Ambisi, Cinta, dan Ketiadaan

Zirah perang yang menempel di tubuh tingginya membuat Sergey tampak sangar sekalipun sedang menekuk satu lutut dan tertunduk. Matanya yang tajam dengan pupil membentuk garis panjang menatap lantai dingin. Jemarinya yang dilapisi sarung tangan baja terkepal. Dia tersenyum miring, senyum yang membuat prajurit musuh di medan perang pontang-panting.
Namun, kali ini dia sedang berada di hadapan raja, kakaknya, dan menyembunyikan senyuman itu. Dia baru pulang dari luar tembok, membersihkan kotoran raja untuk kesekian kali: pemberontakan. Para pemberontak itu marah karena kerajaan tidak mengirimkan bantuan saat wabah membadai di tempat mereka. Sergey, si tangan kanan raja, merasa dirinya hanya dijadikan pispot.
Karena itu pula dia merasa tidak bersalah ketika meminta hadiah atas jasanya. Apalagi, hadiah itu sudah lama dijanjikan sang raja, sebidang tanah di timur Eautheria. Tanah itu adalah padang pasir landai, kemudian Sergey membayar ahli-ahli sihir dan alkemis untuk sedikit mengubahnya sehingga tempat itu lebih nyaman.
Sepanjang perjalanan pulang, Sergey berpikir, raja akan
memberikan tanah yang sudah dia perbaiki itu bila memintanya saat upacara penyambutan kemenangan. Dengan banyaknya tamu kehormatan yang datang, tentu kakaknya akan malu jika menolak.
Akan tetapi, beberapa detik lalu, jawaban sang raja membuat amarah Sergey memuncak. “Untuk apa, Sergey? Kau sudah punya tanah lain. Aku akan memberikan tempat itu kepada Selena.”
Tentu saja Sergey tidak mungkin mengatakan kalau tanah itu untuk menggalang pasukan, agar sewaktu-waktu bisa menggedor wajah memuakkan kakaknya. Karena itu, dia pun bersikap kalem, hanya matanya yang diam-diam berubah seperti mata reptil. Di kepalanya terbayang tubuh raja Gellerey yang gendut dan lamban itu tercabik-cabik bersimbah darah. Lalu, Selena, keponakannya, mati dengan tubuh hancur dicakar Euphon.
Penolakan Gellerey tidak dapat lagi Sergey maafkan. Apalagi ketika bangkit dia melihat empat pilar Eautheria, perwakilan raja di perbatasan, yang duduk di kanan-kiri singgasana bersama para penasihat istana, berkasak-kusuk. Siapa pun tidak harus pintar untuk mengetahui siapa yang menjadi objek gunjingan mereka.
Kepala Sergey merekam tatapan culas mereka itu, mereka yang melihatnya dengan bibir merekah puas, mereka yang menertawainya dengan tawa tertahan. Sergey tidak menerima dirinya dipermalukan.
“Baiklah Yang Mulia. Hamba menerima keputusan paduka dan memohon undur diri. Pasukan sudah tentu lelah dan ingin melepas rindu dengan keluarga mereka.”
Selepas raja mengizinkan, Sergey bangkit. Zirah perang yang dia kenakan bergemeretak. Zirah itu menjadi saksi bagaimana dia berjuang untuk nama Gellerey selama ini, zirah yang melindungi Eautheria dari musuh-musuhnya di timur, utara, selatan, dan barat.
Tindakan Sergey diikuti para bawahan setianya di belakang. Sergey cukup puas menyaksikan seisi ruangan menjadi senyap. Dia tahu, di Eautheria, tidak ada yang meragukan kekuatan pasukannya. Sergey pun dapat menduga bila hal itulah yang membuat kakaknya menolak permintaannya.
Selepas berpisah dengan pasukannya, lelaki itu tidak pergi ke paviliun, melainkan menyusuri lorong-lorong,
Melewati kebun Gramophone. Sergey berniat turun ke rubanah perpustakaan tua yang lama tidak diawasi pihak istana. Ada yang harus Sergey lakukan di ruang rahasianya itu.
Ketika tiba di kebun Gramophone, Sergey terhenti. Udara segar tempat itu membuat kepalanya sedikit mendingin. Dia pandangi daun Gramophone yang berjari tiga dan menjadi lambang kerajaan. Buahnya bergelantungan, sebesar kepala manusia, berwarna tembaga, biasanya digunakan untuk pakan Euphon: burung raksasa, tunggangan angkatan udara Eautheria.
Sergey melihat seorang gadis menyusuri lorong yang baru dia lewati. Berahi membakar mata Sergey seketika. Ketika si gadis tampak ragu-ragu melewatinya, Sergey pun mendekat. Senyumnya membuat hawa tempat itu berubah gerah.
“Ellena, keponakanku sayang! Enam bulan tanpa melihatmu dunia ini terasa sesempit celanaku.”
Sergey menatap mata hijau Ellena berkilat-kilat. Dia tahu keponakan haramnya itu paling tidak suka terhadapnya. Namun, karena itulah Sergey merasa tertantang.
Mengembangkan senyuman, Sergey mengangkat tangan. Telunjuknya lalu terulur, menyentuh pipi Ellena yang memalingkan wajah. Sergey menyapu wajah Ellena, ke leher, dan terus turun, hampir menyentuh dada gadis itu. Sergey tertawa. Ellena menepis tangannya sambil berlalu dengan wajah merah.
“Aku janji, Ellena. Besok pagi kau akan menjadi ratuku!” Sergey berteriak. Suaranya bergetar. Dia melihat Ellena menghentikan kakinya sebentar.
Sembari meneruskan langkah ke rubanah, Sergey memahat wajah cantik keponakannya di kepala. Dia terus mengucapkan nama Ellena. Gadis itu memabukkan kepalanya.
Sesampainya di depan ruangan bawah tanah, jari-jari Sergey bergerak membentuk pola pada rune di dinding. Pintu perunggu berderit. Dari dalam ruangan, segulung kabut keemasan melesat dari sebuah kotak kaca, menyambar Sergey.
Lelaki itu tampak terbiasa. Dia lekas berlutut di bawah kabut emas yang kembali melayang. Dia berkata, “Golden Haze, aku persembahkan kebencianku yang sudah penuh. Ambillah satu mataku. Bunuhlah Gellerey dan pengikutnya kecuali Ellena.”
Pipi Sergey terasa panas. Golden Haze mengerumuni kepalanya seperti lebah. Makhluk mistis yang dia bawa dari Hutan Derelak saat mengamankan wilayah barat Eautheria itu berputar-putar, berdesingan. Bunyinya mengaduk-aduk isi kepala.
Lelaki yang jarang menanggalkan zirah perang kebanggaannya itu diserang pusing, muntah-muntah. Bau busuk Golden Haze yang tajam menyayat-nyayat rongga penciumannya, membuat Sergey berteriak. Lalu, otot mata kirinya terasa dibetot paksa dari dalam sehingga dia tidak sadarkan diri.
****
Ellena terlahir dari wanita jelata yang dihamili Gellerey di medan perang. Kelahirannya dianggap sebagai aib. Bila ibunya tidak menukar kehidupannya dengan kebebasan Ellena dulu, gadis itu tidak akan ada di dunia. Tidak heran jika Ellena tak pernah diperlakukan istimewa layaknya anak-anak raja yang sah.
Meskipun begitu, raja Gellerey tidak menilai Ellena sebagai ancaman. Karena itu dia menepati permintaan terakhir ibu Ellena. Dia pun tidak menuntut apa-apa dari anak haramnya itu dan memberikan pengasuh pribadi yang meninggal tiga tahun lalu. Gallerey hanya melarang Ellena keluar dari lingkungan istana, menyandang gelar bangsawan manapun, apalagi menyinggung namanya.
Seumur hidupnya Ellena tidak pernah menghadiri acara keistanaan, termasuk upacara penyambutan Sergey. Ellena lebih sering mengunjungi kandang Euphon, menemani orang yang menjadi alasannya tetap bertahan di istana.
Akan tetapi, yang terjadi sore ini di lorong tidak dia perhitungkan. Hal itu membuat pikirannya gelisah, penuh oleh pertanyaan, ‘Seharusnya acara penyambutan kemenangan belum berakhir, kenapa
Sergey ada di kebun?’
“Ethan! Kau di mana?” Ellena memasuki kandang Euphon, berteriak. Dia harus membicarakan yang baru saja dialaminya kepada Ethan segera.
Namun, sekian lama menunggu, Ellena tidak mendapatkan jawaban. Ethan tidak ada. Tidak biasanya kekasihnya itu meninggalkan kandang di jam kerja.
Ellena pun masuk lebih dalam dengan penasaran, memeriksa setiap kandang dan gudang yang menjadi kawasan Ethan. Bau kotoran Euphon tercium seperti merkuri, menghukum penciumannya.
Kekalutan menyerangnya. Ellena berhenti mencari. Saat itulah sebuah bayangan sekonyong-konyong loncat dari atap kandang yang sudah dia lewati, berdiri tepat di belakang, menyergapnya.
Sambil berteriak, dengan spontan dia melakukan bantingan agar lepas dari cengkeraman. Akan tetapi, usahanya sia-sia. Sosok itu terlalu kuat.
“Menyerahlah!”
“Ethan sialan! Sudah berapa kali kukatakan jangan melakukan ketololan!”
“Hus! Mulut Tuan Putri harus suci dari umpatan!”
“Aku bukan Tuan Putri!” Ellena menggigit lengan pemuda itu. Tangan Ethan yang mengunci lehernya terlepas. Ellena berbalik, siap menyerang balik. Tetapi, demi melihat senyuman dan mata cokelat terang pemuda yang menjahilinya, dia menjadi gugup. Dia serasa terlempar ke dalam lautan madu yang lengket.
“Kenapa kau buru-buru, Tuan Putri?”
Ellena tersadar. Dia pun menceritakan pertemuannya dengan Sergey panjang lebar, sesuatu yang tidak pernah Ellena lakukan kepada orang lain.
“Apa maksud perkataannya? Tidak mungkin dia
memberontak, kan?”
Gadis itu menggeleng sambil menatap Ethan, menyalurkan kegundahannya. Tiba-tiba tangannya digenggam dan diciumi. Terdengar Ethan berkata, “Kau tahu, Ellena? Apa pun yang terjadi aku akan selalu ada.”
Mata Ethan menatapnya penuh kecemasan, dan di sana Ellena menemukan dirinya saat berusia sembilan tahun.
“Rambutmu seperti bulu beruang, jangan-jangan ibumu juga beruang!”
Ellena tak membalas. Dia fokus pada kupu-kupu yang hinggap di pucuk rumput. Namun kemudian, sebuah benda keras memukul kepalanya. Di belakangnya, putra mahkota tertawa.
Gadis itu kesal. Dia mengambil pedang kayu putra mahkota dan mendorongnya. Putra mahkota yang selalu dimanjakan seisi istana pun langsung meraung seakan-akan hendak dibunuh saja.
Ellena disergap ketakutan. Ratu pasti menghukumnya. Dia pun meminta perlindungan kepada perawatnya, tapi wanita tua itu malah memarahinya. Ellena kabur ke lorong istana, sampai tiba di kandang Euphon. Saat itulah dia mendengar suara tangisan lain. Ketakutannya hilang berganti penasaran.
Ellena mendekati sumber suara itu. Terlihatlah olehnya seorang anak lelaki sedang memeluk lutut. Ellena bertanya, “Kenapa semua anak laki-laki di tempat ini senang menangis?”
Pertanyaannya membuat lelaki yang sedang tidur di belakang si anak lelaki tertawa.
“Dia patah hati melihat ibunya melacur, anak manis!” Lelaki yang ternyata pincang itu berdiri dan menjawab Ellena tanpa menghentikan tawa.
Hari itu, untuk pertama kalinya Ellena diam di sana sampai malam, dan dari kejadian itulah Ellena mengenal Ethan dan ayahnya yang pincang. Mulanya Ethan menolaknya. Namun, setelah Ellena menceritakan posisinya di istana dan penderitaannya, barulah Ethan mau berteman dengannya.
Setiap hari mereka bermain di kandang, mendengarkan dongeng ayah Ethan yang sebelumnya adalah seorang pengembara. Mereka suka sekali diceritakan kisah-kisah hebat seperti Snaidzer penguasa Hutan Gelap, Kekuatan Montage, Golden Haze, Goblin, dan lain-lain.
Lampu-lampu di sekitar kandang yang mulai dinyalakan menyadarkan Ellena. Dia mendesah dan memeluk Ethan. Di telinga Ellena kemudian, terdengar bisikan sang kekasih, “Kalau terjadi sesuatu di istana marilah
kita pergi, Ellena!”
Gadis itu mengangguk. Rambut peraknya berkilau diterpa cahaya. Namun, entah kenapa kata-kata Ethan tidak mampu mengenyahkan kegamangan yang melembaga di dadanya saat ini.
Malam harinya, Ellena terbangun karena mendengar kegaduhan. Tercium olehnya bau amis yang menyebar memenuhi seisi ruangan. Ketika hendak keluar untuk memeriksa, sekonyong-konyong pintunya didorong dari luar dengan paksa. Ellena terkesiap. Dorongan itu disusul suara yang terdengar ketakutan.
“Istana kacau. Keluarga raja dibunuh! Ayo lari, Ellena!”
Ellena tahu itu Ethan. Dia memanggil kekasihnya sambil berusaha membuka pintu yang dikunci dengan rune. Selepas mantra dibacakan, sebuah pola muncul di
papan pintu. Ellena segera menyelesaikan pola itu dengan telunjuknya.
“Ethan?”
Tangan gadis itu langsung ditarik Ethan. Mereka berlari meninggalkan paviliun Ellena yang terasing dari ruang utama dan ruangan-ruangan lain.
Hiruk-pikuk para prajurit terdengar di seantero istana. Ellena terus dibawa Ethan ke lorong yang biasa digunakannya untuk menuju ke kandang Euphon. Namun, ketika sampai di kebun Gramophone, Ethan membawanya berbelok, menuju pohon Gramophone besar di tengah kebun.
“Kita ke mana?”
“Ke luar tembok!”
Dengan cemas Ellena mengawasi sekeliling selagi Ethan membaca mantra. Lalu, tak lama menunggu, sebuah pintu terbuka dari batang pohon itu.
Gadis itu hendak masuk lebih dulu, tapi tahu-tahu hawa di sekitarnya sudah berubah dingin, mencekam, dan tercium amis seperti yang dia endus di paviliunnya tadi. Ellena terkesiap, napasnya tersekat, dia melihat Sergey terbang di atas kepala mereka, melayang menunggang kabut berwarna emas.
Ellena yang masih terkesima disambar pamannya. Lalu terdengar lelaki itu menyuruh para prajurit menangkap Ethan. Gadis itu pun tersadar dan berteriak meminta kekasihnya dilepaskan.
“Dia sudah berani menyentuhmu, Ratu!”
“A-pa maksudmu?” Ellena terkejut Sergey memanggilnya ratu. Apalagi mata kiri Sergey terlihat hitam seperti lubang kosong.
Sergey tertawa. Dia mengatakan bahwa raja Gellerey dan pengikutnya sudah habis.
“Eautheria sekarang milikku, Ellena, termasuk kau!”
Kepala Ellena nanar mendengarnya. Dia pun merasakan dadanya seperti hendak pecah, nyeri dan pana, seakan-akan ada yang merobeknya dari dalam sana. Lalu, dengan sisa-sisa kesadaran, dia meminta Sergey melepaskan Ethan.
“Aku menukar kebebasanku dengan kebebasannya, Sergey.”
####
Dengan pakaian rusak dan tubuh terluka Ethan dilempar keluar tembok istana setelah dipukuli. Untuk kesekian kalinya dia tersungkur menumbuk tanah keras. Darah mengalir dari lubang hidung dan telinganya.
Namun demikian, Ethan seakan-akan tak merasakan semua itu. Pikirannya terpancang kepada Ellena yang dibopong Sergey di depan matanya. Dia, lelaki biasa, tak memiliki apa pun untuk menolong wanita yang dicintai.
Hal itulah yang kemudian membuat Ethan meraung. Dia mengutuk tujuh dewa yang disembah oleh penduduk Eautheria. Dia mengutuk ayahnya yang mati setahun lalu. Dia juga mengutuk ibunya yang melacurkan diri. Ethan mengutuk Sergey, dirinya yang lemah, dan segala hal. Kemarahan Ethan meluap melampaui kesadarannya
Setelah beberapa saat, dia pun berlari ke arah selatan. Seperti kesetanan, sepanjang malam itu kakinya tidak pernah berhenti berlari. Bahkan, sampai esok harinya, esoknya lagi, dan seterusnya Ethan terus berlari. Tenaganya seakan tak habis-habis didorong kebencian.
Setengah kesadaran Ethan baru kembali ketika dia tiba di sebuah sungai panjang nan sepi. Lelah, lapar, dan dahaga menderanya.
Ethan pun menyeberangi sungai, memasuki hutan gelap. Dia memakan jamur yang tumbuh di pepohonan sepanjang jalan. Sedikit pun dia tidak peduli apakah jamur itu beracun atau tidak
Akibatnya, Ethan terkapar tak sadarkan diri sehari semalam. Hingga kemudian, dia terbangun ketika mencium bau bangkai.
Langit hitam legam tertutup dedaunan. Ethan merasakan luka-lukanya perih teriris angin hutan. Satu titik, dua titik, hujan mengguyurnya serta-merta. Ethan membuka mulut, menerima tetesan air yang jatuh dari dahan pohon.
‘Hitam!’ kata itu menggema di kepalanya ketika melihat sekeliling. Kesadaran yang selama ini terkurung kebencian pulih sepenuhnya perlahan-lahan. Sontak dia pun mengingat cerita ayahnya mengenai Hutan Hitam yang dikuasai raja demon bertubuh ular, Snaidzer.
Pemuda itu bangkit dan meneriakkan nama Snaidzer seperti bocah. Suara Ethan menerobos hujan dan kegelapan. Riuh cuitan hewan-hewan penghuni hutan membalas teriakannya.
Selajur dengan itu Ethan dikelilingi kabut yang terasa
lengket di kulit. Kabut itu bergerak memutari Ethan. Ke mana pun dia melangkah, kabut hitam itu terus mengikuti dan menyedotnya.
Sekuat tenaga Ethan mencoba melepaskan diri. Namun, kabut itu seperti tali yang melilitnya. Putus asa, kebencian memenuhi otaknya lagi. Dia berteriak-teriak mengutuk kehidupan yang terasa tidak pernah adil.
Bau bangkai menyengat membuat Ethan tersadar dari kemarahannya dan merasa pusing. Dia memejamkan mata sebentar untuk menguasai diri. Kemudian, setelah membuka kembali matanya, pemuda itu mendapati dirinya di sebuah gua besar yang dipenuhi tanaman merambat. Air menetesi kepalanya dari batu-batu bercahaya lagi runcing di atap gua.
Ethan mencari jalan keluar. Daun-daun yang merayap di dinding gua dilihatnya memendarkan cahaya. Sejenak Ethan terpesona. Namun kemudian, dia terpaku. Tanpa sadar dirinya sudah berdiri di ruangan besar, di mana
terdapat batu berbentuk tengkorak teronggok di tengah-tengahnya.
Di atas batu itu, Ethan melihat sosok berkepala besar dan tidak bertelinga. Sosok itu bertubuh setengah manusia, dari pinggangnya ke bawah terdapat ekor panjang seperti ular.
Badan Ethan membeku. Apa yang dia lihat membuatnya tak bisa berkata beberapa menit. Kemudian, dengan gemetar bibirnya bergumam, “S-snaizder?”
Sosok itu berbalik dan menyeringai. Ethan merasa seluruh kekuatannya hilang.
“Aku mencium kebencianmu sudah penuh!”
Telinga Ethan berdenging. Suara Snaidzer seperti lonceng berdentang. Tetapi, tiba-tiba dia merasa kebencian meluap dari dadanya ketika Snaidzer menunjuknya.
Wajah Ethan memerah. Panas tubuhnya meningkat. Dia merasakan sensasi terbakar yang hebat. Namun, anehnya kebencian tidak lagi mengalahkan kesadarannya.
Tak hanya itu, kebencian dan kesadaran mewujud di hadapannya. Dari wujud api kebencian itu Ethan melihat Sergey yang membopong Ellena.
“Kau mau memadamkannya?”
Ethan menyumbat telinga, tapi dia mengangguk.
“Aku akan membantumu, tapi ada harganya. Bagaimana kalau sebelah telingamu?”
Tidak kuasa menjawab, Ethan mengangguk lagi. Lalu, dia merasakan sakit yang amat sangat pada telinganya. Ethan berteriak, tapi sakit itu terasa sekejap. Tanpa berdarah, telinga kanannya hilang.
Ethan melihat Snaidzer mengeluarkan sesuatu dari balik ekornya; sebuah telur berwarna merah.
“Sekarang, tanam ini di depan istana Eautheria!”
Dia yakin bahwa tidak pernah menceritakan apa pun kepada Snaidzer. Ethan heran kenapa sosok itu mengetahuinya asal-usulnya.
“Aku melihat segalanya!”
Ethan terkesiap mengetahui Snaidzer menjawab pikirannya. Keadaan hening sebentar. Namun, Ethan tersadar bahwa dia memiliki pertanyaan.
“Bagaimana aku bisa menanam telur ini di depan istana?”
Sekali lagi Ethan harus menutup telinganya. Snaidzer tertawa, lalu telunjuknya menjentik. Ethan merasakan sesuatu memasuki tubuhnya.
“Pergilah dan padamkan apimu! Aku memberimu sihir teleportasi.”
****
Ellena dipaksa menikah dan menjadi ratu oleh Sergey. Sudah seminggu dia dikurung di kamar bekas permaisuri. Sergey pun menerapkan mantra pelumpuh kepadanya.
Setiap siuman dari efek mantra itu, Ellena dilanda kesedihan. Apalagi, bila teringat olehnya nasib Ethan.
Ellena terhuyung sekarang. Mengingat Ethan memang selalu membuat kesedihannya bertambah-tambah. Dia meraung, memukul dirinya. Seketika tanda di dadanya yang muncul setelah kehilangan Ethan, berpendar. Ellena menyentuh tanda itu.
“Montage!”
Tidak seperti biasa, kini sebuah suara berdengung di kepalanya. Ellena terkejut, merasakan ada sosok yang hidup di dalam sana.
“Kesedihanmu telah penuh. Aku muncul dari kesakitan cinta. Aku adalah pembalik waktu.”
Ellena teringat kisah penyihir yang memiliki kekuatan Montage yang diceritakan ayah Ethan dulu. Ellena bertanya-tanya dari mana dia memiliki kekuatan tersebut.
“Kau adalah cucunya yang keseratus!”
Suara itu menggema di kepala dan terasa sampai keluar. Istana bergetar sangat kuat. Sebelah dinding kamarnya rompal. Ellena menjerit, memohon hal itu dihentikan.
Akan tetapi, suara di dalam kepalanya menjawab bahwa kejadian itu bukan ulahnya.
Kebingungan melanda Ellena. Gempa yang berterusan membuatnya terpikir untuk melakukan Montage. Namun, suara dalam kepalanya menyela, “Kau akan mati!”
Ellena terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi ketika menyaksikan kabut hitam dan kabut emas berkejaran. Dua kabut itu bergulat di udara seperti dua ekor burung saling tikam. Kejadian itu diakhiri dengan lenyapnya kabut emas yang Ellena yakini Golden Haze milik Sergey.
Tak sampai di sana, mendadak dari balik dinding kamar yang hancur melompat seekor goblin. Makhluk bertubuh hijau dan bertelinga panjang itu memakai zirah Sergey. Goblin itu dengan beringas mendekatinya. Ellena
mundur beringsut, ketakutan.
Dalam keadaan terpojok, Ellena membulatkan tekad untuk mengaktifkan Montage. Dia sudah terpejam, merapal mantra. Namun, seketika udara di sekitarnya berpusar dan sebuah portal sihir terbuka. Dari portal itu Ethan muncul, menarik tubuhnya.
Ellena tidak percaya, tapi kemudian dia memeluk tubuh kekasihnya sambil menangis tersedu-sedu. Saking terharunya, dia sampai lupa menanyakan cara Ethan menyelamatkannya.
Ketika sampai di luar tembok yang sudah runtuh, penguasaan diri Ellena pulih. Dia melihat telinga kanan Ethan tidak ada.
Ethan pun menceritakan perjalanannya, tidak lupa tentang Snaidzer dan telur bencana.
Ellena menganga. Dia tidak mengira kekacauan ini ulah Ethan demi menyelamatkannya. Ellena pun melihat sekeliling. Udara dipenuhi kabut-kabut hitam yang bergerak mengejar makhluk hidup. Ketika kabut itu merasuk ke tubuh, yang dirasukinya berubah menjadi goblin dan hilang akal.
Kekacauan membahana. Tanah-tanah terbelah, kebakaran, bangunan-bangunan runtuh. Pemandangan itu membuat hati Ellena rasa teriris, lebih pedih daripada saat terpisah dari Ethan.
“Hentikan ini, Ethan! Cepat hentikan!”
Ethan terkesiap. Dia ingat tidak menanyakan cara menghentikan kekacauan ini. Alih-alih mencari solusi, lelaki itu malah mengajak Ellena untuk pergi sejauh mungkin dengan sihir teleportasinya.
Akan tetapi, Ellena menggeleng. Dia merasa ikut bertanggung jawab atas bencana yang terjadi.
“Ethan, aku akan mengakhirinya!”
“Bagaimana mungkin, Ellena?”
Tanpa menjawab, Ellena meraba lingkaran merah di dadanya. Cahaya pun memancar dari sana.
Melihat yang terjadi kepada Ellena, Ethan segera tahu. Dia lebih sering mendengar kisah lengkap Montage daripada Ellena. Karena itu pula dia menyadari apa yang akan terjadi kepada kekasihnya.
Ethan meloncat. Dia dekap Ellena sekuat mungkin dan mengaktifkan sihir teleportasinya. Namun, usahanya tidak berhasil. Montage sudah dirapal.
Sementara itu, Ellena merasakan kekuatan waktu mengelilinginya. Lalu, sepersekian detik kemudian, Ellena terlempar ke berbagai dimensi warna-warni sebelum akhirnya lebur menjadi debu yang melayang-layang di udara Eautheria. Raja Gellerey, Sergey, dan yang lainnya kembali hidup seperti semula. Mereka memulai lagi zamannya tanpa keberadaan Ethan dan Ellena.
Curugkembar, 15 Juni 2023.
#Event_Love_InSadness2
Tema: Ratu Terakhir
Genre: Fantasi
Nama Akun: Lanang Irawan
Judul: Ambisi, Cinta, dan Ketiadaan
Isi: 2955 (Tanpa judul dan titimangsa)