Pohon-Pohon Ingatan di Negeri Monotropa

Lux melangkah perlahan mendekati gerobak berisi kepala-kepala yang siap ditanam. Tidak jauh darinya, Mara berjongkok sambil menggali tanah, memastikan lubang-lubang yang dibuatnya cukup dalam dan siap dipakai.
“Seharusnya kita meminta bantuan Tuan Hag.” Lux yang mulai bosan, mengangkat sebuah kepala dari gerobak, lalu memperhatikannya dengan saksama.
“Tidak perlu. Sudah kubilang aku bisa menangani ini. Jangan khawatir, aku pasti melakukannya dengan baik. Lagi pula Tuan Hag sudah sibuk mengurus kebun istana.”
Mara menepuk-nepuk tanah di hadapannya, memadatkan bagian sisi lubang supaya tidak berjatuhan.
“Kamu juga bilang begitu musim kemarin. Dan semuanya gagal, membusuk karena lubang yang dibuat kurang dalam.”
Mara tidak peduli dengan ucapan Lux yang selalu menyindirnya. Laki-laki itu memang selalu tidak puas dengan apa yang dilakukan Mara.
“Bukankah ini Tuan Yosa?” tanya Lux sambil memutar-mutar sebuah kepala yang sejak tadi diperhatikannya. “Sorot matanya khas sekali. Kudengar dia salah satu panglima terkuat yang pernah ada.”
Mara menoleh sekilas, lalu kembali sibuk membuat lubang baru. Ia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Lux karena laki-laki itu jauh lebih tahu darinya.
“Aku penasaran.” Lux meletakkan kembali kepala tersebut lalu menarik sebuah kepala lain di bagian bawah.
“Tentang apa?”
“Isi kepalanya.”
“Kamu akan mengetahuinya begitu kepala itu tumbuh nanti.”
“Bukankah itu tergantung dari lubang yang kamu buat?”
“Hei!” Mara mulai kehabisan kesabaran. Ia bangkit lalu berkacak pinggang, menatap Lux yang juga sedang menatapnya.
“Kenapa?”
“Kamu menyebalkan!”
“Kamu kenal dia?” tanya Lux, tidak mengindahkan seruan Mara yang terdengar sedikit merajuk. Laki-laki berambut sebahu itu menunjukkan kepala yang baru saja diambilnya dari tumpukan paling bawah dalam gerobak.
“Itu Tuan Mora. Dia seorang ahli bunga.”
“Ahli bunga?”
“Ya. Dia yang menanam pohon sakura langit di puncak gunung itu. Leluhurnya yang menciptakan Anarasia.”
“Waaah ….” Lux meletakkan kembali kepala berambut panjang kecokelatan itu. Ia lalu mendekati Mara yang berdiri sambil menatap lubang-lubang yang baru saja diselesaikannya.
“Sudah semua?”
“Ya.”
“Baiklah. Sekarang waktunya berkebun,” ujar Lux sambil menggulung lengan bajunya.
“Dari mana kamu mengenal mereka semua?”
“Maksudmu?”
“Kepala dalam gerobak itu, bagaimana kamu mengenal mereka semua?”
“Aku tidak mengenal mereka.”
“Lalu?”
“Ibuku memberiku catatan tentang mereka, aku membacanya dan menghafalnya begitu saja.”
“Wah, kamu benar-benar punya otak yang mengagumkan.”
“Kamu sekarang memujiku?”
“Tidak. Itu sindiran.”
“Hei!”
***
Negeri Monotropa pagi itu terlihat sangat cerah. Putri Jill yang sedang duduk bersantai sambil menikmati bunga-bunga yang bermekaran di hadapannya, tersenyum saat seekor kupu-kupu hinggap di atas meja.
“Cantik sekali.”
“Anda lebih cantik, Putri.”
Mara ikut tersenyum saat melihat Putri Jill yang sangat senang ketika melihat kupu-kupu. Dari tatapannya, Mara bisa menebak jika Putri Jill ingin sekali menyentuhnya.
“Ini teh Anda, Putri.”
“Ah! Kamu membuat kupu-kupunya pergi.”
Mara terkejut mendengar teguran Putri Jill. Ia sontak membungkukkan badan, meminta maaf, lalu berjanji akan menangkapkan kupu-kupu yang lebih banyak dan cantik.
“Lupakan saja. Kupu-kupu paling cantik dinikmati saat beterbangan di alam bebas.”
“Ah, ya. Maafkan saya.”
“Bagaimana kalau kamu temani saya jalan-jalan?”
“Putri ingin ke mana?”
“Melihat sakura langit.”
“Tapi tempat itu berbahaya, Putri.”
“Itu sebabnya saya mengajakmu.”
Mara terdiam. Ia bukannya tidak ingin menemani, hanya saja datang ke puncak Gunung Shirre tanpa persiapan matang sama saja mengumpankan diri. Ia tidak akan begitu nekat mengambil alih melindungi Putri Jill sendirian. Tidak kali ini, setelah Putri Jill kehilangan sebelah sayapnya dan tidak bisa terbang kembali.
“Maaf, Putri. Tapi—“
“Jangan khawatir. Saya akan mengurus semuanya. Kamu hanya perlu menemani saya ke sana.”
“Kalau begitu, boleh saya membawa teman?”
“Lux?”
“Ya. Tapi bagaimana Anda bisa mengenalnya?”
Putri Jill hanya tersenyum, lalu kembali mengalihkan pandangan menuju hamparan bunga di depan sana.
“Kamu sudah selesai menanam semua kepala itu?”
“Ya. Saya yakin kali ini akan berhasil.”
“Baiklah. Ada sebuah kepala yang saya tunggu pertumbuhannya.”
“Kepala Tuan Mora si ahli bunga?”
“Ya. Saya ingin tahu apa yang akan tumbuh dari ingatan di kepalanya.”
Mara hanya mengangguk pelan.
Malamnya, Mara duduk sendirian di halaman rumah. Kepalanya menengadah, memperhatikan bintang-bintang yang berkelap-kelip sangat terang. Saat sedang menebak-nebak jiwa siapa saja yang terperangkap di sana, tiba-tiba sebuah angin hangat yang khas mengganggunya. Mara lalu memperhatikan sekeliling, mencari tahu dari arah mana angin itu berasal.
Tidak lama kemudian, senyumnya tanpa sadar mengembang. Dari arah utara, sebuah bayangan mendekat dengan cepat. Bayangan yang semakin lama semakin terlihat jelas itu membuat senyuman Mara semakin lebar. Namun, begitu sosok itu terlihat semakin dekat, Mara justru cemberut, memperlihatkan sisi yang sangat berbeda dengan apa yang baru saja ia lakukan.
“Sedang apa di sini sendirian?” tanya sosok bayangan itu yang ternyata adalah Lux yang baru saja pulang berburu.
“Aku sedang melihat bintang-bintang. Kamu sendiri sedang apa?” tanya Mara basa-basi. Padahal ia bisa melihat dengan jelas sebuah busur panah besar dan anak panah yang hanya tinggal beberapa, yang terselip di punggung Lux.
“Pertanyaanmu sungguh tidak lucu.” Lux mengejek sambil duduk di samping Mara yang justru terlihat senang mendengar sapaannya disindir oleh Lux. Laki-laki itu memang selalu begitu. Lux susah sekali dibuat terkesan, bahkan untuk hal-hal sepele Mara sering dibuat malu hanya karena gurauannya ditanggapi dengan sangat berbeda oleh Lux. Entah bagaimana ia pada akhirnya bisa bersahabat dengan laki-laki yang sangat kaku itu.
“Kamu berada di sini karena hendak menemui Tetua Soma?” tanya Lux sambil ikut menengadah, memperhatikan bintang-bintang yang sangat terang di langit.
“Ya. Sebentar lagi tengah malam, aku harus memastikan mendapatkan ramuan yang tepat agar kepala-kepala yang aku tanam itu bisa tumbuh seperti yang diharapkan. Aku sudah benci sekali melihat kegagalan yang berturut-turut. Aku bahkan sudah mempelajarinya berkali-kali, tetapi mengapa tidak ada yang berhasil? Sungguh sebuah kutukan yang menyebalkan,” ucap Mara dengan ekspresi kesal.
“Namun, ini sudah hampir tengah malam. Apakah tidak sebaiknya kamu bergegas?”
“Kamu akan ikut denganku?” tanya Mara dengan tatapan memohon.
“Tidak. Aku baru saja pulang berburu. Hewan-hewan buruanku bahkan belum kuambil dan masih tergeletak di tepi hutan.”
“Lalu mengapa kamu kemari?”
“Karena aku melihatmu sendirian.”
“Wah, daya jangkau penglihatanmu sungguh mengerikan.”
Tiba-tiba Lux menjitak kepala Mara dengan pelan. Mara tahu Lux hanya pura-pura marah kepadanya, tetapi entah mengapa hal itu justru membuatnya tersipu-sipu.
Meski mengatakan keberatan, pada akhirnya Lux tetap menemani Mara ke tempat Tetua Soma. Tempat itu terletak jauh di tengah hutan dan hanya bisa terlihat saat tengah malam.
Angin dingin berputar-putar dengan kencang begitu keduanya bergerak semakin mendekati tujuan. Mara yang memiliki pendengaran sangat tajam, tampak waswas ketika telinganya menangkap percakapan-percakapan pohon-pohon tua di sekelilingnya.
“Mereka mengawasi kita.”
“Siapa?” tanya Lux yang tetap berjalan santai. Keduanya bisa saja memelesat dengan cepat seperti saat berangkat tadi, tetapi memilih untuk berjalan seperti biasa karena tujuan mereka sudah dekat.
“Pohon-pohon tua itu. Aku mendengar mereka membicarakan kita.”
“Mungkin karena kamu cantik.”
“Hei!” Mara memukul pelan pundak Lux sambil menahan senyum. Wajahnya tampak memerah dan terasa panas. Mara tiba-tiba salah tingkah dengan perlakuan Lux.
“Aroma apa ini?” tanya Lux. Mereka baru saja tiba di depan sebuah bangunan kastel yang berada di tengah hutan. Di tempat itulah Tetua Soma tinggal.
“Kamu mencium sesuatu?” tanya Mara yang kelihatan bingung. Penciumannya tidak setajam pendengarannya.
“Ya. Aroma yang cukup aneh, seperti percampuran bunga dan racun.”
“Haruskan kita masuk sekarang?”
Tanpa menjawab, Lux langsung membuka pintu besar dengan ukiran yang menonjol dan bercahaya. Ukiran itu adalah sebuah sandi dan hanya keturunan tertentu yang memahami sandi pola di pintu utama itu, lalu membukanya. Lux adalah seorang keturunan dari bangsa Aliga, sama seperti Tetua Soma. Mereka memiliki insting berburu yang sangat kuat dan juga pandangan serta penciuman yang mampu menjangkau radius yang tidak terbayangkan.
“Kamu pernah kemari sebelumnya?” tanya Mara ketika melihat Lux membuka pintu tanpa kesulitan.
Lux tidak menjawab dan memilih untuk mengalihkan percakapan. Ia paling tidak suka membahas sesuatu tentang dirinya dan keluarganya. Lux sangat membenci hal itu.
“Apa yang membawa kalian kemari?”
Di sebuah lorong panjang, terdengar ketukan tongkat dan diiringi dengan langkah-langkah berat. Lux menarik lengan Mara dan menyuruh gadis itu agar bersembunyi di belakangnya. Sebenarnya mendatangi Tetua Soma adalah ide Lux. Setelah menanam kepala-kepala di kebun sore itu, Mara meminta saran kepada Lux tentang apa yang harus ia lakukan jika ingin yang ditanamnya berhasil tumbuh dengan cepat.
Dan Lux menyarankan untuk menyiram tanaman itu dengan ramuan rahasia yang dibuat oleh Tetua Soma.
“Kami datang untuk meminta ramuan rahasia.”
Langkah-langkah berat itu semakin dekat. Tidak lama kemudian, Tetua Soma sudah berdiri di hadapan Lux yang terlihat tegang. Sebenarnya itu bukan pertama kalinya ia datang ke kastel itu, tetapi entah mengapa kali ini rasanya sedikit berbeda. Selain menangkap aroma asing yang membuatnya terganggu, Lux juga merasa Tetua Soma sedang menyembunyikan sesuatu. Insting pemburu Lux yang sangat kuat serasa ditarik-tarik oleh sesuatu yang belum ia ketahui.
“Ramuan rahasia, ya? Kamu datang bersama siapa?”
“Seorang teman.”
Tetua Soma terdiam, menunggu Lux menunjukkan orang yang disebutnya teman lalu memperkenalkannya.
Awalnya Lux ragu-ragu, tetapi tidak lama kemudian ia kembali menarik lengan Mara, lalu memperkenalkannya.
Tetua Soma tiba-tiba mengernyitkan dahi, menajamkan penglihatannya sambil terus menatap Mara.
“Rupanya ada tamu istimewa.”
“Perkenalkan, saya Mara. Saya pelayan Putri Jill.”
“Hmmm. Pelayan, ya?” Tetua Soma mengelus jenggotnya yang panjang. “Pelayan Monotropa memang berbeda.”
“Kakek mengenalnya?”
“Saya mengenali auranya.”
Mara mundur beberapa langkah saat menyadari ada yang tidak biasa dengan tatapan Tetua Soma kepadanya. Namun, Lux segera meraih tangan gadis itu, lalu menggelengkan kepala sebagai isyarat bahwa Mara tidak perlu khawatir.
“Mari ikut saya. Akan saya buatkan ramuan rahasia untuk kalian.”
Mara dan Lux saling pandang. Keduanya lalu mengikuti Tetua Soma dan melangkah lebih jauh lagi ke dalam kastel.
Malam yang perlahan beranjak pagi, menyisakan hawa dingin yang menyelinap lewat celah-celah jendela. Mara menatap isi kastel dalam diam. Sejak masuk tadi, ada sesuatu yang mengganggunya, entah apa. Mara seperti menangkap suara-suara mirip jeritan minta tolong yang terperangkap di suatu tempat. Tampak jauh, tetapi terdengar jelas.
“Tempat apa sebenarnya ini?” tanya Mara sambil terus mengamati sekelilingnya.
“Kamu akan tahu sebentar lagi.”
Langkah-langkah dengan irama teratur itu akhirnya terhenti setelah melewati sebuah pintu besar. Pintu yang sebenarnya menghubungkan bagian depan dan bagian dalam kastel.
Mara terkejut luar biasa setelah melewati pintu itu. Di sekeliling ruangan yang baru saja dimasukinya, deretan stoples berjajar banyak sekali. Yang membuat Mara lebih terkejut adalah, stoples-stoples berbagai ukuran itu berisi bagian tubuh makhluk hidup yang sangat beragam.
“Rupanya dari sini aroma itu berasal.”
Mara tidak mengindahkan ucapan Lux. Ia sendiri sibuk mencerna apa yang sedang dilihatnya. Sepasang matanya menatap isi stoples dari kejauhan satu per satu. Tubuhnya tanpa sadar berputar-putar.
“Aaaaaa!” Mara menjerit keras sambil menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Suara-suara jeritan minta tolong satu demi satu menguar dari dalam stoples kaca dan menyerbu telinganya.
“Kemarilah!”
Tetua Soma yang sepertinya sudah menduga apa yang akan terjadi menyuruh Lux dan Mara untuk segera mengikutinya, meninggalkan ruangan berisi potongan-potongan tubuh makhluk hidup yang sengaja diawetkan dan dibiarkan hidup oleh Tetua Soma.
“Silakan duduk.”
Langkah Tetua Soma berhenti saat tiba di sebuah ruangan dengan penerangan lilin. Tidak terlihat jelas apa yang ada di sekeliling ruangan itu, Lux dan Mara hanya bisa menangkap bayangan samar-samar yang dipantulkan oleh cahaya remang-remang itu.
“Kalian tahu, mengapa ramuan rahasia sangat manjur?”
Lux dan Mara yang bingung segera saling tatap, lalu menggeleng bersama.
“Itu karena saya memasukkan nyawa ke dalam ramuan tersebut.”
“Nyawa?”
“Ya. Jadi katakan, akan kalian gunakan untuk apa ramuan itu, saya akan memasukkan nyawa yang cocok ke dalamnya.”
“Pohon ingatan. Saya menanam pohon ingatan dan sebelumnya selalu gagal. Saya ingin kali ini berhasil dan bisa memetik ingatan-ingatan yang tumbuh di atasnya.”
“Sudah saya duga kamu orang yang menarik.” Tetua Soma kembali mengelus jenggotnya, lalu menatap Mara yang sejak tadi terus memasang wajah tegang.
Namun, pada akhirnya, Tetua Soma nyatanya benar-benar orang yang ahli dalam meracik ramuan. Beliau mencampurkan berbagai macam bubuk dan komposisi lain yang tidak dipahami oleh Mara dan Lux. Terakhir, sosok kakek tua itu juga menambahkan sebait mantra yang seketika membuat ramuan dalam stoples kecil itu dipenuhi cahaya.
“Kalian tahu bahwa tidak ada sesuatu yang gratis, bukan?”
“Jadi apa bayarannya?”
“Sebuah ikatan.”
“Ikatan?” Mara yang bingung menatap Lux yang hanya diam saja.
“Ya. Beri saya satu setetes darah istimewa yang mengalir di tubuhmu.”
Mara terbelalak mendengar bayaran yang diminta oleh Tetua Soma. Namun, sekali lagi, Lux meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Begitulah pada akhirnya, Mara dengan sedikit terpaksa menyerahkan setetes darahnya. Ia harap semua itu setimpal.
***
Mara menatap takjub pohon-pohon ingatan di hadapannya. Tidak lama kemudian ia mencubit pipinya sendiri, lalu menamparnya keras-keras, antara percaya dan tidak percaya.
“Bagaimana? Bukankah itu menakjubkan?” Lux duduk bersandar di salah satu batang pohon yang langsung tumbuh lebat dan menjulang tinggi begitu mereka menaburkan ramuan yang dibuat Tetua Soma.
Mara mengangguk cepat. Sepasang matanya berbinar-binar. Namun, detik berikutnya ia terdiam sambil menunduk. Sesuatu kembali mengganggunya.
“Kamu masih memikirkan permintaan Tetua Soma?”
“Ah, ya. Sedikit.”
Mara menatap Lux lalu tersenyum lebar. Tidak lama kemudian ia menghampiri laki-laki itu, berlutut lalu memeluknya.
Lux yang tidak siap dengan perlakuan Mara hanya diam. Ia tidak menyambut pelukan itu, tetapi tidak juga menolaknya.
“Apa-apaan ini?” tanya Lux sambil berusaha mengendalikan dirinya. Mara menarik tubuhnya kembali, lalu tersenyum lebar.
“Terima kasih banyak. Untuk semuanya. Sungguh.”
Lux terdiam tanpa mengutip kata-kata. Sepasang matanya menyimpan rahasia.
Keesokan paginya, Mara bersiap menemani Putri Jill yang hendak melihat sakura langit. Meski ia sempat kecewa karena Lux batal ikut, Mara tetap berupaya sebisanya untuk memastikan tidak ada bahaya yang mengancam Putri Jill. Sakura langit adalah pohon abadi yang tumbuh tepat di puncak gunung. Sosok yang membuat pohon sakura langit berhasil tumbuh dengan subur tanpa halangan adalah Tuan Mora, yang kepalanya ditanam oleh Mara dan ingatan-ingatannya siap dipetik. Mara berencana mengumpulkan ingatan-ingatan tersebut lalu mencari tahu bagaimana pohon sakura langit itu berhasil diciptakan. Ia akan mempelajarinya hingga bisa menanam pohon sakura langit lain di Negeri Monotropa.
Setelah persiapan selesai, Mara segera menggandeng Putri Jill erat-erat.
“Ini mungkin tidak senyaman menaiki kereta kencana atau terbang menggunakan sayap. Tapi ini akan jauh lebih cepat.”
Putri Jill hanya tersenyum mendengar arahan Mara yang sebenarnya sudah tidak penting lagi baginya. Putri Jill sudah mengenal Mara sejak kecil dan keduanya tumbuh bersama di lingkungan kerajaan. Putri Jill mewarisi kekuatan mendiang kedua orang tuanya: bangsa Aves dari ibunya yang bisa terbang, dan juga bangsa Canis dari ayahnya yang memiliki kecepatan dan ketajaman indra. Namun, karena sejak kecil sakit-sakitan, Putri Jill perlahan-lahan kehilangan kemampuan berburunya dan juga ketajaman indranya yang semakin melemah. Gerak tubuhnya juga tidak lagi tangkas. Singkatnya, Putri Jill menjelma menjadi sosok lemah yang nyaris membuat Raja serta Ratu Monotropa kehilangan harapan.
“Jangan khawatir. Saya sudah terbiasa dengan itu.”
Mara menatap Putri Jill lalu menganggukkan kepala. Detik berikutnya, keduanya memelesat cepat menuju puncak gunung yang meniupkan angin sejuk. Kelopak-kelopak sakura yang beterbangan membuat batu mestika Anarasia yang dipakai Putri Jill menyala-nyala. Ya mestika Anarasia yang ada di mahkota Putri Jill terbuat dari kelopak-kelopak sakura langit.
“Ini akan menyenangkan.”
Mara mengangguk mendengar ucapan Putri Jill yang terdengar sudah tidak sabar. Akan tetapi, saat baru sampai pertengahan jalan, sebuah kekuatan menahan pergerakan Mara. Ia terdorong mundur oleh kekuatan penuh yang terlambat disadarinya. Putri Jill yang berada di belakangnya, terpental jauh, jatuh berguling-guling lalu diam tidak bergerak.
Mara yang ingin menghampiri Putri Jill kembali ditahan oleh kekuatan yang entah mengapa terasa tidak asing baginya. Angin yang terasa hangat membuat Mara terkesiap.
“Tidak mungkin ….”
Saat Mara lengah karena mengkhawatirkan Putri Jill, sebuah serangan meluncur ke arahnya. Serangan yang berhasil ditangkis dengan tepat oleh Mara itu akhirnya membuat gadis itu menyadari apa yang terjadi.
“Lux?”
Dan akhirnya sosok itu muncul di hadapan Mara, sorot matanya yang tajam terasa menerkam. Tangan laki-laki itu menggenggam busur panah yang menyala-nyala.
“Lux, apa yang terjadi?” tanya Mara dengan nada sedikit bergetar. Ia sangat terguncang saat menyadari laki-laki yang sangat dicintainya menyerang dirinya dengan tiba-tiba.
‘Bagaimana bisa?’
Lux tidak menjawab. Sebagai gantinya, laki-laki itu kembali menyerang dengan kekuatan yang jauh lebih hebat lagi. Mara terpukul mundur. Ia menghapus air matanya yang entah sejak kapan berjatuhan, deras sekali.
“Bukankah ini kisah yang menyedihkan?”
Dari arah belakang Lux, Tetua Soma datang dengan wajah berseri-seri. Mara langsung tahu apa yang membuat Lux tiba-tiba melawannya. Tetua Soma pasti menyalahgunakan darah yang Mara korbankan saat datang ke kastelnya.
Mara yang mulai dibakar amarah segera merentangkan kedua tangannya. Ia tahu bahwa kali ini harus berkorban. Bukan hanya merelakan Putri Jill yang mati dengan mengenaskan, tetapi juga harus menghadapi pertempuran dengan Lux, sosok yang tidak pernah ia bayangkan akan menyerangnya seperti ini.
“Kamu tahu apa imbas paling menyenangkan atas kebodohanmu? Bukan hanya Lux, tetapi juga Kerajaan Monotropa yang runtuh. Saya tidak menyangka akan semudah ini. Sudah saatnya saya mengambil alih Negeri Monotropa yang malang ini.”
“Sayangnya tidak akan semudah itu. Negeri Monotropa belum runtuh. Masih ada ratu terakhir yang tersisa.”
“Siapa? Bukankah kamu sudah lihat sendiri Putri Jill yang mati dengan menyedihkan itu?”
Mara menyeringai. Ia mengumpulkan segenap kekuatannya sambil memejamkan mata. Dari arah gunung, kelopak-kelopak sakura langit beterbangan, berputar-putar, menuju ke bawah lalu kembali ke atas mendekati Mara, sambil menerbangkan mahkota dengan mestika Anarasia.
Mara tersenyum sambil meraih mahkota itu, lalu mengenakannya di kepala.
“Sepertinya Anda tidak tahu apa-apa tentang Negeri Monotropa.”
“Sialan! Sudah saya duga kamu bukan sosok sembarangan!”
Mara kembali menyeringai. Ia lalu membentangkan kedua tangannya, berbalik arah dan memelesat turun. Lux lagi-lagi mengadangnya, membuat Mara tidak punya pilihan lain. Saat itu juga ia melancarkan serangan terbaiknya, serangan yang belum pernah ia perlihatkan kepada Lux.
“Sayang sekali kita harus berakhir seperti ini.”
Lux terbelalak saat tangan kanan Mara menembus dadanya. Laki-laki itu lalu terpental jauh.
Mara kembali menghapus air matanya yang terus menetes deras. Ia kembali memelesat menuruni gunung. Ada sesuatu yang harus ia lindungi sebelum bertarung melawan Tetua Soma: pohon-pohon ingatan yang telah tumbuh subur. Ia tidak peduli dengan statusnya sebagai anak haram atau semacamnya. Saat itu, satu-satunya hal yang ingin ia lakukan adalah menyelamatkan Kerajaan Monotropa.
Mara berjanji akan melakukan apa saja sebagai ratu terakhir, bahkan jika itu harus mengorbankan dirinya sendiri.
Purworejo, 19 Juni 2023