Semua untuk Cinta


Suara berderak dari kayu yang terbelah di depan Nigel membuat ia menelan ludah. Tak jauh darinya, Jagala berdiri tegak. Keringat berlelehan melewati tubuh berbenggol-benggol itu. Untuk sesaat Nigel terpana, benarkah di hadapannya sekarang seorang manusia? Tubuh Jagala begitu besar dan padat. Wajahnya dihiasi janggut lebat dengan iris mata sewarna batu sapir yang menyorot tajam. Jangan lupakan tentang dua tanduk yang mencuat di antara rambutnya yang ikal. Daripada disebut manusia, Jagala lebih layak disebut monster buruk rupa. Namun, jangan berani mengatakan itu di depannya, dua bulan lalu seorang pengembara tanpa sengaja menyebutnya monster, kapak Jagala langsung menebas lehernya. Karena bagi Jagala ia adalah manusia seutuhnya.

Ibu Jagala adalah seorang manusia biasa. Sementara sang ayah, entahlah, ia sendiri bahkan tak tahu seperti apa rupanya. Sang Ibu menyembunyikan informasi tentang ayahnya rapat-rapat bahkan hingga ujung kematiannya.

Di dalam hidup Jagala hanya dua orang yang menganggapnya manusia, satu ibunya, satu lagi adalah Kareena—seorang wanita yang pernah ia tolong semasa kecil sekaligus cinta pertamanya. Inilah alasan kenapa hari ini Jagala merasa marah. Alih-alih datang sendiri menemuinya dan mengucap rindu, Kareena malah mengirim utusan dan memberikannya sebuah tugas yang tak mudah. Beruntung hari ini ia mampu mengendalikan amarah dengan baik dan memilih melampiaskannya pada setumpuk kayu. Kalau tidak, mungkin kapak di tangannya sudah berubah merah.

“Ba-bagaimana, Jagala. Apa kau menyetujui tawaran kami?” Gugup, itu yang Nigel rasakan tiap kali mata Jagala menatapnya.

Keringat pemuda itu terasa dingin dan membanjiri tengkuk. Andai ini bukan titah Kareena tak sudi rasanya ia datang ke hutan yang memakan banyak korban itu—korban kemarahan Jagala tentu saja. Rumor tentang betapa pemarahnya satu-satunya monster penghuni hutan itu bukanlah hal yang asing lagi untuk didengar. Hampir separuh penduduk negeri tahu dan menghindari untuk pergi ke hutan Rangol Selatan tempat Jagala tinggal.

“Aku tidak ingin berperang melawan apapun. Jika Kareena ingin aku datang padanya, aku akan datang tetapi dengan alasan yang lain,” ucap Jagala tegas.

“Ta-tapi Nona Kareena benar-benar membutuhkan pertolonganmu. Dia bilang hanya kau yang bisa membantunya menduduki tahta.” Nigel kembali mengemukakan alasan.

Akan tetapi Jagala tetap bergeming. Alih-alih menerima, ia justru kembali mengayunkan kapak membelah kayu bakar di depannya.

“Karena pertempuran seminggu lalu, Nona Kareena terluka, Jagala. Banyak tabib yang mencoba menyembuhkannya, tetapi belum ada yang berhasil.”

Mendengar itu Jagala menegakkan punggungnya. Ia menggertakkan gigi, amarahnya tersulut kembali. Dihampirinya pemuda itu. Lalu, dengan sekali ayunan tangan, dihempaskannya tubuh Nigel hingga menabrak pohon yang cukup jauh dari tempatnya berdiri semula.

Nigel menggeliat kesakitan. Namun, belum sempat ia bangkit, tangan besar Jagala kini berada di lehernya dan mengangkat tubuhnya seakan ia hanya serupa bulu.

“Bo-doh, apa yang kau lakukan hingga Kareena bisa terluka.” tanya Jagala dengan tangan yang terus mencengkeram.

“To … long Nona kami, Jagala.” Dengan suara yang terputus-putus, Nigel tetap berusaha membujuk.

Jagala melempar Nigel asal. Tanpa membuang waktu ia berbalik mengambil kapak besi yang menjadi senjata khas dirinya. “Antar aku menemui Kareena,” perintahnya pada Nigel yang baru bangkit dan terlihat kepayahan.

Nigel meludahkan darah dari mulut. Dilempar cukup jauh membuat tulang-tulangnya terasa remuk. Namun, ia harus menanggung resiko itu. Kata Kareena, cara terampuh membujuk Jagala adalah mengabarkan jika gadis itu terluka. Cinta Jagala pada Kareena begitu besar dan tak pernah disembunyikan. Dan Nigel sudah membuktikan itu.

Perjalanan menuju Negeri Tak Bertuan memakan dua hari perjalanan jika memakai kuda. Namun, dengan kesaktiannya Jagala menempuhnya cukup dengan sehari. Ia meninggalkan Nigel jauh di belakang. Ia berlari secepat angin berembus dan menerabas apa pun yang membuat langkahnya melambat. Tubuhnya yang besar tak menghalangi gerakannya sama sekali.

Awalnya Jagala pikir ia akan kesulitan menemui Kareena jika Nigel tak ada bersamanya. Jujur saja ia siap menebas siapa saja yang menghalangi langkahnya andai ia tak diijinkan melewati gerbang pembatas kota. Namun, ia salah. Pintu terbuka lebar. Semua orang menunduk saat melihat kedatangannya. Ternyata kabar tentang kedatangan dirinya telah tersiar lebih dulu. Dua orang pengawal menyambut Jagala dan menuntunnya menuju istana sesaat setelah ia melewati gerbang kota.

Jika biasanya istana berdiri dengan kemegahan bangunan yang bertingkat-tingkat dan luas, maka hal itu tak berlaku di Negeri Tak Bertuan. Istana di sana hanyalah bangunan tua di kaki bukit dengan bagian dalam yang berupa lorong-lorong panjang sampai ke dalam bukit itu sendiri. Ya, istana di sana berdiri di dalam gua dengan beberapa desa yang mengelilinginya. Pun jangan harap yang kau lihat adalah pemandangan layak. Desa itu bahkan terdiri dari beberapa gubuk-gubuk kecil beratap ilalang dengan bilah-bilah papan sebagai dindingnya. Rata-rata penduduk di sana ialah orang-orang yang terbuang dari Negeri Harapan. Mereka hidup di sana dengan membuat dinding kokoh yang membatasi gerak-gerik mereka sekaligus menghalangi pandangan orang luar.

Jagala mengembuskan napas berat saat menyaksikan kehidupan orang-orang itu. Selain miskin, mereka terlihat seperti penduduk biasa yang tidak pandai bertarung. Entah bagaimana Kareena-nya bisa mengandalkan orang-orang itu untuk menumbangkan Ratu sekarang. Jika dipikirkan kembali, kekuatan Kareena terlalu kecil untuk memulai sebuah pemberontakan. Sekalipun Kareena sendiri adalah seorang putri tiri dari ratu sekarang, tak banyak pihak yang bisa mendukungnya.

Ibu Kareena dahulunya ialah selir raja. Ia yang saat itu tengah mengandung Kareena diusir dari istana karena mengidap penyakit kulit yang tak bisa disembuhkan oleh tabib manapun. Dengan perutnya yang besar, Ibu Kareena terus berjalan menjauh dari istana. Tak ada desa ataupun kota yang mau menampungnya. Bau tubuhnya terlampau busuk. Kulitnya serupa sisik berwarna kehitaman yang jika terkelupas akan mengeluarkan aroma menyengat dan mengundang lalat-lalat berkerumun di sekitarnya. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, sampailah ia di hutan Rangol Selatan. Kedatangannya disambut hangat oleh ibu Jagala. Di rumah di tengah hutan itu pula lah Kareena lahir ke dunia diantar embusan napas terakhir dari sang ibunda.


“Jagala!” Setengah berlari Kareena menyongsong kedatangan teman masa kecilnya.

Gadis berambut panjang itu menerjang ke arah Jagala begitu saja. Dibiarkannya tubuhnya melayang, terayun, dan berputar dalam dekap Jagala sampai lelaki itu merasa puas dan berhenti. Tak peduli begitu banyak mata yang melihat adegan itu, tangan Kareena menyusuri pipi Jagala yang kasar dengan mata yang menatap sendu seakan-akan tengah memandang kekasih yang telah lama ia rindui.


“Bagaimana kabarmu, Jagala,” tanya Kareena antusias.

Rasa haru, rindu, juga cinta, seakan meledak di hati Jagala. Bukannya menjawab, ia memilih sekali lagi menenggelamkan Kareena dalam pelukannya erat. Aroma gadis itu begitu ia rindukan. Bayangan kebersamaan mereka di masa kecil terus berkelindan.

Kareena kecil akan selalu mengikuti kemana pun Jagala pergi: berburu, mendaki gunung, juga berlatih bertarung. Tak adanya teman, juga orang-orang yang takut acapkali melihat wajahnya membuat Jagala hanya mempunyai satu teman dalam hidupnya, dan itulah yang membuat Kareena istimewa. Kareena tak pernah menganggap Jagala berbeda.

Usai melepas rindu, Kareena membawa Jagala berkeliling istananya. Meskipun di luar terlihat sepi dan kecil, nyatanya aula dalam istana tersebut cukup luas hingga cukup untuk menampung sekitar lima ratus prajurit yang terlihat bersiap melakukan sesuatu.


“Lihat Jagala. Mereka semua adalah mimpi-mimpi ibuku.” Kareena menunjuk para prajuritnya dengan antusias.


Untuk sesaat Jagala menghela napas. “Apa kau yakin dengan pemberontakanmu ini, Kareena?” tanyanya lirih. Meskipun prajurit di depannya terlihat tangguh-tangguh tetap saja jumlah mereka terlalu sedikit.

Kareena menoleh. Ia tahu Jagala tengah meragukan kemampuannya. “Ya, tentu saja. Akan ku tebus semua ketidak adilan yang ibuku pernah rasakan di dalam hidupnya.”

Ada amarah dalam nada bicara Kareena dan Jagala tahu apa sebabnya. Dulu, ibunya pernah bercerita bahwa penyakit kulit yang ibu Kareena derita ternyata hasil sihir dari seseorang yang tak menyukainya. Lingkungan istana bukanlah tempat yang suci. Politik saling menguntungkan, ambisi, juga saling menjatuhkan tak pernah lepas dari sana. Terlebih saat itu ibu Kareena merupakan selir utama yang begitu disukai raja. Jadi siapa pun bisa menjadikannya target. Termasuk ratu yang bertahta sekarang. Selepas ibu Kareena diusir, sang raja yang konon begitu mencintainya terserang penyakit. Kata orang itu mala rindu. Tak mampu menahan dukanya, raja pun meninggal tepat lima bulan setelah Kareena lahir ke dunia. Itulah awal mula bagaimana ratu sekarang memimpin tanpa didampingi seorang raja.

“Jagala, apa kau mau membantuku?”

Pertanyaan Kareena membuyarkan buaian ingatan masa lalu dari kepala Jagala. Ia menatap Kareena lama sebelum akhirnya membuka suara. “Kau pikir untuk apa aku di sini padahal sejak awal sudah jelas pemuda itu berbohong tentang keadaanmu?”

Kareena tersenyum lebar mendengar itu.

Kareena lantas mengajak Jagala menuju ruang pertemuan. Di ruang yang hanya diisi meja panjang tanpa kursi itu, beberapa orang kepercayaan Kareena telah menunggu. Mereka antusias melihat Jagala. Bukan tidak mungkin kemenangan akan berpihak pada mereka jika makhluk setengah abadi itu mau turun ke medan perang.

Jagala adalah harapan.

***


Angin musim gugur menyeruakkan hawa panas yang memenuhi udara. Meskipun begitu, dibawah pimpinan Jagala, para prajurit Kareena terus berlatih tanpa peduli terik matahari membakar baju zirah yang mereka pakai. Orang-orang itu begitu antusias akan penyerangan yang mereka rencanakan nanti. Terlebih hari ini, Kareena mendapat sekutu baru dari Timur dengan tambahan prajurit lebih dari dua ribu orang.



Satu-satunya yang tak menyambut kerja sama itu hanyalah Jagala. Sebagai sesama lelaki ia tahu, pemimpin pasukan dari kerajaan Setugul itu menyukai Kareena. Ada cemburu yang membakar hatinya. Terlebih saat Kareena terus saja menampakkan tawa saat berbincang dengan lelaki itu



Hari sudah malam saat para pasukan berangkat menuju ke medan perang. Jagala yang saat itu menjadi panglima maju di garda terdepan. Dikesampingkan dulu rasa cemburunya. Baginya mempersembahkan kemenangan adalah bukti bahwa cintanya-lah yang paling besar.



Di bawah penerangan cahaya bulan, pasukan bergerak cepat. Kareena yang juga ikut dalam penyerangan kali ini memakai baju besi berlambang phoenix, bergerak di samping Jagala. Tak ada percakapan di antara keduanya. Sejak mendapat sekutu baru, Kareena sadar Jagala marah terhadapnya. Namun, romansa bukan kisah yang ia pilih untuk hidupnya saat ini. Menjadi ratu di Negeri Harapan adalah mimpi yang harus ia raih demi menebus kematian sang ibu tepat di saat hari kelahirannya.




Butuh dua malam bagi mereka untuk sampai ke gerbang Barat Negeri harapan. Terompet peperangan dibunyikan. Sekalipun mereka menyerang musuh di pagi yang masih buta, tetapi jiwa ksatria haruslah dijunjung utama. Tak ada penyerangan yang dilakukan secara diam-diam.



Lalu, dalam sekejap perang di antara kedua belah pihak pecah. Adu tombak, pedang, panah, berdesing memenuhi udara. Aroma amis darah mulai menguar. Embun-embun di pagi hari berubah merah di rumput-rumput yang gersang. Tubuh-tubuh bertumbangan dari kedua belah pihak. Langit dihiasi belasan ekor burung bangkai yang terbang berputar-putar seakan sedang merayakan pesta.



Jagala laksana hewan buas yang menerjang lawan. Tak kenal ampun. Kapaknya terus terayun. Berpuluh tentara lawan bahkan ratusan telah tewas di tangannya. Sebetulnya pasukan Negeri Harapan lebih dari sepuluh ribu orang. Tetapi tak ada yang sesakti Jagala. Panglimanya yang konon tersiar tangguh pun tak mampu berbuat banyak saat menghadapi manusia setengah iblis itu. Tubuh Jagala tak tertembus tajamnya pedang. Ujung tombak patah acapkali berusaha mengoyak kulitnya.



Di belakang Jagala, Kareena dan pemimpin Setugul, ikut meringsek maju menuju istana. Jalanan dalam kota lengang. Para penduduk menutup rapat pintu rumah mereka demi menghindari terlibat peperangan. Beberapa prajurit yang menghadang menjadi lawan tak berarti bagi mereka. Gerbang yang seharusnya kokoh melindungi para petinggi istana rubuh saat orang-orang Kareena menghantamnya dengan satu batang besar pohon dalam hitungan ke tiga.



Istana Harapan merupakan tempat yang luas. Pilar-pilarnya yang berlapis emas menunjukkan betapa jayanya kerajaan itu. Sembilan kastil tinggi simbol persekutuan sembilan negeri mulai hancur saat batu berukuran besar ditembakkan dari ketapel raksasa. Cairan kental berwarna merah dan putih layaknya sungai kecil mengalir di lantai tempat di mana beberapa tubuh hancur karena tertimpa reruntuhan bangunan.



Kareena memburu keberadaan Ratu Delusiana. Ia menyusuri lorong-lorong istana, kamar-kamar, hingga ruang bawah tanah tempat para tahanan demi menemukan lokasi dimana ratu bersembunyi. Namun, nihil. Seolah sang ratu dan anak-anaknya menghilang begitu saja.


“Kareena!”

Teriakan Jagala membuat gadis berkulit putih itu segera berlari dari ruang bawah tanah. Di aula besar nampak Jagala membawa ratu yang terlihat tak berdaya disertai lima orang wanita berpakaian mewah.


Kareena melangkah cepat. Dendam menyala dari matanya. Dengan pedang yang tergenggam erat di tangan, ia berdiri menantang di hadapan ratu yang dipaksa menunduk.


“Bagaimana rasa hukumanmu, Yang Mulia? Apakah nikmat?” sinis Kareena.



Ratu mendongak. Segaris senyum tercipta di sana. Sekalipun nyawanya diujung tanduk, keangkuhan masih tercetak jelas di wajah yang masih sangat cantik itu.



“Wah, ternyata sebelum kematiannya, wanita tua itu berhasil melahirkanmu. Hebat! Memang begitulah biasanya cara parasit terus bertahan hidup. Bagaimana rasanya terlahir dari rahim seorang jalang, hah!”



Meledaklah amarah dalam diri Kareena. Ia yang semula berharap mendengar rintihan permohonan ampun justru merasa dihina habis-habisan. Lantas dalam sekali ayunan pedang, kepala ratu terlepas dari tubuhnya. Darah merembes mengaliri lantai sesaat setelah ratu ambruk. Kelima anaknya berteriak histeris. Lalu, tanpa berpikir panjang lagi, Jagala juga ikut menebas mereka semuanya.



“Apa kau benar anak Selir Rosela?” Seorang wanita yang semenjak tadi bersimpuh bersama beberapa tawanan lain bertanya pada Kareena.


“Jadi benar Selir Rosella berhasil menghadirkanmu ke dunia? Syukurlah.” Wanita itu tampak lega meski Kareena tak menjawab pertanyaannya.


“Aku selir ke dua, teman baik ibumu. ” Wanita itu menjelaskan tanpa diminta. Matanya berbinar seakan-akan telah menemukan teman lamanya.


“Habisi mereka semua, Jagala. Hanya aku ratu di sini. Mereka yang mengaku teman, kerabat, saudara, adalah seseorang yang akan menusuk dari belakang,” perintah Kareena kemudian dan berlalu pergi dari aula.



Lalu, teriakan demi teriakan memohon pengampunan menggema dalam istana.


***


Upacara penobatan Kareena berlangsung sehari setelah ia berhasil menduduki tahta. Tak ada tawanan. Semua kerabat dan para pejabat istana yang masih dekat dengan ratu sebelumnya dibantai habis berikut anak-anak. Menurut Kareena itu cara terbaik untuk memutus tali dendam yang akan memicu pemberontakan di masa mendatang nanti.



Meskipun terdengar sangat kejam, beberapa negeri tetangga tetap mengajukan perdamaian pada dirinya. Desas-desus bahwa Kareena memiliki algojo serupa setan membuat hati mereka gentar. Tak terhitung sudah berapa pangeran dari jauh maupun dekat dengan sengaja mendekati Kareena demi memperkuat kerajaan mereka. Dan itulah yang membuat Jagala seringkali hampir habis kesabarannya. Walau Kareena seringkali membantah dan berkata tak tertarik dengan sebuah pernikahan, tetap saja api cemburu berkobar di hati lelaki itu.



“Aku akan pulang, Kareena,” ucap Jagala di suatu senja saat mereka sedang di balkon kastil tertinggi.


Negeri Harapan terlihat luas dari atas sana. Aktifitas para penduduk dapat terlihat dan itu memudahkan mereka untuk mengamati.


Kareena menurunkan teropong kecil yang ia gunakan untuk mengawasi keadaan. “Kenapa? Apa kau tak suka posisimu sekarang?”


Jagala menggeleng tegas. “Hidupku bukan di sini. Tugasku untuk menjadikanmu satu-satunya ratu di negeri ini juga telah selesai. Semua orang mengelu-elukan namamu sekarang. Lagi pula aku tidak yakin bisa membiarkan kapakku diam saja saat melihatmu menikah dengan salah satu pangeran itu.”



“Apa kau tak percaya padaku lagi, Jagala?” Kareena mulai berasumsi.



“Aku mencintaimu, Kareena. Keberadaanku di sini hanya akan menyiksa batinmu karena tak bisa memilih pangeran yang kau mau.” Lirih Jagala lagi.



“Bagaimana kalau kukatakan aku juga mencintaimu, Jagala? Apa kau akan percaya?”


Mendengar itu Jagala langsung menoleh, menatap Kareena yang berdiri di sebelahnya. Namun, betapa terkejutnya lelaki itu saat Kareena secara tiba-tiba mendekat dan mencium bibirnya begitu dalam juga lama.


Lantas apa yang selama ini Jagala tahan meledak seketika. Tak ada keraguan terlebih saat Kareena yang lebih dahulu merengkuh erat tubuhnya. Segala resahnya menghilang. Tak ada lagi niat untuk meninggalkan Kareena terlebih saat wanita itu terus menerus memanggil namanya penuh damba.


***


Berbulan-bulan setelah penobatan ratu baru, Negeri Harapan masih damai di bawah kepemimpinan Kareena. Jagala yang bertindak sebagai panglima kerajaan selalu membawa hasil yang memuaskan saat ditugaskan sebagai utusan ke beberapa negeri tetangga.



Akan tetapi sebagaimana waktu berlalu, keadaan tak selalu berjalan sempurna. Di malam saat hujan mengguyur deras permukaan bumi, Kareena melahirkan seorang putri. Andai Kareena sudah menikah dan memiliki suami, tentu ini berita terbaik untuk dikabarkan ke seluruh penduduk negeri. Namun, hubungannya dengan Jagala hanyalah sekedar penyatuan raga. Tak ada pernikahan atau sekedar pengikat bahwa mereka adalah sepasang kekasih di hadapan dunia.

“Musnahkan aib ini, Jagala. Hanya kau yang bisa melakukannya,” perintah Kareena sesaat setelah melahirkan bayinya.

“Apa?” Jagala tak yakin dengan apa yang didengarnya. Namun, saat Kareena hanya diam saja, ia sadar Kareena tak sedang main-main.

“Apa kau tega, Kareena? Dia darah dagingmu. Dia putri kita.”

Kareena menatap benci pada anak dalam gendongan Jagala. “Kau pikir untuk apa selama ini aku bersusah payah memakai pakaian besar berlapis-lapis saat di dalam istana? Untuk apa aku menolak para pelayan yang ingin melayaniku sekedar memakai baju, hah! Itu karena dia aib, Jagala. Dia sesuatu yang harus disembunyikan. Lagipula suatu saat dia akan merampas mahkota ini dari kepalaku. Aku tak akan membiarkan itu terjadi. Sebelum ia menjadi musuh yang sulit dikendalikan, akan lebih baik jika dia mati hari ini,” ucap Kareena dingin. Meskipun ia baru melahirkan, tak tampak gurat-gurat lelah menghiasi wajahnya yang angkuh.

“Kareena!”

“Jangan membentakku, Jagala. Ini sudah kuputuskan. Jika anak itu tetap ada, maka aku tak lagi bisa bersamamu.”

“Kareena, kau—.”

“Aku mohon, Jagala. Jangan biarkan anak itu merebut posisiku juga di hatimu. Biarkan aku tetap menjadi yang pertama sekaligus terakhir sebagai ratu yang ada dalam hidupmu.”

Lalu, dalam sekali ayunan kapak, bayi dalam dekapan Jagala kini tak lagi menangis. Kareena tersenyum, cinta Jagala begitu besar untuknya dan dia tak pernah meragukan itu.

“Datanglah padaku, Jagala.” Di atas pembaringannya, Kareena merentangkan kedua tangan. Dipeluknya Jagala yang berurai air mata.


Itu untuk pertama kali dalam hidup Jagala, ia menangisi sesuatu.


“Jangan bersedih, Jagala. Selamanya aku akan jadi milikmu. Kau tak butuh yang lain lagi. Cukup aku.” Tekan Kareena di antara kalimat penghiburannya.


“Jagala, bisakah aku meminta tolong sesuatu?” Kareena mengurai pelukan. “Aku ingin selalu bersamamu, Jagala. Hidup abadi tanpa takut akan maut.”

“Maksudmu?”

“Berikan aku darah ayahmu, Dewa Hephaestus. Aku dengar darah dewa bisa membuat manusia kekal selamanya.”

“Hephaestus? Kata siapa dia ayahku? Kata orang aku anak iblis, Kareena. Bukan anak seorang Dewa.” Jagala berucap tak percaya.

“Sebelum ajal menjemput ibumu, ia menceritakan semua itu padaku, Jagala. Kumohon. Aku hanya ingin terus berada di sisimu.” Kareena menggenggam erat tangan Jagala dan mengecupnya singkat.

“Apa tak cukup dengan pengorbanan anak kita, Kareena? Apa harus ayahku juga?” Jagala bertanya lirih.


“Ya, cinta butuh pengorbanan, Jagala. Jadikanlah aku ratu terakhirmu maka kau juga akan kujadikan satu-satunya lelaki yang ada dalam hidupku.”



Jagala mengangguk. Cintanya untuk Kareena memang akan selalu sebesar itu.


Jeblogan, 19 Juni 2023

#Event_Love_inSadness2
Tema : Ratu Terakhir
Genre : Romance Fantasy
Nama akun : Wida Kharisma Al Qorni
Judul : Semua untuk Cinta


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url