Di Pucuk Perdu Berbunga Merah Muda - Supriatin
Tugas Terbaik Kelas Menulis Cerpen Erotika
Di Pucuk Perdu Berbunga Merah Muda
Amrita. Bagaimana perasaanmu kala mendengar nama itu? Adakah
engkau terpikir seorang wanita anggun berbalut kain sari biru menerawang di
bagian perut yang tengah berjalan sembari mengangkat dagu, dengan sebelah
tangan menenteng tas Hermes keluaran terbaru dan sebelahnya lagi aman terkepit
di antara lengan seorang suami bercambang lebat lagi berhidung lancip laksana
sudut empat puluh lima derajat? Atau malah wajah cantik nan eksotis berlesung
pipi dengan tawa berderai-derai renyah ala Preity Zinta yang terbersit?
Kalau begitu isi kepalamu, maka jangan tersinggung jika
kukatakan imajinasimu itu terlampau liar. Sebab pada kenyataannya memang jauh
panggang dari api.
Adalah aku, si wanita yang jenakanya bernama Amrita ini, tak
lebih dan tak kurang dari gadis Melayu berhidung pesek dengan mata belo dan dua
buah gigi gingsul di kanan dan kiri yang berebut tempat tumbuh dengan gigi
taring bagian atas. Bila tersenyum, tersembullah tanpa kukehendaki gigi geligi
tumpang tindih yang tak ada menawan-menawannya itu. Akibatnya, alih-alih memesona, tampilanku
malah lebih mirip perwujudan terakhir dari wanita drakula jatuh miskin yang tak
punya uang buat membeli tiket kembali ke Rumania, sementara buat melompati
pohon lintas benua pun ia tak cukup daya.
Amboi! Nyata benar kerusakan nasib dari seorang anak
perempuan yang ibunya menggilai segala hal berbau India. Sebab ketika nama yang
nekat ia sematkan itu bertolak belakang dengan rupaku, niscaya perundungan jadi
hasil akhirnya.
Tak terhitung sudah silang sengketa dan pertumpahan ludah
yang terjadi menyangkut perkara nama itu. Akibatnya, aku yang mulai tumbuh
dewasa dan merasa sia-sia, memilih menutup diri dari dunia. Umpama putri malu,
aku menepi ke sudut terjauh hamparan kehidupan. Membuka hanya pada masa-masa
sendiri menikmati mentari, lalu mengatup rapat sesaat setelah sesuatu terasa
menyentuh. Buat berjaga-jaga, aku bahkan memagari batang kurusku dengan duri
halus tajam menusuk.
Pendek kata, aku adalah makhluk perdu penyendiri yang tak
pernah merasa cukup percaya diri. Segala hal kuupayakan secara mandiri,
termasuk soal kebutuhan batiniah yang entah bagaimana mulai terasa menggebu di
usiaku yang ke tiga puluh ini. Terpaksalah kupenuhi hasrat paling dasar manusia
itu dengan membeli buku-buku porno, tentu secara sembunyi-sembunyi. Perihal
kebinalan putri malu, tiada seorang pun yang boleh tahu. Biarlah rahasianya
digenggam oleh jemari sendiri.
Celakanya, keenggananku membuka diri justru menjadi daya
tarik tersendiri bagi Jamani, rekan kerja berkepala batu yang orang tuanya sama
mabuknya dengan ibuku dalam hal pemberian nama–ayah ibunya orang Belanda yang
jatuh cinta secara ugal-ugalan kepada tanah Melayu kami. Mulailah ia
menggangguku dengan segala bujuk rayu. Tindakan percuma tentunya, mengingat aku
adalah putri malu berbunga merah muda.
Akan tetapi, bukan lelaki namanya jika tak bebal. Boleh jadi
budaya patriarki yang abadi di tanah kami mulai pula ia teladani. Atau memang
ia telah berubah serupa tunggul kelapa yang tak mempan pukul sindir. Duri-duri
tajam yang kulesakkan tepat di jantung hatinya bahkan dengan mudah ia cerabut
tanpa meninggalkan bekas luka. Ia tak jua undur meski berkali sapanya kubalas
serapah dan kata-kata cinta tak beroleh apa pun selain pelototan jengkel juga
decak sebal.
Aku mau tak mau terkesima. Orang tampan lagi mapan dengan
sorot penuh kesungguhan, itu sungguh kombinasi langka. Membuatku tertampar satu
pemikiran: tak baik bila lama benar disia-siakan, khawatir ia sadar lalu bangun
dari kebodohan dan terbirit-birit meninggalkan.
Duhai, aku tak hendak menanggung sesal demikian besar di hari
kemudian!
Maka, dengan gaya malu-malu mau khas kucing betina tengah berahi, aku mengiyakan
ajakan kencan Jamani. Inilah saatnya bagiku, Amrita si putri malu, membuka diri
kepada Jamani. Barangkali lelaki itu pun dapat berguna buat menjinakkan atau
bahkan mewujudkan fantasi liar yang diam-diam membuatku dahaga.
Bagaimana rasa pria serupa Jamani?
Bagaimana ia akan memulai cumbuan kami?
Apakah dengan mencuri kecupan? Ataukah dengan meniupkan
rayuan?
Adakah ia jenis yang suka berterus terang, meminta dengan
wajah penuh damba?
Ataukah langsung menyergap garang serupa hewan?
Bagaimana seandainya tangan kekar berotot itu kubiarkan masuk
menelusup serupa sulur tanaman rambat yang bebas memanjat sampai ke titik
tertingginya?
Bagaimana rasanya bila jemari besar itu menari-nari di dalam
sana, menggantikan telunjukku yang biasa? Sakitkah? Atau justru akan membuatku
mengejang lebih cepat?
Aih, betapa aku telah basah hanya dengan memikirkannya.
“Amrita, aku tak bisa menjanjikan bahagia, tetapi akan
kupastikan kau takkan lupa. Kepadaku, kepada kesempatan yang akhirnya tiba
untuk kita,” katanya di ujung telepon, sehari sebelum rencana liburan kami ke
peternakan sapi di pulau seberang.
Amboi! Baru pun hendak membuka hati, malah diajak kencan ke
peternakan sapi. Adakah aku telah salah memilih lelaki dan menyia-nyiakan waktu
cuti yang datangnya setahun sekali ini?
“Ayah berencana membuka peternakan sapi perah di lahan kami
yang terbengkalai di Sinam sana. Karena itu, aku diminta mempelajari segala
sesuatunya. Amrita, kau tak keberatan bukan, berkencan sembari belajar bisnis?”
Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Kadung
menyanggupi, aku tak mungkin berbalik arah. Toh aku tak seberapa mahir beramah
tamah dengan manusia. Maka sapi bisa jadi pilihan yang baik. Setidaknya, dengan
hewan memamah biak itu, aku tak perlu berbasa basi. Tambahan pula aku terlanjur
berimajinasi. Mana boleh sapi yang jadi perintang?
**
Dan di sinilah kami kini, berdiri bersisian memandang sebuah
padang rumput mahaluas,
dengan sebuah kandang sapi modern di tengahnya.
Aku mengesah pelan, membujuk diri sendiri yang kembali ingin
menguncup. Selekasnya aku menukar lenguhan sapi di telinga dengan desahan
sendiri dalam kepala. Sebagai tambahannya, kuhadirkan pula lintasan percakapan
Jamani dengan pihak hotel, “Satu suite
room untuk tiga hari ke depan”.
Sabar dan bertahanlah,
Amrita! Ini cuma sebuah pembuka untuk sebuah permainan panas.
“Nah, Amrita. Naiklah!”
Aku terperangah, terlempar kembali pada kenyataan. Bukan
karena kalimat perintah Jamani tadi, melainkan oleh ringkik kuda di depan
mukaku. Aih, sejak kapan pula binatang bersurai panjang ini hadir? Terlampau
lamakah aku melamun?
“Peternakan ini terlampau luas. Akan lama kalau kita mesti
berjalan kaki. Lagipula, aku takut kau kelelahan. Jadi, kuminta seorang kenalan
mencarikan kuda buat kita.”
Sudah semestinya aku merona kala mendengar ucapan demikian
jantan dari Jamani. Namun, mengapa aku justru bergidik?
“Tenanglah, ada aku!” Jamani mengedip seraya mengulurkan
tangan untuk membantuku naik ke atas pelana.
Dan ketika telapak itu sempurna menangkup tanganku, perut
bawahku langsung terasa menggelenyar. Baiklah. Ini harus cepat diselesaikan.
Malam nanti, habislah kau Jamani! Akan kutagih semua balas jasa atas
pengorbananku hari ini!
Akan tetapi, malang tak dapat ditolak, untung belum dapat
diraih. Selagi aku menjejakkan kaki kiri di sanggurdi seraya berusaha keras
mengayunkan kaki kanan melewati punggung kuda berbadan hitam itu, sang kuda
malah meringkik keras sambil menaikkan dua kaki depannya. Sebuah laku niradab
yang sukses membuatku terjengkang.
Dasar binatang tak tahu peri kemanusiaan!
Detik berikutnya, kudengar Jamani berteriak simpatik, sebelum
buru-buru datang menolong. Namun, belum sempat Jamani mencapaiku, menenangkan
arus adrenalin yang memacu kepanikan dan tabuhan serupa genderang perang dalam
dada, si kuda kembali berulah. Ia memacu dirinya sendiri, dengan kaki dan
tubuhku yang masih tersangkut sebelah.
Jamani memekik.
Aku histeris.
“Tarik tali kekangnya, Amrita!”
Aku, di tengah upaya mempertahankan kehidupan, masih pula
mendengar dengan jelas perintah Jamani itu. Namun, posisiku yang
terkatung-katung macam belalang sembah di sisi kiri sang kuda amat tak
memungkinkan. Jangankan buat meraih tali kekang di leher si kuda, untuk
bertahan agar tak terseret saja aku kepayahan. Yang terpikir di otak mungilku
cuma menarik kuat-kuat surai kuda itu, yang rupanya makin memantik amarah sang
binatang. Terang saja, memangnya siapa yang sudi rambutnya ditarik paksa oleh
seseorang berbobot lebih dari enam puluh kilogram?
“Aaaahhhhh!”
“Jangan panik, Amrita!”
Percuma. Pekikku tetap membahana di antara derap kaki kuda.
Dan selagi aku menikmati dengan jerih rasanya melambung-lambung bak bola
pingpong di atas meja pertandingan, kedua otot tanganku mulai merasa kram dan
terbakar. Demi Tuhan, haruskah kesadaran soal diet datang di saat seperti ini?
Aku menjerit kian heboh, mencemaskan nyawaku. Perlahan,
kurasakan jemariku melemah dan tubuhku melorot. Dimulai dari bokong yang
menyentuh tanah, punggung, lalu kaki kanan. Dan aku sempurna terseret.
“Whoooaaa!”
Dalam keremangan sisa kesadaran, kudengar suara Jamani dengan
derap kuda yang lain. Syukurlah, aku tak benar-benar mati.
**
Sepanjang perjalanan kehidupanku, aku tak pernah merasakan
badan yang sehancur ini. Babak belur dan remuk redam dalam satu waktu. Sakitnya
jangan ditanya. Aku bahkan tak merasa punya daya buat menggerakkan tangan guna
meraih sabun di ujung bak mandi.
Dan aku benar-benar mengerang ketika guyuran air shower menimpa tubuh telanjangku.
Tengoklah, meski tanpa busana, badanku masih menampakkan coraknya. Merah, ungu,
lebam biru. Persis kue lapis salah beri warna. Dan semuanya adalah akibat dari
kencan pertama.
Alangkah parahnya. Patut saja Jamani berkata aku takkan lupa
momentum ini.
“Amrita!”
Amboi. Aku meringis. Bagaimana aku lupa Jamani pun ada di
kamar ini? Sontak aku mundur ke sudut dekat pintu, berusaha menarik handuk.
“Kau kepayahan. Biarkan aku membantumu,” katanya seakan-akan
tak acuh dengan upayaku melindungi diri. Lekas ia meraih sabun dan shampoo di
atas rak. Aku hendak menolak, tetapi kepalaku berkhianat dengan mengangguk
cepat-cepat.
“Untuk membersihkan diri, bukankah kau mesti melepas
handukmu, Amrita?”
Aku membeku, bimbang antara menyayangi badan sendiri dengan
kehendak buat mencicipi hal yang telah lama dinanti-nanti.
“Kau pasti malu. Tak apa, pelan-pelan saja. Aku akan mulai
dari kakimu.”
Duhai, aku tergamam, sekaligus hanyut dalam damba. Tuhan,
bolehkah aku menyerah sekali ini? Tubuhku bergelora. Rasanya sakit sekali
menahan diri di hadapan lelaki ini. Terlebih ketika kemudin ia tersenyum,
lantas berjalan mengitariku dan berhenti tepat di belakang tengkuk yang memang
telah meremang.
“Aku telah mengamatimu sejak lama. Alih-alih putri malu, kau
ini lebih cocok diumpamakan sebagai kantong semar, Amrita. Ketenanganmu
menjebak,” bisiknya sembari meniup daun telingaku, memantik bara.
“Kalau begitu, kau sial sekali, Jamani. Sebab kantong semar
tak pernah melepaskan serangga buruannya!”
Tak perlu menunggu lama, juga tak hirau dengan segala bentuk
kesakitan yang sejurus tadi mendera, aku dan segala kegilaanku lantas berbalik
buat menyergap lelaki itu, menyudutkannya ke bawah shower, dan menyesap dengan tak sabar, tak meloloskan apa pun
selain decap frustrasi dari sana.
Kepada dua belah tangan kekar yang urat-uratnya menonjol itu,
kuperintahkan pula ia bergerilya, menjamah setiap bagian yang kukehendaki ia
ada di sana. Dari puncak-puncak gunung hingga ke lembah terendah yang telah
basah, tak kuizinkan ia melewatkan barang sejengkal. Tak jua kubiarkan ia
memimpin. Permainan ini milikku. Dan tariannya mesti sesuai dengan iramaku.
Sebab bagiku, Jamani mesti menjadi pemuas dahaga, pengejawantahan dari segala
bentuk fantasi.
“Untuk ukuran kau, tersandera seribu tahun pun aku sanggup,
Amrita. Bahkan jika mesti kering kehilangan sari pati buat selama-lamanya.” []
Pontianak, 17 Agustus 2024