Kado Istimewa

Kuusap cermin riasku yang berdebu, entah kapan terakhir aku bercermin hingga setebal ini debu yang menutupi permukaannya. Aku betul-betul sudah lupa.
Aku menarik nafas, menatap pantulan wajahku di cermin. Seraut wajah yang perlahan menua dengan pasti. Kerutan di dahi dan di sudut mata tak lagi bisa kusembunyikan. Garis-garisnya semakin nyata, tak mampu lagi kusamarkan dengan foundation atau bedak yang tebal.
Dan kantung mata ini, ah, bagaimana cara melenyapkannya? Aku tak tahu pasti, kapan kantung mata ini mulai ada. Terakhir bercermin rasanya belum ada, kapan itu?
Kuraih sisir bergigi jarang, untuk menghindari kerontokkan ekstrim pada rambutku, yang sekarang terpaksa kupotong pendek. Kini rambutku terasa semakin menipis karena rontok. Kusibakkan rambut di atas dahiku, Ya Tuhan, sudah tak terhitung lagi jumlah uban-uban di sana. Hitam dan putih tampak mulai tak seimbang, warna putih semakin mendominasi.
Aku kembali menatap wajahku di cermin, sinar kelelahan tampak bergayut di mataku. Ke mana perginya binar mata kejora yang dulu begitu dipuja Mas Bandi?
*
Dulu, dua puluh lima tahun yang lalu, aku ingat, di bawah temaram cahaya purnama, Mas Bandi berlutut di hadapanku. Dia membawa seikat mawar merah yang indah, Mas Bandi memintaku untuk menjadi pendamping hidupnya.
Masih kuingat betul kata-kata indahnya kala itu,
“Jadilah selalu kejoraku, yang binarnya akan selalu menerangi gulita hatiku dan kedipmu akan menjadi jantung cadanganku.” Ah, Mas Bandi memang pandai merayu, sungguh, walau terasa gombal, nyatanya aku terhanyut. Aku mengangguk, menerima pinangannya di usia 25 tahun.
*
Kulewati bahtera rumah tangga yang penuh cinta dan bahagia. Mas Bandi sangat memanjakanku, bahkan seperti memujaku. Hadiah-hadiah yang indah dan bepergian ke tempat-tempat romantis, membuat hidupku terasa begitu sempurna.
Kami sangat menikmati saat-saat kebersamaan kami, setiap hari seperti berbulan madu. Mas Bandi adalah seorang pecinta yang hebat! Sepertinya bercinta denganku menjadi obsesi terbesarnya, tanpa pernah mengenal rasa lelah dan tanpa merasa perlu menghalang-halangi terpancarnya tanda pencapaian puncak hasratnya ke rahimku.
Aku begitu tersanjung, merasa menjadi perempuan paling beruntung memiliki suami yang begitu tampan dan mapan. Akupun tak pernah sanggup untuk menolaknya, aku terbawa gelora hasratnya yang terkadang begitu liar namun menyenangkan. Bagaimana seminggu masa menstruasiku, membuat Mas Bandi seperti gila dan uring-uringan, tak sabar menunggu rambutku basah keramas tanda usai.
*
Efeknya sudah terduga, satu persatu anakku lahir. Kelahiran yang sangat tidak teratur dan tidak direncanakan. Anak pertamaku belum berumur satu tahun ketika aku hamil anak kedua, terus berlanjut, hingga enam anak sudah keluar dari rahimku.
Akhirnya dokter terpaksa mensteril rahimku, karena pada saat kelahiran anak keenam, aku mengalami pendarahan hebat yang hampir merenggut nyawaku.
Tapi justru hal itu membuat Mas Bandi bersorak, semakin leluasa dia menuangkan hasratnya tanpa khawatir akan tumbuh janin baru di rahimku.
Dan aku? Aku lelah, aku harus terus berpura-pura puas dan bahagia setiap usai bercinta dengannya!
*
Sejujurnya, sejak kelahiran anak keenamku, aku tak lagi bisa merasakan kenikmatan itu. Bagiku, berpura-pura puas dan menikmati, itu cara paling mudah untuk menjaga keharmonisan rumah tanggaku.
Nyatanya, aku lelah!
Waktu siangku tersita untuk mengurus enam anak yang berdekatan usianya. Apalagi ketika mereka mulai masuk ke bangku sekolah, aku seperti kutu loncat. Berpindah dari satu sekolah ke sekolah yang lain, mengantar dan menjemput, membuatkan bekal mereka, membantu mengerjakan tugas-tugas sekolah mereka, belum lagi harus mengantar les ini dan itu sesuai saran Mas Bandi. Ya Tuhan, aku kelimpungan, aku tak punya waktu untuk diriku sendiri.
Betul aku punya asisten rumah tangga, tapi dia hanya mengerjakan urusan rumah tangga selain memasak. Mas Bandi tak mau makan, kalau bukan aku yang memasaknya.
*
Kelelahan fisik karena sering melahirkan dan harus mengurus enam anak yang usianya sangat berdekatan membuat hidupku tidak mudah. Sementara Mas Bandi tidak berubah, staminanya luar biasa dan menuntutku untuk melayaninya hampir setiap malam.
Akhirnya aku mengibarkan bendera putih, aku menyerah!
Aku melihat ekspresi kecewa yang sangat dari Mas Bandi. Dia tidur memunggungiku, usai permintaannya kutolak dengan halus. Kukatakan aku sangat lelah, tubuhku tidak fit dan malam ini aku ingin beristirahat.
*
Penolakanku rupanya sangat melukai perasaan Mas Bandi. Mas Bandi berubah dingin padaku. Aku bisa merasakan sikapnya menjadi penuh basa-basi. Sejak itu, dia tak lagi sering merayuku, dia lebih sering menghabiskan waktu malamnya di ruang kerjanya. Bahkan sering ketiduran sambil memeluk laptopnya. Maafkan aku, Mas ….
*
Anak-anakku mulai beranjak besar. Tenagaku tak lagi terforsir habis-habisan. Aku sudah bisa melatih anak-anak untuk menjadi tim yang solid, yang harus saling membantu dalam segala hal. Mengurus enam orang anak laki-laki memang tidak mudah, tapi aku berhasil membuat mereka menjadi tim yang hebat.
Aku mulai punya waktu untuk diriku sendiri. Aku kini bisa duduk menatap cermin riasku, meratakan pelembab dan bedak di wajahku, mengoleskan lipstik di bibirku dan merapikan alisku agar keindahan mata kejoraku kembali terlihat oleh Mas Bandi.
Walau aku tak terlalu yakin, karena kerutan-kerutan di sekitar mataku telah memudarkan binar kejoranya.
*
Malam ini, aku bersiap menyambut kepulangan Mas Bandi dari dinas di luar kota. Tiga hari Mas Bandi tak di rumah, baru aku menyadari rasa kehilangan dirinya. Aku bersumpah, akan membangkitkan kembali kegarangan Mas Bandi di tempat tidur. Aku berjanji, akan menjadi kucing liar yang akan menggodanya hingga dia kembali jatuh cinta padaku. Ah, tiba-tiba aku tersipu sendiri.
Aku sudah lima puluh tahun sekarang!
*
Aku sedang meratakan bedakku, saat kudengar ketukan di pintu. Aku menoleh, dan kudapati kepala Adit, anak sulungku nongol di pintu.
“Boleh masuk, Mam?” suaranya terdengar tak seperti biasa. Si Sulung ini, baru saja mendapatkan gelar sarjananya minggu lalu.
Aku membalik ke arah Adit, yang duduk gelisah di sisi tempat tidurku.
“Ada apa, Dit?” Kutatap wajah tampan anakku. Wajahnya benar-benar foto copy Mas Bandi sewaktu muda.
“Mam, Papa selingkuh!” Bagai tersambar petir aku mendengar ucapan Adit barusan.
“Dit…??” Aku menatap wajah Adit dengan kaget, dadaku mendadak berdebar kencang. Mungkin aku pernah menaruh kecurigaan itu pada Mas Bandi, tapi tidak sevulgar Adit saat mengatakannya.
“Banyak fotonya, Mam. Teman Adit yang kirim.” Aku gemetar, tubuhku terasa lunglai bagai tak bertulang.
Aku istighfar berkali-kali, saat Adit menunjukkan beberapa foto kemesraan Mas Bandi dengan seorang gadis antik berambut panjang. Dia terlihat masih sangat muda, mungkin seusia dengan Adit.
“Ini di Bandung Mam, Papa tiga hari ini dinas ke Bandung kan?” Aku bergeming, mencoba menata hatiku. Aku tak boleh lemah, aku tak boleh menyerah. Aku tak boleh hanya memikirkan perasaanku, aku juga harus memikirkan perasaan anak-anakku.
“Kita harus labrak perempuan itu!” Geram suara Adit, aku menggeleng, memberikan senyumku untuk menenangkannya.
“Tidak perlu melabraknya Dit, Mama akan pikirkan cara yang lebih halus untuk menyadarkan Papamu. Mungkin Papamu khilaf…,” aku mencoba menyabarkan diri, sesungguhnya dadaku berkobar karena api cemburu dan amarah.
“Adik-adikmu jangan sampai tahu, biar kita berdua yang atasi. Janji ya, Dit?” Tiba-tiba Adit memelukku, terdengar isaknya.
“Aku tak mau Mama dan Papa bercerai,” bisiknya terbata, aku mengelus punggung Adit dan menepuk-nepuknya lembut.
“Insyaa Allah, tidak akan ada perceraian. Mama punya rencana untuk menyambut kedatangan Papa nanti malam. Adit bantu Mama, ya?”
Adit melepaskan pelukannya, menatapku dengan mata basah, lalu dia mengangguk.
“Mama wanita hebat, kalau sampai Papa nyakitin Mama, akan kita gebugin Papa dan selingkuhannya itu rame-rame!” Adit mengepalkan tangannya, membuatku tersenyum geli campur ngeri, membayangkan satu tim volly anakku mengeroyok Papa dan selingkuhannya. Pasti akan menjadi berita besar dan viral.
*
Kutata kamarku dengan indah, kupasang beberapa tangkai bunga mawar merah dan lily di dalam vas, diletakkan di atas nakas di kedua sisi tempat tidur.
Aku juga mengganti bed cover dengan warna pink, agar terlihat romantis. Kusiapkan beberapa camilan, buah-buahan serta minuman segar di meja bulat yang ada di kamarku.
Aku menatap ke arah dinding di atas kamar tidurku, di mana biasanya terpasang foto indah pernikahan kami. Foto itu kuturunkan dan kubiarkan tergeletak di dekat pintu kamar mandi.
Sebagai gantinya, aku memasang banyak foto yang kuprint. Foto anak-anakku dengan masing-masing pacarnya, juga foto Mas Bandi yang sedang bermesraan dengan pacarnya. Semuanya kucetak di atas kertas ukuran A3, full color!
Paling atas kuletakkan fotoku sendiri berdampingan dengan sebuah kertas kosong yang kuberi tanda tanya besar.
Tak sabar aku menunggu Mas Bandi pulang.
*
Hampir pukul sebelas malam, ketika kudengar suara mobil Mas Bandi memasuki garasi. Anak-anakku sudah di kamarnya masing-masing.
Aku sudah berpesan pada Bi Ade asisten rumah tanggaku, untuk standby menunggu Mas Bandi pulang.
Jantungku berdebar lebih cepat, aku tidak tahu apakah rencanaku ini akan berhasil mengembalikan Mas Bandi atau malah membuatnya pergi dari kami?
Aku meredupkan lampu kamar dan pura-pura tidur.
*
Kudengar handle pintu kamarku yang tidak terkunci berputar. Aku bisa mencium aroma parfum maskulin Mas Bandi masuk ke kamarku. Ah Mas, betapa aku sangat merindukanmu.
Aku membuka mataku sedikit, melihat Mas Bandi menuju kamar mandi, lalu tiba-tiba dia memekik kaget. Pekikannya membuatku seolah-olah terbangun dari tidurku.
“Sudah pulang, Mas?” tanyaku pura-pura kaget.
“Kenapa foto pernikahan kita ditaruh di depan kamar mandi?” Mas Bandi mengangkat pigura besar itu dan membawanya ke arahku.
“Sudah ada gantinya Mas, lebih bagus!” Aku menyalakan lampu kamar dan melihat ekspresi kaget Mas Bandi, ketika matanya menatap ke arah tembok di atas kepala tempat tidur kami.
Aku melihat tubuhnya limbung, hampir terjatuh. Aku meraih tangannya dan menariknya duduk di tempat tidur. Aku duduk menjuntai sejajar dengannya.
“Ada yang ingin Mas jelaskan atau komentar dengan foto-foto itu?” Aku tersenyum, tepatnya memaksakan tersenyum sambil menatap wajah Mas Bandi yang mendadak pucat dan bibirnya bergetar.
“Saya tidak marah dan tidak akan melarang, kalau memang itu adalah pilihan Mas Bandi. Kebahagiaan Mas Bandi lebih penting untuk saya, walaupun mungkin tidak untuk anak-anak.” Kulihat mata Mas Bandi berkabut, ada air bening tergenang di sana.
“Mas mungkin lupa, hari ini adalah hari ulang tahun perak pernikahan kita. Kita sudah menikah selama 25 tahun, Mas. Dan terima kasih, Mas sudah memberikan kado istimewa yang indah itu.” Aku menunjuk ke arah tembok, tapi Mas Bandi hanya menunduk, tanpa suara.
“Keputusan ada di tangan Mas, saya tak bisa memaksa Mas untuk melanjutkan pernikahan kita hingga bisa ke ulang tahun emas, seperti yang pernah kita cita-citakan …,” suaraku mulai bergetar, karena emosi yang kutahan. Aku berusaha keras untuk tetap tenang saat mengucapkan semua kalimatku, padahal hatiku mendidih.
“Si-siapa yang mengirim foto-foto itu?” suara Mas Bandi bergetar.
“Malaikat yang berhati baik,” sahutku serak, suaraku tangisku sudah hampir mencapai tenggorokan.
“A-apakah anak-anak tahu?” suara Mas Bandi nyaris berbisik, terdengar bergetar menahan tangis.
Aku menggeleng, tak sanggup lagi bersuara, karena tangisku hampir meledak. Pertahananku nyaris jebol!
“Maafkan aku, Ma. Aku khilaf!” Tiba-tiba Mas Bandi menjatuhkan dirinya ke lantai, memeluk kedua kakiku, menciuminya sambil menangis tersedu.
“Maafkan aku yang telah menodai pernikahan kita, ampuni aku, Ma!” Tangisnya begitu pilu.
Ya Allah, aku tahu semua orang bisa khilaf. Aku tak punya hak untuk menghukum laki-laki yang telah menjadi ayah dari keenam anakku, yang telah berpuluh tahun mendampingiku serta membuatku bahagia.
Dia mungkin tidak sempurna dengan kesetiaannya, tapi dia sudah mengakui dan menyesalinya. Apakah satu kekhilafannya tak layak kumaafkan?
Tuhan, beri hamba kebesaran hati untuk memaafkannya, untuk menerima ketidaksempurnaannya. Lapangkan dadaku untuk bisa melupakan pengkhianatannya!***
Bandung Barat, 10 Juni 2023