pun
ikut berevolusi...
Evolusi itu, tentu saja, dimulai pada tahun 1921 dengan segenggam
permen tongkat. Ketika Pushkin pulang dengan kol di satu tangan dan permen di
tangan lain, Irina sudah bersiap memarahinya habis-habisan karena telah
menyia-nyiakan uang hasil jerih payah untuk kesenangan kekanak-kanakan. Namun
ketika Pushkin menjelaskan bagaimana ia mendapatkan permen itu, Irina dibuat
bungkam. Kesediaan suaminya untuk mengantre demi seorang ibu yang membutuhkan
tampak sepenuhnya sesuai dengan semangat kawan seide; dan karena ia sama sekali
tidak mengira akan menerima permen itu, tentu tak bisa dicap sebagai spekulan.
Maka Irina memutuskan untuk menunda kemarahannya untuk lain waktu.
Dan ketika Pushkin pulang beberapa hari kemudian dengan membawa
sosis, setelah sedikit ragu Irina mengangguk bahwa hal itu pun sepenuhnya
benar. Lagi pula, bukankah Lenin sendiri telah meramalkan bahwa keberhasilan
transisi menuju Komunisme akan menghasilkan sedikit lebih banyak sosis bagi
kita semua?
Ketika sosis berevolusi menjadi mantel, dan mantel menjadi uang
tunai, Irina mulai menyadari pencapaian lain dari Komunisme melalui
transformasi suaminya. Sebab ketika mereka masih tinggal di desa, Irina selalu
menganggap suaminya sebagai lelaki tanpa semangat, tanpa tujuan, dan tanpa
akal. Namun kini semakin jelas bahwa Pushkin hanya tampak seperti itu. Begitu
suaminya dibebaskan oleh Bolshevisme dari semi serfdom rezim lama, ia tampak
sebagai lelaki dengan bakat yang luar biasa; dan bukan hanya membantu para
istri dan janda memperoleh kebutuhan mereka, ia nyaris mengadopsi seluruh
generasi anak yatim dan menjadikan mereka warga yang produktif! Dengan sentuhan
kepuasan moral, Irina pun menempatkan sosis di dapur, mantel di lemari, dan
uang tunai di laci paling bawah meja rias.
Lalu pada suatu hari di tahun 1926, Kamerad Krakovitz, yang
kebetulan menjabat sebagai wakil sekretaris di Departemen Akomodasi Perumahan,
meminta Pushkin untuk mengantre demi mendapatkan satu peti sampanye Prancis.
Ketika Pushkin berhasil, Kamerad Krakovitz enggan menunjukkan rasa terima
kasihnya dengan menyerahkan sebotol; sebagai gantinya, dengan satu goresan pena
ia memindahkan Pushkin ke sebuah apartemen luas di Menara Nikitsky, kompleks
baru di tepi Sungai Moskva.
Malam itu, ketika Pushkin pulang dan menjelaskan kepada Irina apa
yang telah terjadi, Irina merenungkan peristiwa tersebut dengan hati-hati. Ada
kesalahpahaman umum. Begitulah jalan pikirannya berkembang. Bahwa Komunisme
menjamin kehidupan yang identik bagi semua orang. Padahal, yang sebenarnya
dijamin oleh Komunisme adalah bahwa, menggantikan keturunan dan keberuntungan,
Negara yang akan menentukan siapa yang berhak mendapat apa, setelah
mempertimbangkan dengan cermat kepentingan bersama yang lebih besar. Dari
prinsip sederhana ini, logis bahwa seorang kamerad yang memainkan peran lebih
besar dalam mencapai kebaikan yang lebih besar bagi jumlah orang yang lebih
banyak sepatutnya memiliki sumber daya yang lebih besar pula untuk dirinya
sendiri. Tanyakan saja pada Nikolai Bukharin, editor Pravda sekaligus pembela kaum tani, yang tinggal di suite empat
kamar di Hotel Metropole!
Melalui logika yang tak terbantahkan ini, Irina memandang
peningkatan kondisi hidup mereka sebagai perkembangan yang sepenuhnya wajar;
dan kini ia kerap menyebut Pushkin sebagai “Kamerad Suami.”
Sebagaimana dulu penyair dalam diri Pushkin pernah menulis oda
tentang tunas yang tumbuh dan hujan musim panas, kini ia menujukan bait-baitnya
pada burung merpati yang hinggap di puncak bangunan dan trem yang berderak di
jalanan. Dengan kata lain, kehidupan Pushkin bersama Irina kembali begitu
memuaskan hingga ia tak tahu lagi apa yang harus diinginkannya. Sampai tanggal
dua Mei 1929 tiba.
Awal pekan itu, NKVD telah menangkap lima orang intelektual dan
dengan cepat memvonis mereka atas kegiatan kontra-revolusioner di bawah Pasal
58 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Setelah para pengkhianat itu dengan aman
dikirim ke Siberia, satu tim dikirim ke apartemen mereka dengan perintah untuk
mengumpulkan pamflet, jurnal, dan buku-buku mereka, lalu menyerahkannya ke
tungku pembakaran kota.
Kebetulan, ketika truk pengangkut bahan bacaan itu sedang berbelok
ke kiri menuju Jalan Tverskaya dengan kecepatan tinggi, gaya sentrifugal dari
belokan tersebut menghempaskan sebuah majalah ke udara tepat pada saat sang
tokoh kita hendak melangkah turun dari trotoar, sehingga majalah itu berputar
dua kali dan jatuh tepat di kakinya.
Karena Pushkin bukanlah seorang pembaca yang gemar membaca, ia
nyaris melangkahi majalah itu dan meneruskan perjalanannya, tetapi sesuatu pada
artikel yang terbuka di halaman itu menarik perhatiannya. Ia menunduk, memungut
majalah itu dari tanah. Lalu, setelah menoleh sekali ke kiri dan sekali ke
kanan, ia merobek halamannya dan menyelipkannya ke dalam mantelnya.
Lima belas menit kemudian, ketika Pushkin tiba di rumah, ia
memanggil Irina. Tidak mendengar jawaban, ia menuju kamar tidur mereka dan
menutup pintunya. Namun, menyadari bahwa ia tak akan mendengar suara istrinya
pulang jika pintu tertutup, ia membukanya lagi. Lalu ia duduk di tepi ranjang
dan mengeluarkan halaman itu dari mantelnya.
Artikel itu tampaknya berbahasa Inggris, bahasa yang tidak pernah
dikuasai Pushkin, baik untuk bicara maupun baca. Jadi bukanlah tulisannya yang
membuat ia tertarik. Yang menarik perhatiannya adalah foto besar hitam putih
yang menjadi ilustrasi artikel itu. Sebuah gambar seorang perempuan muda
berbaring di atas chaise longue dengan
gaun panjang berwarna putih dan seuntai ganda kalung manik-manik menggantung di
lehernya. Rambutnya pirang, alisnya tipis, bibirnya lembut dan gelap.
Singkatnya, ia adalah perempuan paling cantik yang pernah dilihat Pushkin
seumur hidupnya.
Namun perempuan itu tidak sendirian. Dengan satu tangan di
belakang kepalanya dan senyum di wajahnya, ia menatap seorang pria yang duduk
membelakangi kamera, seorang pria dengan tuksedo, memegang segelas minuman di
tangan dan rokok dalam jangkauan.
Untuk pertama kalinya, Pushkin merasakan sengatan iri. Bukan
karena kekayaan pasangan muda itu, bukan pula karena ketenangan glamor yang
tampak mereka nikmati di teras elegan yang pasti berada di kota legendaris New
York itu. Bukan. Yang membuatnya iri adalah senyum yang diarahkan perempuan
cantik itu pada lelaki di sampingnya. Sepanjang hidupnya, Pushkin tak pernah
membayangkan bisa disenyumi dengan cara seperti itu oleh perempuan seperti itu.
Dalam minggu-minggu berikutnya, setiap kali Pushkin pulang ke
rumah, ia akan duduk di ranjang dengan pintu kamar sedikit terbuka,
mengeluarkan foto itu dari dompetnya, dan menatapnya lagi. Sering kali, ia
menemukan sesuatu yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya, seperti mawar
putih yang tumbuh di sepanjang teras, atau gelang berkilau di pergelangan
tangan si perempuan, atau sepatu hak tinggi yang membalut kaki rampingnya. Dan
larut malam ketika ia tak bisa tidur, Pushkin membayangkan dirinya sebagai lelaki
di kursi itu; lelaki yang memegang segelas minuman, dengan sebatang rokok dalam
jangkauan, dan disenyumi oleh perempuan cantik dalam gaun putih itu.
11.
Beberapa bulan kemudian, ketika Pushkin sedang mengantre untuk
membeli tulang sup, kebetulan ia berdiri di sebelah seorang pria berusia
sekitar lima puluhan bernama Sergei Litvinov. Setelah mereka saling bertukar
pandangan tentang datangnya musim gugur, pria itu menyebutkan bahwa ia bekerja
di sebuah sekolah dasar setempat, di mana ia bertanggung jawab menyapu lantai.
“Demi jiwaku,” seru Pushkin. “Aku juga dulu pernah menjadi penyapu
lantai!”
“Begitukah?” ujar Litvinov dengan semangat yang sama. Dan ketika
kedua pria itu membahas perbedaan aerodinamika antara sobekan kertas dan
butiran tepung, waktu pun berlalu dengan cepat. Namun ketika Pushkin bertanya
apakah pria itu memang selalu menjadi penyapu lantai, Litvinov menjadi murung
dan menggeleng. Rupanya, beberapa dekade sebelum perang, Litvinov adalah
seorang pelukis potret yang cukup terkenal. Bahkan, dua dari potret karyanya
pernah digantung di Galeri Tretyakov. Tetapi karena sebagian besar subjek
lukisannya adalah kalangan bangsawan, pada tahun 1920, Serikat Seniman Moskow
menganggapnya tidak dapat dipercaya secara estetik dan mencabut izinnya untuk
melukis. Maka, demi bertahan hidup, ia pun mengambil pekerjaan sebagai penyapu
lantai.
“Lagipula,” kata Litvinov sambil tersenyum, “bukankah sapu
hanyalah kuas lukis yang sangat besar?”
Pushkin belum pernah pergi ke Galeri Tretyakov, atau ke museum
mana pun sebenarnya. Namun ia pernah berlutut di depan banyak ikon sepanjang
hidupnya, dan selalu takjub pada kemampuan seorang seniman menggambarkan wajah
manusia dengan begitu meyakinkan. Memiliki anugerah seperti itu namun tidak
lagi diizinkan menggunakannya terasa menyayat hati bagi Pushkin, dan ia tak
bisa menahan diri untuk bertanya apakah Litvinov menyimpan rasa dendam.
Litvinov menjawab dengan senyuman lain. “Aku telah hidup dalam
keadaan seperti ini selama sembilan tahun, temanku. Itu waktu yang terlalu lama
untuk menyerahkan hidup pada kebencian.”
Lalu setelah sejenak merenung, Litvinov melanjutkan. “Nenekku
sering berkata bahwa apa pun yang dipilih seseorang untuk dilakukan dalam
hidupnya, tetap saja ia harus melakukan bagiannya. Dan meskipun hidup seorang
pelukis mungkin tampak remeh bagi sebagian orang, setiap kali aku menyingkapkan
hasil lukisan di depan subjekku dan melihat ekspresi mereka, aku tahu bahwa aku
telah memenuhi ajaran nenekku itu. Tapi kau lihat, temanku, aku hanya setengah
bercanda ketika
membandingkan sapuku dengan kuas lukis. Karena, mungkin juga
mengejutkanku sendiri, setiap kali aku melihat anak-anak berlarian di lorong
sekolah yang baru saja kusapu bersih, aku merasa bahwa sekali lagi aku telah
melakukan bagianku.”
Meskipun Pushkin tidak mengenal kata “kelapangan hati,” ia cukup
tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan wujudnya ketika berbicara dengan pelukis
sekaligus penyapu lantai ini. Maka ketika mereka berpisah, ia menjabat tangan
Litvinov dengan perasaan kagum yang paling dalam.
Namun ketika Pushkin bertemu lagi dengan Litvinov tiga puluh hari
kemudian, pria itu tampak seolah telah menua bertahun-tahun. Rupanya, seorang
orang tua murid telah mengajukan keluhan kepada Komite Pendidikan Distrik,
bahwa seorang pelukis yang dulu bekerja untuk kroni Tsar tidak sepantasnya
bekerja di sekolah yang dipenuhi anak-anak. Keesokan harinya, apartemen kecil
Litvinov digeledah oleh polisi, lalu ia dibawa ke Lubyanka, tempat ia ditahan
selama tiga hari untuk diinterogasi. Meskipun tidak ada dakwaan yang
dijatuhkan, ketika Litvinov kembali ke sekolah, ia ditegur kepala sekolah
karena dianggap bolos; para guru yang biasanya mengobrol dengannya saat ia
mengosongkan tempat sampah kini memilih diam; dan yang paling menyakitkan, para
murid yang dulu biasa melambaikan tangan kepadanya di lorong kini malah
mengalihkan pandangan.
“Dulu, pada tahun tujuh belas, ketika rekan-rekanku melipat kanvas
mereka dan melarikan diri ke Paris, aku hanya menggeleng. ‘Panggilan kita
adalah melukis wajah sesama rakyat kita,’ kataku, ‘dengan segala keanehan dan
kecemasan mereka, segala kebajikan dan keburukan mereka. Apa artinya bagi kita,
apakah mereka berkumis lebat atau berjanggut lancip?’ Begitulah kataku waktu
itu, tapi sekarang…”
Litvinov terdiam sejenak. Lalu dengan hati yang berat, ia mengakui
bahwa ketika menyapu lantai sekolah, ia mulai berkhayal sedang berdiri di
stasiun kereta dengan tas kecil di satu tangan dan kartu kuning cerah di tangan
lainnya, sebuah kartu kuning cerah dengan cap merah tua.
Mata Pushkin membelalak. “Cap berbentuk Katedral St. Basil?”
“Ya,” aku Litvinov dengan nada malu. “Dari Badan Urusan
Ekspatriat.”
Kini, dari semua antrean di Moskow, antrean yang paling sulit
ditemukan, paling menakutkan, dan paling mustahil dilewati adalah antrean
menuju Badan Urusan Ekspatriat, departemen tempat seseorang mengajukan visa
keluar dari Rusia. Bahkan hanya untuk menemukan antreannya saja sudah merupakan
tantangan besar. Sebab kantor badan itu terletak jauh di dalam Kremlin, naik
dua tangga dan turun tiga, di ujung rangkaian panjang belokan kiri dan kanan,
di sebuah koridor sempit dengan empat puluh pintu yang semuanya tampak sama.
Jika seseorang cukup beruntung untuk menavigasi labirin itu dan
menemukan kantornya, maka setelah berada di dalam, ia akan diberi sebuah
pensil, formulir setebal dua puluh halaman, dan diarahkan ke bagian belakang
antrean.
Tentu saja, formulir itu meminta nama, alamat, pekerjaan, dan
tanggal lahir, beserta riwayat pendidikan, latar belakang agama, dan asal-usul
sosial. Namun selain itu, formulir tersebut juga mengharuskan Anda mencantumkan
nama, patronimik, nama panggilan, serta sebutan kesayangan semua anggota
keluarga, disertai usia, jenis kelamin, dan profesi mereka; juga riwayat
penyakit, kelemahan, serta pengobatan; keterlibatan Anda dengan sistem
peradilan baik sebagai penggugat, terdakwa, maupun saksi; sumber pendapatan dan
jumlah tabungan; dan sebagainya.
Di akhir survei yang panjang dan melelahkan itu, barulah muncul
pertanyaan esai: Negara mana yang ingin Anda tuju? Pernahkah Anda ke sana
sebelumnya dan mengapa? Untuk tujuan apa Anda ingin bepergian ke sana sekarang?
Dan yang paling penting, mengapa Anda ingin meninggalkan Rusia sama sekali!
Setelah menunggu beberapa hari (yang memang perlu, karena
pengisian formulir itu sendiri memakan waktu beberapa hari), Anda akhirnya akan
mencapai jendela kecil tempat pengajuan permohonan. Petugas di balik jendela
itu akan menilai formulir Anda dengan hati-hati, mempertimbangkan ketelitian,
kejelasan, dan kerapian tulisan tangan Anda.
Jika petugas memberi nilai D atau F, maka selamat, permohonan Anda
akan langsung disobek dan Anda dikirim kembali ke ujung antrean. Jika Anda
mendapat nilai B atau C, Anda akan diberi pensil baru beserta instruksi untuk
memperbaiki formulir Anda, sementara semua orang di belakang harus menunggu.
Namun jika Anda termasuk segelintir orang beruntung yang berhasil mengisi
formulir dengan sempurna pada percobaan pertama, Anda akan diantar ke sebuah
kantor bagian dalam, tempat seorang petugas kasus duduk di belakang meja logam
kecil dengan formulir Anda di tangannya.
Mulai dari bagian atas, petugas itu akan menanyakan ulang setiap
pertanyaan satu per satu, konon untuk mencari ketidaksesuaian. Pada titik mana
pun dalam wawancara, satu anggukan alis atau batuk singkat bisa menjadi isyarat
bahwa Anda akan dikirim kembali ke ujung antrean. Namun jika Anda berhasil
melewati wawancara itu, Anda akan diminta menunggu sementara berkas Anda
dikirim ke lantai atas untuk dipertimbangkan oleh sejumlah pemeriksa yang tidak
diketahui jumlahnya.
Hanya jika setiap dari mereka membubuhkan paraf, menandakan tidak
ada yang mencurigakan, maka berkas itu akan kembali berputar ke meja petugas
kasus, di mana akhirnya akan menerima cap merah tua, yang untuk sesaat membuka
gerbang keluar dari Uni Soviet.
Meskipun, tentu saja, sebagian besar permohonan ditolak, ada
kisah-kisah terkenal tentang keluarga-keluarga yang berhasil berangkat ke Paris
atau London dengan restu tersirat dari Politbiro. Namun, atas dasar apa
segelintir orang beruntung ini diizinkan pergi tetap menjadi misteri.
Seorang warga tampaknya diberi izin karena catatan tak bercelanya
sebagai seorang Komunis dan karena keluarganya yang besar di Berlin; sementara
yang lain ditolak visanya justru karena dia seorang Komunis tak bercela dengan
kerabat di Berlin.
Visa Anda bisa disetujui atau ditolak atas dasar bahwa Anda adalah
atau bukan seorang ilmuwan, adalah atau bukan seorang pekerja keras, adalah
atau bukan seorang Yahudi.
Begitu tak terduganya keputusan departemen itu, hingga beredar
rumor tentang sebuah ruangan terkunci di ruang bawah tanah di mana sepuluh roda
berwarna, seperti roda di karnaval, diputar setiap pagi untuk menentukan
sepuluh kriteria yang, pada hari itu, akan menjadi dasar pemberian visa!
“Ya,” aku Litvinov dengan sedikit rasa malu. “Dari Badan Urusan
Ekspatriat.”
Pushkin memandang temannya itu dengan saksama. “Jika seseorang tak
bisa menyapu di Moskow,” katanya setelah beberapa saat, “maka ia sebaiknya
melukis di Paris.”
Litvinov tersenyum menghargai dukungan Pushkin, tetapi menggeleng
sedih. “Mereka bilang menunggu di antrean itu bisa memakan waktu
berminggu-minggu, dan Kepala Sekolah Spitsky sudah menjelaskan dengan sangat
tegas bahwa bila aku kembali melakukan ‘ketidakhadiran’ semacam itu, aku akan
langsung dipecat.”
“Aku bisa mengantre untukmu.”
“Ah, sahabatku, kau terlalu baik. Tapi tak ada seorang pun yang
tahu di mana letak antrean itu.”
“Aku tahu persis di mana,” kata Pushkin, penuh keyakinan. “Lagi
pula,” ia menambahkan dengan kepuasan besar, “kita semua harus melakukan bagian
kita!”
Judul Halaman 3 (Kesimpulan)
Ini adalah konten untuk halaman KETIGA atau terakhir.
Tulis kesimpulan Anda di sini...
