Momster - Whed
Cerpen Juara 1 pada Event Menulis Genre Thriller, Mystery, & Psychological 2024
Momster
Detak jarum jam. Suara aliran air dari keran. Gelap. Launa berada di balik selimut yang membungkusnya. Ia mempertajam pendengaran. Tidak ada lagi suara aliran air keran. Matanya terbelalak saat mendengar embusan angin yang menyerupai deru napas.
“Ibu!” Launa terlonjak bangun, lalu lekas turun dari ranjang, dan berlari mencari sang ibu.
Sarah—ibu Launa—masih di sana, duduk di meja makan di bawah lampu redup, menghadap secangkir kopi. Wajahnya dikerumuni asap rokok. Keberadaan wanita itu sudah membuat Launa lega, meski kemudian, Launa menuangkan kopi ibunya ke bak cuci piring. Cairan hitam itu larut bersama air hingga lenyap tak bersisa. Racun itu pasti sudah ikut pergi, pikir Launa tenang.
Ibu Launa menjentikkan rokok ke asbak, lalu kembali mengisapnya dalam-dalam sambil menutup mata. “Sudah minum obat, Sayang?”
Launa masih mematung di dekat bak cuci piring. Ia menatap cangkir kopi di tangannya. “Aku hampir kehilangan Ibu,” katanya dengan suara parau.
“Ibu baik-baik saja.”
“Tidak, jika tidak ada aku. Orang itu sudah berjanji akan datang. Dia sudah mencatat nama Ibu.”
“Ibu bisa menjaga diri. Istirahatlah.”
“Ibu, jangan lupa mengunci pintu!”
“Jangan khawatir.” Sarah kemudian melenggang pergi.
Launa akhirnya pergi ke kamarnya, lalu merebahkan tubuh di ranjang setelah menyumpal telinganya dengan earphone, dan mengatur suara musik dengan volume keras.
Malam akan selalu menjadi waktu terlama. Paling menyiksa. Launa akan terjaga, atau barangkali ia hanya was-was jika sewaktu-waktu ‘orang itu’ datang. Launa tahu, ‘orang itu’ akan datang tanpa tanda. Berarti ia datang tiba-tiba.
Launa membenamkan tubuhnya di balik selimut. Tangannya merogoh bawah bantal, memegang gagang pisau yang dingin dengan erat.
***
Seorang ibu rumah tangga (38 tahun) ditemukan tewas di kontrakan. Korban mendapat lima tusukan di leher. Tidak ada tanda-tanda perampokan maupun pencurian, sama seperti kasus satu bulan sebelumnya. Polisi menduga, pelaku murni merencanakan pembunuhan tersebut.
Polisi masih memeriksa beberapa saksi, juga keluarga korban. Selain itu, petugas juga mencari keterkaitan dengan kasus satu bulan lalu, yang mana korban adalah ibu pekerja kantoran, sama-sama mendapatkan lima tusukan di leher.
Berita itu mengawali pagi Sarah. Tangannya gemetaran. Ia teringat ocehan putrinya tentang pembunuhan yang akan menimpanya. Wajar saja bila gadis itu membayangkan hal mengerikan, pikirnya. Berita itu pasti sudah memengaruhinya.
Akan tetapi, tubuh wanita itu menegang ketika tersadar, putrinya mengoceh tentang ancaman itu dua bulan lalu—sebelum ada berita kasus pembunuhan. Ah, mungkin ia pernah membaca berita lain, pikirnya—menenangkan diri, meskipun jantungnya masih tak bisa berdetak normal.
Wanita itu kemudian menekan remot dengan kuat. Televisi pun berubah gelap, menampilkan bayangan perempuan yang berdiri dengan rambut terurai.
“Astaga, Launa!” Sarah refleks melempar remot. Ia lalu menoleh pada sosok yang bediri di belakangnya.
“Ibu baik-baik saja?”
Sarah memegangi dadanya, lalu mendongak mengamati putrinya: wajahnya terlihat lelah, mungkin ia tidak tidur lagi, sedikit berminyak; ada lingkaran gelap mengelilingi matanya; rambut sebahunya dibiarkan terurai; ekspresinya tidak bisa dibaca.
“Ibu?”
Sarah tersentak. “Oh, hai, Sayang? Ingin pergi?”
Hari ini jadwal Launa mengunjungi psikiater. Namun, Sarah tidak tahu, sudah beberapa kali anak gadisnya tidak ke sana lagi. Ia merasa tidak membutuhkan dokter sebab ia baik-baik saja.
“Ada kuliah pagi.”
Sarah mengernyit; Launa memberi tatapan dingin.
“Kau yakin akan ke kampus?”
“Aku akan baik-baik saja, Bu.” Ia memang ingin ke kampus, bertemu dua temannya, Brian dan Samara. Kedua orang itu berhasil membujuknya untuk mengunjungi kampus.
“Ibu percaya.” Sarah tersenyum. “Oh, ya, Ibu masuk siang. Jadi, Ibu tidak bisa menemanimu ke tempat dr. Brita.”
“Orang itu sudah sampai di kota ini.”
“Orang yang….”
“Ya. Orang itu. Orang yang mengancamku akan menusuk leher Ibu. Pasti tak lama lagi dia akan muncul tiba-tiba. Bagaimana kalau kita pindah saja?” Launa mulai gugup. Matanya jelalatan memindai sekeliling ruangan. Jam dinding, televisi, pintu yang tertutup rapat, buffet, dan benda-benda lainnya seakan memberitahu, orang itu sudah dekat. Kini, matanya tertuju pada figura yang menampilkan potret satu perempuan dewasa dengan dua balita: ia, saudari kembarnya, dan ibunya.
Bintik-bintik keringat bermunculan di kening Launa. Tangannya mencengkeram tali tas yang tersampir di bahunya.
“Ibu, tetap waspada!” Launa melirik sekeliling.
Wajah Sarah menegang. Dalam hatinya, wanita itu menertawai dirinya sendiri, mengapa bisa-bisanya ia terpengaruh dengan ucapan Launa yang sudah jelas hanya halusinasi.
“Ibu janji,” katanya kemudian, sambil terus mengawasi langkah Launa hingga menghilang di balik pintu.
Dalam perjalanan menuju kampus, Launa membuka ponselnya, lalu mencari nama teman online-nya selama ini, teman yang tahu segala rahasianya.
“Aku akhirnya keluar rumah. Senang bisa menghirup udara pagi.”
“Keren! Semoga harimu menyenangkan, Launa.”
“Yeah. Senang karena akhirnya aku akan pergi bersama Brian dan Samara. Hanya mereka temanku. Dan kamu.”
***
Malam kembali datang.
Deru napas. Langkah kaki. Launa menatap pintu kamar. Ada bayangan di bawah pintu itu. Tepat berhenti di sana. Jantung Launa berdentum-dentum. Ia mencengkeram gagang pisau dengan erat sambil melangkah menuju pintu. Ia mengintip keluar melalui lubang kunci.
Tiba-tiba Launa tersentak mundur. Yang ia lihat di luar hanya hitam. Entah bola mata atau lampu padam. Gadis itu merangkak, kembali ke ranjang, menyembunyikan seluruh tubuh di dalam selimut. Matanya terpejam rapat-rapat, tapi ia bisa melihat, seseorang mengangkat tangan, mengarahkan benda runcing kepada ibunya. Satu kali, dua kali, tiga kali, hingga lima kali.
“Satu sangat kurang. Dua tidak cukup. Tiga belum seberapa. Empat lumayan. Lima setimpal.”
Launa menjerit sambil mengarahkan pisau ke udara. Pisau terlempar, tepat saat ibunya membuka pintu kamar. Benda itu jatuh di kaki sang ibu, hingga wanita itu memekik. Kakinya tergores. Perih menjalar. Darah keluar dari, lalu merambat ke lantai dengan amat pelan.
Mereka bertatapan dalam remang lampu kamar. Bibir Launa berkedut. Sarah mendekat dengan rasa takut. Tangannya terentang, menyambut anak gadisnya ke dalam dekapan.
“Tadi Ibu menelepon dr. Brita.”
Launa menarik diri dari dekapan sang ibu, mendongak, menatap wajah wanita itu. Pucat. Wajah itu seakan menyimpan ketakutan yang teramat. Apakah tadi ia bertemu ‘orang itu’?
“Besok, kita akan menemui dr. Brita. Setuju?”
Launa pun mengangguk meski ia ragu.
Menit berlalu. Launa berbaring. Kepalanya miring menghadap jendela yang terhalang gorden biru.
Sarah sudah berlalu ketika menyadari kakinya terasa ngilu. Setelah mencuci dan membalut lukanya, ia menelepon ayah mertuanya.
“Sekali lagi, maaf sudah merepotkan Bapak. Saya akan melunasi secepatnya.”
Telepon berakhir. Sarah membanting ponselnya ke kasur. Ia tidak menyangka, pria tua itu tidak merelakan uang yang dipinjamnya, meskipun untuk kebutuhan cucunya.
***
Belum terungkap siapa pelaku pembunuhan dua wanita yang terjadi dalam waktu 40 hari. Kedua korban bertempat tinggal di kota yang sama, tetapi lain kawasan, berjarak sekitar 30 kilometer. Artinya, pelaku tidak sedang melakukan perjalanan jauh atau luar kota.
Kedua korban pun memiliki bekas luka yang sama, ditusuk menggunakan obeng plus.
Berita itu sering muncul di TV maupun media sosial, menjadi perbincangan banyak orang. Dalam sejarah, di kota metropolitan ini, belum pernah satu kali pun ditemukan kasus pembunuhan dengan media obeng.
Sarah duduk di depan ruang psikiater, menunggu putrinya sambil menatap ponsel dengan serius. Dadanya berdebar tiap kali membaca berita kasus pembunuhan obeng. Baginya, setiap hari adalah penantian. Setiap waktu adalah harapan. Ia berharap, pelaku segera ditangkap dan diadili.
Hidup berdua dengan sang anak membuatnya merasakan ketegangan yang luar biasa. Apalagi, kini ia harus lebih waspada dengan pembunuh yang masih berkeliaran di luar sana. Satu lagi, ancaman yang sering dikatakan putrinya benar-benar membuat ia mencurigai gadis itu.
Pintu ruangan dr. Brita terkuak. Launa keluar dengan diikuti dr. Brita. Wajah Launa terlihat tak sekacau saat ia datang. Gadis itu sempat menolak pergi, sebab, ia tahu, psikiater itu hanya terpaksa mendengarkannya karena dibayar, lalu menyuruhnya membeli obat.
“Terima kasih, Dok.” Ibu Launa menyambut dokter itu dengan senyuman.
Sarah membiarkan Launa sibuk dengan ponsel, sementara ia berbincang-bincang dengan dokter itu.
“Bagaimana dengan putri saya? Apakah Anda menaikkan dosisnya, Dok?”
Dokter Brita tersenyum. Ia melirik sekilas pada Launa yang sedang duduk menyandarkan punggung pada dinding putih. Mata gadis itu serius mengawasi ponsel, tangannya sibuk mengetik sesuatu.
“Saya tidak perlu menambah dosisnya. Emosinya tadi cukup tenang. Cara berbicaranya runut. Untuk saat ini, saya meresepkan obat seperti sebelumnya.”
“Dok… apakah, anak saya bisa membahayakan orang lain? Maksud saya, orang terdekatnya?” Wajah Sarah pucat.
Dokter Brita melirik Launa lagi, lalu melempar senyum saat gadis itu menatapnya, dengan tatapan dingin.
“Sebenarnya, yang lebih mengkhawatirkan, apabila ia menyakiti diri sendiri atau… bahkan… bunuh diri.”
Tubuh Sarah menegang. Tapi, akhirnya otot-ototnya sedikit kendur. Entah mengapa, ada setitik kelegaan yang ia rasakan.
Dokter Brita mengusap bahu Sarah dengan pelan, “Saya yakin, anak Anda bisa sembuh. Dia hanya butuh support dari orang terdekat.” Senyumnya menenangkan.
Selepas dari psikiater, Sarah dan Launa menonton film di bioskop. Mereka lalu pulang dengan taksi online. Hening mengungkung mereka. Launa sibuk mengamati deretan gedung-gedung yang mulai diselimuti gelap; Sarah sesekali melirik gadis di sampingnya.
“Akhir-akhir ini… apa kau menonton berita? Ibu harap, kau sudah tidak membuka media sosial. Banyak berita mengerikan.”
“Aku tidak suka berita mengerikan.”
Sarah mengangguk-angguk. “Jadi, kau tidak tau berita yang sedang trending?” Ia menunggu jawaban dengan perasaan cemas.
“Ada apa?”
Sarah melongo. “Ah, lupakan, Sayang.” Wanita itu mengibaskan tangan di depan wajah. Sementara itu, Launa hanya memandang ibunya dengan tatapan datar.
Taksi berhenti di seberang rumah berlantai dua. Angin malam menyambut mereka. Sarah merapatkan jaket, lalu mengikuti langkah putrinya yang sedang mengamati sekitar halaman. Gelap, pekat, dan pohon-pohon menyerupai bayangan sosok manusia tinggi.
Langkah Launa terhenti saat melihat sekelebat bayangan bergerak di balik pohon. Ia lantas menggandeng tangan ibunya, menariknya lari ke dalam.
Kunci, kunci, kunci. Pintunya harus dikunci. Gorden ditutup, jangan ada celah.
“Ada yang datang! Jangan orang itu! Jangan orang itu!” Launa mendorong kursi dan meja, merapatkannya pada pintu.
Sementara itu, Sarah hanya mengamati tingkah sang anak. Pada akhirnya, semakin hari, ia semakin ketakutan dengan sikap putrinya. Apalagi, halusinasi gadis itu mirip dengan kasus yang baru-baru ini menjadi trending topik: pembunuhan obeng.
“Sayang, tenangkan dirimu. Kita akan baik-baik saja.”
Launa menempelkan jari pada bibirnya yang pucat. Ia lalu mengajak sang ibu menaiki tangga, bersembunyi di dalam kamar, kamar Launa.
“Ibu, kita aman di sini.” Launa merogoh bawah bantal, mengambil pisau. Kilatan matanya membuat Sarah merinding. Detak jantungnya meningkat.
“Apa yang akan kau lakukan, Sayang?” Suara Sarah patah-patah.
“Aku akan melindungi Ibu.”
Mereka berada di kamar sampai pagi, sampai matahari muncul. Dan, mereka hanya tidur beberapa menit.
Sarah membuka jendela, membiarkan angin menerobos kamar 3×3 meter itu. Ia kemudian melongok ke bawah. Jika seseorang jatuh dari tempatnya berdiri, orang itu tak akan mati. Bangunan ini termasuk belum tinggi untuk melakukan bunuh diri.
“Ibu akan membuat sarapan, lalu berangkat bekerja. Ibu masuk sift pagi. Nanti jangan lupa minum obat.” Suara Sarah sedikit serak. Matanya merah karena kurang tidur. Kepalanya pening. Ia lalu melangkah gontai meninggalkan kamar Launa.
Saat memanggang roti, Sarah berpikir, bagaimana jika ia membunuh Launa saja, sebelum ia yang mati di tangan gadis itu. Ancaman yang diucapkan Launa seolah-olah adalah kenyataan. Bagaimana jika ancaman itu adalah peringatan bahwa Launa akan menusuknya?
Sarah bergegas mengecek ponselnya, memeriksa perkembangan berita kasus pembunuhan obeng.
“Korban pertama merupakan karyawan sebuah CV percetakan. Memiliki dua anak yang diasuh ART. Korban kedua ibu rumah tangga. Ia memiliki tiga anak yang diasuh seorang diri, sedangkan suaminya merantau dan pulang tiga bulan sekali. Kedua korban pernah melakukan kekerasan ringan terhadap anaknya, seperti mencubit, menjewer, bahkan menampar.”
Polisi belum menemukan titik terang. Mereka bahkan tidak menemukan sidik jari maupun jejak kaki atau sepatu di TKP. Pelaku bertindak seperti hantu. Polisi juga telah melacak setiap pelanggan yang pernah membeli obeng di toko bangunan yang berada di rentang TKP.
Sarah menggigit bibirnya. Entah kasus itu ada hubungannya dengannya atau tidak, Sarah merinding.
***
“Semua ibu adalah monster. Kau setuju, Lau?”
Launa menatap layar laptop. Ia akan mengetik ya, tapi ia urungkan.
“Siapa yang bilang begitu?”
“Kau tidak tau? Ada kasus yang mirip dengan ceritamu! Ada pembunuh berkeliaran di luar sana. Ia menggunakan obeng untuk menghabisi korban. Oh, maaf jika aku terlalu terang-terangan. Tapi sungguh, aku tidak sedang menakutimu.”
“… selamat malam.” Launa menutup laptop. Ia menggigiti kukunya. Ia membuka kembali laptop setelah menyadari sesuatu. Mulutnya komat-kamit, mengutip pesan terakhir dari sahabat online-nya: “Ada kasus yang mirip dengan ceritamu!”
Hei, selama ini aku tidak mengarang, tapi apa yang aku bilang bukan khayalan, pikir Launa. Dadanya panas menahan amarah. Ia menarik kesimpulan, sahabatnya tidak pernah memercayai ucapannya selama ini: bahwa ia diancam oleh seseorang yang mengaku akan membunuh ibunya dengan memberi lima tusukan.
Sial, sial, sial! Launa mengumpat, lalu memblokir akun teman online-nya. Ia membanting laptop hingga benda itu pecah. Kemudian ia menjambak rambutnya. Tidak ada satu orang pun yang ia percaya, mungkin termasuk Brian dan Samara. Ia tidak akan mengiyakan ajakan mereka lagi.
***
Akhirnya, Launa memutuskan menjauhi semua temannya tanpa kecuali. Tidak ada komunikasi. Ia mulai rutin mengunjungi dr. Brita, dan mengkonsumsi obat yang diresepkan dokter. Selain itu, Launa juga bersedia menjalani hipnoterapi, dan bergabung dengan kelompok penderita skizofrenia.
Tiga bulan berlalu, Launa lebih jarang diserang kecemasan. Gadis itu juga sudah lama tidak berhalusinasi. Segalanya tentang ancaman pembunuhan itu tidak lagi mendatanginya.
Akan tetapi, kepanikan Sarah terus meningkat setiap harinya. Kasus pembunuhan obeng belum
terpecahkan. Polisi sudah menahan seorang lelaki yang diduga menjadi tersangka, tetapi akhirnya dibebaskan karena tidak ada bukti kuat. Lelaki itu memiliki alibi.
Dan, pada tengah malam yang sepi, Launa kembali terjaga. Ia mendengar langkah kaki mendekat, tepat berada di depan pintu.
Jantungnya bekerja keras. Ia menyibak selimut lalu bangkit dan turun. Sebelum keluar, ia melihat knop pintu bergerak amat lambat. Launa meraih pisau di bawah bantal. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, ia mendekati pintu, dan bersembunyi di baliknya. Ketika pintu terbuka, ia menahan napas.
Detik-detik berjalan begitu lambat. Sarah memeriksa kamar putrinya dengan waspada. Ia tidak melihat gadis itu di kamarnya. Berarti benar, sosok yang sempat ia lihat di depan kamarnya adalah Launa. Mungkinkah Launa akan membunuhnya malam ini? Jika iya, ia harus lebih dulu membunuh gadis itu.
“Sayang?” Sarah mengedarkan pandangan.
Launa, yang berada di balik pintu, bernapas lega. Ia menampakkan diri.
“Ah, kau di situ. Ibu mencarimu. Kemarilah.”
Dengan pelan dan penuh keraguan, Launa mendekati ibunya yang menyembunyikan tangan di balik punggung. Ia memutar-mutar gagang pisau. Tiga… dua… satu… tangan Sarah terangkat, mengarah pada dada Launa.
Dari luar, seseorang yang wajahnya tertutup topeng menerobos tiba-tiba, menghunjamkan obeng ke leher Sarah. Lagi lagi dan lagi! Sarah ambruk, dan darah membanjiri lantai.
Launa menjerit-jerit tiada henti.
***
Launa menjadi saksi pembunuhan paling brutal yang baru pertama kali ia saksikan selama hidupnya. Namun, fase itu tidak berjalan lama. Ia harus kembali menjalani pengobatan pada dr. Brita untuk menghilangkan traumanya.
“Saat itu hanya ada lampu tidur. Jadi penglihatan saya kurang jelas. Tapi saya yakin, pelaku adalah laki-laki,” ungkap Launa tanpa keraguan. Namun, ia tetap menyembunyikan rahasia, coretan yang diselipkan oleh si pembunuh ke dalam tasnya: “Semua ibu adalah monster bagi anaknya.”
Sejak itu pula, setelah berulang kali menjalani terapi, Launa sadar, apa yang ia lihat saat kecil adalah kenyataan. Ingatan itu terkadang menjelma menjadi mimpi buruk. Sore itu, ia melihat Laura—saudari kembarnya—menggelinding di tangga. Posisi kepalanya memutar.
Launa berdiri di bawah tangga, sempat menyaksikan ibunya memukul Laura, lalu mendorongnya dengan kencang. Tapi, sang ibu mengaku bahwa Laura sedang bermain sendirian saat ia memasak.
Kini, Launa tinggal bersama kakeknya dari pihak mendiang sang ayah. Akhirnya pria tua yang masih energik itu tak lagi kesepian, setelah bertahun-tahun hidup sendirian. Untuk membunuh kebosanan, biasanya ia mengisi waktu dengan hal menantang bersama seorang remaja.
“Jadi, Kakek sudah kenal Brian?”
Pria tua itu tersenyum kepada pemuda yang duduk di hadapannya. “Dia pemuda yang pintar dalam segala bidang, dan bisa diandalkan. Dia akan menjagamu selama Kakek pergi.”
Selesai
Sltg, 07 April 2024