Fragmen-Fragmen Kisah di Pungaren - Santama
Cerpen Juara 3 pada Event Menulis Genre Thriller, Mystery, & Psychological 2024
Fragmen-Fragmen Kisah di Pungaren
Santama
Ia menyesap dalam-dalam keretek pemberian itu, seolah-olah Bdul akan segera melakukannya, sampai pipinya yang seperti lipatan kancut kusut tampak cekung. Sebelum diembuskan amat kencang, ia membiarkan asap keretek itu berlama-lama menjangkau paru-parunya. Matanya yang redup membelalak begitu saja, lantas berkata kepada Bdul, “Tahukah kau kebenaran sesungguhnya?”
Sadam Kabad kemudian menyebut satu nama: Agam Curut. Bdul cuma terbahak dan memalingkan muka hingga Sadam Kabad dapat melihat tompelnya dan seketika teringat masa silam yang kelam. Benar apa yang dikatakan Bahurosa kepadanya, pikir Bdul, bahwa Sadam Kabad pasti mengelak dan balik menukar nyawa jawaranya yang bernama Agam Curut.
Bdul meringkus Sadam Kabad di sebuah pemakaman, ketika lelaki tua itu kembali kumat, setelah sekitar dua tahunan kesehatan dan kewarasannya membaik. Istri Sadam Kabad yang setia tengah terlelap, tak sadar bahwa sang suami telah hengkang dari ranjang.
Maka segera Bdul seret tubuh terkutuk itu ke rumah kosong terbengkalai dan berbau busuk, tak jauh dari situ. Konon rumah kosong terbengkalai dan berbau busuk itu tempat dahulu seorang jawara legendaris harus tewas digorok dalam pertarungan sengit dengan jawara anyar yang kemudian raib dan dipercaya beralih wujud menjadi harimau di hutan larangan, dan di tempat yang jahanam inilah, Bdul tak segera melakukannya, tetapi memberi kesempatan kepada Sadam Kabad untuk menenangkan diri dan mengakui dosa-dosa.
“Agar kelak kau diringankan di akhirat,” kata Bdul.
Namun akhirnya Bdul berang, pikirnya Sadam Kabad kelewat bejat.
Segera di antara lengking jangkrik dan koak gagak dan lolong ajak, sebuah golok dicabut dari sarungnya, bermandi darah di bawah merahnya bulan purnama.
Bdul lalu mengingat dengan baik pesan Bahurosa ihwal mayat dan sungai.
***
Komplotan Balad Amuk yang mengacung-acungkan golok dengan kesetanan itu lalu bungkam, meski terus mendengus berang selepas dijinakkan junjungan mereka: bajingan terkemuka se-Kecematan Pungaren bernama Yanto Plongo. Untuk ke sekian kalinya Yanto Plongo berteriak kalap, mendesak agar seseorang bernama Bdul dijinjing lalu ditaruh di bawah kaki telanjangnya (alas kaki pantang baginya saat melakoni perang dan penyerangan). Ia akan menghabisinya di halaman pondok itu, demi umur panjang sang majikan sekaligus paman, ketika untuk pertama kalinya ia mendapat kabar tentang adanya pemuda bernama Bdul di desa itu.
“Akan kutebas leher siapa pun,” teriaknya, “jika berusaha menyembunyikan bocah setan itu!”
Guru mengaji Bdul yang jadi sasaran kebengisan di waktu Subuh itu kembali menegaskan ucapannya, “Saya tak menyembunyikannya. Sudah hampir satu setengah tahun, setelah ibunya wafat, mulut pemuda itu tak lagi melantunkan ayat-ayat suci di tempat ini. Ia tak pernah kembali. Ia telah sangat berubah. Saya rasa ia pergi jauh dari desa.”
“Oi tua bangka bau tanah, jangan coba berdusta,” tukas Yanto Plongo amat geram. “Kecuali tubuh ringkihmu terlalu keras untuk benda di tanganku. Turuti titahku jika kau tak ingin ada banjir darah di kandang kambingmu ini.”
Di tengah kesenyapan yang demikian mencekam, tangan jawara bengis berkumis lebat dan berwajah masam yang tengah menggenggam golok tajam berkilat itu tampak bergetar, pertanda kemurkaannya memuncak. Dan ketahuilah, menyaksikan keadaannya yang demikian melemaskan dengkul, barang siapa pernah menerima berita tentang sepak terjang titisan iblis yang satu itu, terlebih terlibat urusan buruk dengannya, niscaya akan lari terkencing-kencing, tetapi sejak Yanto Plongo dan komplotannya datang mengubrak-abrik pagar bambu dan tempat wudu di halaman pondoknya, guru mengaji itu tak sedikit pun merasa gentar, sementara sepuluh murid yang berdiri di samping kiri dan kanannya terus-menerus menggumamkan Istigfar.
“Silakan geledah tempat ini, tetapi tolong jangan hancurkan apa pun lagi. Bdul yang kaucari tak ada, hanya ada sarung lusuhnya yang ia tinggalkan saat minggat.”
***
Di seberang aliran sungai yang airnya begitu jernih, sebuah gubuk reyot tampak berdiri menyedihkan di antara dua pohon jati yang berdiri tegak dan angkuh di kaki Gunung Buntung itu. Tiang-tiang kayu penyangganya hampir lapuk dimamah rayap dan waktu, atap rumbianya dipenuhi daun-daun kering, dinding bilik bagian samping kanannya berlekuk barangkali bekas serudukan babi-babi yang berkelahi. Cuma perlu angin ribut di musim penghujan untuk membikin gubuk itu ambruk, atau barangkali cukup dengan amukan seekor babi hutan kena tembak.
Cahaya lembut matahari sore menyorot melalui celah pohon-pohon yang rimbun. Di senja yang tenteram dengan semilir angin melayangkan daun-daun yang gugur dari pohon-pohon besar menjulang, di tepi gubuk itu terdapat sebuah makam tak bernisan. Di tepi makam itu, dua manusia sedang memeragakan jurus-jurus.
Seorang dari mereka adalah lelaki tua gondrong, dengan sebelah kaki pincang karena sabetan golok dalam pertarungan sengit di suatu pasar tak hanya membikin bajunya compang-camping, tetapi juga membuat otot betisnya koyak. Di desa itu ia dikenal sebagai Bahurosa, tak ada satu pun dari penduduk desa itu tahu ia siapa, datang dari entah. Sementara satunya lagi adalah Bdul: pemuda buruan Yanto Plongo. Sejak kematian ibunya, segala yang dikatakan sang guru mengaji benar: Bdul berubah. Ia tiba-tiba begitu penurut kepada Bahurosa.
“Sempurnakan apa-apa yang telah kuajarkan, Nak.”
***
Pada malam buta, berbulan-bulan sebelum suatu desa di Kecamatan Pungaren ribut oleh kabar tak kunjung ditemukannya mayat Sadam Kabad, ingatan Bdul berkelebat ke Jumat yang telah lampau, ke peristiwa yang kian membikin pikirannya kacau. Saat itu hujan luruh menggila setibanya di lembah tak bernama, sepulang dari puncak Gunung Buntung. Suatu perkataan samar-samar berdengung kembali di kepalanya.
“Orang-orang di desaku tahu bahwa di luar namaku berpengaruh, dan hal itu membuat orang-orang dungu itu begitu hormat dan memercayaiku. Kau mungkin tak akan percaya bahwa sebelum menjadi babi aku akan dibunuh seorang pemuda gila yang kucelakai bapaknya, kata seekor babi hutan pincang penuh kutu kepadaku. Babi itu mengaku dahulunya ia adalah manusia dan bernama Sadam Kabad.”
Demikianlah perkataan seorang yang tua dan asing kepadanya, dalam suatu percapakan yang ganjil di bawah pohon jati besar, di antara guntur dan gemuruh badai kecil, sesaat sehabis sosok sepuh itu menampakkan dirinya secara ajaib dari balik pohon-pohon di lembah tak bernama yang dikepung curah hujan. Mulanya tua bangka itu mengaku bisa berbicara dengan binatang: sebuah kemampuan yang mengingatkan Bdul kepada nabi Sulaiman. Ia berpikir mustahil tua bangka itu sinting, sebab janggut lebatnya putih terawat seperti para wali, rambut panjang yang seluruhnya beruban itu rapi berjuntai terbungkus serban putih yang telah lusuh, pakaiannya tak kotor dan tak compang-camping. Bdul masih mengenang bagaimana jubah putih sosok tersebut sama sekali tak kuyup, padahal hujan saat itu teramat derasnya, dan sebagaimana caranya menampakan wujud: lelaki tua itu pada akhirnya lenyap secara ajaib pula, mengecoh habis-habisan penglihatannya.
Sementara Bdul tercenung, di balik pohon-pohon sosok tadi kembali bertukar rupa: sekujur dan jubahnya hitam belaka. Ia mengikik begitu riangnya.
***
“Kupikir jangan,” kata Sadam Kabad yang tengah duduk di kursi berukir, seraya menghitung gepokan uang, “itu akan sangat mengguncang hati Nur, dan aku tak menginginkan itu. Buatku kebahagiaannya lebih utama, kalau tidak sudah sedari dahulu ia telah kurampas. Sasar daerah lain. Kita tahu hewan-hewan itu satu-satunya harta mereka.”
Seorang bercodet yang bersila di lantai menjentikkan abu rokok, mengisapnya lagi, kemudian membalas, “Mengapa tidak. Bukankah itu bagus buatmu? Korun akan gila, atau mungkin Nur lekas jadi janda.” Ia tertawa sampai terbatuk-batuk, dan seorang lain, berambut gondrong dan sama duduk bersila di lantai dengannya, cuma membekap mulut, merasa kecut sebab seorang yang duduk di kursi bergeming.
“Inilah saatnya,” lanjut seorang yang tengah merokok, “meraup untung dua kali lipat.”
Seorang yang membekap mulut nyaris terlompat dari duduknya, dan rokok di bibir seorang di sampingnya terlontar, ketika Sadam Kabad keras menggebrak meja. “Kubilang jangan maka jangan!” katanya.
Namun baru malam itulah lidah Sadam Kabad tak bertuah. Si codet dan si gondrong segera bersiap menyempurnakan rencana. Terlebih si codet memang telah lama muak kepada majikannya itu, diam-diam menaruh dendam.
Syahdan, sementara lelap menuntun Korun dan Nur makin jauh ke alam mimpi, di ranjang hangat seraya memeluk saling mengapit anak kecil bertompel, di suatu hutan agak jauh dari belakang rumah mereka si codet dan si gondrong menuntun kerbau-kerbau. Sial bagi Korun malam itu. Cuma ketika itulah Korun merasa mengantuk berat, luar biasa lelah sehabis mengangon. Kandang kerbaunya luput ia jaga.
Tak ayal keesokan harinya Korun semaput, lalu keesokannya lagi dan keesokannya lagi ia kurang waras. Dan setelah sepekan nahas ia menggantung diri.
Sejak saat itu Nur tak lagi sama, cuma karena si tompel anaknyalah ia mati-matian bertahan.
Sementara di rumahnya, turut merasa kalut oleh kabar tersebut, Sadam Kabad tak tahu harus bagaimana ia berbuat. Musabab peristiwa itu tentu terang benderang baginya, suatu pengkhianatan, tetapi si codet dan si gondrong telah raib. Lantaran cintanya, ia terus-terusan memikirkan Nur, dan bimbang bagaimana cara ia meminta persetujuan istrinya.
Di tempat lain, masih di Kecamatan Pungaren, ke mana ia melarikan diri, si codet rupanya punya maksud lain, dan sadar belaka bahwa Sadam Kabad, dengan mengerahkan Yanto Plongo dan Balad Amuk, pasti akan memburu mereka berdua selama-lamanya. Ia kemudian justru mengkhianati si gondrong, setelah mengalahkannya dalam pertarungan hidup dan mati di suatu pasar memperebutkan hasil rampokan.
Sehabis cekcok hebat dengan istrinya, Sadam Kabad kemudian cuma sebentar merasa senang dan lapang. Ketika Nur hampir jatuh dalam pelukannya: perempuan malang itu diculik malam-malam. Adalah seorang lelaki bertopeng, mengendap-endap ke rumah Nur ketika anaknya merengek minta menyusu. Belum rapi benar kebaya Nur, ketika entah bagaimana caranya lelaki bertopeng itu merangsek dan menyergap dan membekap mulutnya, lalu membikinnya tak sadarkan. Kerabat-kerabatnya lelap sangat. Nur dipanggul, si anak turut dibawa, untuk kemudian di suatu desa masih di Kecamatan Pungaren digeletakkan di jalan berbatu, hingga seorang perempuan tua menemukan dan merawatnya, juga memberi anak itu nama baru.
Beberapa hari setelahnya, kerabat dan terutama istrinya menduga peristiwa itulah yang membikin Sadam Kabad murung hingga lambat laun bernasib seperti mendiang Korun. Itu tak sepenuhnya keliru, tetapi yang berandil besar merusak kesehatan Sadam Kabad adalah lantaran si codet jauh di sana melakukan sesuatu kepadanya. Lantaran begitu ketakutan.
Sadam Kabad diserang mimpi-mimpi buruk. Bertahun-tahun. Dalam mimpi buruk yang beruntun itu, sebuah suara menakutkan senantiasa menyebut ia akan mati mengenaskan di tangan seorang bernama Bdul. Kontan jiwanya makin terpuruk. Pikiran berantakan. Menyumpah-nyumpah nama tersebut. Ia kerap merasa linglung, berkali-kali istrinya yang setia mendapatinya seperti tengah berbincang dengan seseorang padahal ia sendirian, atau tiba-tiba menangis menjerit-jerit, atau bangkit berjalan saat tertidur bahkan sampai tersesat di tengah hutan. Hingga Yanto Plongo, jawara kepercayaan Sadam Kabad sekaligus keponakannya, kerap pontang-panting mencari keberadaannya, sampai akhirnya ia diperintahkan oleh istri Sadam Kabad untuk berjaga di pekarangan, pulang dari perburuan terhadap dua pengkhianat.
Tak lagi tahan dengan ketakutan yang nyaris membikinnya gila, Sadam Kabad menyuruh Yanto Plongo terlebih dahulu mencari siapa pun yang bernama Bdul, atau bila perlu melenyapkan tiap-tiap anak yang diberi nama Bdul.
Bersama komplotannya yang berjuluk Balad Amuk, demi Sadam Kabad yang kian tersiksa, Yanto Plongo bukan main murkanya.
***
Di seberang aliran sungai yang airnya begitu jernih, sebuah gubuk reyot tampak berdiri menyedihkan di antara dua pohon jati yang berdiri tegak dan angkuh di kaki Gunung Buntung itu. Di bawah merahnya bulan purnama, dalam gubuk itu Bahurosa harap-harap cemas.
“Terpaksa kumakan kau, Agam! Aku sudah sangat lapar!” kata sesosok yang sekujur dan jubahnya hitam belaka. Ia menggeram begitu seramnya.
Bahurosa gemetar. “Tunggu ia pulang,” mohonnya.
Pandeglang, 2024