Pria Metronom - Jenny Seputro

Cerpen Juara 2 pada Event Menulis Genre Thriller, Mystery, & Psychological 2024

Pria Metronom

~ Jenny Seputro


Ketika Detektif Agus Setiawan tiba di lokasi kejadian, tiga mobil polisi dan ambulans berbaris di depan sebuah bangunan empat lantai yang sudah dipagari garis kriminal hitam kuning. Dia naik ke lantai dua, kamar 25, dan melihat Kapten Subagio yang baru memberikan instruksi kepada salah seorang anak buahnya.


“Demi Tuhan, ini akhir pekan dan hampir jam dua pagi.”


Kapten Subagio menghampiri. “Hei, aku juga kesal dipanggil tugas tengah malam. Nanti kalau pelakunya tertangkap, kaumarahi saja dia, kenapa membunuh tidak lihat hari.”


Agus tidak menjawab. Sebenarnya dia sangat memahami konsekuensi profesinya. Dia kesal karena tadi istrinya marah-marah, mengungkit kembali semua masalah yang sudah lewat tentang pekerjaannya yang merampok seluruh waktu dan kebersamaan mereka. Yah, memang tidak ada yang senang dengan coitus interruptus.


“Sebaiknya aku memperingatkanmu sebelum masuk ke sana. Kau tidak barusan makan kenyang, kan?” Kapten Subagio menunjuk ruangan yang pintunya terbuka lebar.


Agus mengernyit, lalu menuju kamar tidur tempat korban ditemukan. Dia menelan ludah, menahan mual meskipun sudah lewat lima jam sejak makan malamnya.


Di ranjang, terbaring sesosok tubuh telanjang yang sepenuhnya berwarna merah. Tidak tersisa sedikit pun bagian yang kering. Kedua tangan dan kakinya terikat ke empat tiang ranjang. Darah membanjiri seprai, bantal, dan menetes ke lantai. Aroma anyir menusuk hidung, terlebih karena jendela masih tertutup rapat.


“Aku bahkan tidak dapat melihat letak luka yang membunuhnya.” Kapten Subagio tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Agus.


“Kau sudah mengambil foto lengkap?”


“Sudah.” Kapten Subagio membuka catatannya. “Rusmansyah Adinata, 54 tahun. Tinggal sendirian di kos-kosan ini sejak enam tahun lalu.”


“Kos-kosan? Ini bukan apartemen?”


“Tadi kupikir juga begitu. Ternyata seluruh bangunan ini milik satu orang, lalu disewakan. Total ada empat puluh unit.”


Tim forensik datang. Agus dan Kapten Subagio melipir ke ruang tengah. Agus menyadari sesuatu yang sangat mengganggunya sejak dia datang tadi, tapi terlupakan gara-gara pemandangan mengerikan di tempat tidur.


Tek … tek … tek … ting! Tek … tek … tek … ting!


“Itu metronom?” tanya Agus yang dijawab anggukan oleh Kapten Subagio. “Apa tidak ada yang bisa mematikan barang sialan itu?”


“Kita belum boleh mengganggu TKP. Sejujurnya suara itu sudah membuatku hampir gila.”


“Kenapa pula ada metronom dipasang—”


“Shhh!” potong Kapten Subagio. “Coba perhatikan. Ada suara lain.”


Keduanya diam. Samar-samar Agus mendengar suara lain itu, berirama di setiap ketukan kedua.


Tek … tung … tek … ting! Tek … tung … tek … ting!


Agus menelengkan kepala ke kanan dan kiri, berusaha menajamkan pendengaran. Perlahan dia berjalan ke dapur. “Kep! Coba lihat ini.”


Dalam bak cucian, sebuah panci terbalik diletakkan miring. Melihat posisinya, panci itu sengaja diatur demikian. Di atasnya, keran bocor meneteskan air secara ritmis tepat di tengah pantat panci.


“Menurutmu ini sengaja, Gus?”


“Entahlah, Kep. Kebetulan atau sengaja, tetesnya persis di ketukan kedua dan tidak menyimpang sedikit pun.” Agus merinding. Dia mengambil ponsel dan membuat video rekaman tetes air itu.


“Kalau disengaja, korban mempunyai kesukaan yang sangat … unik. Sekaligus gila! Bagaimana orang bisa tahan dengan bunyi seperti ini terus menerus?”


“Apa tidak mungkin pembunuhnya yang melakukan itu?”


Kapten Subagio terdiam sesaat. “Bisa jadi. Dia pasti terganggu bila bukan dia yang melakukannya. Kesimpulannya, psikopat kita ini orang yang kurang kerjaan dan tidak tahu waktu.”


***

“Jadi, Ibu Lorinda ini—”


“Nyonya. Nyonya Lorinda.”


Agus menoleh kepada rekannya dengan heran. “Apa itu penting?”


“Ya.” Kapten Subagio menyeruput kopi dalam gelas karton. Mereka berhenti sebentar untuk bicara dengan satpam penjaga gedung empat lantai itu, lalu menuju kamar paling ujung di lantai dasar.


“Semua orang memanggilnya begitu,” lanjut Kapten Subagio. “Lebih baik kita ikut saja agar dia tidak merasa canggung. Maklum, orang tua.”


“Setua apa?”


“Umur 84 tahun bulan depan.”


“Dan dia pemilik gedung ini, mengelolanya sendirian tanpa bantuan anak atau cucunya?”


“Dia tidak punya anak dan cucu.” Kapten Subagio membuang gelas kartonnya di tempat sampah, lalu mengetuk pintu dengan angka 10 tertulis di tengahnya. “Hati-hatilah bicara. Dia pasti sangat syok dengan kejadian kemarin.”


Terdengar kunci diputar dan pintu terbuka. Seorang perempuan dengan rambut pendek ikal yang sepenuhnya memutih berdiri dengan sebuah tongkat di tangannya. Dia membetulkan letak kacamata bulat dengan rantai emas yang bertengger di hidungnya. Tubuh kurusnya dibalut mantel yang membuat Agus gerah hanya dengan melihatnya.


“Nyonya Lorinda? Saya Kapten Subagio dan ini Detektif Agus Setiawan. Kita ada janji temu pagi ini.”


“Ya, ya, tentu. Silakan masuk.” Dia berbalik dan berjalan tertatih menuju sofa. “Silakan duduk. Mau kubuatkan kopi atau teh?”


“Tidak perlu, kami baru saja minum.”


Untuk beberapa saat, kedua penyidik itu sama-sama bingung mengatur kata-kata. Wajah renta di hadapan mereka tampak begitu rapuh.


“Kalian datang untuk masalah Rusmansyah, kan?” Lorinda memecah keheningan.


“Benar, Bu … Nyonya,” Agus cepat-cepat meralat. Dia mengeluarkan buku catatannya. “Kami hanya ingin bertanya sedikit. Jadi Nyonya yang mengelola penyewaan seluruh gedung ini?”


“Benar sekali.”


“Nyonya mengenal semua penyewanya?”


“Mmm, ya dan tidak. Saya tahu semua yang menyewa karena saya punya catatan lengkap. Tapi tidak semua saya kenal secara pribadi. Hanya ada beberapa yang suka berkunjung dan kadang membawakan makanan atau oleh-oleh buat saya.”


“Nyonya kenal secara pribadi dengan Pak Rusmansyah?” Kapten Subagio ikut bertanya.


Lorinda menggeleng. “Dia salah satu yang hampir tidak pernah saya temui. Tapi saya ingat namanya karena dia sudah lama menunggak uang sewa.”


“Berapa lama?” tanya Agus.


“Empat belas bulan. Awalnya saya pikir dia sedang bermasalah keuangan. Sudah beberapa kali saya tagih dan lama-lama saya lupa.”


“Gedung ini meski tidak dilengkapi CCTV, selalu dijaga satpam 24 jam. Benar begitu, Nyonya?” tanya Kapten Subagio.


Lorinda mengangguk.


“Apa Nyonya punya perkiraan siapa yang layak dicurigai?”


“Jangan khawatir tentang kerahasiaan, Nyonya.” Agus menimpali. “Semua yang Nyonya bilang tidak akan sampai ke orang lain.”


Lorinda tersenyum pahit. “Kalau pendapat saya, dia dibunuh rentenir karena utangnya menumpuk.”


“Tiga satpam yang bergantian sif sudah kami tanyai,” sahut Kapten Subagio. “Mereka tidak melihat orang yang mencurigakan. Beberapa hari ini jarang sekali ada tamu dari luar. Kalaupun ada, semua tercatat dalam buku tamu. Kami curiga ini pekerjaan orang dalam.”


“Oh, tidak, tidak! Semua penyewa saya orang baik-baik. Anda boleh menanyai mereka satu-satu. Tidak, tidak mungkin ada pembunuh di antara mereka. Anda salah, Pak Polisi. Mereka tidak … tidak mungkin ….”


“Ah, ya, saya juga yakin tidak mungkin, Bu.” Kapten Subagio salah tingkah. Dia memberi kode kepada Agus yang segera bangkit dan berpamitan.


“Tolong kabari saya kalau ada perkembangan baru, Pak Polisi.”


“Pasti, Nyonya. Terima kasih banyak atas waktunya.”


“Kamu tahu kenapa dia begitu stres, Gus?” tanya Kapten Subagio ketika mereka melangkah ke tempat parkir, lalu menjawab pertanyaannya sendiri. “Karena reputasi kos-kosannya akan hancur bila orang percaya ada pembunuh di antara penghuninya. Bagaimana dia bertahan hidup tanpa penghasilan dari uang sewa?”


“Benarkah dia tidak ada anak cucu? Tadi aku melihat foto keluarga di lemari hiasnya.”


“Sepintas kulihat di data kepolisian tidak ada. Tapi bisa jadi pernah ada dan sudah meninggal atau berpisah. Aku belum memeriksa lebih lanjut.”


Ponsel Kapten Subagio berbunyi. Dia menjawabnya, menyetujui sesuatu, lalu menutupnya. “Autopsi sudah selesai. Kita diminta ke sana.”


Agus duduk di belakang kemudi dan menyalakan sirene. Mobil mereka melaju membelah kemacetan tengah kota. Kurang dari setengah jam kemudian mereka sudah tiba di instalasi kedokteran forensik, menghadapi jenazah Rusmansyah.


“Korban meninggal karena kehabisan darah,” kata Dokter Rizal, ahli forensik. “Ada lebam di belakang kepalanya bekas pukulan benda tumpul, tapi bukan itu yang membunuhnya.”


“Kenapa dia bergaris-garis begitu?” Agus menatap mayat pucat yang sekujur kulitnya dari wajah hingga kaki penuh garis-garis cokelat keunguan lurus dan rapi, mirip buku tulis.


“Semua garis itu adalah bekas sayatan silet.”


Agus merinding. “Karena itulah kami bahkan sama sekali tidak bisa melihat wajahnya saat itu. Sekujur tubuhnya banjir darah.”


“Psikopat macam apa yang begitu tekun menyiksa korbannya seperti ini?” gumam Kapten Subagio.


“Ada yang lebih menarik,” lanjut Dokter Rizal. Dia mengambil penggaris dan memberikannya kepada Kapten Subagio. “Cobalah ukur jarak antara garis-garis itu. Di bagian mana saja, secara acak. Semuanya tepat 2,3 sentimeter. Tidak kurang, tidak lebih.”


Kapten Subagio mencobanya, lalu mengulurkan penggaris kepada Agus yang juga mencobanya. Kemudian keduanya berpandangan.


“Yang kita hadapi bukan pembunuh sadis biasa, Kep.” Agus menghela napas berat. “Apa kau bisa membayangkan dia menyayat-nyayat tubuh orang sambil mendengarkan detak metronom?”


Kapten Subagio mendengus. “Ya, kau baru saja menanamkan itu dalam pikiranku.”


***

Laki-laki itu menyalakan lilin kelima dan menaruhnya di ujung pentagram terakhir di lantai. Kemudian dia meletakkan sebuah metronom tepat di tengahnya. Diaturnya hingga detak metronom itu persis dengan detak jam dinding. Kali ini tanpa denting, hanya ketukan ritmis bagaikan degup jantung.


Ah, degup jantung. Dia memejamkan mata seraya bibirnya menyungging senyum. Dia bisa merasakan debur jantung pria di kamar 25 itu ketika menyayat kulit dadanya. Akan sangat menyenangkan bila itu diiringi erang kesakitan dari mulutnya. Namun, dia tentu tidak bisa membiarkan korbannya berteriak dan menarik perhatian orang. Terpaksa dia menyumpal mulut paruh baya itu dan hanya mendengar pekik-pekik tertahan.


Biar bagaimana pun, dia sungguh puas. Untuk pertama kali dia bisa menyalurkan sepenuh-penuhnya hasrat dan gairah hingga mencapai puncak kepuasan. Sebuah mahakarya yang luar biasa. Rasanya sungguh berbeda dengan yang biasa dilakukannya dengan makhluk-makhluk rendah seperti yang saat itu sedang ramai mencicit dalam genggamannya.


Perlahan dia menggoreskan silet secara diagonal dari tengkuk ke sepanjang punggung tikus malang itu. Dia sengaja menyisakan bagian muka untuk terakhir karena ingin terus mendengar cicit kesakitan binatang itu selama mungkin.


Tek … tek … tek … tek!


Setiap detak metronom sedikit membuka kulit berbulu itu. Rambut-rambut pendek agak kasar itu sama sekali tidak mengganggunya. Baris demi baris, jemarinya yang kini berlumuran darah begitu lihai dan terampil mengukir tubuh kecil itu dengan garis-garis berjarak setengah sentimeter. Oh, dia tidak membutuhkan penggaris untuk memastikannya. Penggaris tidak sebanding dengan mata dan otaknya yang istimewa.


Sambil tangannya bekerja, bayangan ayahnya kembali menari-nari di pelupuk matanya. Terkapar di sofa, hanya mengenakan celana pendek. Tangan besar dan kasar itu mengetuk-ngetukkan botol bir ke meja kayu.


Tok … tok … tok … tok!


Bagaikan film yang berganti adegan, sekarang tampak sang ayah menyeringai, memamerkan gigi-gigi kekuningan yang tidak rata. Bau napas alkoholnya menyengat. Dia menghantamkan botol kaca itu ke dinding hingga bagian bawahnya jatuh berkeping-keping.


Bocah kecil itu diam dan pasrah ketika sang ayah mulai mengukir lengannya dengan pecahan botol yang tajam sambil tertawa puas. Dia menatap tetes-tetes darah yang membasahi kaus dan celananya. Dia tidak pernah menangis. Dia tidak tahu caranya menangis.


Selesai mengukir tikus yang kini lemas kehabisan darah, dia menarik napas lega. Ayahnya tidak pernah bisa menghasilkan karya sesempurna itu. Senang dan puas meskipun setelah mencoba dengan objek manusia, dia menjadi ketagihan. Ibarat masturbasi tidak akan bisa menggantikan persetubuhan yang paripurna.


Dia mematikan kelima lilin dan kini ruangannya gelap gulita. Dia senang mengerjakan proyeknya tidak dengan lampu neon. Baginya, lilin membuatnya semakin dekat dengan hakikat bumi. Aroma darah yang membuatnya serasa di awang-awang itu juga terasa jauh lebih nikmat dalam keremangan. Dia baru menyalakan lampu setelah ritualnya selesai.


Dimasukkannya hasil kerja dua jam tadi ke sebuah kantong plastik hitam. Ingin sekali dia menyimpannya dalam stoples-stoples kaca yang dipajang memenuhi dinding kamarnya. Namun, apa kata Nyonya Lorinda bila melihatnya? Lebih baik dia bermain aman. Dia menatap dua ekor tikus yang terkurung dalam kandang kecil. Dia menebak-nebak, apa yang dipikirkan kedua tikus itu ketika menonton temannya diukir sambil berteriak-teriak?


Dia mengangkat bungkusan hitam ke hadapan kedua tikus itu. “Besok dan lusa giliran kalian.”


Setelah membuang kantong itu di tempat sampah, dia mengambil metronom di lantai. Diletakkannya benda itu di sebelah tempat tidur, dekat sebuah gitar tua yang tidak pernah disentuhnya lagi. Dia butuh irama lambat agar cepat terlelap, satu detak setiap empat detik jam dindingnya.


Tik … tik … tik… tek! Tik … tik … tik … tek!


***

Kantin kecil itu lumayan ramai meski hampir semua pengunjungnya adalah penghuni kos-kosan empat tingkat itu. Kapten Subagio dan Detektif Agus Setiawan duduk berhadapan, sama-sama menikmati sepiring nasi capcay sambil memeriksa laporan anak buah mereka.


“Dari empat puluh kamar, ada enam yang sedang kosong. Sebelas penghuni tidak di tempat. Nyonya Lorinda memberikan kunci serepnya. Tidak ditemukan hal-hal mencurigakan. Hanya ada beberapa penghuni yang cukup nyentrik menurutku. Selebihnya sudah diinterogasi dan tidak ada yang punya informasi berguna,” kata Kapten Subagio.


“Yang nyentrik itu seperti apa?”


Kapten Subagio membalik halaman laporannya. “Ada yang empat sisi dinding kamarnya penuh poster boyband Korea. Ada yang kamarnya dihias seperti ruang angkasa, penuh planet dan satelit. Ada pula yang punya gambar pentagram di lantai, seperti para penyihir. Orang itu juga memelihara tikus.”


Agus tertawa. “Seandainya diizinkan istriku, aku ingin memenuhi dinding kamar kami dengan poster Taylor Swift.”


“Si penyihir dan empat penyewa lain menyimpan metronom di kamarnya.”


Agus hendak menyuap, tetapi batal. Dia menegakkan duduknya.


“Tidak membuktikan apa-apa,” lanjut Kapten Subagio. “Mereka semua punya alat musik. Kita beri catatan saja.”


Mereka terdiam dan Kapten Subagio melanjutkan mengunyah.


“Kau perhatikan ini, Kep. Wortelnya dibentuk bunga-bunga dengan begitu cantik. Tidak sembarangan memotongnya. Jarak antara kelopak bunganya hampir benar-benar sama. Tebalnya juga.”


Kapten Subagio memperhatikan rekannya yang begitu kurang kerjaan, menjajar empat potong wortel di piringnya. “Ayo cepat makannya. Kita ada janji dengan Nyonya ….” Dia melirik jam tangannya. “Lima menit lagi. Ah, aku sungguh tidak bisa membayangkan bila kasus ini membuat tempat ini sepi dan Nyonya kehilangan pendapatan.”


“Oh ya, soal itu, aku mendapat informasi menarik tentang tempat ini,” kata Agus sambil melahap empat potong wortelnya sekaligus. “Kabarnya pemerintah akan membelinya karena lokasi ini akan dilalui jalur MRT. Sepertinya Nyonya tidak punya pilihan selain negosiasi harga.”


“Proyek seperti itu tidak bisa cepat. Terus terang aku tidak yakin Nyonya punya cukup waktu hingga gedung itu diambil alih.”


“Kupikir juga begitu. Toh, dia tidak punya ahli waris. Asalkan yang ada cukup untuknya hidup nyaman sampai akhir hayat, kurasa itu sudah sangat baik.”


“Sudah selesai? Yuk, jangan terlambat cuma karena kebanyakan ngobrol.”


Siang itu Lorinda menyambut mereka dengan wajah yang lebih segar. Dia sepertinya telah berhasil mengatasi keterkejutannya. Dia menyuguhi kedua tamunya kue kering bikinannya.


“Ini enak sekali,” puji Agus tulus. “Pasti pakai resep kuno yang masih original.”


Lorinda tersenyum gembira. “Kalau suka, bawa pulang saja. Nanti saya bikin lagi.”


“Jadi di sini hanya ada 34 unit yang terisi, benar begitu, Nyonya?” tanya Kapten Subagio.


“Tiga puluh tiga,” sahut Lorinda meralat. “Yang satu lagi unit saya ini.”


“Ah ya, benar. Lalu, apa ada orang lain selain tiga satpam yang bertugas giliran?”


“Ada orang-orang kantin dan tukang kebun. Mereka tidak tinggal di sini, tapi kalau perlu dan ada kosong, saya pinjami kamar. Semua unit sudah diperiksa anak buah Pak Polisi, kan?”


“Ya, semua aman.”


“Apa sudah ada perkembangan dengan kasus Rusmansyah? Bagaimana hasil autopsinya?”


“Kami belum menemukan petunjuk yang berarti. Tapi kami terus berusaha, Nyonya. Tenang saja, pelakunya pasti akan tertangkap. Doakan kami, ya.”


Setelah memberikan harapan-harapan kepada Lorinda yang sebenarnya ditujukan kepada diri sendiri, Kapten Subagio berpamitan. Agus senang karena boleh membawa pulang sisa kue kering yang masih setengah stoples itu.


Suasana kembali sepi begitu pintu terkunci. Lorinda berjalan tertatih ke meja makan, mengambil buku catatan penyewa, lalu duduk dan membetulkan letak kacamatanya.


“Mereka sudah pergi. Kamu aman,” katanya kepada ruangan sunyi. Sebentar kemudian pintu pantri di belakangnya berderit. “Sudah kubilang, kue bikinanmu enak sekali. Kamu memang chef yang andal. Karena itu, kamu akan kuberi hadiah.”


Jemari Lorinda menyusuri daftar nama dan keterangan pada lembar-lembar kertas yang penuh coret-coretan. “Berikutnya Ibu Maharani Listia, kamar 34. Sudah sebelas bulan dia tidak bayar sewa.”



Wellington, 6 April 2024


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url