Ian dan Setan Penyelamat



Ian tidak tahu dari mana gadis itu berasal. Dulu, Ian berpikir gadis bernama Han itu adalah setan yang dikirim tuhan. Malam itu, Ian memergoki Han sedang menikmati makan malam. Tubuh ibunya terkapar di lantai, darah menggenang, mata ibunya melotot mengerikan. Di samping mayat itu, Han duduk, menjilati jari-jarinya yang berlumuran darah.

Itu pertemuan pertama mereka. Ian bisa melihat sepasang mata berwarna merah menyala, rambut putih keperakan, dan taring runcing yang menyembul dari bibir makhluk itu. Ian pikir dia juga akan mati. Akan tetapi, ketika matahari mulai muncul dan sinarnya menerobos jendela, sosok itu hilang. Meninggalkan Ian bersama bangkai ibunya.

Ian terdiam cukup lama, terpaku di tempatnya–di depan pintu–mencoba menggali perasaan selain rasa kosong di hatinya. Dia berharap bisa sedikit saja merasa takut, atau sedih, atau mual, atau meneteskan air mata untuk kematian ibunya yang mengenaskan. Namun, hingga anjing kesayangannya masuk dan mengais-ngais perut Marta yang menganga, Ian masih tidak merasakan apa pun meski anjing itu menyeret jeroan dan melahapnya tepat di hadapan Ian.

Saat itu, Ian berusia tiga belas tahun. Ketika orang-orang bertanya apa yang terjadi, Ian gelagapan. Dia tidak tahu bagaimana menceritakan kejadian itu. Sempai berminggu-minggu rumahnya didatangi polisi, memeriksa sudut-sudut rumah, menanyakan, lalu pergi.

Orang-orang bilang, Ian mulai kehilangan kewarasan karena kematian Marta. Padahal Ian hanya mengatakan bahwa ibunya dimakan wanita bermata merah. Neneknya–yang kemudian merawat Ian–marah setiap kali mendengar cerita itu. Akhirnya Ian diam, dia menyimpan rapat-rapat kenangan pahit itu. Atau manis? Nyatanya, hampir setiap malam Ian mendoakan kematian Marta. Kematian paling mengerikan. Ian benci wanita itu karena memukulinya, meneriaki, atau mengurung. Hampir seluruh tubuh Ian pernah berciuman dengan ujung rokok Marta.

Ian benci Marta dan ibunya pun begitu. Ian tidak pernah tahu alasan sebenarnya, dia pun tidak ingin mencari tahu. Otaknya masih terlalu segar mengingat saat Marta memasukkan sesuatu ke dalam minuman bapaknya. Laki-laki itu mengejang sesaat setelah menenggak alkohol. Ian masih ingat bagaimana tubuh lelaki itu menerjang-nerjang, menggeliat persis seperti kucing yang sekarat.

“Tetaplah diam, Ian. Laki-laki tak berguna itu pantas mati.” Saat itu Marta berbisik lalu mengunci Ian di dalam kamar.

Ian tidak tahu apa lagi yang Marta lakukan. Tapi dia yakin ibunya sengaja membunuh bapaknya. Hanya saja Ian tidak peduli. Keluarganya sudah bobrok sedari awal. Maka Ian berbikir dan berdoa agar ibunya pun mati saja.
.

Kejadian itu sepuluh tahun yang lalu. Waktu yang cukup seandainya Ian ingin memulai kehidupan normal. Hanya saja Ian lebih menyukai kehidupannya yang suram. Baginya, manusia adalah makhluk paling mengerikan karena tidak terprediksi dan senang bersandiwara. Karena itu, Ian sebisanya menghindari interaksi dengan orang lain. Dia menjalani kehidupannya dengan pola yang teratur dan berulang. Bangun, bekerja, dan pulang.

Ketika senja merona dan awan dipenuhi bias jingga, Ian berdiri di depan jendela dengan perasaan tak sabar. Lima tahun terakhir, pemuda itu mulai membenci matahari. Dia selalu tak sabar menanti malam. Karena ketika matahari lenyap, Han akan datang berkunjung.

Gadis itu, makhluk yang dulu Ian sebut setan penyelamat. Seolah-olah sengaja direncanakan Tuhan, Ian kembali memergoki Han menyantap neneknya. Gadis itu hanya meninggalkan leher yang koyak. Belakangan Ian tahu, darah nenek tua tidak sedap rasanya. Han yang mengatakannya di pertemuan ketiga mereka. Lalu pertemuan selanjutnya, seterusnya, sampai mereka menjalin hubungan yang terbilang aneh.

“Kenapa kau tidak memakanku?” Ian bertanya pada suatu waktu. Saat itu Han sedang memantau kucing anggora tetangga depan dari jendela kamarnya.

“Karena kau tidak takut padaku. Aku suka itu,” jawab Han. Suaranya terdengar ringan.

Ian tidak peduli asal gadis itu, makhluk jenis apa dia, atau meski Han dengan terang-terangan telah menghabisi dua keluarganya. Ian hanya tahu bahwa dia senang saat Han datang malam-malam. Mendengar cerita-cerita Han tentang bangsa mereka adalah dongeng kesukaaan pemuda itu, dan tawa Han serupa candu. Ian seperti pecandu narkoba yang gila melewati malam tanpa kehadiran Han.

“Selamat malam.”

Ian tersenyum, tidak terkejut dengan kedatangan Han yang tiba-tiba. Gadis itu berdiri di sudut kamar, mulutnya menempel pada leher anjing berbulu cokelat gelap. Menyesap darah hewan itu dengan nikmat. Setelah puas, Han melempar tubuh anjing itu ke dalam tempat sampah di samping meja. Tangan dan wajahnya penuh bekas cakaran yang perlahan menutup dan hilang.

“Lagi?” Ian menelengkan kepala sambil bersidekap. Dia tidak tahu dari mana Han mendapatkan hewan itu, Ian hanya sedikit keberatan karena lagi-lagi gundukan tanah di belakang rumah akan bertambah satu.

“Anjing itu menggonggongku. Jadi….” Han mengendikkan bahu, kemudian membaringkan diri di atas tempat tidur. Meninggalkan bercak darah di atas seprei yang menetes dari mulutnya.

“Omong-omong, kau baik-baik saja?” Han duduk, menatap Ian dengan prihatin.

Ian suka bagaimana Han selalu perhatian. Hal yang tidak dia dapatkan dari siapa pun. Gadis itu seperti bisa membaca suasana hatinya. Mengabaikan pertanyaan Han, Ian memilih membaringkan kepalanya di pangkuan Han yang sedingin es, membiarkan gadis itu membelai lembut rambutnya dan membaui aroma tubuhnya yang–kata Han–sangat manis.

“Katakan padaku, Ian.” Han berucap tak sabar. Nada bicaranya selalu lembut, suaranya sehalus permukaan air, walau Ian tahu Han sedang menahan marah.

“Aku benci laki-laki Itu, Han. Dia selalu meneriakiku,” ucap Ian. Suaranya jelas bergetar.

Terakhir kali mengadukan hal semacam itu, Ian dikejutkan dengan kematian teman SMA-nya dengan kondisi nyaris serupa dengan ibunya dulu. Jadi, Ian tidak akan kaget jika besok, atau beberapa hari ke depan akan ada berita semacam itu memenuhi laman media sosial.

“Ian tidak perlu khawatir.”

Ian tidak tahu apa lagi yang Han ucapkan. Dia memeluk tubuh gadisnya, tenggelam dalam hawa dingin dan debar dadanya yang menggila. Pelukan Han selalu menjadi tempat paling nyaman. Ian, jika bisa, ingin selalu berada di dekat Han selamanya.
.

Ian bangun esok paginya, mendapati kamar yang kosong dan kesunyian yang sudah tak asing. Han sudah pergi, tentu saja. Ian terbiasa dengan pola berulang itu. Pagi dengan kehidupan menyebalkan, dan malam penuh bahagia.

Mengingat percakapan dengan Han semalam membuat Ian mengurungkan niat untuk mandi pagi. Dia kembali merebahkan diri sambil menunggu notifikasi ponsel tentang berita kematian rekan kerjanya.

Benar saja, tidak berapa lama berita itu muncul memenuhi media sosial. Seorang laki-laki ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan seperti diserang hewan buas berkuku tajam. Korban tercabik-cabik, potongan-potongan tubuhnya berserakan di atas tempat tidur dengan kepala yang tidak di temukan di mana pun.

Ian menahan-nahan diri agar tidak tertawa, tapi tetap saja mulutnya menyumbang senyum simpul setelah membaca garis besar berita itu. Ian meletakkan ponsel setelah mengetik ucapan bela sungkawa di grup toko tempatnya bekerja. Sebagai basa-basi paling memuakkan. Dia turun dari ranjang, lalu tertegun beberapa saat melihat ceceran darah di lantai.

Noda merah kecoklatan dan hampir mengering itu seperti saus yang sengaja di teteskan. Tetes-tetes itu mengarah ke bawah tempat tidur. Ian mendesah, dia berjongkok, melongok, dan mendapati kepala dengan mata melotot di sana.

Ian tertawa geli. Terkadang Han seperti kucing peliharaan yang gemar berburu dan membawa kepala buruan kepada majikan sebagai hadiah. Dengan pegangan kemoceng yang melengkung Ian meraih benda menjijikkan itu. Dia bergidik setelah mengamati kulit yang koyak, daging yang lumer, dan tulang leher yang menonjol keluar dari balik lapisan kulit leher yang tercerabut. Membayangkan bagaimana Han melepas kepala itu cukup membuat Ian merinding sekaligus geli.

Karena tidak mungkin menenteng kepala ke halaman belakang pagi-pagi, Ian memutuskan menyimpan kepala itu di dalam kulkas. Dia akan menguburnya nanti malam bersama bangkai anjing yang tidak sempat dia kubur subuh tadi. Sesaat Ian menimang-nimang, perlukah dia membeli bunga krisan putih sebagai ungkapan berduka saat menghadiri pemakaman atau tidak.
.

Ian baru saja meratakan tanah tempatnya mengubur dua bangkai sepulang dari rumah duka. Dia berniat mandi dan menunggu Han di kamarnya. Ini hari yang berat karena Ian harus pura-pura bersimpati. Dia ingin menghabiskan malam dengan bermanja bersama Han.

Akan tetapi, rencana manis itu terusik saat beberapa orang berseragam polisi mendatangi kediamannya. Ian tidak ingin mendengar apa-apa yang mereka ucapkan, tapi Ian yakin salah-satu dari mereka menyebut rumah di seberang rumah Ian. Polisi wanita berambut hitam panjang itu mengatakan bahwa mereka menerima aduan atas aktivitas mencurigakan yang dilakukan Ian.

Dua orang polisi memeriksa sekitar kebun belakang, berjongkok di depan tanah bekas galian yang belum sempat ditumbuhi rumput atau ditanami bunga sebagai kamuflase. Merasa terpojok, Ian mengangkat kedua tangan. Angin berembus, membawa aroma amis darah dan hawa dingin.

“Apa yang kau kubur di sana?” tanya polisi cantik itu.

Tersenyum lebar, Ian menelengkan kepala. Dia terkekeh kemudian berkata, “Kepala dan bangkai anjing.”

Adalah kesalahan besar polisi-polisi itu berkunjung saat matahari tenggelam. Mereka jelas mengganggu waktu kebersamaan Ian dan Han. Sekejab saja, angin berembus kencang merobohkan pot-pot plastik, Ian merasakan rengkuhan di perutnya, lalu tubuhnya terangkat, melesat cepat meninggalkan suara teriakan dan desingan peluru di belakang sana. Selebihnya, hanya desau angin yang serasa mampu menyayat telinga.
.
Han menurunkan tubuh Ian di depan sebuah gang yang gelap. Gadis itu memeluk Ian sampai pemuda itu terdorong beberapa langkah ke belakang. Ian tidak peduli di mana kini dia berada, asalkan bersama Han ke mana pun tidak masalah baginya. Mereka berpelukan cukup lama.

“Aku takut tidak bisa bertemu denganmu lagi, Han,” ucap Ian parau. Dikecupnya kepala Han, dadanya berdebar-debar.

“Aku juga.” Han mengeratkan pelukan. Hampir-hampir membuat Ian kesulitan bernapas.

Suatu waktu–Ian lupa pertemuan keberapa–pemuda itu pernah menawarkan diri kepada Han untuk menjadikannya sejenis dengan gadis itu. Ide itu muncul begitu saja setelah dia menghabiskan dua jam duduk membaca buku fiksi tentang kisah romansa vampir dan manusia. Berpikir jika Han menggigitnya sedikit saja, Ian mungkin bisa menjadi vampir. Atau itulah satu-satunya yang memenuhi kepalanya saat itu. Han vampir bukan setan.

“Tidak, Ian. Gigiku beracun. Kau akan mati alih-alih menjadi sepertiku.” Malam itu, ditemani cahaya lilin dan asap tipis yang menari-nari, Han menolak permintaan Ian.

Sejak itu dan malam-malam selanjutnya, Ian tidak pernah mengulangi permintaan itu lagi. Bibir Han yang ranum dan merah akan mengerucut dan binar matanya meredup. Ian tidak tahan melihat raut sedih itu. Dengan perasaan cintanya yang menggebu-gebu Ian akan berpasrah jika mati karena usia tua dalam dekapan Han. Ian yakin Han amat menyukainya juga. Mereka memiliki ikatan yang kuat, sebab menurut Ian pandangan mata tidak pernah berbohong.

Ian tersentak saat Han mendorong tubuhnya hingga punggungnya membentur pagar tembok. Ian meringis, dia tersadar ada lelehan darah dari balik kemeja putihnya. Cairan kental itu mengalir dari bahu dan menetes dari ujung-ujung jemarinya. Satu peluru bersarang di bahu pemuda itu, menimbulkan
rasa panas dan berdenyut-denyut, aroma amis menusuk penciumannya.

Tidak jauh darinya, Han berdiri dengan posisi aneh. Dia setengah membungkuk, mencakar-cakar lengannya sendiri. Gadis itu mengerang seperti kucing yang mendapat mangsa tikus montok.

Han merengsek dengan gerakan cepat, tangannya mencengkeram bahu Ian. Kukunya yang tajam menusuk dan mengorek luka tembakan. Ian menahan tangan kurus pucat itu sebisanya, memanggil nama Han berkali-kali.

Kemudian, pukulan kuat mendarat di kepalanya, tubuh Ian terlempar jauh. Punggungnya membentur pagar tembok untuk kedua kalinya, sebelum jatuh dengan keras di atas tanah berkerikil. Ian merasa nyeri dan sakit di sekujur tubuh, dia merasa seakan-akan kepalanya pecah, pandangannya mengabur. Saat berikutnya, tangan Han yang dingin telah berada di lehernya. Mencekiknya.

“Han… sadarlah kumohon.” Ian mengerang, suaranya tercekat. Dia kesulitan menarik napas

Pandangan mereka bertemu. Urat-urat merah muda tampak jelas di wajah Han. Matanya merah menyala, taringnya mencuat dan meneteskan liur.

Ketika Ian tenggelam dalam keputusasaan bercampur senang jika akhirnya mati di tangan Han, mata gadis itu perlahan meredup. Tatapan nyalang itu berganti lapisan kaca-kaca yang luruh satu-satu di atas wajah Ian.

Han melepas cengkeramannya dari leher Ian, mulutnya berulang-ulang mengucap kata maaf. Dia membantu Ian bersandar pada pagar tembok. Melihat Ian kesakitan mangalahkan rasa haus yang menderanya sesaat tadi. Sedangkan pemuda itu bersandar dengan pasrah. Bahu kanannya mulai mati rasa. Dia menatap Han lekat, takut kalau-kalau mati tanpa menatap wajah Han, kesayangannya.

“Ian, apa kau benar-benar ingin menjadi sepertiku? Hidupmu akan sangat sulit,” ucap Han pelan.

Ian terkekeh, hidupnya memang selalu sulit sebelum bertemu Han. Namun, saat bersama gadis itu dia merasa dibutuhkan, diistimewakan. Ian merasa benar-benar hidup hanya saat bersama gadis pengisap darah itu. Karena hanya Han satu-satunya yang menyebutnya baik dan memuji betapa indah mata Ian.

“Jadikan aku sepertimu, Han. Aku mohon. Aku tidak ingin mati secepat ini.” Ian mengiba. Waktu kebersamaan mereka terlalu singkat bagi Ian. Dia ingin menghabiskan lebih lama lagi. Selamanya. Abadi.

Wajah Han terlihat bergerak-gerak, merenggang dan menyusut, suaranya seperti dengung lebah, lalu pandangan Ian gelap sempurna. Meninggalkan lengkingan Han yang bergema sepanjang lorong gang.
.

Ian membuka mata dan mendapati langit-langit berupa batuan kecoklatan. Di atas meja batu persegi panjang tepat di tengah ruangan, Ian duduk dalam kebingungan yang menyebalkan. Ruangan itu pengap, pendar api menari-nari dari obor yang ditancapkan di sudut-sudut, ruangan kecil itu dipenuhi cahaya jingga kemerahan bercampur asap.

Di sudut paling kanan, seonggok tubuh terikat pada pancang kayu. Ian turun, berjalan mendekati sosok yang mengerang dan merasa tak asing dengan postur tubuh berlebih itu. Tetangga depan rumah. Rasa kesal langsung saja memenuhi dada Ian.

Ian tertegun saat jarak mereka tinggal satu langkah. Urat-urat wanita itu terlihat jelas di mata Ian. Terlalu jelas. Dia bahkan bisa mendengar aliran darah yang memabukkan. Ian merasakan desakan membara dalam dirinya saat menatap leher gempal yang dialiri keringat dan sedikit tertutupi rambut yang berantakan. Spontan rasa haus menderanya, pria itu menelan ludah.

“Lakukan. Dia wanita yang mengadu pada polisi, Ian. Anggap saja ucapan selamat datang ke dunia baru dariku.”

Ian mendengar suara yang tak asing dari belakangnya. Dari sedikit wajah Han yang mampu dia lihat, Ian tahu gadis itu sedang tersenyum lebar, matanya berkilau menyala.

Detik-detik yang mengerikan, Ian akhirnya mengalah pada hasrat haus yang menggebu-gebu, dia menancapkan giginya dan mengoyak leher wanita itu. Menyesap darah dan merasai sensasi hangat yang manis memenuhi mulutnya. Ian beberapa kali melihat Han melakukannya, tapi dia tidak pernah tahu bahwa rasanya begitu lezat dan nikmat. Ian mendorong kepala mangsa pertamanya itu ke kanan dengan tidak sabar, terdengar suara tulang leher patah, darah muncrat dan tubuh itu menggelepar.

“Kau melakukannya dengan baik, Sayang.” Han menyentuh pundak Ian, mengelap mulut kekasihnya yang belepotan.

“Apa kita akan bersama selamanya?” tanya Ian. Direngkuhnya tubuh Han dan terkejut ketika tubuh gadis itu terasa lebih hangat dan nyaman, alih-alih dingin yang biasanya sanggup membuatnya menggigil.

“Tentu, Ian. Kini kau bagian dari kami.”

Suara-suara derap langkah terdengar. Tujuh sosok berpakaian serba hitam memasuki ruangan. Mereka memiliki wajah hampir sama; pucat, mata menyala dengan pupil lonjong, kurus dan terlihat rapuh, dengan tulang pipi menonjol dan leher kurus.

Ian menyadari ada sesuatu yang memenuhi dadanya. Perasaan aneh yang belum pernah dia rasakan selama menjadi manusia. Semacam perasaan yang mengalirkan rasa panas dari perut, naik ke leher, dan menggumpal di matanya. Ian tidak pernah mendapat penerimaan setulus ini.

“Polisi-polisi itu, mereka tidak seharusnya menembak sembarangan, kan? Kami sudah menghabisinya.” Han membelai pipi Ian. “Kita akan pergi malam ini ke tempat yang jauh. Berkumpul bersama keluargaku.”

“Kami ada banyak. Hanya saja tersebar dalam kelompok kecil di penjuru dunia,” timpal salah satu dari mereka yang terlihat paling muda.

Butuh waktu bermenit-menit bagi Ian mencerna apa yang baru saja terjadi. Saat dia mulai mengerti, terbitlah senyum lebar di wajah pemuda itu. Dia akan abadi seperti Han.

“Dia adikku Rin. Dia yang menjadikanmu vampir seperti kami. Virusnya tidak membunuh tapi mengubah.” Han menggenggam tangan Ian, membawanya mendekati ketujuh sosok yang berdiri dengan senyuman tulus.

“Terima kasih.” Ian memeluk Han. Dadanya sesak oleh rasa bahagia. Untuk pertama kalinya dia merasa diterima oleh orang lain selain Han.
.

Padang Lawas, 19 Juni 2023

#Event_Love_inSadness2
Tema : Cinta Dalam Ketidaksempurnaan.
Genre : Fantasi
Nama : Tulip’s
Judul :  Ian dan Setan Penyelamat
Jumlah kata : 2473 (isi)


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url