Tugas Kelas Puisi Imagisme Level Intermediete

Tugas kelas puisi Imagisme Level Intermediete
Boby Waluyo Purna Irawan
Tak Ada Sapa
lampu-lampu padam
gelap menyusup
pada celah jendela
yang setengah menganga
sejak petang tadi
sunyi perlahan terurai
helai demi helai
mahkota bunga palsu
gugur satu per satu
sehelai terlentang
sehelai lagi tengkurap
di sebelahnya
arloji berhenti menaruh deritnya
di atas meja
tak ada lagi sapa
antara bunga palsu
dan puntung rokok itu
15/03/2023
>> Komentar <<
Halo, Bob!
Tak Ada Sapa. Pada puisi ini, tak ada sapa dan siapapun kecuali lanskap bisu mencekam: jendela yang terbuka, gelap yang memenuhi kamar tanpa penerang. dalam gelap itu jam mati, bunga palsu rontok helai perhelai, dan kebisuan antara bunga dan puntung rokok.
bunga palsu dan puntung rokok tampaknya menjadi dua tokoh utama yang mendominasi puisi-puisi kamu. bunga palsu buatan ibu (di puisi kedua, “bunga palsu”), sedangkan puntung rokok milik ayah.
Aku kurang mendapat penyingkapan yang cukup untuk merekonstruksi hubungan dan kehidupan ibu dan ayah, tapi setidaknya aku coba rangkai potongan-potongannya: ayah telah koma selama tujuh tahun, sebagaimana puntung rokok itu telah bertahan di asbak selama itu (di puisi “bunga palsu”).
selama koma, ayah dirawat di ruang icu hingga kematiannya di pagi hari (puisi “ruang icu”). di puisi tersebut juga disebutkan bahwa penyakitnya berhubungan dengan rokok. suatu hubungan yang tepat, antara penyakit ayah dan perihal puntung rokok yang kerap dihadirkan.
ibu mengharapkan ayah tetap hidup (di puisi “bunga palsu”), namun kematian ayah nyatanya tak dapat ditepis, sebagaimana digambarkan sebagai puntung rokok yang “sudah terperangkap gelap yang abadi” (puisi “di ruang tamu”). hingga ruang tamu, bahkan rumah, mencekam dalam kebisuannya (pada puisi “tak ada sapa”).
potongan-potongan yang kamu susun ini setidaknya memberi gambaran umum bagaimana suasana dan cerita tentang ayah dan ibu. kamu bahkan bisa memperluasnya dan menyusun buku puisi dengan judul “kematian ayah”.
tentunya, kamu masih dapat menyingkap hal-hal lain terkait kematian ayah. kamu belum menggarap bagaimana kehidupan ibu, bagaimana ibu merawat ayah (hanya sekilas di “bunga palsu”) atau juga bagian yang belum digarap sama sekali, yakni tentang “aku”. tentang apa makna kematian ayah bagi si “aku”, atau tentang hubungan anak-orangtua.
puzzle-puzzle ini memberi potensi yang luas untuk menulis satu tema dengan memecahnya menjadi kepingan-kepingan.
tuntaskan, bob. aku mau dikabari jika buku puisimu yang tema ini digarap lebih menyeluruh. 🤟
Es Ha
#Tugas_6
Bintang Emill Maleate
Hanya Titik
di ujung halaman senja
jingga kian luntur
sebab sebuah titik
berubah menjadi pisau
membelah langit
hingga hujan tumpah ruah
di matanya
Kemudian ia menggeledah
lembar demi lembar sebelumnya
mencari jawaban
dari kata-kata yang menggenang
dan suara sepasang sepatu
berlari
menghasilkan tempias
yang meruncing seperti tombak
menghunjam dadanya
hanya titik, ditemukan
menggelembung seperti balon
mengambang tinggi di angkasa
lalu meletus
di jantungnya
hanya titik
tidak ada penjelasan
halaman terakhir usai
15 Maret 2023
Setor
Miss Kerry
Mentor Es Ha
Semakin ke sini semakin ke sono.
Otak kentang buntu🤧🤧🤧
hola, ntang
hanya titik. puisi ini hendak menggambarkan sebuah akhir, sebagaimana titik di akhir kalimat. bahkan di akhir halaman. diawali dengan “di ujung halaman senja”, yang dilukis dengan surealis, mengenai titik yang membelah langit, langit terbelah yang menumpahkan hujan, hujan yang ternyata berada di mata.
sepertinya, titik akhir ini membuat tokoh dalam puisi ini mengingat kembali hal-hal yang telah dilalui, “lembar demi lembar sebelumnya”, kenangan tentang “suara sepasang sepatu berlari”. pencarian yang berujung pada titik, titik yang (secara imajinatif) digambarkan:
___
menggelembung seperti balon
mengambang tinggi di angkasa
lalu meletus
di jantungnya
___
gambaran ini cukup bagus dalam menawarkan imajinasi ke pembaca. menurutku, manfaat mempelajari imagisme adalah kepekaan dalam mengolah imaji. bahkan jika kamu tidak menulis puisi imajis, maka teknik yang dipelajari tetap berguna.
sejak tugas awal, kamu sudah berlatih menggambarkan puisi secara konkret. mencoba melihat terminal, anak kecil, bus, sopir, suasana riuh di sana. kamu sudah mencoba menggambarkan, showing, atas apa yang kamu lihat.
namun, tentunya puisi tidak hanya menyalin realitas, dan itu sudah kamu tunjukkan di puisi kedua, menggambarkan cinta yang seperti candu. kamu berupaya menggambarkan kesan kesan dalam diri orang yang mabuk mariyuana.
begitupun pada puisi ketiga, yang dari kertas bekas bungkus nasi kemudian menjelma perahu. dalam kepala anak-anak, perahu ini pun melahirkan cerita seru. dalam puisi ini kamu tidak hanya menyalin kenyataan, melainkan menyelam lebih dalam lewat sepotong kejadian. tidak hanya melihat, namun juga memainkan apa yang dilihat.
pada puisi keempat, menurutku itu pencapaian terjauh kamu. di mana kamu mengeksplorasi bunga higanbana yang tidak hanya bersifat fisik, tapi juga simbolik. dari realitas menyeberang ke surealitas. aku masih suka dengan kata-kata “sekuntum higanbana tumbuh di jantung kakek”. seolah mengatakan kematian yang ikut berdetak di dalam dirinya, sambil melepas setiap keping kehidupan.
puisi kelima skip lah ya 😌😆 yang jelas memang daur ulang metafora tampaknya harus didahului materi dasar metafora yang memadai, yang merupakan materi dasar. niatnya menyertakan sedikit di kelas ini untuk memberi pemahaman soal imaji-metafora, aku kira para peserta sudah mempunyai pemahaman dasar yang memadai mengenai metafora. karena toh kebanyakan belum, akhirnya tugas kelima banyak yang di bawah standard. but it’s okei. mungkin suatu saat ketika kalian sudah mempelajari metafora dengan betul, kalian bisa melakukan daur ulang sendiri. ☕
begitulah, bintang. kelas imagisme sebetulnya sangat bermanfaat sebagai teknik memaksimalkan imaji. sehingga puisimu semakin mengesankan, jauh dari kesan menye-menye sebagaimana berseliweran di fb.
jangan berhenti di tahap ini. terus belajar dan mengembangkan kemampuan berpuisi, yes.
#temaperpisahan
Wie
Lengah
Kita pernah
mencari air untuk tanah kering
di huma ini
sungai-sungai membatu
sedang lelatu
tumbuh
saat benih kita tabur
lalu kau pergi
tak beralas kaki
Duhai, Maria
di tepi sungai mana
hijau hujan mengutus jiwamu
sedang di sini
aku memikirkan
pada dada sebelah mana
kutikam
sabitnya bulan
Maria, kuncilah inci nadiku
dengan rantaimu
atau
rimbuni jasad ini
di bawah kerontang tanah lapang
150323wa
hola, wie.
aku memilih untuk membedah puisi “usai” yaa. puisi “usai”, dengan dua larik saja, mampu memberi kesan yang tajam. “lelatu padam” yang kemudian “menyisakan abu”. ini memberi kita potret singkat. namun tidak berhenti di situ. sebab, ternyata “abu” tadi bukan semata-mata abu yang tersisa dari api biasa. abu itu ternyata berada “di geriak otak”, abu yang berkerumun di pikiran. di dalam diri.
ada patahan (atau “kireji” dalam haiku) yang memuat kontemplasi. bukan sekedar melihat realitas begitu saja, namun kontemplasi mendalam akan realitas. di titik ini, “lelatu padam” di larik pertama bahkan mendapatkan makna ganda: kita bisa menatapnya sebagai lelatu dengan kualitas konkretnya, juga bisa menatap lelatu sebagai perlambang bagi hal-hal lain, misalnya percikan atas semangat atau hasrat hidup, (orang biasa mengatakan tentang semangat sebagai orang yang berapi-api), bisa juga amarah yang reda (kadang, api juga melambangkan amarah), bahkan juga bisa bermakna hidup itu sendiri (urip iku urup, hidup adalah nyala).
menurutku, yang paling menarik dari haiku (yang bagus, tentu saja) adalah kemampuan membuka sekian pintu makna lewat secercah kata-kata. dan puisi ini, yang cukup dekat dengan haiku (imagisme juga terinspirasi haiku dan puisi klasik cina) telah menggambarkan hal itu dengan cukup baik.
kemampuan kamu dalam menyingkap permenungan dari hal-hal di sekitar adalah potensi yang penting.
misalnya dalam puisi keduamu, “dandelionku”, yang mencoba menautkan permenungan pada tiap bagiannya. atau juga pada puisi “ayah”, kamu merangkai dan menghidupkan permenungan lewat sejumlah hal kecil seperti tabung bambu, lebah yang pindah rumah, prenjak, daun kawung, kacapiring. itu semua mengubah sudut pandang umum yang menganggap puisi harus disusun dari hal-hal besar atau diucapkan dengan berlarat-larat. mereka yang beranggapan begitu mestinya membaca puisi-puisimu, dan puisi-puisi lain yang disusun dari lanskap sehari-hari.
selain kemampuan menyingkap permenungan, perkembangan kamu yang terlihat juga dari proses sebulan ini adalah tingkat presisi dalam mengolah imaji. presisi atau ketepatan ini penting untuk puisi imagis. sebab, jika imaji tidak presisif, maka efektivitas dalam menyampaikan perasaan atau permenungan juga bakalan kurang.
dari tugas ke tugas lainnya, kamu berkembang dari segi ketepatan dalam mengolah imaji. kata-kata yang kurang konkret dan presisif di puisi pertama, misalnya dalam kata-kata “gelenyar sapa dipetik rona”, kemudian membaik di puisi kedua, yang lebih seperti melukis dandelion sambil merenungkan pemaknaannya. terus membaik (kecuali di puisi kelima yang memang cukup jadi kendala bagi peserta-peserta lain) hingga kemudian menjadi setajam puisi terakhir, “usai” ini.
potensi-potensi yang aku sebutkan di atas, adalah modal berharga untuk dikembangkan ke depannya, yaa. semoga semakin piawai menghidupkan ruang renung, makin kreatif memilih dan mengolah hal-hal kecil. masih banyak hal yang dapat kamu kembangkan.
terus tumbuh, wie. 🔥
Melepas Bayang
Ia memanggang bulan
yang disauk dari lautnya
sebagai hadiahku esok pagi
“Untuk kenangan.”
Aku pun menyobek awan
mengupas matahari
lalu kugantung di dahinya
“Semoga arah tak menyesatkanmu.”
Aku berbalik
dan ia menuju entah
Kami tinggalkan dingin
menari di atas cermin
2023 Lanang Irawan
halo, lanang ☕
melepas bayang. melepas ingatan, atau melepas siluet terakhir kepergian. bait pertama, “untuk kenangan” kamu mencopot bayang bulan di laut. kemudian dibalas dengan (masih di laut) menyobek awan dan mengupas matahari untuknya, agar “arah tak menyesatkanmu”.
cukup sulit menentukan dua bait ini perihal apa. yang satu mengambil anasir malam, yang lain mengambil anasir siang. yang satu menciduk bulan, yang lain mengupas matahari dan menyobek awan. betul-betul hadiah perpisahan yang ganjil. tapi mungkin tidak serumit itu: yang satu memberi kenangan, yang lain memberi penunjuk jalan.
sebetulnya aku ingin memberi alternatif: untuk penunjuk jalan, ada yang lebih sesuai: rasi bintang. matahari memang erat kaitannya dengan timur-barat (arah), juga jam (waktu). tapi soal penunjuk jalan (apalagi di bait pertama menyebut laut), lebih akurat rasi bintang, yang digunakan untuk membaca arah di laut. lagipula masih satu frame dengan bulan. jadi kaitan logika bait satu dan dua lebih terbentuk.
kaitan logis antar-bagian juga ingin aku tekankan untuk melihat kaitan dua bait awal dengan bait ketiga, bait terakhirnya. ada cermin di situ (“menari di atas cermin”). awalnya aku membatin kenapa tiba tiba ada cermin? atau mungkin, ini masih membicarakan laut, yang memang dapat menjadi cermin? lagipula kata-katanya “di atas” cermin, bukan di depan. menandakan cermin itu terbaring horisontal. setidaknya begitulah aku mencoba membayangkannya.
kaitan logika antar bagian. bahkan untuk lanskap surealis pun, koherensi antar-bagian inilah yang dapat dijadikan sandaran bagi pemaknaan puisi keseluruhan. itulah pentingnya koherensi. saling menopang keutuhan dan keselarasan.
koherensi antar bagian juga dapat membuat lanskap yang ganjil sekalipun jadi make sense. jadi terasa nyata. jadi konkret. hal ini juga udah aku singgung di puisi ketiga, “suatu hari yang tak jadi”. kilasan-kilasan lukisan ganjil perlu mendapat ground yang solid, keterkaitan antarbagian yang memadai bagi pemahaman.
begitu juga dengan puisi kelima, “dongeng seribu komuk”. aku menekankan keterkaitan antar bagian, dan cara ungkap yang konkret agar imaji dari muka-muka yang tampilkan lebih berhasil membawa dan menggugah pembaca.
keutuhan dari keterkaitan antar bagian dan cara ungkap yang konkret sebetulnya telah terwujud dengan baik, di puisi keempat: “yang hilang dari pelayaran”. di puisi ini kamu berhasil menggambarkan bagaimana maut menjemput, dengan cara cukup dramatis: perompak gelap yang menyergap dan membawa kapal layar ke titik ufuk. nggak biasa. unik. bagus. dan, yang terpenting: tertata dengan rapi dan utuh.
peralihan dari suasana dramatis ke melankolis juga dibuat dengan peralihan yang halus. peralihan dari tengah laut ke pasir pantai, dari kapal ke istana pasir, dari perompak ke bocah yang bertanya dengan lugu kepada ibunya. konkret, imajinatif, dan menyentuh.
konkret, imajinatif, dan menyentuh. mungkin ini karakteristik cara ungkap yang perlu kamu pertahankan dan kembangkan, lanang.
sebagaimana puisi pertama kamu di sini, “kepergian di bandara”, yang memotret secara kreatif orang orang berangkat dan pesawat lepas landas. waktu itu aku menyebutnya: singkat, jernih dan tajam. dengan dua bait, mempu menggambarkan secara jernih dan menyentuh.
begitupun puisi kedua, yang cukup imajinatif dalam menggambarkan cinta, menggunakan api-kayu-ranting tua sebagai alat ucapnya.
namun, yang menjadi tantangan ke depan, adalah penulisan puisi yang relatif lebih panjang dan menyertakan lebih banyak “tokoh” atau hal-hal yang diangkat. dalam puisi-puisi seperti tugas ketiga dan kelima, kamu belum menemukan keutuhan dan kerapian dalam penggarapannya. titik lemahnya adalah keterkaitan antarbagian yang belum digarap maksimal, serta cara ungkap yang belum cukup konkret untuk dibayangkan secara utuh.
demikian, potensi dan tantangan kamu, semoga cukup sebagai penunjuk jalan ke depan. juga, sebagai bahan pijakan untuk menjadi lebih keren.
oke oke. ☕