Death in D Minor - Jenny Seputro
Tugas Terbaik Kelas Menulis Cerpen Erotika
DEATH IN D MINOR
Jenny Seputro
Seharusnya,
hari itu Hamer Hall dipadati pengunjung. Tiket konser di aula berkapasitas
2.466 kursi di Arts Centre Melbourne itu telah habis terjual dalam dua hari,
enam bulan sebelum acara akbar itu berlangsung. Seharusnya, di atas panggung sudah berjajar
pemain orkestra lengkap mengiringi pianis utama. Seharusnya, Pablo Ramirez
dengan tuksedo dan dasi kupu-kupu duduk di depan grand piano putih yang mengilat di bawah lampu sorot. Ribuan
penonton dan penikmat musik klasik telah lama menantikan mahakaryanya yang
terbaru: Destiny in D Minor. Akan tetapi, malam sebelumnya tubuh musisi legendaris
berdarah Spanyol itu ditemukan menggantung di kamarnya di Villa Sentario, tanpa
celana.
“Ms.
Johnson, kami sungguh tidak bermaksud berlama-lama menahan Anda. Anda bukan
tersangka karena mempunyai alibi yang kuat. Namun, Andalah orang terdekat
dengan korban selain Mr. Ronald Ashby, manajernya. Kami mengharapkan kerja sama
Anda.”
Amelie
menunduk dalam, menghindari tatapan detektif kepolisian yang menginterogasinya.
Tentu dia ingin kebenaran terungkap. Dia yakin Pablo tidak bermaksud mengakhiri
hidupnya sendiri. Tidak sehari sebelum kariernya akan melejit dan namanya
dikenal seantero dunia. Namun, dia tidak ingin mengkhianati Pablo dengan
dugaannya. Dia juga tidak mau Kenny, kekasih jarak jauhnya di Sydney tahu yang
dilakukannya dengan Pablo.
**
Amelie
bukan seorang pencinta atau pemerhati musik, terlebih musik klasik. Itu pula
alasan utamanya memutuskan berpisah dari Pablo setelah hampir lima tahun
menjalin cinta, dulu semasa kuliah, ketika pria itu memilih musik sebagai
tujuan hidupnya. Amelie tidak mau dibutakan oleh cinta. Dia tahu tidak akan
mampu bertahan hanya dengan sisa-sisa waktu setelah Pablo kelelahan dengan
latihan musiknya. Setiap hari, sepanjang tahun.
Suatu
kebetulan setengah tahun lalu Amelie mendengar di radio tentang konser akbar
Pablo Ramirez dan penjualan tiket yang akan segera dibuka online. Dia tidak berpikir dua kali menguras tabungan untuk membeli
tiket. Setelah enam tahun tidak saling berkabar, sekarang dia punya alasan
menemui Pablo. Tubuhnya terasa panas dingin, otot perutnya menegang. Amelie
tidak pernah lupa dahsyatnya ciuman Pablo. Kenny tidak pernah berhasil
menghapus bekas bibir Pablo dengan bibirnya.
Tiga
minggu sebelum konser Amelie muncul di lobi sanggar musik Pablo. Keterkejutan
pria itu tidak dibuat-buat.
“Amelie!
What a nice surprise!” Pablo
merengkuh tubuh mantan kekasihnya seperti tak pernah ada perpisahan di antara
mereka. Kerinduan itu pecah di depan banyak orang. Lewat bahu bidang Pablo, Amelie
melihat seorang laki-laki kurus berkacamata, berdiri diam menunggu. Di
tangannya ada setumpuk berkas, sebuah kotak cukup besar, dan dua kantong berisi
makanan kemasan. Meski tersenyum, tatapannya tajam menyelidik.
Sejurus
Amelie dan Pablo bertatapan. Sama-sama ingin berpagutan, tetapi tidak di sana,
tidak saat itu.
“Bagaimana
kamu bisa ada di sini?”
“Untuk
konsermu, tentu saja.”
Kedua
mata Pablo bersinar. “Amelie, ini Ronald, asisten, manajer, dan orang
kepercayaanku. All round.” Pablo
menunjuk si kurus berkacamata. “Ron, ini Amelie.”
Sedikit
kesulitan Ron memindahkan barang-barangnya ke satu tangan agar bisa menyalami Amelie.
“Senang akhirnya bertemu denganmu. Aku mendengar banyak sekali tentangmu.”
Wajah
Amelie bersemu jambon.
Pablo yang sekarang bukan lagi kakak kelasnya di sekolah musik SMA. Dia sudah
menjadi seorang musisi yang namanya dikenal di kancah internasional. Mungkin
seperti dirinya, Pablo juga belum benar-benar move on. “Kuharap bukan hal-hal buruk.”
“Sayang
sekali aku sudah ada janji dengan studio rekaman. Besok kita makan malam
bersama, aku tidak mau ditolak.” Pablo menepuk pundak Amelie, lalu meremasnya
lembut.
Amelie
mengangguk. Terlepas urusan hatinya sendiri, Amelie tidak pernah bisa menentang
keinginan Pablo. Bahkan bila itu menentang nuraninya.
**
Amelie
datang setengah jam sebelum waktu yang dijanjikan. Dia diperbolehkan menonton
permainan piano Pablo di hadapan beberapa wakil studio rekaman. Dengan takjub
dia melihat betapa lincah jemari Pablo mengentak tuts-tuts sepanjang tujuh
oktaf itu seolah-olah telah menjadi bagian dari dirinya. Dia membayangkan
jari-jari lentik itu menari dengan lincah di sekujur tubuhnya menuju klimaks.
Dia membayangkan apa yang akan terjadi nanti malam. Saraf-sarafnya bergelenyar
dan dia bersyukur memakai panty liner.
Latihan
itu selesai tepat pukul enam sore sesuai janji Pablo. Tanpa bertanya, Amelie
tahu ke mana Pablo membawanya. Seafood on
the Dock, restoran favorit mereka dulu. Di tempat itu mereka merayakan
banyak hal: hari jadi, hari ulang tahun, hari Valentine, kelulusan, dan hal-hal
lain yang patut dirayakan dengan hidangan berkelas dengan suasana romantis
meskipun sedikit di luar batas nyaman kantong mereka saat itu.
“Gurita
bakar?” tanya Amelie yang dijawab Pablo dengan, “Barramundi bakar untukmu?”
Tempat
itu tidak banyak berubah dari yang diingat Amelie. Hiasan ruangan yang
didominasi pernak-pernik kapal, barisan lampu yang mirip lampu pohon Natal,
juga jajaran akuarium di bagian belakang restoran. Live music disajikan setiap malam. Sambil menunggu pesanan keluar,
disediakan roti bawang gratis sebagai hidangan pembuka.
Ternyata
bukan hanya pilihan menu mereka yang tetap sama, tegangan tinggi di antara
keduanya pun tidak luntur oleh waktu. Amelia ingat dia butuh hampir dua tahun
untuk menghapus kerinduannya kepada Pablo. Dia berhasil dengan bantuan Kenny.
Amelie
tersentak. Ponselnya berbunyi sambil bergetar di meja. Panggilan video dari
Kenny. Dia menggenggam ponselnya, menimbang-nimbang yang harus dilakukannya
sementara Pablo menatapnya lekat dengan alis setengah terangkat. Akhirnya dia
memasukkan ponsel itu ke tas setelah menyetel mode senyap.
“Kenapa
tidak diangkat?”
“Tidak
penting. Lagi pula di sini terlalu ramai.”
“Itu
pacarmu?”
“Bukan.”
Amelie menggigit bibir, telanjur menjawab terlalu cepat.
“Kau
tidak sedang berhubungan dengan siapa-siapa?” Tatapan Pablo tajam menyelidik.
Ketika
itu pesanan mereka datang dan Amelie menarik napas lega. Namun, kelegaannya
tidak berlangsung lama.
“Kau
belum menjawabku,” kata Pablo begitu pelayan pergi.
“Tidak.
Saat ini aku sendiri.” Amelie mengaduk saus di piringnya dengan sepotong
kentang goreng. Maafkan aku, Kenny.
Maafkan aku.
Mereka
makan sambil mentertawakan masa lalu dan berangan-angan tentang masa depan.
Menjelang pukul sembilan malam mereka meninggalkan restoran, bergandengan
tangan menuju tempat parkir tempat mobil dan sopir menunggu.
“Ada
apa?” tanya Pablo melihat Amelie celingukan.
“Aku
seperti melihat … ah, tidak apa-apa.”
Pablo
tidak bertanya lagi. Pun Amelie tidak merasa perlu mencurigai bayangan hitam
yang masuk ke mobil di ujung lapangan parkir itu.
Villa
Sentario tampak menjulang anggun. Beberapa lampu sorot di halamannya membuat mansion dua lantai itu bersinar dengan
latar belakang pekat malam. Lampu di balik beberapa jendelanya menyala.
Pablo
menggandeng Amelie memasuki ruang depan yang temaram. Langit-langitnya tinggi
sehingga udara di dalam sejuk natural. Rumah itu, bila masih boleh disebut
rumah, benar-benar seperti kediaman para bangsawan di film-film. Seringnya ada
di film horor. Pikiran itu membuat Amelie sedikit merinding.
Amelie
ingin bertanya bagaimana Pablo bisa betah tinggal sendirian di tempat seperti
itu. Belum sempat dia bertanya, Pablo telah membungkam mulutnya dengan ciuman,
lalu menarik tangannya bergegas sepanjang tangga menuju lantai dua.
Mereka
masuk di pintu paling ujung koridor. Lembut wangi yasmin dan sejuknya udara
kamar membuat bulu-bulu tengkuk Amelie meremang. Pablo menyalakan dua lampu
kecil di sudut ruangan. Tampak tempat tidur serbaputih di tengah kamar tidur
yang besar. Sepintas tidak tampak tumpukan barang yang diletakkan sembarangan.
Sangat berbeda dengan kamar kos Amelie di Tasmania.
Amelie
membiarkan dirinya larut dalam rengkuhan Pablo. Bibir mereka saling
menggeramus, lidah saling meliuk bagai dua ular berkelahi.
Piawai
tangan Pablo mengupas pakaian Amelie. Bibirnya merayapi kulit Amelie yang
terbuka, menyusuri garis rahang, samping leher, dan sepanjang tulang selangka
sebelum mereka kembali berpagutan.
Amelie
mendesis sembari tangannya yang gemetar berusaha meloloskan kancing-kancing
kemeja Pablo. Mereka bergeser perlahan ke ranjang. Ketika betisnya menempel di
tepi ranjang, Amelie berhasil meloloskan celana panjang Pablo.
Dengan
bibir menangkup puncak di dada Amelie, Pablo membaringkan tubuh wanita yang
masih sangat dicintainya itu. Dia menyusu bagai bayi kelaparan sementara
tangannya melepaskan penutup terakhir di tubuh Amelie.
Pablo
membenamkan wajah dalam hangat celah dada Amelie. Menghirup dalam-dalam aroma
yang pernah begitu akrab di hidungnya. Dia menggigiti dengan gemas kulit perut
Amelie, turun hingga rimbun halus di bawah pusar.
Kedua
paha Amelie terentang lebar dan tertekuk ke atas. Dia mengerang tertahan ketika
Pablo menjilati surganya seperti es krim matcha
kesukaan berdua. Tanpa mengenal lelah lidah itu berkelana naik turun hingga
meledakkan setiap sekring di tubuh Amelie. Sesaat Amelie terkapar lemas sembari
mencari napas.
Pablo
bangkit, membiarkan Amelie meraba ketegangan di balik celana dalamnya. Napasnya
mulai menderu ketika Amelie membasahi kain penutup terakhirnya itu tepat di
bagian ujung tonjolan dan menggigitnya pelan. Dia meremas dan menjambak pelan
rambut Amelie.
“Amelie,
aku mencintaimu. Aku menginginkanmu,” kata Pablo lirih seiring desah menahan
gairah.
Malam
itu, Amelie hanya ingin membahagiakan Pablo. Dia melepas celana yang telah
kuyup itu dan membiarkan Pablo berbaring sebelum duduk di selangkangannya. Penyatuan
mereka terasa begitu sempurna seolah-olah memang diciptakan untuk satu sama
lain.
Sementara
Amelie mengayun semakin cepat, Pablo membalas dengan sentakan-sentakan kuat. Napasnya
memburu, mulutnya setengah terbuka.
Amelie
terengah dan dengan tiba-tiba kedua tangannya meluncur ke leher Pablo,
menekannya kuat sembari pinggulnya menghunjam kuat.
Pablo
mendelik. Tangannya meremas tangan Amelie. Napasnya putus-putus. Beberapa saat
matanya terpejam rapat, wajahnya meringis.
Amelie
melepaskan tangannya, lalu perlahan bangkit, membiarkan cairan cinta mereka
meleleh di paha dan seprei.
Keduanya
berbaring berpelukan, mengatur napas dan debur jantung. Tanpa sepatah kata,
mereka larut dalam dekap malam.
**
Amelie
terbangun oleh suara kicauan burung di luar jendela. Dia menggeliat malas.
Bibirnya menyungging senyum mengingat yang terjadi semalam. Diliriknya Pablo
yang terbaring polos di sebelahnya, masih mendengkur pelan teratur. Sudah
hampir pukul 7.30. Amelie merapikan selimut Pablo, lalu beringsut bangkit dan
memunguti pakaiannya yang tercecer.
Pagi
itu Amelie berniat melihat-lihat isi vila. Bangunan itu luas, dikelilingi kebun
yang ditata artistik di ketiga sisinya. Amelie
melihat setidaknya ada enam pekerja di sana. Seandainya dia menjadi Mrs.
Ramirez, sanggupkah dia tinggal di tempat seperti itu? Sementara suaminya sibuk
konser ke mancanegara, dia menghabiskan setiap waktu senggangnya di rumah
lengang yang jauh dari peradaban.
Sebuah
kamar juga di lantai dua terbuka sedikit. Amelie menghampirinya. Ternyata
sebuah kamar tidur yang dipakai, bukan kamar cadangan. Pablo tidak pernah
bercerita ada orang lain tinggal di situ. Penasaran, dia masuk dan
melihat-lihat. Dari barang-barangnya, itu kamar laki-laki. Sebuah novel fiksi
sejarah yang tebal tergeletak di nakas dan sebuah syal rajutan bergaris merah
kuning teronggok di sudut ranjang.
“Ada
apa kau di kamarku?” Suara bariton di belakangnya membuat Amelie terlonjak.
“R-Ronald?”
Amelie terbata. “Kau … tinggal di sini?”
“Iya.
Pablo tidak bilang?”
Amelie
menggeleng. “Maaf. Permisi.”
Panik
dan salah tingkah, Amelie turun dan masuk ke sebuah ruangan yang cukup besar.
Jendelanya tinggi dari lantai ke langit-langit. Sinar matahari membanjir ke
segala penjuru. Di dekat jendela itu ada sebuah grand piano. Warnanya hitam
mengilat, kursinya empuk berlapis beludru.
Perlahan
Amelie duduk. Jemarinya meraba tuts-tuts hitam putih di hadapannya. Dia bukan seorang
pemusik, tetapi sewaktu kecil pernah belajar main piano. Setidaknya ada satu
lagu yang masih diingatnya dengan baik dan mampu dimainkannya luar kepala: Fur
Elise.
Jemarinya
mulai menari, menciptakan alunan musik yang menghanyutkan. Sesekali matanya
terpejam dan kepalanya berayun-ayun. Dia tidak menyadari kehadiran Pablo yang
duduk di sebelahnya hingga pria itu mulai memainkan nada-nada, menemaninya
dalam duet yang memukau.
Ketika
lagu itu selesai, Pablo bangkit dan berdiri di belakang Amelie. Kedua lengannya
melingkar memeluk pundak Amelie.
Amelie
memejamkan mata, membiarkan Pablo menciumi rambutnya, turun ke tengkuknya.
Bibir Pablo merayap ke telinganya dan berbisik, “Selamat pagi, Sayang. Tadi aku
panik, kupikir kau sudah kabur meninggalkanku.”
Tanpa
memberi kesempatan Amelie menjawab, Pablo mengulum daun telinga Amelie,
menimbulkan decap yang membuat Amelie menggelinjang geli. Bibirnya dengan
segera merayap dan melumat bibir Amelie. Lidahnya menjelajah penuh gairah.
Amelie
membalas serangan Pablo sambil menekan kedua pahanya. Kenny tidak pernah
membuatnya basah begitu cepat. Sekalipun jarang bisa bertemu, dia dan Kenny
tidak pernah melakukannya dua hari berturut-turut.
“Acaraku
masih dua jam lagi,” kata Pablo dengan suara parau. “Kita masih punya waktu.”
Amelie
pasrah ketika Pablo menggendongnya kembali ke kamar. Kali ini mereka tidak
tergesa-gesa.
“Apa
ini?” Amelie mengambil sebuah tube krim obat di nakas.
“Oh,
itu punya Ronald. Ada kelainan di jempol kakinya, sering membuatnya kesakitan.”
“Kenapa
ada di si—” Amelie tidak sempat menyelesaikan pertanyaannya. Pablo sudah
membekap mulutnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Keduanya
kembali bergulat di ranjang king size
yang masih berantakan sisa pertempuran semalam. Kali ini, Amelie tidak lagi
teringat Kenny.
**
“Apakah
Anda tahu Mr. Ramirez menggunakan narkotika? Ditemukan amfetamin dalam
darahnya.”
Amelie
menegakkan duduknya. “Bukankan suatu kebodohan menggunakan obat-obatan seperti
itu sehari menjelang konser akbar, Tuan Detektif? Tidakkah itu membuat Anda
curiga?”
“Tentu
saja. Karena itu saya menanyai manajernya dengan detail. Sekarang saya ingin
bertanya kepada Anda. Apakah Anda tahu Mr. Ramirez pengidap asfiksiofilia[1]?”
Amelie
tertunduk. Terngiang di telinganya permintaan Pablo satu dekade lalu.
“Simpankan rahasiaku, Amelie. Hanya kau seorang yang tahu.”
**
Kehilangan
Pablo bagaikan kehilangan lebih dari setengah dirinya. Amelie memutuskan
kembali ke Villa Sentario sekali lagi untuk mengucapkan selamat tinggal.
Di
kamar itu, Amelie masih merasakan aura cinta yang menguar pekat. Ditatapnya
gantungan di langit-langit ruangan. Air matanya belum sempat luruh ketika dia
melihat sesuatu tertinggal di ujung gantungan itu. Dia memanjat kursi untuk
mengambil serabut-serabut kain rajutan merah dan kuning.
Amelie
menatapnya dengan degup jantung kian bertalu. Dia tidak percaya, tepatnya
menolak percaya.
“Sepertinya
kau sudah tahu.”
Suara
berat dan dingin yang begitu dekat di belakangnya membuat Amelie tersentak. “Jangan
berani-berani bergerak!”
Amelie
batal menoleh ketika merasakan logam dingin menempel di samping lehernya. Dia
hanya meneguk ludah. Seluruh tubuhnya menegang. Napasnya memberat dan
jantungnya berdebar dua kali lipat. Dia mematung.
“Aku
selalu penasaran setiap mendengar keributan kalian di kamar ini.”
Amelie
merinding merasakan sesuatu yang hangat dan basah menempel di pundaknya yang
terbuka, merayap di samping lehernya hingga ke telinga.
“Sayang
aku tidak tertarik kepadamu,” bisik Ronald mencemooh.
“Ron,”
desis Amelie, “apa maksud semua ini?”
Ronald
tertawa. Sebuah tawa sarkas yang dipaksakan. “Akan kuberi tahu satu rahasia,
Cantik. Rahasia yang bisa kaubawa menemui Pablo. Destiny in D Minor bukan
gubahan Pablo. Dia tidak pernah tahu cara menggubah lagu. Dia hanya bisa
memainkan yang disodorkan ke depan hidungnya.”
“Lalu,
siapa—”
“Aku!”
sahut Ronald setengah berteriak. “Aku yang membuatnya. Tiga puluh dua studio
rekaman sudah tanda tangan untuk membelinya. Mereka hanya menunggu konser akbar
itu sebelum menjual albumnya. Aku yang membuat Pablo terkenal. Huh! Dia tidak
bisa apa-apa tanpaku.”
Kedua
tungkai Amelie gemetar. Telapak tangannya basah. “Untuk apa kaulakukan itu?”
Kepalang basah. Kalaupun harus terbunuh, dia ingin tahu kebenarannya.
“Demi
cinta. Dia berjanji menikahiku.”
Amelie
ternganga.
“Tapi
dia berkhianat denganmu. Dia bahkan tidak peduli sakit hatiku melihat tingkah
binatang kalian. Berengsek!”
Amelie
menahan napas dan menggigit bibir ketika dirasanya perih di leher.
“Bahkan
setelah bertahun-tahun berpisah, dia masih suka membicarakanmu. Dia tidak
pernah tahu betapa aku membencimu. Betapa marahnya aku bila dia membicarakanmu
begitu kami selesai bercinta. Dan bahwa kau tahu rahasianya, rahasia yang
katanya hanya aku seorang yang tahu.” Ronald tiba-tiba terbahak dan secepat itu
pula berhenti. Nadanya menjadi sangat serius. “Dia mati karena rahasianya itu
yang sekarang sudah bukan lagi rahasia.”
“Ronald,
kau tidak perlu seperti ini. Aku—”
“Diam!
Sekarang kau sudah tahu semuanya. Kaupikir aku akan membiarkanmu pergi dan
melapor ke polisi, hah?”
“Tentu
tidak.” Amelie melirik ke bawah. Dengan tiba-tiba dia menginjak jempol kaki
kanan Ronald sekeras-kerasnya.
Ronald
menjerit. Pisau di tangannya terlepas. Dia jatuh terduduk. Amelie memaksa kedua
kakinya yang lemas berlari keluar. Jantungnya terasa siap meledak kapan saja.
Dia
berlari dan terus berlari, berharap semua hanya mimpi. Dia akan terbangun di
samping Pablo dan semua akan baik-baik saja. []
Wellington, 17 Agustus 2024