Kutukan Cinta Florencia


Lelaki itu bernama Dexter. Dia datang dari Kota Monzana ke sebuah desa kecil bernama Furore. Tujuannya adalah melamar seorang gadis yang terkenal dengan kecantikannya. Lelaki itu tengah menunggu di sebuah bangku taman yang menghadap ke sebuah kolam.

Florencia, gadis yang konon kecantikannya melebihi Dewi Aphrodite, memandang Dexter dari atas balkon kamarnya. Dari sekian banyak lelaki yang datang melamar, Dexter adalah yang terburuk.

Dexter bertubuh gempal dengan perutnya yang buncit. Wajahnya lebar dengan hidung yang besar. Matanya bulat dinaungi kelopak yang berlipat. Bibirnya tebal berwarna kehitaman. Kulitnya cenderung coklat agak bersisik. Sungguh perpaduan yang berantakan.

“Tuan Dexter sudah menunggu, Nona.” Seorang pelayan memberitahu.

Flo hanya terdiam. Pandangannya lekat pada Dexter yang sesekali berjalan ke arah kolam, sampai kemudian lelaki itu memandang ke atas balkon–tepat saat Flo juga tengah menatap ke arahnya.

“Suruh ia kembali besok, Maureen. Aku akan berpikir lebih dulu.”

***

Flo adalah gadis ceria yang ramah dan baik hati. Dia merupakan putri dari keluarga terkaya di Desa Furore. Akan tetapi, sebuah insiden kebakaran telah merenggut kedua orang tuanya. Hanya Flo yang selamat dengan luka parah di separuh wajahnya.

Sejak itu, Flo menjadi gadis pemurung. Dia tak berani keluar rumah. Rasa percaya dirinya hilang, menguap bersama kenangan indah orang tuanya.

Untunglah ada Varro, penyihir muda di Desa Furore. Varro sering diam-diam menemani Flo yang membaca buku di bangku taman. Pohon akasia di sisi bangku yang mengering akibat kebakaran dibuat tumbuh kembali olehnya. Tentu saja tanpa sepengetahuan Flo. Hal itu membuat Flo bingung bercampur bahagia. Pohon itu menyimpan kenangan bersama orang tuanya. Ia melindungi Flo dari sengatan matahari saat bercengkrama dengan ayah dan ibunya.

Pernah suatu kali Varro mengajak Flo berjalan-jalan. Namun, Flo bersikeras menolak.

“Pergilah sendiri. Kau tak lihat aku sedang membaca buku?” Flo beralasan.

“Ayolah, Flo. Kau harus menghirup udara segar di padang rumput. Mari kita lihat sapi-sapi milikmu. Bisa saja salah satu sapimu hilang,” gurau Varro.

“Aku tak peduli.”

Flo masih ingat saat tak sengaja separuh wajahnya yang selalu ditutupi rambut itu terlihat oleh seorang anak kecil. Anak itu menangis ketakutan seperti melihat hantu. Sejak saat itu, Flo berpikir bahwa dia terlalu menyeramkan untuk berkeliaran di desanya.

Suatu hari, kejadian itu terulang lagi. Namun, kali ini Flo berpapasan dengan seorang perawat kuda. Flo merasa belum pernah melihatnya. Karena itu dia bertanya.

“Siapa kau?”

“Namaku Oz. Aku bertugas merawat kuda-kuda, menggantikan Pak Tua James yang sedang sakit.” Oz menunduk hormat. Dia tahu gadis di depannya adalah sang majikan. Pak Tua James yang memberi tahu.

Flo tersenyum samar. Pemuda itu terlalu tampan untuk menjadi seorang perawat kuda, pikir Flo. Saat Flo beranjak, rambutnya tersibak angin. Oz terkejut melihatnya. Kelopak mata kiri Flo seakan meleleh seperti lilin yang terkena api. Kulit wajahnya mengeriput mirip buah plum yang mengering. Sudut bibirnya agak turun–tak simetris.

Flo sama terkejutnya dengan Oz. Senyum di bibirnya langsung menghilang. Dia langsung menutup kembali wajahnya dengan rambut dan bergegas pergi.

Sejak itu Flo dan Oz kerap berpapasan, tapi tak pernah ada pembicaraan. Hingga akhirnya Oz memberanikan diri mendekati Flo yang sedang membaca buku di bawah pohon akasia.

“Oz?” Flo terkejut dengan kedatangan pemuda itu.

“Aku hanya mengantarkan ini untuk menemanimu membaca.” Oz membawa sepiring bisciola–roti dengan buah kering seperti ara dan kismis yang dicampur kenari atau hazelnut.

“Terima kasih,” ucap Flo.

“Oz,” panggil Flo saat pemuda itu membalikkan badan, “kau tak takut denganku?”

Oz menggeleng.

“Kalau begitu, mau makan bisciola bersamaku?”

Keduanya tersenyum.

Mereka dengan cepat menjadi akrab. Bersama Oz, Flo merasa nyaman. Untuk pertama kalinya dia tak khawatir ada orang lain–selain Varro yang melihat wajahnya saat rambutnya tertiup angin.

“Apakah pantas jika aku mengatakan cinta kepadamu?” tanya Oz setelah mereka semakin dekat.

“Kenapa tidak? Bukankah cinta milik semua orang?” jawab Flo tersipu.

“Tapi, aku hanya perawat kuda milik keluargamu. Aku makan dan hidup dari uangmu.”

“Aku tak pernah mengajukan syarat apapun. Kenapa kau yang merasa keberatan?”

Oz senang. Flo pun bahagia.

***

“Apa kau bersungguh-sungguh, Flo?” tanya Varro dengan kening yang mengernyit tak percaya.

“Tentu saja.”

“Flo, Oz itu hanyalah ….”

“Dengar, Varro. Jika ia bisa menerima keadaanku, mengapa aku tak bisa menerima ia apa adanya?”

“Batalkan pernikahanmu atau kau akan menyesal.” Suara Varro serupa perintah yang tak bisa dibantah.

Flo terkejut. “Siapa kau berani menghalangi pernikahanku?”

“Aku sudah memperingatkanmu, Flo.”

Flo tak habis pikir, mengapa Varro begitu bersikeras. Lagipula apa urusannya dengan dia?

“Oz adalah cinta pertamaku. Dia cinta sejatiku.” Flo menekan nada bicaranya.

Varro terkekeh geli. “Cinta sejati? Apa kau penggemar cerita Snow White?”

Flo bergeming.

“Kau berpikir dia adalah cinta sejatimu hanya karena mau menerima kondisi wajahmu yang mengerikan itu?”

Flo terhenyak. Bagaimana bisa Varro–orang yang senantiasa menemaninya–mengatakan hal kejam seperti itu. Berbeda dengan Oz yang mengatakan bahwa senyum Flo tetap cantik meski hanya tampak di sebelah wajahnya.

“Apa maksudmu?! Oz memang bersedia meskipun wajahku buruk rupa.” Flo mulai geram.

“Kau sungguh lugu, Flo! Tentu saja dia bersedia. Kau kaya! Jika menikah denganmu, maka semua ini menjadi miliknya.” Varro tak kalah sengit.

“Apapun akan kuberikan. Jika aku dan Oz bahagia, kenapa tidak?”

“Kau akan terluka, Flo. Dia tak benar-benar mencintaimu. Setelah semua menjadi miliknya, mungkin kau akan dibuang,” ucap Varro. Senyum mengejek tersungging di bibirnya.

“Bagaimana kau tahu?”

“Aku bisa membaca hatinya.”

“Omong kosong! Pergilah jika tak ada lagi yang ingin kau katakan. Dan, ingat jangan pernah menghalangi pernikahanku!” Flo berdiri.

“Tunggu, Flo!”

Flo membalikkan badan, bermaksud pergi meninggalkan Varro yang menurutnya sok tahu.

“Tunggu! Atau aku akan mengucap mantra kutukan!”

Flo tak peduli, dia terus melangkah. Namun, seketika langkahnya terasa berat. Kakinya tak mampu digerakkan. Lalu, tiba-tiba saja ada angin besar menerpa tubuhnya. Rambutnya berkibar menyibak wajah yang seperti memakai topeng sebelah. Kemudian sinar yang menyilaukan mata melaju cepat ke arahnya, membuat Flo refleks memejamkan mata. Kemudian, angin itu berhenti. Flo membuka matanya perlahan. Ia memeriksa tubuhnya. Masih sama. Ia tak berubah menjadi kodok atau domba.

“Apa yang kau lakukan?!” Flo mencoba menahan amarahnya.

Varro mengangkat bahunya. Wajah yang seolah tak bersalah membuat Flo semakin gusar. Flo melangkah mendekat ke arah Varro, matanya tajam penuh amarah.

“Mantra apa yang kau ucapkan?” selidik Flo.

“Lihatlah ke dalam kolam.”

Flo menurut. Ia terkejut mendapati bayangan wajahnya yang terpantul di kolam. Sungguh, ia tak percaya bahwa pantulan itu adalah dirinya.

“Kukira kau akan mengutukku menjadi kodok atau ….”

“Seekor babi?” potong Varro sambil terkekeh.

Mendapati wajahnya yang kini cantik tanpa noda, amarah dalam diri Flo mulai mereda, hanya ada kesal karena penyihir di depannya ini terus bercanda.

“Dengar, Flo! Wajah cantikmu ini adalah kutukan bagimu!”

Flo terperanjat mendengar ucapan Varro barusan. Dia melihat tak ada gurauan dalam matanya. Apakah sungguh ini kutukan?

“Bagaimana bisa kau mengutuk seseorang menjadi cantik? Omong kosong apalagi ini?”

“Karena kau tak percaya ucapanku, biar kau sendiri yang membuktikan. Carilah cinta sejati dengan wajah cantikmu.”

Flo tertawa. “Mungkinkah kau salah mantra? Atau mungkin kau tak pernah membaca dongeng Pangeran Kodok? Cinta sejati ditemukan ketika seseorang bisa menerima kekurangan. Bukankah mudah bagiku menemukan cinta sejati dengan wajah secantik ini?”

“Bukan hanya ketidaksempurnaan, terkadang cinta sejati pun diuji oleh kesempurnaan.”

“Baiklah, aku dengan senang hati menerima kutukanmu,” ucap Flo sambil tersenyum.

“Jika lelaki itu bukan cinta sejatimu, maka tepat di malam pertama pernikahanmu, ia akan mati.” Selesai mengucap itu Varro berlalu meninggalkan Flo yang masih tak percaya dengan ucapannya.

Ternyata kutukan itu nyata. Di malam pertama pernikahan Flo, Oz ditemukan tewas di kamar pengantin. Menurut tabib desa, Oz terlalu banyak minum anggur. Perutnya tak pernah tersentuh minuman mahal itu, jadi ketika anggur itu masuk terlalu banyak, lambungnya tak kuat.

Flo menangis sejadi-jadinya. Dia meratapi nasib malang yang menimpa dirinya. Bukan karena baru saja kehilangan suami, tapi dia baru saja mendapati fakta bahwa ternyata Oz bukanlah cinta sejatinya. Jadi, benar. Lelaki itu tak sungguh-sungguh mencintai dia apa adanya. Bahkan, ketika wajahnya kini telah menjadi cantik jelita.

Sejak saat itu, Flo takut untuk menerima lamaran dari para pria. Dia takut mereka hanyalah tergoda dengan parasnya. Kemudian, mati sia-sia di malam pertama. Karena itu, Flo terus-menerus menolak. Dia juga harus bersikap sombong dan arogan, agar para lelaki itu mundur dengan sendirinya. Banyak yang berpikir Flo terjebak oleh masa lalu dan tak dapat melupakan Oz, cinta pertamanya.

***

Sesuai keinginan Flo, pagi itu Dexter kembali. Kali ini Flo sudah menunggu di tepi kolam. Terdengar langkah kaki Dexter mendekat, Flo membalikkan badan. Saat wajah cantik itu memandang, bagai ada angin yang menerpa wajah Dexter dengan lembut, Dexter terpana. Kecantikan Flo memang luar biasa, apalagi memandang langsung dengan jarak dekat seperti ini.

“Duduklah, Tuan Dexter.” Suara yang begitu merdu keluar dari bibir merona itu.

Dexter masih bergeming. Tatapannya masih lekat pada wanita di hadapan. Kulit putih dan mulus bagai pualam tampak bersinar di bawah mentari. Rambutnya tergerai dimainkan angin sepoi-sepoi yang sejuk di pagi hari. Dexter memperhatikan bibirnya yang berucap namun tak jelas terdengar di telinga, ia terlalu fokus pada mata coklat yang dinaungi bulu lentik itu.

“Tuan Dexter?” Flo mengulang.

Dexter terkesiap. “A … E … I-iya?”

“Langsung saja, Tuan. Saya akan bertanya pada Anda. Mengapa Anda ingin melamar saya?” Flo berujar sambil duduk di bangku kayu.

“Entahlah. Hati ini yang menggerakkan. Mungkin di sini akan kutemukan cinta sejati.”

Flo menoleh ketika mendengar lelaki itu mengucap cinta sejati.

“Apa menurut Anda ada cinta seperti itu?”

“Entahlah. Tapi, …. Kuberi tahu, aku adalah lelaki dengan kutukan,” ucap Dexter lirih.

“Apa maksud Anda?” Flo mengubah posisi duduknya, sedikit menghadap Dexter.

Kemudian mengalirlah sebuah cerita dari bibir lelaki itu. Dexter adalah lelaki tampan lagi kaya raya. Semua wanita menginginkannya. Namun, seorang wanita tak terima saat Dexter menolak cintanya. Wanita itu pun meminta bantuan seorang penyihir untuk mengutuknya menjadi buruk rupa. Dan, ia akan kembali ke wajah semula jika ada wanita cantik yang mau menikahinya.

Flo tergelak mendengar cerita Dexter. “Apa Anda sedang menceritakan kisah Beauty and The Beast?”

“Kau tak percaya?”

Flo terdiam beberapa saat. Dia sadar bahwa sekarang ini dia pun ada dalam kutukan. Mana mungkin Flo tak percaya. Namun, apakah benar lelaki ini adalah cinta sejatinya?

“Bagaimana jika sebaliknya, saya dikutuk menjadi cantik untuk menemukan cinta sejati. Apakah Tuan akan menerima saya ketika nanti saya kembali ke wajah semula?” Flo bertanya dengan serius.

Dexter tersenyum samar. Dia tahu pertanyaan ini hanya jebakan. Jika dia menolak, pastilah dia juga ditolak. Dia hanya perlu menjawab ‘ya’ agar wanita cantik ini bisa dimiliki.

“Tentu saja. Jika kau mau menerima kekuranganku, mengapa aku tak bisa melakukan hal yang sama?”

Kalimat itu meluncur sempurna namun Flo merasakan sakit luar biasa. Kalimat itu persis dengan yang pernah dia ucapkan pada Oz dulu. Apakah lelaki ini tak akan mati sia-sia di tangannya? Pikiran itu kembali berkecamuk.

“Tuan, hati-hati saat menjawab pertanyaan. Anda bisa mati jika ternyata Anda bukanlah cinta sejati saya.”

Lagi-lagi Dexter tersenyum. “Sungguh, begitu lihai wanita ini membuat pertanyaan jebakan. Mungkinkah para pria yang ditolak atau yang mundur adalah mereka yang takut menjawab pertanyaan terakhir ini?” gumam Dexter.

“Aku bersedia mati untukmu.”

***

“Kenapa setiap ada pria yang datang melamarku, kau terus saja menghalangi. Mengatakan bahwa mereka hanya terpikat dengan kecantikan atau kekayaanku. Apakah kau tak punya pekerjaan lain, Varro?”

“Justru aku sedang menolongmu. Jangan sampai ada lagi nyawa yang melayang,” ucap Varro acuh tak acuh sambil memainkan rumput liar di sekitar kolam.

“Cukup! Kali ini aku yakin dia cinta sejatiku.”

“Kubilang, aku bisa membaca hati. Apa kau tak percaya?”

“Lalu apa aku harus sendirian seumur hidupku? Cepat cabut kutukanmu!”

“Tapi, nanti kau terluka, Flo. Mereka hanya memanfaatkanmu.”

“Persetan dengan luka! Sekarang pun aku sudah terluka! Kau pikir aku bahagia dengan wajah ini, hah?! Omong kosong dengan cinta sejati. Sampai mati pun aku tak akan mendapatkannya. Setiap pria yang datang, kau katakan mereka hanya memanfaatkan. Lalu di mana cinta sejati itu? Pasti tidak ada, kan? Kenapa tak kau biarkan saja dulu Oz memanfaatkanku! Aku dengan senang hati terluka untuknya!” Flo pergi meninggalkan Varro sambil menghentak-hentakkan kaki. Rupanya ia kesal bukan main.

“Karena aku tak ingin melihat kau terluka, Flo,” jawab Varro pelan sekali serupa bicara di dalam hati. Varro menatap Flo sampai hilang di balik dinding rumahnya.

Kali ini Flo tak ingin mendengarkan Varro. Wanita itu nekat menikah dengan Dexter. Tujuan mereka sama, sama-sama ingin menghapus kutukan. Mungkin dengan begitu, kutukan akan sirna.

Setelah menikah, ada satu syarat yang diajukan Flo pada Dexter. Dia tak ingin tidur bersama sebelum semua kutukan sirna.

“Aku mengerti. Kau pasti jijik tidur bersamaku. Baiklah, aku akan mengabulkan permintaanmu.”

Tak terasa seminggu telah berlalu. Meski belum sempurna, perlahan Dexter kembali ke wajah aslinya. Flo bisa melihat perubahan yang sangat dahsyat. Lelaki gempal itu kini lebih tampan dari sebelumnya.

“Kau lihat, Varro. Tak terjadi apapun pada Dexter. Dia baik-baik saja. Tandanya Dexter adalah cinta sejatiku,” ucap Flo di suatu siang yang terik.

Seperti biasa Flo dan Varro berbincang di bawah pohon akasia dekat kolam. Sementara Dexter sedang ke kota, mengurus bisnisnya yang sudah seminggu dia tinggalkan.

“Apa mungkin kemampuan sihirku sudah menurun? Aku jelas membaca hatinya. Dia menginginkanmu karena memiliki tujuan khusus.” Varro merasa heran.

“Sudahlah, Varro. Setiap hubungan pasti memiliki tujuan. Entah dia cinta sejati atau bukan, yang penting kami bahagia. Bukankah itu inti dari cinta?”

Varro menggeleng keras. Dia yakin dengan apa yang dia lihat. Dexter hanyalah memanfaatkan Flo. Nantinya, Flo akan terluka lagi, dan itu sungguh menyakiti hatinya. Varro tak ingin lagi melihat Flo menangis. Cukup baginya melihat gadis itu terpuruk saat kehilangan orang tuanya. Ditambah luka pada wajahnya yang membuat dia tak lagi ceria.

“Tidak,Flo! Cinta sejati adalah cinta tanpa syarat. Ia harusnya tak mengambil keuntungan. Sebaliknya, ia justru melindungi tanpa mengharap balasan, mengasihi tanpa ada batasan.” Varro bagai putus asa. Dia kemudian pergi dengan perasaan yang entah seperti apa.

Beberapa hari kemudian, Dexter kembali dengan wajah yang nyaris sempurna. Flo hampir tak bisa mengenalinya. Kini, kutukan dalam diri Dexter telah sirna. Dia pun menagih janji bahwa Flo harus bersedia menemani Dexter di kamarnya. Akan tetapi, Flo menolak. Kutukan Dexter mungkin telah berakhir, tapi kutukannya masih ada. Wajah Flo belum kembali seperti semula.

“Jadi, kutukan yang kau katakan itu benar? Kupikir itu hanyalah pertanyaan jebakan untuk menguji para pria yang melamarmu.”

“Tunggulah sampai besok pagi. Aku ingin memastikan dulu,” ujar Flo.

Dexter tak sabar. Dia meraih tubuh Flo dengan paksa. Sontak Flo berteriak dan berusaha melepaskan diri. Gadis itu menyambar benda apa saja yang ada di dekatnya untuk memukul tubuh Dexter yang besar.

Mendengar kegaduhan dari kamar sang majikan, Maureen meminta tolong pada Varro. Hanya penyihir muda itu yang bisa diandalkan jika Flo sedang marah atau sedih.

Varro merapal mantra, pintu kamar pun terbuka.

“Sudah kuduga. Aku tak mungkin salah membaca hati. Kau hanya memanfaatkan Flo untuk dirimu sendiri!” bentak Varro.

“Pergi! Bukan urusanmu!” Dexter mengangkat kerah baju Varro dengan mata menyala.

“Ada satu hal yang harus kau ketahui, Tuan Dexter,” ucap Varro santai. Di belakang Dexter, Flo memperhatikan dengan tampilan kusut masai.

“Pantaslah kutukan Flo belum bereaksi, karena terhalang kutukanmu. Kutukanmu mungkin berakhir. Karena syaratnya adalah jika ada wanita cantik yang mau menikahimu, maka wajahmu kembali seperti semula. Tak peduli apakah wanita itu mencintaimu atau tidak, kutukanmu tetap sirna.”

Sebenarnya Dexter sudah muak, tangannya mengepal siap melayangkan tinju, tapi dia masih menunggu Varro melanjutkan perkataannya.

“Kau tak tahu kutukan dalam diri Flo. Jika lelaki yang dinikahinya bukanlah cinta sejati, maka dia akan ….”

Flo menatap dua lelaki itu dengan wajah tegang. Akankah kejadian itu terulang lagi?

“… Mati.”

Tepat setelah Varro selesai bicara, seekor ular berbisa entah datang dari mana mematuk kaki Dexter. Dalam hitungan detik, dia tumbang. Flo berteriak histeris kemudian jatuh tak sadarkan diri.

***

Flo terbaring lemah ditemani Varro di sisi tempat tidur.

“Varro ….” panggil Flo lemah.

“Cabut kutukanmu. Aku tak mau lagi jadi pembunuh.” Flo terisak.

“Aku tak bisa, Flo. Kutukan yang telah terucap tak dapat dicabut.”

“Kenapa? Kenapa kau melakukan ini padaku?”

“Aku tak ingin melihatmu terluka, Flo.”

“Lalu apa ini? Kau terus melukaiku jika kutukan ini tak segera sirna.” Bulir air mata semakin deras di pipi mulus Flo.

“Ada satu cara untuk menghilangkan kutukanmu, Flo.”

“Apa itu?” Flo bangun dan bersandar di tempat tidur.

“Jika tiga kali kau gagal menemukan cinta sejati, maka kutukan akan berakhir dengan sendirinya.”

Flo termenung sejenak. “Apa kau memintaku mencari seseorang yang bersedia mati sia-sia?”

“Ini adalah jalan terakhir. Jika lelaki ketiga gagal, kutukan akan berakhir dan wajahmu akan tetap cantik.”

Flo memalingkan wajah ke jendela kamarnya. “Aku tak ingin ada korban lagi. Biarlah selamanya aku sendiri.”

Varro menghela napas. “Biarkan aku menikah denganmu.”

“Apa kau sudah gila?! Aku tak mau!”

“Ini untuk kebaikanmu, Flo.”

“Dengan melihatmu mati di depanku? Aku tak sekejam itu. Biarlah wajahku buruk rupa, asal kau tak terluka.”

“Bersiaplah. Kita akan menikah besok!” Varro kemudian pergi meninggalkan Flo yang terpekur sendirian.

***

“Kau gila, Varo!” teriak Flo sambil memukul dada Varro.

“Pernikahan ini tidak sah. Kau menyihirku hingga tak sadar melakukan ini semua. Aku tak mau menikahimu!” Flo terus mengomel.

“Katakan padaku, kita belum menikah, kan? Katakan, Varro!”

“Ssst ….” Varro menutup mulut Flo dengan telunjuknya.

“Wajahmu, Flo ….”

Flo belum paham dengan ucapan Varro. Dia berjalan ke meja rias di samping tempat tidurnya. Sebuah cermin dengan gaya kuno memantulkan wajahnya yang dulu. Wajah menyeramkan yang membuat seorang anak kecil menangis, wajah yang ingin dia buang namun akhir-akhir ini sangat dirindukan. Otak Flo bekerja dengan cepat, mencerna kejadian di depan matanya.

“Apa ini artinya kau ….” Flo masih tak percaya.

Varro bersedekap angkuh. Senyum terbit di bibirnya.

“Varro,” Flo mendekat. “Apa aku mencintaimu?”

“Ke-kenapa tanya padaku?” Varro gugup.

“Bukankah kau bisa membaca hati?”

“Aku hanya bisa membaca hati laki-laki.”

“Kalau begitu, apakah kau mencintaiku?”

“A-aku belum tahu.” Varro memalingkan wajahnya yang terasa panas.

“Coba baca hatimu!” Flo gemas.

“Kalau aku bisa membaca hatiku sendiri, sudah sejak lama kau kunikahi.”

Ucapan Varro barusan berhasil membuat wajah Flo bersemu.

“Tapi, Varro. Katamu, wajahku ini bukannya menyeramkan?” Flo merajuk.

“Lebih baik begini. Agar tak ada laki-laki lain yang mengejarmu lagi.”

“Hah! Cinta sejati macam apa ini,” gumam Flo.

“Terserah kau saja. Yang pasti kita sudah menikah.”

“Asal kau tahu, aku terpaksa.”

“Ya … ya … Aku juga terpaksa. Daripada mati sia-sia.”

Malam itu mereka habiskan untuk berdebat, saling mengumpat, namun saling melempar senyum.

Bekasi, 15 Juni 2023

#Event_Love_inSadness2
Tema  : Cinta dalam Ketidaksempurnaan
Genre : Romance, Fantasy
Akun   : Siti Robiah Al-Adawiyah Azzahra
Judul   : Kutukan Cinta Florencia


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url