Buku Harian Seekor Anjing di Galaksi Bimasakti





𝘒𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘴𝘦𝘶𝘮𝘱𝘢𝘮𝘢 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘮
𝘎𝘦𝘭𝘢𝘱 𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘣𝘶𝘵𝘢
𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮
𝘛𝘢𝘬 ‘𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘶𝘱𝘢𝘩𝘢𝘮𝘪
𝘉𝘦𝘵𝘢𝘱𝘢 𝘪𝘯𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘪𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨-𝘣𝘪𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨

Nyanyianku berakhir. Lambat laun piano berhenti berdenting. Suasana di aula menjadi hening. Beberapa detik kemudian barulah terdengar suara riuh dari bangku penonton.

Aku menoleh kepada Jae Hyun, manajerku. Pria itu sedang berdiri di lorong menuju back stage. Ia mengacungkan dua jempol. “Bagus sekali, Ah Yeon! Penampilanmu sempurna!” teriaknya, lalu bertepuk tangan seperti yang lain.

Lagu terbaruku yang berjudul “Blue” mendapat sambutan yang luar biasa. Bahkan di tayangan Youtube, lagu itu tembus 50 juta viewer hanya dalam waktu tiga

hari sejak pertama diunggah. Dan menurut Jae Hyun, jumlah tersebut masih akan terus bertambah.

Aku bangkit dan berjalan ke depan. Sambil tersenyum kulambaikan tangan. Tak lupa berulang kali kuucapkan terima kasih. Tanpa mereka, aku cuma gadis kampung yang pandai bernyanyi.

Bagi artis lain, kepopuleran semacam ini mungkin adalah mimpi yang sangat didamba. Mereka rela melakukan apa saja agar tenar dan disukai banyak orang. Namun, bagi seorang perempuan yang telah kehilangan separuh jiwanya, apalah arti ini semua.

Di ruang ganti, aku menatap lurus ke cermin. Blue pernah bilang, aku terlihat makin cantik saat memakai bando dari bunga liar warna-warni yang kurangkai sendiri. Jadi, malam ini kusengaja menghias rambut panjangku dengan benda itu, berharap Blue melihatnya dan mengingat masa-masa indah ketika kami masih bersama.

Tiba-tiba dadaku sesak. Kupejamkan pelupuk dan justru menikmati kegelapan yang menyertai setiap gedoran yang kurasakan. Tanpa bisa kutahan, aku menitikkan air mata.

“Ah Yeon, boleh aku masuk?” tanya seseorang usai mengetuk pintu, yang aku yakin itu adalah Jae Hyun.

Aku buru-buru menyeka bekas basah di pipi.

“Pintunya tidak dikunci,” jawabku.

Setelah berada di dalam, Jae Hyun mematung di samping kursi yang kutempati. Tampaknya ia memandangi selembar tisu yang kugenggam.

“Kamu habis menangis?”

“Tanggal 19 bulan depan, jadwalku kosong, ‘kan?” Aku malah balik bertanya.

Jae Hyun mengernyit. “Memangnya ada apa?”

“Bukankah aku sudah bilang, tanggal 19 Juni nanti, sehari penuh aku tidak mau diganggu oleh siapa pun.”

“Oh, tentu, Ah Yeon. Aku akan mengaturnya untukmu.”

“Oke, terima kasih.”

Kata teman-teman sesama artis, Jae Hyun adalah tipe manajer yang tegas. Ia tidak segan untuk menegur anak-

anak asuhannya jika mereka dinilai mulai bersikap egois, tapi rupanya hal yang demikian tidak berlaku bagiku. Ketika aku bilang tidak bisa, ia selalu mengusahakan sehingga jadwal tampilku diundur tanpa menuai protes dari pihak mana pun.

Kata teman-teman sesama artis, Jae Hyun menyimpan rasa untukku. Wajahnya tampan. Tubuh tinggi dan atletis semakin menguatkan pesonanya. Sayangnya, aku tak pernah menyimpan rasa yang sama.

Empat puluh lima hari berlalu seperti kedipan mata. Tahu-tahu tertera tanggal 19 Juni 2023 di bawah jam digital pada layar ponsel. Tahu-tahu aku sudah menaikkan tas berisi pakaian beserta barang-barang kebutuhan lain ke bagasi mobil.

“Hati-hati di jalan. Telepon aku jika di sana kau membutuhkan sesuatu,” ujar Jae Hyun melalui pesan singkat. Aku membacanya dan membalas dengan satu kata, “Oke.”

Andai lalu lintas lancar, butuh 1 jam 30 menit dari apartemenku di Seoul ke rumah peninggalan orang tuaku di Cheongju. Sewaktu aku kecil, rumah itu pernah dijual secara ilegal oleh tetangga kami. Aku terusir kemudian hidup menggelandang di daerah lain selama

kurang lebih 15 tahun. Setelah aku sukses sebagai penyanyi solo, rumah itu berhasil kuambil alih walaupun aku harus membayar biaya ganti rugi kepada pemilik barunya.

Hari beranjak senja. Kuseduh secangkir kopi sebelum duduk di dekat jendela sambil menekuri sebuah buku harian. Kuciumi sampulnya dengan perasaan haru, kuusap halaman demi halaman dengan mata yang menggenang.

***

(𝟲 𝗝𝘂𝗻𝗶 𝟮𝟬𝟭𝟲)
𝘉𝘦𝘳𝘬𝘢𝘭𝘪-𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘈𝘩 𝘠𝘦𝘰𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘭𝘶𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘶𝘮𝘪𝘬𝘶. 𝘐𝘢 𝘣𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘣𝘢-𝘵𝘪𝘣𝘢 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘱𝘢𝘬𝘢𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵. 𝘗𝘦𝘳𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳-𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘥𝘪𝘬𝘢𝘣𝘶𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘣𝘰𝘤𝘢𝘩 𝘢𝘫𝘢𝘪𝘣 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘶𝘵𝘦𝘮𝘶𝘪 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘳𝘪𝘯 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮. 𝘗𝘦𝘳𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘢𝘬𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘬𝘢𝘣𝘶𝘭𝘬𝘢𝘯. 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬, 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘢𝘩𝘢𝘴𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘥𝘪 𝘣𝘶𝘬𝘶 𝘪𝘯𝘪.

𝘏𝘢𝘮𝘱𝘪𝘳 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘳𝘪𝘢𝘯 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨𝘪 𝘣𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪 𝘤𝘦𝘳𝘮𝘪𝘯. 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘵𝘪. 𝘐𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘣𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘪𝘢 𝘣𝘶𝘵𝘢 𝘴𝘦𝘫𝘢𝘬 𝘭𝘢𝘩𝘪𝘳. 𝘚𝘦𝘶𝘮𝘶𝘳 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘪𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘢𝘴𝘢𝘳𝘢𝘯, 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘢𝘱𝘢 𝘵𝘢𝘮𝘱𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪.

(𝟳 𝗝𝘂𝗻𝗶 𝟮𝟬𝟭𝟲)
𝘚𝘦𝘫𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘨𝘪 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮, 𝘬𝘶𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘈𝘩 𝘠𝘦𝘰𝘯 𝘴𝘪𝘣𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘩𝘢𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘴𝘦𝘬𝘦𝘭𝘪𝘭𝘪𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘢𝘳𝘥𝘶𝘴 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘥𝘪𝘯𝘥𝘪𝘯𝘨 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘴𝘦𝘦𝘬𝘰𝘳 𝘬𝘦𝘱𝘪𝘬 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘱 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘶𝘯. 𝘉𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘢𝘱𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘢𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣 𝘪𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘶𝘮 𝘣𝘢𝘶 𝘬𝘦𝘯𝘵𝘶𝘵, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘢𝘱𝘢 𝘸𝘢𝘳𝘯𝘢𝘯𝘺𝘢.

(𝟴 𝗝𝘂𝗻𝗶 𝟮𝟬𝟭𝟲)
𝘏𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘨𝘦𝘯𝘢𝘱 𝘴𝘦𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘈𝘩 𝘠𝘦𝘰𝘯. 𝘐𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘪𝘬𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨𝘬𝘶 𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘯 𝘱𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘳𝘪𝘯𝘵𝘪𝘩𝘢𝘯𝘬𝘶. 𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘨𝘦𝘵 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘸𝘢𝘬𝘶 𝘱𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘭𝘢𝘺𝘢𝘬 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘣𝘶𝘵 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩. 𝘐𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘰𝘣𝘢𝘵𝘪 𝘭𝘶𝘬𝘢-𝘭𝘶𝘬𝘢𝘬𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘭𝘪𝘮𝘶𝘵𝘪𝘬𝘶. 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘪𝘵𝘶 𝘪𝘢 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯.

𝘈𝘩 𝘠𝘦𝘰𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘯𝘨. 𝘐𝘢 𝘨𝘢𝘥𝘪𝘴 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘮𝘶𝘭𝘪𝘢. 𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘶𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘢𝘮𝘱𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘵𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘯𝘵𝘶𝘢𝘯𝘬𝘶 𝘭𝘢𝘨𝘪.

(𝟵 𝗝𝘂𝗻𝗶 𝟮𝟬𝟭𝟲)
𝘈𝘩 𝘠𝘦𝘰𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘭𝘪 𝘵𝘢𝘭𝘪 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬𝘬𝘶. 𝘒𝘢𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘵𝘢𝘭𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘢 𝘱𝘢𝘬𝘢𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘫𝘢𝘬𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘬𝘦 𝘋𝘢𝘯𝘢𝘶 𝘋𝘢𝘦𝘤𝘩𝘦𝘰𝘯𝘨, 𝘥𝘢𝘯𝘢𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘧𝘰𝘵𝘰𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪

𝘮𝘢𝘫𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘬𝘢𝘴 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘱𝘪 𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯.

(𝟭𝟬 𝗝𝘂𝗻𝗶 𝟮𝟬𝟭𝟲)
Baru kali ini aku melihat Ah Yeon tersenyum lebar. Ia terlihat makin cantik dengan bando dari bunga liar aneka warna yang ia rangkai sendiri. Orang-orang yang biasa mendengar dirinya bernyanyi pun mulai tahu kalau ia tidak lagi buta.

Mungkin karena penampilan Ah Yeon yang sekarang terlihat jauh lebih menarik dibandingkan dulu sewaktu ia masih buta, banyak laki-laki yang berusaha mendekatinya. Jujur, aku merasa cemburu meski tahu aku tidaklah lebih baik daripada mereka.

Syukurlah, Ah Yeon tidak pernah menanggapi permintaan aneh dari para pria hidung belang itu. Kami jadi bisa kembali fokus mengamen di stasiun terdekat. Ah, andai saja suaraku sama merdunya dengan suara Ah Yeon.

(𝟭𝟮 𝗝𝘂𝗻𝗶 𝟮𝟬𝟭𝟲)
Kuputuskan untuk mengatakan permintaanku yang ketiga kepada bocah ajaib itu. Aku meminta supaya aku dijadikan manusia seutuhnya, tidak hanya berubah wujud menjadi manusia ketika malam saja, yang penampilannya dari ujung kepala sampai ujung kaki

disukai oleh Ah Yeon.

Ternyata untuk mengabulkan permintaanku itu, ada dua syarat yang harus kupenuhi. Pertama, selama tujuh hari ke depan, aku tidak boleh menyakiti siapa pun, baik sesama hewan maupun manusia. Kedua, selama tujuh hari ke depan, aku juga harus puasa makanan yang bernyawa.

“Itu wajib dilakukan untuk mengurangi sifat-sifat buasmu. Apa kau mau menjadi laki-laki yang doyan memukuli Ah Yeon ketika sudah menjadi manusia?” tanya si bocah ajaib yang kubalas dengan gelengan.

Bocah itu kujuluki si bocah ajaib sebab di suatu malam ia muncul entah dari mana, kemudian tiba-tiba saja ia mampu berkomunikasi denganku. Aku ini seekor anjing dan ia tampak seperti manusia pada umumnya yang mengenakan pakaian serba putih. Ah Yeon sendiri kadang tidak paham aku ingin apa, lantas bagaimana caranya bocah laki-laki itu bisa memahami tiap kata yang keluar dari moncongku.

Ah, lagi pula itu bukan urusanku. Urusanku adalah bagaimana caranya bisa selalu melindungi dan membantu Ah Yeon mewujudkan mimpinya.

(𝟭𝟲 𝗝𝘂𝗻𝗶 𝟮𝟬𝟭𝟲)
Aku ingin membelai rambut Ah Yeon, sama seperti yang selalu ia lakukan kepadaku. Tapi aku takut jika kusentuh rambutnya, ia akan terbangun dan langsung meneriakiku sebagai rampok. Bagaimana pun, kan, ia tidak tahu bahwa aku itu Blue.

Tak apa. Aku sanggup bersabar. Aku akan setia menunggu hingga tiba waktunya kami berdua berkenalan, bertukar cerita, lalu mungkin entah kapan kami bisa saling jatuh cinta. Saat itulah aku akan meminta izin untuk membelai rambutnya setiap hari.

(𝟭𝟳 𝗝𝘂𝗻𝗶 𝟮𝟬𝟭𝟲)
Pria bernama Dong Woo tiba-tiba mengunjungi rumah kami. Aku terus menggonggong supaya ia mau pergi, tapi Ah Yeon malah memarahiku. Katanya, aku harus ramah kepada tamu yang datang baik-baik ke rumah kami. Huh, baik-baik katanya? Ia belum tahu saja siapa Dong Woo.

Kedatangan Dong Woo adalah untuk melamar Ah Yeon. Aku bersyukur karena Ah Yeon tidak bilang iya. Namun, Dong Woo marah-marah. Ia mengatai Ah Yeon sebagai wanita yang tidak tahu diuntung. Dong Woo tampak mulai mencengkeram pergelangan tangan Ah Yeon. Aku pun kembali menggeram sambil menunjukkan gigi-

gigiku yang tajam.

Rupanya tindakanku itu berhasil membuat hati Dong Woo menjadi ciut. Ia diusir oleh Ah Yeon. Ia akhirnya mau angkat kaki meski dengan mulut yang terus mengomel.

(𝟭𝟵 𝗝𝘂𝗻𝗶 𝟮𝟬𝟭𝟲)
Ah Yeon, maafkan aku. Sakitnya tertusuk ternyata tidak sesakit melihatmu menangis semalam suntuk.

Laki-laki sialan itu boleh saja sepuas hati memukuliku seperti dulu, bahkan aku sudah berjanji untuk diam andai ia berniat untuk membunuhku. Tapi hanya demi permintaanku untuk menjadi manusia seutuhnya, aku tidak bisa diam saja ketika Dong Woo mencoba untuk menodaimu.

Kehormatanmu adalah juga kehormatanku. Kau memang tuanku dan aku hanya seekor anjing jalang yang kamu tolong dan pelihara sejak setahun silam. Tapi sungguh, aku rela mati untuk membalas semua kebaikanmu selama ini kepadaku.

Tidak ada manusia yang sebaik kau dalam memperlakukanku. Tidak ada gadis yang selembut kau ketika membelai kepalaku. Aku sangat bersyukur telah

menjadi kesayanganmu. Aku sangat bahagia karena sudah menjadi teman berbagi makanan yang kau masak setiap hari.

Maafkanlah aku, Ah Yeon. Aku terpaksa menggigit paha, juga lehernya. Maafkanlah aku sebab ingin sekali ia mati saat itu juga. Aku tidak peduli andai perutku robek ditusuk olehnya. Dong Woo adalah pria yang dulu menyakitiku, tepat di malam kau menemukanku.

Ah Yeon, tidak pernah terlintas di pikiranku untuk meninggalkanmu. Aku ingin terus menemani dirimu bernyanyi sampai kelak kau berhasil menjadi penyanyi yang terkenal di Korea Selatan, bahkan dunia. Sayangnya, aku sudah melanggar pantanganku. Dan artinya, aku harus pergi.

Ah Yeon, maafkan aku. Cuma buku harian ini yang dapat kuwariskan untukmu. Meski mungkin akan terdengar menjijikkan di telingamu, izinkan aku untuk berkata bahwa aku, Blue, adalah seekor anjing yang telah lancang mencintai gadis secantik dirimu. Kau ibarat kesempurnaan bagi diriku yang jauh dari kata sempurna.

Terima kasih, Ah Yeon. Terima kasih atas segala kebaikanmu. Tolong, baik-baiklah tanpaku. Aku pamit.


***

Aku menyetir mobil menuju Danau Daecheong dengan perasaan yang campur aduk. Setibanya di sana, aku berdiri memandangi ribuan titik yang berkelip di angkasa. Tangan kiriku meremas tali merah yang dulu sering kulingkarkan di leher Blue.

“Pergi ke mana janjimu itu? Apa terbang ke langit dan menjelma menjadi bintang-bintang?”

Hati dan pikiranku segera dibanjiri oleh segala kenangan tentangnya.

“Kenapa? Salahkah aku jika memilih untuk menunggumu?”

Tangisku tak tertahan, pecah dan tumpah.

“Aku juga mencintaimu, Blue. Aku mencintaimu ….”

Blue, love is you
Denganmu Kumulai sesuatu yang disebut harapan

Oh, kaulah malaikatku
Sosok yang mengajarkan kesetiaan

Dan kasih tak berbatas

Kadang cinta seumpama kelam
Gelap hingga buta
Tapi tanpa malam
Tak ‘kan kupahami
Betapa indah bintang-bintang

— Selesai —
Jember, 19 Juni 2023

Event_Love_inSadness2

Tema: Cinta dalam Ketidaksempurnaan Genre: Romance – Fantasy
Nama akun: AP Mahardhika
Judul: Buku Harian Seekor Anjing di Galaksi Bimasakti
Jumlah kata: 1.687 kata (hanya isi)


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url