Seribu Wajah - Yesi Tri Andriani Sudibyo


Cerpen pilihan pada Event Menulis Genre Thriller, Mystery, & Psychological 2024

Seribu Wajah

Yesi Tri Andriani Sudibyo

Ketika realita luruh dalam ruang imaji, tidak ada yang bisa membuat dia berhenti, pun dengan nyeri di kepala yang kian menjadi-jadi. Larutnya malam tak lagi dia hiraukan sebab terlalu lena dalam tumpukan adrenalin di dada.

Dia menyeringai, mengusap sudut bibir yang membiru dengan ujung jarinya. Bau anyir menyapa hidung lewat jari-jemari itu; bau yang bukan berasal dari tubuhnya.

***

Nathan menghentikan tarian jemari di atas keyboard MacBook Pro, yang menyala di kamar dengan sedikit cahaya, membuat naskah novel yang ditulisnya terhenti pada kata “fana”.

Detik-detik berlalu, Nathan terpejam sambil memijit kening yang berdenyut. Bau anyir masih lekat di ingatan, meski berusaha dia singkirkan. Setengah kilo bubuk kopi hitam dia tuang secara acak di beberapa bagian kamar apartemen, yang disewanya tiga hari lalu, demi menyingkirkan bau mengerikan itu.

Nathan yang malang. Hari-hari sebelumnya semua baik-baik saja. Dia membaca buku-buku rohani, berbicara dengan bunga-bunga di balkon apartemen sambil menikmati temaram senja ditemani secangkir teh chamomile, serta menulis novel misteri—seperti biasa. Semua benar-benar baik-baik saja. Akan tetapi, ketika terbangun dari tidurnya pagi tadi, bau anyir darah tercium pekat, seperti menempel di hidungnya erat-erat. Senyum yang biasa terulas ringan menyapa bunga-bunga, menjadi begitu menyakitkan dan berat.

Pria berusia awal 30 itu mendesah. Dia beralih dari meja kerja ke sofa di dekat ranjang yang masih berantakan. Itu seperti bukan Nathan. Dia selalu memperhatikan kerapian tempat-tempat yang akan atau sudah dia gunakan. Namun, hari itu lain. Bangun tidur dengan kepala yang terasa berputar membuat Nathan enggan melakukan apa-apa, selain menenggelamkan diri ke dalam lautan kata yang dia ramu di novelnya.

Dengan rambut acak-acakan, Nathan meraih ponsel di meja. Dia tersenyum saat mendapati pesan tertulis atas nama Asha tertera di layarnya. Segera dia membaca kemudian menjadi gusar. Headline yang diunggah oleh kanal berita ternama beberapa jam lalu yang link-nya dikirimkan oleh Asha, menyita seluruh perhatian Nathan. Sampai ketika pintu kamar diketuk dari luar, Nathan masih mengamati isi berita tentang jenazah korban pembunuhan yang ditemukan di pinggir danau, tidak jauh dari apartemen sewaan tempatnya tinggal. Tangan dan kaki pria yang belum diketahui identitasnya itu terikat seutas tali berwarna merah dengan sangat ketat, sedangkan gambar wajahnya buram karena sengaja tidak dipublikasi secara jelas oleh media.

Beberapa ketukan di pintu menarik Nathan kembali ke alam nyata.

“Hai.” Senyum cantik Asha mengembang saat menunjukkan dua kantung besar berisi makanan dan minuman ke Nathan yang akhirnya membuka pintu untuknya. “Sudah sarapan? Pasti belum.” Asha memaksa masuk sebelum si tuan rumah mengizinkan.

“Rambut acak-acakan, tempat tidur masih berantakan,” omel Asha seraya meletakkan belanjaan ke meja dekat sofa, Nathan mengikuti setelah menutup pintu.

“Sudah baca berita yang kukirim tadi?” Meski tidak mendapat jawaban, Asha tetap melanjutkan kata-katanya. “Kejadiannya nggak jauh dari sini, loh. Kamu harus lebih hati-hati. Kalau perlu pindah saja, cari tempat yang lebih nyaman. Apartemen ini terlalu kecil.”

“Hem.”

“Kapan mau balik ke kantor? Anak-anak litbang kangen sama kepala devisinya.” Asha mengedipkan sebelah mata. “Aku juga,” bisiknya jenaka.

Nathan tertawa kecil sembari merapikan rambut ala kadarnya menggunakan jari-jemarinya yang panjang. “Besok mungkin.”

“Mungkin?” tanya Asha sambil menyodorkan semangkuk bubur yang masih hangat. “Nggak ada waktu yang lebih pasti gitu?”

Tanpa menjawab, Nathan mulai memasukkan bubur ayam sesuap demi sesuap ke mulutnya.

“Gimana kalau hari ini?” Asha mengerling manja. “Kita berangkat sama-sama ke kantor, pasti seru.”

Nathan masih enggan menjawab.

“Atau jangan-jangan kamu beneran mau resign?”

“Hem.”

Asha melotot. “Yakin?”

Nathan tidak menjawab. Dia fokus dengan sarapannya. Bangun tidur pagi itu dia menjadi sangat lapar, tidak seperti biasa. Beberapa hari terakhir dia hanya menghabiskan waktu untuk menyelesaikan novel, tetapi rasanya seperti sudah melakukan pekerjaan berat yang benar-benar menguras tenaga.

“Pikir lagi, deh, Nat. Aku tahu banget perjuangan kamu untuk bisa sampai di posisi sekarang.” Asha mengembus napas berat dan kasar. “Belum lagi soal gaji. Apa setelah jadi novelis kamu bisa menghasilkan uang sebanyak itu setiap bulan?”

Gadis manis berambut hitam sebahu itu menyentuh lengan Nathan dengan hati-hati. “Aku tahu, kali ini sikap Pak Bram memang keterlaluan, makanya kamu harus buktikan kalau tuduhan dia itu salah. Aku percaya sama kamu, Nat.”

“Bukti,” guman Nathan seraya beranjak dari duduknya membawa mangkuk dan sendok kotor lalu mencucinya di wastafel.

Asha bergegas membuntuti. “Iya, kamu harus buktikan itu. Kalau kamu resign justru itu tandanya kamu beneran salah.”

Nathan tidak bereaksi. Dia menyelesaikan pekerjaannya lalu mengeringkan tangan, mengabaikan Asha yang memandangnya sebal.

***

Berbaju kemeja putih dengan lengan panjang yang digulung sampai sebatas siku dipadu celana jin belel berlogo Diesel Thavar serta sepatu kets, Nathan melangkah menyusuri lobi perusahaan retail fashion tempatnya bekerja sejak empat tahun lalu, kemudian naik lift menuju lantai 5. Dia langsung masuk ke ruangan bosnya tanpa memedulikan sapaan karyawan lain.

“Aku resign,” ucap Nathan kalem sembari meletakkan amplop putih ke meja Bramastha.

“Kebetulan kamu ke sini, aku baru aja mau ke ruanganmu, Nat. Duduk dulu, ada yang mau kubicarakan.”

Nathan bergeming. Alih-alih menuruti perintah atasannya, dia malah dengan santai memasukkan kedua tangan ke saku celana. “Bicara saja, aku bisa dengar dari sini.”

Tidak mau berdebat lebih jauh lagi, Bramastha membiarkan Nathan berdiri di seberang meja, kemudian menyorongkan tablet yang layarnya menyala. Nathan meliriknya. Tablet itu menayangkan berita sama seperti yang dikirim Asha pagi tadi.

“Lihat itu. Kamu tahu siapa korbannya?”

Nathan tidak menjawab.

Deputy head-nya keuangan. Kalau nggak salah ingat, dia baru bergabung beberapa bulan sama kita.”

Nathan berdeham.

“Rupanya dia yang menggelapkan anggaran devisimu, Nat.” Bramastha menghentikan kalimatnya sejenak, menunggu reaksi Nathan yang tak juga mengucap sepatah kata pun. “Adik iparnya telepon aku semalam dan minta aku untuk memaafkan dia.”

“Pelakunya?”

“Entahlah, biarkan polisi mengerjakan tugas mereka. Aku cuma mau bilang. Kamu bisa bekerja lagi di sini dengan tenang.” Bramastha mendorong amplop putih dari Nathan. “Kamu ambil lagi surat itu. Maaf untuk semua hal yang bikin kamu nggak nyaman di kantor belakangan ini.”

Nathan menarik kursi di dekatnya lalu duduk sambil bertopang kaki. Bramastha adalah putra kedua pemilik saham terbesar di perusahaan retail fashion yang sudah menggurita itu. Usianya dengan Nathan hanya terpaut satu tahun sehingga mereka lebih mirip seperti kawan ketimbang bos dan karyawan.

“Andai kejadiannya nggak seperti ini, apa yang akan kamu lakukan?” Nathan menatap bosnya lekat-lekat. “Masih mau minta maaf?”

Bramastha merebahkan punggung di sandaran kursi empuknya. “Ayolah, Nathie, jangan kaku begitu. Kita sudah berteman hampir lima tahun. Aku yang salah, harusnya lebih percaya sama kamu, tapi tekanan dari para pemegang saham membuat kepalaku sakit.”

Nathan berdecak. Diketuknya ujung jemari ke permukaan meja sehingga mengeluarkan suara yang terdengar seperti derap kaki kuda. Dia tahu, Bramastha tidak tahan dengan itu.

“Oke, oke, kamu boleh perpanjang cutimu seminggu lagi. Anggap itu sebagai permintaan maafku, puas?” ucap Bram kesal.

“Sebulan.”

“Dua minggu.”

“Dibayar penuh?”

As your wish, tapi setelah itu kembalilah ke sini secepatnya.”

Deal.”

***

Menikmati cuti panjang dengan tinggal di rumah Dilli merupakan pilihan terbaik yang dibuat Nathan. Dilli adalah adik bungsu ayah Nathan. Dia hidup berdua dengan putra tunggalnya yang masih berusia di awal dua puluhan, serta beberapa pekerja yang menginap di rumahnya. Dilli memiliki beberapa hektar perkebunan teh, membuat Nathan selalu nyaman menghabiskan waktu di sana.

Pagi itu, kali pertama Nathan membuka mata dan terbangun di salah satu kamar milik bibinya. Hangat matahari masih belum bisa mengusir dingin sepenuhnya. Namun, bagi Nathan itu sudah lebih baik dibanding udara semalam. Dia membuka selimut, tetapi segera merapatkan jaket setelahnya. Dihirupnya udara dalam-dalam. Bukan hanya dingin, bahkan rasa nyaman dan tenang ikut mengisi paru-parunya. Nathan melangkah santai hendak menjangkau gagang pintu. Namun, bersamaan dengan itu, pintu terbuka lebar-lebar. Seorang lelaki muda yang tak dikenalnya masuk dengan tergesa-gesa lalu menutup pintu rapat-rapat. Dia mengintip dari lubang kunci sambil ketakutan.

Ketika lelaki itu mengembus napas lega, barulah Nathan menyapanya. Si lelaki terkejut bukan main. Dia tidak mengira kamar itu ada penghuninya.

“Kamu siapa?”

Nathan memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. “Harusnya aku yang tanya itu.”

Ketika si lelaki hendak menjawab, Nathan menempelkan jari telunjuk ke bibirnya saat dia mendengar suara gaduh di depan kamar. Lelaki muda itu mengangguk lalu dengan hati-hati dia bergerak ke jendela lantas melompat keluar dari sana.

Nathan membuka pintu setelah menunggu beberapa saat. “Ada apa ribut-ribut?” tanyanya kemudian.

Dengan tidak sopan, Ardian masuk lalu memeriksa kamar Nathan. Setelah puas mencari, dia keluar tanpa mengatakan apa-apa. Ardian menggeleng ke beberapa mandor, kemudian mereka pergi begitu saja.

Nathan tersenyum samar. Dia segera pergi ke rumah utama untuk bertemu bibinya. Di taman kecil belakang rumah, Dilli asyik menyirami bunga-bunga mawar dan anyelir yang berukuran besar-besar. Warna yang cerah serta aroma segar bunga-bunga cantik itu benar-benar membuat suasana hati menjadi lebih baik.

“Selamat pagi, Bibi,” bisik Nathan tepat di telinga Dilli sehingga membuat wanita berusia lanjut itu tersentak.

Satu cubitan kecil mendarat di bahu Nathan yang tertawa.

“Dari mana saja kamu? sudah Bibi tunggu dari tadi,” tutur Dilli setelah keterkejutannya reda.

Nathan tersenyum. Diambilnya cangkul kecil dari tangan Dilli lalu menuntun wanita itu duduk di kursi, menghadap meja bundar yang terbuat dari kayu tebal. Di atas meja sudah tersusun makanan yang biasa mereka nikmati untuk sarapan. Setelah meletakkan cangkul kecil ke tempatnya, Nathan duduk di sisi Dilli.

“Mana adik sepupumu, Nat? Tadi Bibi minta dia panggil kamu. Sudah lama kita nggak sarapan sama-sama.”

“Ardian?”

“Ada lagi selain dia?”

Nathan tertawa kecil. “Sebentar lagi mungkin dia ke sini. Kita tunggu saja, Bi.”

Benar saja, tak lama Ardian muncul dengan senyum dipaksakan. Setelah melirik Nathan sekilas, dia tersenyum hangat ke ibunya kemudian duduk di dekat Dilli.

“Maaf, aku terlambat.”

Dilli menggenggam tangan Nathan dan Ardian sambil menahan air mata. “Sudah lama sekali rasanya kita baru bisa berkumpul seperti ini lagi. Entah setelah ini apa kita masih bisa duduk sama-sama lagi sambil sarapan dan ngobrol begini.”

Nathan menepuk-nepuk ringan punggung tangan bibinya. “Bibi jangan terlalu banyak berpikir yang bukan-bukan. Kita sarapan saja dulu, aku sudah mulai lapar,” tuturnya sambil tersenyum.

***

Usai sarapan, Nathan kembali ke kamar. Dengan wajah muram, pria itu berdiri di depan jendela yang terbuka. Meski menjelang siang, udara perbukitan tidaklah sepanas suasana ibu kota. Beberapa hari tinggal di rumah Dilli, Nathan tidak lagi merasakan sakit kepala. Tentu saja itu adalah hal yang baik.

Ketika menatap jauh ke hamparan teh yang luas, Nathan melihat lelaki muda yang menyelinap ke kamarnya beberapa waktu lalu berlari turun ke jalan besar, setelah itu menghilang begitu saja di kelokan. Nathan mengernyit. Hari masih siang, tetapi pekerja tersebut sudah meninggalkan posnya.

Oleh karena tidak ada hal mendesak yang harus dilakukan, pria berambut hitam tebal itu memutuskan untuk berjalan-jalan mengitari perkebunan sekadar menyapa dan memberi salam kepada para pekerja. Sesekali Nathan tersenyum sambil mengangguk ketika berpapasan dengan pekerja perkebunan yang kebanyakan wanita. Beberapa perempuan muda nan cantik kasak-kusuk diiringi tawa malu-malu saat melihat wajah tampan Nathan.

Mendung mulai bergelayut di angkasa kala Nathan memutuskan untuk kembali ke rumah bibinya. Gerakan kaki-kaki panjang pria itu dengan cepat menyusuri jalan setapak di sela pohon teh yang pucuk-pucuk manjingnya sudah dipetik pagi tadi. Jika hujan sering turun, maka dalam tujuh hari, pucuk-pucuk itu kemungkinan besar bisa dipanen lagi.

Ketika melintasi bedeng timur, tanpa sengaja, Nathan mendengar suara gaduh di dalamnya. Dia lantas mendekat. Ditempelkannya telinga ke dinding bedeng yang terbuat dari anyaman bambu untuk mengetahui yang terjadi. Tak berselang lama, keluar Ardian bersama dua mandor yang pernah ditemui Nathan. Beruntung mereka tidak melihatnya. Setelah tiga orang itu pergi, Nathan masuk ke bedeng.

“Mereka menuduh saya mencuri uang mandor, Den,” jawab si penghuni bedeng yang ternyata adalah lelaki yang pernah menyelinap ke kamar Nathan.

Meski wajahnya babak belur, Nathan masih mengenali lelaki itu. Di samping si lelaki, terbaring perempuan yang masih sangat muda dengan wajah pucat dan mata terpejam.

Si lelaki mengetahui arti tatapan Nathan. “Ini adik saya, Den. Dia ….” Lelaki itu mengusap air mata. “Dilecehkan sama Den Ardian,” lanjutnya lirih.

“Berapa banyak uang yang kamu curi?” Nathan bertanya setelah lama terdiam.

Lelaki itu memeluk kaki Nathan, tangisnya pecah. “Sumpah, Den. Saya tidak melakukannya. Saya tidak pernah mencuri sepeser pun seumur hidup saya.”

***

Pagi itu, Nathan kembali mengutuki hidupnya. Sakit kepala yang lama tak dirasa, lagi-lagi datang menghampiri. Persoalan si lelaki pekerja perkebunan dan adik perempuannya, terus membayangi. Makin diingat, makin berdenyut pula kepala Nathan. Belum juga matanya terbuka sempurna, seorang mandor masuk ke kamarnya yang tidak pernah dia kunci.

“Den, gawat, Den,” ucap si mandor terengah-engah.

Nathan duduk di pinggir ranjang sambil beberapa kali mengembus napas panjang, berusaha mengurangi sakit di kepalanya. “Bicara pelan-pelan.”

“Den Ardian ….”

“Kenapa sama dia?”

“Meninggal, Den.”

Nathan mengernyit saat si mandor mendekat kemudian berbisik, “Jenazahnya ditemukan di kebun dekat bedeng timur. Tangan sama kakinya terikat tali merah.”

***

Secangkir cokelat yang asap putihnya masih mengepul di atas permukaannya menjadi teman Dilli malam itu. Namun, itu tidak lama. Segera setelah angin pegunungan menyapa, si cokelat panas menjadi dingin dalam sekejap. Akan tetapi, jelas Dili tidak peduli. Menikmati cokelat panas hanyalah satu dari sekian alasan yang dia karang demi bisa bersembunyi dari gundahnya hati.

Raga wanita itu mematung di teras rumah menatap hamparan kebun teh yang sama, sementara pikiran melekat pada Ardian, putra semata wayang yang malang. Hingga lebih dari dua minggu sejak kematian pemuda itu, polisi datang silih berganti menanyakan pertanyaan yang terkadang lebih sering diulang. Dilli lelah. Dia memilih ikhlas meski polisi terus memberi janji.

Dari balik kacamata rabun dekatnya, Dilli menguatkan diri menatap area bedeng timur. Setelah terjadi peristiwa yang melukai hati, banyak yang berubah dari tempat itu. Jalan setapak bedeng timur yang biasa ramai oleh hilir mudik pekerja, menjadi jauh lebih sepi sebab garis polisi masih menutupi tempat di mana hidup Ardian berakhir sehingga tidak banyak yang berani melewati. Meski begitu, bedeng timur tetap digunakan sebagai rumah untuk beberapa pekerja perkebunan walau bukan lagi penghuni lama yang menempati.

Tiba-tiba, Dilli buru-buru membetulkan posisi kacamatanya ketika dia melihat seseorang berjalan dengan cepat melintasi sisi perkebunan menuju ke bedeng timur. Dalam temaram cahaya lampu yang tidak seluruhnya menerangi area perkebunan, Dilli masih bisa melihat sosok tersebut. Dia mengenakan hoodie zipper yang menutupi sampai kepala, gerakannya cepat menyusuri jalan setapak.

Sampai di area yang dilingkari garis batas polisi, sosok itu berjongkok. Dia nyalakan senter dari ponsel, kemudian mengarahkan ke sekitar. Dia lakukan itu dengan teliti agar tidak ada detail yang terlewat. Menit-menit berlalu tanpa menemukan yang dia mau.

Di luar dugaan, dari belakang, dengan cepat Dilli menarik penutup kepala sosok itu. Dilli melotot setelah melihat wajahnya dengan jelas.

Dari balik hoodie-nya, seseorang berwajah rupawan tersenyum manis kepada Dilli seraya menggenggam seutas tali berwarna merah. Dia siap menjerat korban ketiganya.

Selesai


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url