SELAMAT ULANG TAHUN, ANGELINA

SELAMAT ULANG TAHUN, ANGELINA
Seperti halnya siluet, ia memiliki paras yang memikat walau kegelapan membuat rupa itu menjadi tersirat. Aku menemukannya di lorong malam, ketika lampu jalanan meletup dan membuat rute yang ia pilih menjadi suram. Kaki jenjang melangkah pincang, tangan gemulai mengacak rambut hingga masai. Aku menyesap sisa kopi yang sedianya akan kubuang, hingga kulihat gadis bergaun merah darah tersebut terperosok ke dalam lubang. Ia pun bangkit lalu telentang, menatap langit entah tiang listrik. Aku rasa ia menginginkan bintang yang mengambang di angkasa runtuh, membawa puing-puing tubuhnya kembali ke asal.
Aku mendekatinya sebelum puluhan bintang benar-benar jatuh. Ia tidak mengerang, walau sekujur tubuh banyak lebam. Sorot mata dengan kelopak setengah bengkak, menatapku penuh kebencian.
“Jangan pernah berpikir semua lelaki sama saja!” tukasku mengulurkan tangan.
Ia menggumam. Bibir tipisnya tampak merah, perpaduan sisa lipstik dan darah yang mulai kering.
“Setidaknya kalau ingin mati, pergilah dengan elegan!” saranku.
Entah mendapat kekuatan dari mana, gadis itu tiba-tiba bangkit dan menamparku. Aku tersenyum, tetapi ia makin mengamuk. Tangisnya pecah, seiring deru mesin mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi. Aku membawanya dalam pelukan. Konon, itu salah satu cara terampuh untuk meredam emosi perempuan.
Suaranya mulai hilang, menyisakan tubuh yang bergetar. Parfum yang menguar berbaur dengan amis darah. Tanganku mengusap kepalanya, dan mendapati cairan lengket di sana. Tanpa penolakan, kubawa ia ke apartemenku yang berada di seberang jalan.
***
Setelah dua hari, Angelina baru mau bercerita. Ia bertengkar dengan pacarnya di sebuah bar. Kepalanya dihantam botol, tubuh dipukuli hingga memar. Tidak ada yang datang membantunya. Selain sang pacar membawa senjata, ia pun hanya gadis sebatang kara.
Beruntung, luka-lukanya mulai membaik. Ia tidak membawa apa-apa, selain ponsel yang layarnya retak. Tas berisi uang dan kartu miliknya tertinggal di dalam bar. Mungkin sekarang telah berpindah tangan.
“Hari ini aku pulang malam,” pamitku sebelum menuju pintu keluar.
“Ya.” Angelina masih enggan menatapku. Ia membalik badan menghadap jendela. Kulihat ada jejak darah kering di sarung bantalnya.
Sejak kemarin, diam-diam aku mencari tahu jati dirinya. Ternyata ia memang sama sekali tidak memiliki keluarga di ibu kota. Setelah kutelusuri lagi, ia punya satu akun media sosial dengan pengikut hanya ratusan orang. Ia juga baru mengunggah satu buah foto saja. Tidak ada riwayat aktivitas lain.
“Ada masalah?” Rio menjatuhkan daging beku di atas meja. Aku pun mulai menyalakan mesin pemotong iga.
“Tidak,” sahutku malas. Hari ini pun aku enggan pulang. Angelina telah memakai ranjangku. Namun, bukan itu masalahnya. Ia memiliki tubuh yang sempurna. Bagaimana bisa aku terus menerus menutup mata setiap kali ia melintasi sofa tempatku berbaring?
“Padahal kamu sudah enak, tinggal memantau kami saja sesekali. Tapi, malah susah-susah masuk dapur, ikut kerja sampai malam. Apa sebenarnya kamu sedang butuh teman?” kelakar sahabatku tersebut.
Aku tidak menyangkal, tidak juga membenarkan. Apa kuceritakan saja soal Angelina?
Seperti ucapan Rio, sebulan ini aku memang dipercaya Papa memegang salah satu restoran milik keluarga. Setelah bekerja selama sepuluh tahun, ia baru yakin kalau aku mampu menjaga dan mengembangkan bisnis di bidang kuliner. Sop iga kami sangat terkenal. Rasa kuahnya tidak pernah berubah, walau sudah berdiri lima belas tahun lamanya.
Pukul 23.20 aku memutuskan pulang, usai menghabiskan gelas kopi ketiga. Lampu kamarku terlihat masih menyala. Angelina tidak beranjak dari tempat tidur sejak malam itu. Ia hanya mandi, makan, lalu menghabiskan waktu dengan memejamkan mata.
Aku membuka pintu. Tercium olehku aroma mi instan yang baru matang. Di dapur, Angelina menghadap kompor dengan kaus putih yang kebesaran. Di mataku, ia tampak seperti bangau. Rambut hitamnya terikat asal, menampakkan leher putih yang jenjang.
“A-aku membuat mi instan. Makanlah!” suruhnya gugup.
Aku membuang pandang.
“Maaf. Aku tidak bisa memasak.” Ia menunduk dalam.
Kutarik kursi, lalu duduk menghadap kepulan asap beraroma sedap. Angelina masih tidak beranjak dari tempatnya. Aku pun berdiri menghampiri rak piring. Kuraih sebuah garpu dan sendok.
“Ayo makan bersama!” ajakku mengulurkan benda yang baru saja kuambil.
“Ti-dak. Kamu saja,” tolaknya lirih.
“Aku memaksa!” tegasku.
Ia pun duduk. Kami menyantap semangkuk mi rasa ayam bawang dalam diam. Sesekali Lina meringis, menahan sakit pada bibirnya yang pecah.
Usai makan, aku mencari angin di balkon. Kulihat beberapa pakaianku telah berjajar, wangi. Bahkan sarung bantal bernoda darah yang kulihat tadi pagi sudah kembali bersih, meski masih sedikit menyisakan bercak cokelat. Gadis itu tampaknya cukup tahu diri. Ia membersihkan rumah saat aku ke restoran.
Angelina datang mendekat. Ia masih menyembunyikan matanya dari tatapanku.
“Aku akan membayar biaya hidupku selama di sini,” ujarnya pelan.
Aku menoleh. “Kamu punya uang?”
Ia menggeleng.
“Terus?” Aku mengernyitkan dahi.
“Pakailah tubuhku.”
***
Beberapa hari kemudian, kami menjadi lebih sering mengobrol. Angelina ternyata lebih riang dari dugaan. Namun, sesekali ia masih menceritakan tentang pacarnya. Bagaimana lelaki itu mendekatinya, memberi pekerjaan yang membuatnya bisa bertahan hidup, hingga kesalahpahaman berujung kekerasan. Entah kenapa saat ia menyebut nama sang pacar, dadaku bergetar.
“Dia baik. Tapi, malam itu dia minum terlalu banyak alkohol. Aku yang salah. Mengajaknya ribut di waktu yang tidak tepat,” sesalnya.
Aku berdiri, menarik tangannya yang masih menggenggam cangkir.
“Ayo kuantar kepadanya! Minta maaf, jika memang kamu masih ingin bersama dia,” ajakku.
Angelina terkejut. Ia meneguk sisa teh dengan susah payah, lalu menepis tanganku pelan.
“A-aku ingin di sini lebih lama. Jika kau mengizinkan,” tuturnya.
Aku menarik napas dalam-dalam. Dalam beberapa detik, mata kami bertautan. Angelina memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang menggemaskan.
“Kalau begitu, kita menikah saja!” tandasku.
Gadis itu membeku. Ia menatapku sekali lagi dengan ekspresi ragu. Kemudian bulir bening dari matanya bergulir. Ia terisak, menggelengkan kepalanya yang beberapa hari lalu terluka.
“Aku bukan gadis baik-baik. Kau pasti tahu itu,” lirihnya.
“Lalu kenapa?”
“Kenapa?” Ia tertawa hambar.
“Aku tidak ingin tahu masa lalumu,” yakinku.
Matahari sore menimpa tubuhnya yang anggun. Ia adalah siluet yang nyata. Seperti halnya magnet, meskipun gelap ia sanggup menarik kepingan hati dan menggetarkan nadi.
Aku tidak main-main dengan ucapanku. Seminggu kemudian, kami menikah diam-diam. Di luar sana, aku tahu pacar Angelina masih mencarinya. Sebab itulah ia tidak kuizinkan keluar rumah. Segala kebutuhannya aku yang belikan.
“Aku memberimu kebebasan di rumah ini. Tapi, khusus ruang kerjaku, jangan pernah kamu usik. Biar aku saja yang mengurusnya,” pesanku sore itu.
Angelina mengangguk. Ia meneruskan pekerjaannya mengepel lantai. “Hati-hati, Mas,” ucapnya.
Aku memberinya satu kecupan di dahi. “Apa minggu depan ulang tahunmu?” tanyaku sebelum berangkat ke restoran.
“Ah, iya. Dari mana kamu tahu?”
Jariku menarik sebuah kartu dari selipan dompet. KTP Angelina berhasil kudapatkan beberapa hari lalu. Setelah mengunjungi bar tempatnya bertengkar dengan sang pacar, aku hanya mendapatkan kartu identitas tersebut dari salah satu pegawai.
Angelina menerimanya dan menatap kartu tersebut dengan wajah sendu.
“Ya. Minggu depan usiaku genap dua puluh tujuh tahun,” gumamnya.
“Apa yang kamu sukai?” tanyaku.
“Yang aku sukai?” Angelina terdiam.
“Baiklah. Pikirkan saja pelan-pelan. Aku jalan dulu,” pamitku.
Aku sudah sepenuh hati memercayainya. Kuharap, apa yang telah dan akan kuberikan bisa membuatnya bahagia. Tanpa Angelina sadari, aku sudah tahu apa saja yang ia suka. Di hari ulang tahunnya, akan kuberikan benda tersebut sebagai hadiah. Tunggu saja, Sayang!
***
Kuremas ponsel dengan gusar. Rekaman CCTV menampakkan bahwa ada yang masuk ke ruang kerjaku dan mengambil beberapa barang. Angelina telah meruntuhkan kepercayaanku. Bagaimana bisa ia melakukannya setelah apa yang kuberikan selama ini?
Namun, aku masih bisa meredam emosi. Mungkin ia hanya penasaran. Kami bisa membicarakan nanti baik-baik. Lagi pula, ia tidak pernah keluar rumah. Tidak ada yang perlu kucemaskan.
Besoknya, kulihat Angelina memasukkan sesuatu ke dalam minumanku. Ia pasti tidak menyadari bahwa di dapur kupasang kamera pengintai. Entah apa tujuannya, tetapi aku harus hati-hati. Kuusahakan ia tidak curiga, bahwa aku mengetahui aksinya.
“Minum, Mas,” ucapnya mengulurkan secangkir teh.
“Terima kasih.” Aku mengangguk. Angelina duduk, tetapi tubuhnya seperti bergerak gelisah.
“Ada apa?” tanyaku heran.
“Ah, a-aku baru mencoba suplemen kesehatan. Mungkin baru berefek sekarang,” sahutnya malu.
Aku tertawa. “Benarkah?”
“Iya. Makanya kamu juga cobalah,” titahnya menunjuk cangkir teh.
Aku pun meraih cangkir tersebut, tetapi tiba-tiba seekor cecak menjatuhi tangan. Karena kaget, kujatuhkan minuman hingga membasahi meja. Cangkir tergelincir, pecah membentur lantai.
“Astaga! Kaget. Maaf, Sayang,” ujarku tak enak hati. Angelina tampak kecewa, tetapi ia lekas membereskan tumpahan tanpa mengatakan apa-apa.
“Bereskan besok saja. Ayo, tidur!” ajakku menarik tangannya.
Angelina tidak bisa menolak. Seperti itulah yang terjadi setiap malam. Namun, untuk kali ini ia tampak keberatan. Aku tidak yakin, benda apa yang telah ia masukkan ke dalam cangkir. Semoga saja bukan racun. Ah, tidak mungkin Angelinaku melakukan itu.
***
Beberapa hari terakhir, Angelina izin keluar rumah. Aku tidak mengindahkan permintaan tersebut, sebab aku yakin di luar masih berbahaya.
“Ini mantanmu, bukan?” tanyaku menunjukkan sebuah foto kepadanya.
Angelina mengangguk kaget.
“Kemarin ia ada di sekitar apartemen. Kalau kamu keluar sekarang dan menjumpainya, kira-kira apa yang akan terjadi?”
Ia menunduk.
“Dia memang memukuliku malam itu, tapi ….”
“Apa kamu masih mencintainya?” tuduhku kesal.
“Ti-tidak.”
“Bagus. Karena itulah lupakan dia. Aku tidak suka kamu memuji bibirnya yang seksi,” tandasku.
“Kapan aku ….” Angelina melebarkan mata.
“Kau selalu mengigau. Hampir setiap malam,” ungkapku.
Matanya mulai berkaca-kaca. “Maaf,” ucapnya lirih.
Aku memeluknya. Tidak ada yang bisa mengusik cintaku, termasuk lelaki gila itu. Angelina sudah menjadi milikku. Aku tidak akan melepasnya, kecuali ia sendiri yang menginginkan.
“Aku akan pergi lagi,” bisikku.
“Tapi, ini sudah malam,” sahut Angelina samar-samar.
“Aku akan mempersiapkan hadiah untuk ulang tahunmu besok,” jelasku mengecup rambutnya yang lembut.
Angelina menguap panjang. Obat tidur yang kuberikan ternyata sudah bekerja. Perlahan, matanya memejam sempurna. Ia tertidur dalam pelukanku.
“Tidurlah, Sayang! Aku mencintaimu. Selamat ulang tahun,” bisikku membawanya ke tempat tidur.
***
Tepat saat matahari bersinar hangat, Angelina terbangun. Aku menyambutnya dengan pelukan. Ia pun menepis tanganku, mengatakan bahwa ingin mandi dahulu.
“Mungkin kamu harus membuka kado di sana dulu,” anjurku menunjuk meja kecil di balkon.
“Kado?” Ia terkejut.
“Iya. Selamat ulang tahun, Angelina.”
Istriku turun dari ranjang, tetapi kulihat tubuhnya gemetaran. Ia sepertinya sedang tidak enak badan. Dahinya memang panas. Namun, aku ingin ia segera membuka kado pertamanya dariku.
“Aku buka, ya.” Angelina menatapku yang masih duduk di ranjang.
Beberapa detik kemudian, ia menjerit. Aku kaget, apa hadiahku tidak sesuai?
“A-apa ini?” Ia menjatuhkan kotak berwarna hitam tersebut.
“Sesuatu yang kamu sukai. Hidung, bibir, dan mata pacarmu. Satria,” sahutku santai.
Angelina terduduk di lantai. Ia menangis tanpa suara. Tangannya meraba ke belakang, ke arah pot bunga. Sebilah belati ia keluarkan dari balik tanaman monstera.
“Apa yang kamu lakukan, Sayang?” Aku mendekat.
“Diam! Aku tahu siapa kamu. Psikopat!” hardiknya parau.
Aku tertawa. “Aku hanya memberikan apa yang kamu suka. Apa itu salah?”
Angelina menangis. Ia menodongkan belati yang ia ambil dari ruang kerjaku dengan gemetaran.
“Biarkan aku pergi!” pintanya memelas.
“Tidak. Kamu sudah menjadi milikku.”
“Reza, aku mohon!” Ia berdiri.
“Sayang ….”
“Berhenti memanggilku sayang!” teriaknya.
Kotak hitam kupungut. Saat itulah sekelebat bayangan melesat, tanpa sempat kuraih. Angelina melompat dari lantai sebelas. Beberapa menit kemudian, di bawah sana orang berkerumun. Aku terduduk, memeluk kotak hadiah yang sia-sia.
“Yah, pada akhirnya kau sama saja dengan Selena. Kenapa semua perempuan menganggapku gila? Padahal aku hanya memberikan apa yang mereka suka,” gumamku beranjak ke ruang kerja.
Aku meremas koran keluaran lima tahun yang lalu. Headline berita menampilkan seorang gadis yang tewas bunuh diri dari lantai sebelas sebuah apartemen bernama Selena Putri. Ia diduga depresi, padahal bukan itu sebabnya. Ia hendak kabur setelah memasuki ruang rahasiaku.
“Selamat jalan, Angelina.” Aku membakar foto gadis cantik bak bangau tersebut beserta potongan tubuh Satria. Aroma amis dan daging panggang memenuhi kamar. Aku tertawa hambar. Jika sudah saatnya, benda di laci itu akan kugunakan. Beruntung di hari aku melihatnya dalam rekaman CCTV, Angelina hanya mengambil belati dan bubuk racun, ketimbang pistol yang sudah siap pakai. Aku menimang benda tersebut.
“Apa sekarang saja?” Aku menatap langit-langit kamar.
Ketukan pintu membuatku mengerjap. Dari layar CCTV, kulihat polisi datang.
“Selamat pagi!”
Aku menarik napas panjang. Sekali, dua kali.
Dor!
***
Jakarta, 18 Juni 2023
Rachma Nurlela. Perempuan asal Jawa yang berdomisili di Jakarta. Menyukai bacaan berbau horor, misteri, dan petualangan. Rangkaian aksaranya termuat dalam delapan novel solo, serta beberapa antologi bersama. Menulis merupakan hobinya sejak dini yang perlahan menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari. Karya lainnya bisa ditemukan di platform KBM Apps dan Joylada.