Utopia Lara - Thiya Rahmah


Cerpen pilihan pada Event Menulis Genre Thriller, Mystery, & Psychological 2024

Utopia Lara

Thiya Rahmah

Nanda pernah berkata, bahwa perasaan bahagia, takut, sedih, ragu-ragu, dan marah yang menjadikan manusia sebagai manusia. Kita adalah akumulasi kesadaran yang diasah pengalaman dan kesalahan. Seperti kulit beringin tua yang menyimpan jutaan jalan hujan dan air asam limbah permesinan.

Angin berkisik pelan di telinga: untuk apa kita ada sementara sistem membatasi kemampuan mengecap perasaan tersebut?

“Jawab!” tuntutnya pelan. Di bawah matahari sore, Nanda menggeliat di sampingku sambil menganyam jari di jemariku. Anehnya jawaban tersebut tidak tersedia di database. Padahal seluruh jawaban mata pelajaran kuunduh beserta pedomannya satu per satu.

“Tidak bisa?” Nanda menantang.

Sensor di mataku berkedip cepat: detak jantung mendekati 110 per menit. Tabulansi data kesehatan bertubrukan di udara hingga tiap teksnya saling menindih. Menutupi pandangan dengan layar transparan berisi grafik, diagram, replika tubuh, bar tingkat serotonin-epinefrin, dan adrenalin. Kukibaskan tangan menghapus semuanya, data-data itu tinggal tanggal di sudut mata, 25 Mei 2119.

“Apa rasanya?” Nanda mencengkeram tanganku, tubuh kami berbaring menyamping saling berhadap-hadapan di taman atap sekolah. Terlindung akar beringin.

“Aku …,” meneguk liur, “panas.”

“Sepanas apa?”

Nanda mendekat, napasnya menyapu hidung dan bibirku—hampir mengecup. Aku berpaling dan mencari jarak sambil menghitung berapa helai rumput di antara kami. Degup itu semakin cepat, paru-paru memburu, dan aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bingung.

Sebelumnya kami mempelajari teori dasar emosi manusia. Mayoritas anak-anak mendiskusikannya dengan ceria, diselingi berita cuaca, dan bertanya seperti apa rasanya kesedihan?

“Sedih adalah emosi yang menanggapi duka, kekecewaan, dan keputusasaan. Indikator jika perasaan menjadi terasa berlebihan dan menguras tenaga. Untuk mengantisipasinya, tubuh menciptakan rasa takut, melawan ancaman dan rasa sakit. Menghindari rasa sedih.” Guru kami menjelaskan.

Kami tidak mengerti kenapa orang takut sakit? Bukankah sensor akan mengenali gejala penyakit sekecil apa pun dan mengabari instansi kesehatan terdekat. Untuk memberi kami obat dan menyembuhkan gundah serta keraguan. Hidup kami panjang tanpa rasa sakit. Tidak ada isolasi sosial saat semua data pribadimu terunggah di dunia maya menjadi arsip semua orang.

Kita saling mengenal. Saat berpapasan dengan Nanda, sensor mataku langsung menganalisa tinggi, berat, hobi, riwayat kesehatan, dan pendidikannya. Aku bisa menyapa Nanda saat itu juga, membicarakan mendung, dan mendiskusikan psikologi abnormal yang terdengar seperti dongeng jaman purbakala. Tetapi ia hanya melewatiku, punggungnya menjauh, dan kesan pertama yang kudapatkan Nanda sosok yang misterius.

Tidak peduli seberapa banyak aku menyapukan tangan di udara, tabulansi tentang Nanda hanya memberi keterangan umum mengenai keluarga adopsinya. Bahwa Nanda pernah tinggal di luar Jakarta, tempat yang tidak terlindungi dinding dan diawasi Mata.

Mata adalah perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan yang terletak di pusat kota. Mengawasi kami melalui implan yang ditempel permanen pada kornea dan sensor di dalam otak.

“Sejak lahir,” Nanda melanjutkan pidatonya, “kita dikekang. Kebebasan hanya ilusi. Jika kita berpikiran jahat, sensor akan memberi peringatan. Jika aku benar-benar bertindak ….” Nanda menarik kerah seragamku, mencekik leher tiba-tiba, dan memberi rasa sesak yang menakutkan. Sesaat aku membatu, tidak tahu harus lari atau cemas pada kondisi kejiwaan Nanda. Apakah ini yang namanya terancam?

Detus kecil meletup, iris abu-abu Nanda berkilat. Satu detik kemudian ia teriak kesakitan, membungkuk, dan jatuh terduduk. Tangan kanannya menangkup mata kanannya.

Sensorku memberi pesan, penyerangan teridentifikasi. Aku mendapat akses untuk menyakiti Nanda, melalui sensor di kepalanya, chip yang tertanam pada rangkaian lobus abu-abu.

“Tidak!” Aku menolak. Tetapi Nanda bangkit dengan linangan darah di wajah. Mata telah menghukumnya.

“Inilah dunia kita, Lara. Dunia utopis yang palsu.”
Besoknya, Nanda menggantung diri di dalam kamar apartemennya. Meninggalkan sebuah surat: akhirku adalah sebuah awal.

****

Aku baru tahu Nanda mengalami depresi. Beritanya menyebar dan menjadi dongeng pengantar mimpi buruk semua orang tua. Nanda dianggap produk gagal, manusia yang tidak bisa beradaptasi pada implan dan sensor.

Bunuh diri itu mustahil, kata tajuk utama sebuah berita. Cerya, temanku, memberi setumpuk utas yang membuktikan bunuh diri Nanda adalah kesalahan. Ia masuk ke kamarku tergesa-gesa, meminta ijin metransfer file, dan aku mengayunkan jari menekan accept di udara.

“Seseorang membunuhnya,” Cerya memulai. Kematian Nanda seketika menjadi proyek kecil, nyaris terobsesi, foto-foto Nanda tertempel di dinding dengan beragam data yang melayang setiap kali aku menatap wajah tersebut. Kenapa?

Polisi sempat menginterogasiku mengenai video penyerangan Nanda. Rekaman gambar dari sudut pandangnya diproyeksikan ke dalam pengelihatanku. Seolah tanganku sendiri sedang mencekik Lara bodoh yang terpesona konsep ketakutan.

“Kau mendapat akses ke dalam otaknya?”

“Ya.”

“Tetapi kau menolak?”

“Ya.”

“Lalu Mata melindungi kalian berdua dengan menyeterum otak Nanda.”

“Ya.”

“Punya pendapat?”

“Aku yakin Nanda sedang mengetes sesuatu.” Saat mendapat akses aku tahu ia ketakutan. Atau ia memang sedang bertarung dan akhirnya kalah dengan dirinya sendiri.

****

“Dunia ini palsu. Kita hanya menunggu kiamat dalam kuasa Mata.”

Nanda pernah menuliskan kata-kata tersebut di lenganku, mengukirnya sebagai tato amatiran dengan pena. Dan sekarang aku merindukan Nanda setengah terpejam. Mempertanyakan motivasinya dan motivasiku mengulik bunuh dirinya.

Sistem berkata itu kesalahan. Tetapi polisi yakin Nanda menantang Mata untuk mencegahnya menyakiti diri sendiri. Cerita itu pun tersebar di forum-forum berkeamanan khusus, tempat orang-orang menunjukkan sisi busuk yang tersimpan rapat di balik etika dan norma kesusilaan.

“Lara, mau duduk?” Bising pikiran mengaburkan tawaran Cerya di dalam kereta kapsul. Pantulan kami berdua terbias kaca jendela. Tetapi hanya ia yang tersenyum dan terlihat baik-baik saja. Bersuara manis, bertingkah sempurna. Di sebelahnya aku tampak lusuh dan menyedihkan.

Seperti Cerya, orang-orang di dalam kereta kapsul serentak menoleh prihatin dan menawarkan kursi mereka. Seakan ada pengumuman di udara bahwa kondisiku memburuk dan tidak stabil.

“Kurang tidur,” alasanku. Melanjutkan ulir pada forum yang menceritakan niat para remaja untuk bunuh diri bersama. Mereka tertantang. Semakin dilarang mereka semakin penasaran dan menguji sistem Mata sampai ke taraf Mata meningkatkan sensornya. Remaja-remaja yang berniat bunuh diri akan dipenjara. Sementara yang gagal mati direhabilitasi di rumah sakit dengan obat-obatan khusus yang membuat sosok mereka seperti mayat berjalan: kosong, penuh senyum, dan punya tata krama layaknya bangsawan.

Seperti Cerya. Gadis itu polos, mengikuti standar hidup yang mengutamakan komunitas di atas individu. Dia baik, tetapi kebaikannya seperti cermin yang mengkopi buku kepribadian ideal untuk diterapkan dalam dunia nyata. Bukan hasil akumulasi pengalaman dan kesalahan.

“Aku mengajari adikku cara membuang ingus, tahu? Cara batuk yang benar, tersenyum lebar, dan membicarakan cuaca.” Cerya bercerita, membuatku mual. Mereka tidak mengenal kesalahan. Setiap tindak-tanduk adalah rangkaian prosedur yang tertulis dalam SOP kemasyarakatan. Mata menyusunnya, Cerya mengakhiri. Mata mempermudah hidup kita hingga tidak mengenal kejahatan.

“Kita cuma merepresi emosi negatif!” teriakku. “Kita akan binasa bila terus mengandalkan sistem. Kita ini manusia, hidup atas kesadaran masing-masing.”

“Kamu ngomong apa, sih?” Cerya mengernyit, seakan bahasaku berasal dari pedalaman borneo. “Kita memang manusia.”

“Tetapi bukan begini cara hidup manusia. Kita harusnya merasa!”

Cerya menepis cengkeramanku, sedari tadi kami berpegangan dengan emosi naik-turun. Sensor memberitahu bahwa degup jantungku meningkat. Stasiun Manggarai semakin dekat. Dan Cerya mengirim tawaran untuk menemaniku ke rumah sakit terdekat.

Aku menekan denial.

“Kita hidup tanpa rasa sakit, Lara. Bukankah itu surga?”

“Bukan, itu kiamat.”

****

Lara, kau lukaku yang paling dalam.

Berita tentang bunuh diri remaja terus menyebar. Pandanganku ke rak makanan ringan penuh berita dan koran virtual tentang remaja yang mengakhiri nyawa dengan melompat dari atap gedung bersama-sama. Polisi pun melarang masyarakat mendekati jendela dan berada di tepi bangunan pada ketinggian tertentu. Sensor Mata semakin ketat. Berpikir bunuh diri sedikit saja, drone akan terbang memetakan lokasi dan mengomando robot keamanan menangkap pelaku.

Jakarta kacau. Utopia terkoyak ketika keluarga-keluarga normal seperti Cerya ketakutan dan bersembunyi di dalam rumah. Kerusuhan pecah, amuk-massa melawan sistem digalakkan para remaja. Kasir minimarket menahan pelanggannya di balik pintu kaca. Melindungi mereka dari hujan batu dan bom molotov.

“Manusia semakin gila.”

“Sistem akan memperbaiki segalanya.”

“Sensorku berkata kita harus mengungsi.”

“Jangan keluar, bahaya!”

“Anakku masih di dalam mobil.”

“Sistem akan melindunginya, percayalah!”

Tetapi aku tidak percaya. Dua menit setelah huru-hara pecah, massa membajak sebuah bis dan menabrak siapa saja yang masih ada di jalan. Tidak peduli teman atau warga sipil. “DEMI KEBEBASAN!” teriakan mereka teredam pintu kaca anti peluru. Mobil-mobil otomatis terbalik, robot dirusak, drone ditembak, dan anak yang terjebak dalam mobil tersebut tergilas bis sampai separuh rata. Darah menggenang, tangan mungil itu terjulur lepas dari jendela yang pipih, memberi kami mimpi buruk untuk selamanya.

****

“Semakin dewasa, Sistem mengambil alih sedikit demi sedikit kesadaran kita dan menggantinya dengan kepribadian ideal sesuai standar Mata. Sistem itu merusak! Temanku gagal bunuh diri. Lepas dari rehabilitasi ia tidak mengenaliku. Hidup seperti boneka, membahas omong kosong seperti cuaca. Ia cuma manusia yang dikendalikan Sistem. Mata merebut segalanya!”

Cerya tidak mau menemaniku ke mana-mana. Keluarganya mengungsi ke pusat kota di dekat Mata. Gedung berkeamanan tertinggi, dikelilingi pagar kawat dan besi. Serta drone yang berjaga 24 jam mengawasi perusuh Sistem. Ia memaksaku ikut ke kereta kapsul, bersama orang tuaku yang baru pulang dari kantor. Kami berjejalan di dalam tabung. Berharap Sistem akan memperbaiki segalanya. Kebaikan bertebaran, mereka saling menawarkan kursi. Berebutan, terus merasa bersalah dan meminta maaf berulang kali karena tidak sengaja saling menyikku.

“Maaf, maaf, maaf.” Cerya menggumam nyaris puluhan kali sejak berangkat dari Gondangdia. Sensorku memproyeksikan status awas dan hati-hati. Tenang saja. Dari rumah aku telah mempersiapkan sebuah pisau kecil untuk berjaga-jaga, tersembunyi di balik jaket, dan tidak kukeluarkan meski nyaris mati di minimarket yang ditabrak bis hingga hancur lebur.

“Inikah takut?” tanya Cerya, kedua matanya berkaca-kaca. Tangannya bergetar dingin memelukku ketat. “Rasanya aneh, aku ingin menghilangkannya segera.”

“Tenang Cerya. Takut bagian dari dalam dirimu, jangan ditolak.”

“Tapi aku benci merasa tidak aman!”

“Aku di sini melindungimu.”

“Tidak!” Cerya histeris. “Sistem yang melindungi kita. Sistem dapat menyelesaikan masalah. Sistem tahu segalanya. ” Tiba-tiba Cerya berteriak nyaring, tangannya menjambak rambut, matanya berputar nyaris sisa sklera semua. Jeritannya memuntahkan semua suara, terluka. Cerya jatuh pingsan. Aku menangkap tubuhnya dan memanggilnya berkali-kali. Seluruh penumpang terdiam, mereka jadi semakin panik, dan menatap horor ketakutan kami seperti wabah penyakit.

Sesaat, kupikir reaksi mereka berlebihan, sampai setetes darah mengalir dari mata kanan Cerya persis Nanda setelah mencekikku. Mata menghukumnya, hanya karena ia menjadi ancaman psikologis orang-orang sekitarnya.

“Beri aku akses,” pintaku pada Sistem. Sistem Mata menganggaapku sebagai korban terdekat dan memberi jalan. Lalu pening menjalar, ribuan semut berlari di dalam otakku, dan mengeritingkan pengelihatan. Ketika sampai, hanya sebuah kamar putih tak bertepi yang terlihat. Dengan tubuh transparan Cerya mengambang di tengahnya. Persis altar pemujaan.

Tiba-tiba dari kehampaan, Nanda mewujud seperti sosok hantu yang memadat. Ia menatapku dengan wajah sendu yang mengundang iba. Mendadak rindu menyerang, hari-hari ketika kami saling memeluk dan mengobrol mendera seperti badai di musim pancaroba. Kilasan saat kami berciuman, menautkan tangan di bawah cahaya sore, dan meresapi debar yang mengganggu detak jantungku hingga Sistem menganggapnya takikardi.

“Nanda,” panggilku serak. Kenapa ia bisa ada di sini? Dalam kesadaran Cerya.

“Mata benar, kau lemah terhadap sosok ini.”

Seketika aku mundur. Aku masih dalam kuasa sistem.

“Kembalikan Cerya! Apa yang kau lakukan padanya?”

“Melindunginya seperti yang Cerya harapkan.”

Nanda menjejak, berputar sambil menyentuh lembut tangan Cerya seakan mengajaknya berdansa. “Emosi membuat manusia tidak stabil. Perasaan mengacaukan kalian hingga tidak mampu berpikir rasional. Keinginan adalah racun. Manusia tidak bisa bertahan melawan dirinya sendiri. Puluhan tahun menekan sisi negatif membuat kalian depresi dan lupa caranya bersedih. Seperti Nanda.”

“Apa yang kau lakukan padanya?”

“Menyelamatkannya. Kau tidak mengerti konsep kesedihan. Sementara Nanda ingin membagi lukanya sebagai anak asing yang diadopsi. Ia ingin belajar merasa dan meresapi sakit bersama orang yang dicintainya. Tapi kau gagal memahami.”

“Aku?”

“Kau penyebab Nanda bunuh diri, Lara. Kau lukanya.”

Satu tarikan napas kemudian dunia putih itu menggelap. Kesadaran Cerya hilang, Nanda pun lenyap, dan sakit kepala hebat memaluku habis-habisan. Aku berteriak, setrum mengiris otakku sedikit demi sedikit, sakujur tubuh kaku, nyaris memuntahkan semua isi perut. Tidak sanggup menahan sakit dari chip dalam kepala. Sistem, apa yang terjadi?

Tabulansi bergalat muncul, meminta ijin untuk mengakses pikiran. Sistem ingin menguasaiku.

“Untuk mengobatimu dari rasa bersalah.” Suara itu menggema. Tidak! Aku tidak akan kalah. Saku jaket memanggil, berat logam dari sana menyadarkanku satu jalan keluar. Satu-satunya cara untuk lepas dari penjara ilusi. Lepas dari rasa sakit dan hidup seperti boneka. Menjadi manusia seutuhnya tanpa kekangan sistem.

“Kita akan menyusul Nanda, Cerya.”


[Tamat]


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url