When the Dementor Comes - Khalif Hermansyah

Cerpen pilihan pada Event Menulis Genre Thriller, Mystery, & Psychological 2024

When the Dementor Comes

Khalif Hermansyah

Panggil ia Dementor, makhluk tanpa wajah dan jiwa yang akan datang tanpa mengetuk pintu. Tak peduli kau Muggle atau penyihir berdarah murni, ia akan tetap melayang di depan wajahmu. Melambaikan jubah hitam dengan warna paling gelap yang tak pernah kau jumpai di manapun. Ia datang bagai singa kelaparan. Mewujud dalam ketakutan yang menyimpul buhul-buhul. Merenggut kebahagiaan dan menjerat jiwa-jiwa. Hingga kau jatuh ke dalam lubang penuh keputusasaan.

Hanya mantra Patronus yang bisa mengusirnya. Sayangnya, ia tak pernah benar-benar musnah. Dementor hanya akan pergi, untuk kemudian datang dan mendekapmu kembali di lain hari. Ia adalah kegelapan sesungguhnya, yang lebih gelap daripada dia-yang-tak-boleh-disebut-namanya.

***

Adalah Nicole Adams dan Judy Clarence, sepasang manusia yang diberkati. Kehidupan rumah tangga secerah musim semi selalu terpancar dari rumah mereka yang dicat merah bata. Ketiadaan tawa bayi dan ceceran remah biskuit bukanlah masalah berarti bagi keduanya. Melalui malam-malam sepanas California di musim panas, cukuplah menjadi mercusuar bagi Nicole dan Judy.

Namun, berkat yang menghujani pasangan suami-istri tersebut tampaknya mulai mengendur semenjak pria tua bernama Alfred hadir. Di siang hari yang berangin, pria berkumis lebat itu datang dengan membawa sekoper pakaian dan setumpuk perabotan usang. Penghuni baru itu menempati rumah tua di depan kediaman keluarga Adams yang telah lama kosong.

Entah bagaimana awalnya, Judy yang tengah mengeluarkan sekantong sampah di malam hari, kembali dengan wajah sarat ketakutan. Tergesa-gesa, ia mengunci pintu dapur dan menutup tirai di depan sink. Kemudian berjalan sempoyongan seperti orang mabuk menuju kamarnya. Lantas, Judy menelan dua pil dalam botol obat sekaligus, kemudian minum rakus-rakus.

“Jude, aku tahu kau di sana. Keluarlah! Mari, kita bersenang-senang!”

Selimut tebal yang membungkus tubuhnya tak diizinkan berpindah barang seinci pun. Sementara, suara berat dan dalam yang menyerupai bisikan tadi terdengar menggema, seakan berusaha menelanjanginya secara paksa.

“Jude …”

Suara kuku yang digesekkan di sepanjang dinding semakin membuatnya terisak di balik selimut.

“Jude, kau baik-baik saja?”

Geliginya yang gemetaran menggigit bibir bawah kuat-kuat. Sayangnya, sekeras apa pun usahanya bersembunyi, selimut bergambar bunga teratai itu tersibak juga pada akhirnya. Menampakkan seraut wajah berbingkai kacamata.

***

“Kau yakin, dia orangnya?”

Iris biru Judy mengarah lurus pada suaminya yang tengah meneguk segelas jus jeruk. Wanita tiga puluh tujuh tahun itu hanya diam, sambil sesekali melempar pandangan takut-takut pada rumah bercat kusam di seberang jalan.

“Istirahatlah, kantong matamu menghitam dan bergelambir seperti nenek-nenek, Jude! Semalaman kau tak tidur.”

Melihat Nicole meraih tas kerja, Judy memegangi kedua lengan suaminya itu erat-erat, berusaha mencegahnya pergi. Demi Tuhan, ia enggan sendirian! Makhluk itu pasti akan mendatanginya lagi nanti.

“Jangan pergi, Nick. Kumohon! Bagaimana kalau Dementor berwujud manusia itu datang lagi kemari?”

Nicole menggeleng seraya mendecih. Ia sudah muak dengan Dementor dan segala hal tentang penyihir.

“Percayalah, dia tak akan menyakitimu selagi kau tetap berada di dalam rumah. Bersembunyilah, apa pun yang terjadi. Nanti kubawakan obatmu, oke. Satu lagi, tolong, berhentilah menonton film penuh khayalan yang mencuci otakmu itu, Jude!”

Selepas mobil Nicole meninggalkan carport, Judy bergegas menutup semua tirai dan mengunci pintu serta jendela. Kembali, ia meringkuk. Kali ini di atas sofa yang berhadapan dengan televisi. Seharusnya, hari ini jadwalnya menonton ulang Harry Potter and the Prisoner of Azkaban. Celakanya, ia merasa seperti terseret ke dalam film dan menjadi tawanan itu sendiri. Ia membayangkan selnya berada di sebelah sel yang mengurung Sirius Black.

Bukan tanpa sebab Judy mencintai dunia Harry Potter. Film yang diadaptasi dari novel mega best seller karya penulis ternama, JK Rowling itu, merupakan terapi yang paling mujarab untuknya. Ia seakan memiliki dunianya sendiri tiap kali menonton aksi Daniel Radcliffe dan teman-temannya. Dari film itu juga, Judy mengenal istilah Dementor, sang pelahap jiwa.

Bicara tentang terapi membuat ingatannya mundur ke dua puluh empat tahun silam, saat masih tiga belas umurnya. Di malam yang sunyi, Judy berjalan seorang diri di atas trotoar setelah menghadiri pesta ulang tahun temannya. Gadis berambut pirang itu melintasi Taman Eden dengan langkah lebar-lebar karena tetesan air langit mulai turun. Tiba-tiba, sebuah tangan kekar membekap mulutnya, sedangkan yang sebelah lagi digunakan untuk mengunci pergerakannya.

Perlawanan sia-sia disertai jeritan yang teredam celana dalamnya sendiri hilang ditelan gerimis. Hingga kini, tak ada yang tahu siapa begundal yang telah merusak hidupnya. Bagaimana akan tahu, bila kedua orang tua Judy memilih untuk merahasiakan kejadian nahas tersebut demi sebuah alasan klise; nama baik keluarga.

Beruntung, Judy tahu sesuatu. Pria yang menghilang secepat rusa berlari itu punya tanda di dahi. Bekas luka memanjang dari alis hingga ke pelipis kiri. Mirip kepunyaan Alfred, tetangga barunya.

***

Sepasang pria dan wanita ber-snelli tengah berpagutan dengan napas menderu. Menyalurkan nafsu bagai sewindu tak bertemu. Sayangnya, aksi sepanas putaran dadu di atas meja kasino itu harus terhenti saat seseorang memasuki ruangan dengan alat-alat kebersihan di tangan. Keduanya lantas berdeham canggung, kemudian berjalan ke arah berlawanan. Sementara, si petugas kebersihan mulai membersihkan ruangan poli gigi dalam diam.

“Kau yakin akan meneruskan pengobatan istrimu, Nick?”

Sembari merapikan kemeja, wanita berambut lurus menuruni punggung itu bertanya pada pria yang baru saja mencumbunya. Alih-alih menjawab, pria tersebut melirik petugas kebersihan yang tengah sibuk mengepel lantai di ujung ruangan.

“Kondisinya sedang tidak bagus, Darcey. Aku tak ingin merawat orang gila. Sementara, hanya ini jalan yang terbaik, menurutku.”

Darcey menggeleng, kurang setuju dengan pernyataan kekasih gelapnya itu. Bagaimana pun juga, obat-obatan psikedelik terlalu berbahaya bila dikosumsi dalam jangka panjang. Dokter gigi berbibir penuh itu sedikit-banyak tahu tentang kondisi Judy, istri dari kekasihnya tersebut.

“Aku harus menemui Dokter Ruby. Ada jadwal operasi malam ini. Sampai jumpa lagi, Sayang.”

Sembari membenarkan posisi snelli yang melorot di bagian bahu, pria beriris cokelat terang itu berlalu. Sepersekian detik lamanya, ia sempat beradu pandang dengan si petugas kebersihan. Mengantarkan gelenyar permusuhan yang tak terlihat, tetapi begitu pekat memenuhi udara.

***

Alfred mengempaskan sebuah kantong plastik hitam ke tempat sampah dengan wajah memerah. Ini adalah bangkai burung kesekian yang ia temukan tergeletak di pintu belakang sejak ia menempati rumah sewaan milik temannya yang tinggal di Nevada. Pria beruban itu tak yakin, tetapi ia merasa tahu siapa pelaku teror tersebut.

Setelah membersihkan sisa darah yang berceceran di dekat pintu, Alfred mencuci tangan dan mengambil sebotol coke di kulkas. Ia memilih menghabiskan sisa malam di beranda. Memandangi rumah dua lantai di hadapannya dengan mata memicing. Sesekali, ia mendapati pergerakan samar-samar di balik tirai tipis yang menutupi ruang tamu. Alfred yakin, wanita itu sedang mengamatinya juga di seberang sana.

Entah apa yang salah dengan istri dokter anestesi tersebut. Mereka baru berjumpa kembali saat wanita berambut sebahu itu sedang membuang sampah di depan rumah. Namun, respon yang Alfred dapatkan sungguh di luar dugaan. Alih-alih mengucapkan selamat datang di lingkungan baru atau menyongsongnya dengan pelukan seperti dulu, wanita tersebut malah berlari terbirit-birit setelah sebelumnya melotot, seperti orang yang baru saja melihat hantu.

Selepas kejadian malam itu, Alfred mulai menerima kiriman berupa bangkai burung yang ditempatkan di pintu belakang. Namun, pria berperut buncit itu tidak benar-benar yakin, siapa pelakunya.

Sepertinya, misi Alfred untuk menyelamatkan putri semata wayang kawan masa kecilnya takkan berjalan mudah.

***

Romansa yang berusaha Nicole bangun selama hidup bersama Judy mendadak berantakan karena kedatangan Darcey. Bibir penuh yang kerap dipoles perona berwarna nude, alis tebal yang hampir menyatu di kedua ujung, serta tatap mata tajam yang Darcey miliki telah menghipnotisnya. Ia tak berniat menjadi lelaki berengsek. Apalagi, orang tua Judy sudah banyak menggelontorkan uang untuk menyokong biaya kuliah kedokterannya selama ini. Sayangnya, pesona dokter gigi berdada sekal itu terlalu indah untuk ditolak.

Kisah gelap yang mereka sembunyikan di balik snelli, bermula ketika keduanya bertemu di pelataran parkir rumah sakit. Darcey yang tengah mengenakan kemeja polos berwarna merah jambu itu menunduk di depan kap mobil yang terbuka.

“Hei, apa yang terjadi pada mobilmu?” tanya Nicole sambil mengintip mesin mobil yang berasap dari balik bahu rekan sejawatnya.

“Entahlah, sepertinya ada yang salah. Lihatlah asap-asap ini. Oh, sial!”

Wanita berkemeja merah jambu itu menyerah pada mobilnya dan memilih untuk menyandarkan punggung pada pintu pengemudi. Sambil menghela napas lelah, ia menguncir rambut dengan gerakan cepat karena merasa gerah. Gerakan-gerakan kecil tersebut tak luput dari pandangan Nicole, hingga jakunnya naik turun perlahan tanpa bisa dicegah.

“Tunggulah, akan kupanggilkan seseorang yang mungkin bisa membantumu,” ucapnya seraya menjauh dan menelepon seseorang.

Setelah hari itu, keduanya menjadi semakin akrab. Makan siang bersama di kafetaria rumah sakit menjadi agenda wajib tiap kali jadwal praktik mereka bersisihan. Dari sanalah percikan asmara itu muncul. Berawal dari teman sejawat dan berakhir menjadi teman tidur.

***

Dengan konsentrasi tinggi, Judy berusaha menangkap seekor burung berbulu kecokelatan yang hinggap di atas pagar pembatas rumah. Setelah memperkirakan jarak, secepat kilat ditangkapnya hewan malang itu sebelum sayap-sayapnya sempat mengepak. Judy tersenyum puas, kemudian memasukkan burung tersebut ke dalam stoples bekas acar. Setelah penutup terpasang rapat-rapat, diguncangnya benda kaca itu sekuat tenaga. Kemarin, ia memilih menyayat sayapnya, tetapi setelah dipikir-pikir, ia tak tega.

“Mengapa aku harus melakukan itu, Nick? Kau bilang aku hanya perlu bersembunyi di dalam rumah?”

“Lakukan saja, Jude! Itu akan membuatnya ketakutan. Dengan begitu, dia akan segera angkat kaki dan kita bisa hidup tenang seperti sedia kala.”

“Kau menyuruhku mendatangi sarang penyamun, Nick?”

“Makhluk yang kau sebut Dementor itu akan menggerayangimu lagi bila kau tak berbuat apa-apa, Bodoh!”

Judy menutup mata erat-erat ketika rekaman percakapannya dengan Nicole berakhir. Sejujurnya, ia ragu. Benarkah pria tua itu adalah orang yang telah menodainya dua puluh empat tahun silam? Sekilas, bekas lukanya terlihat sama, tetapi tampak sedikit berbeda juga di saat bersamaan. Apalagi, Judy melihatnya di bawah temaram lampu penerang jalan malam itu.

Ia meletakkan stoples berisi burung yang telah mati lemas dengan kasar di atas kitchen island. Kedua telapak tangannya kembali gemetaran, kepalanya juga terasa berdenyut dan ia tahu, dirinya butuh obat. Beberapa saat setelah menelan dua butir pil sekaligus, badan Judy terasa ringan hingga ia melayang dan mendarat di atas gumpalan kapas raksasa. Warna-warni yang mengambang di udara memenuhi penglihatan, membuatnya berjingkrak kegirangan. Lantas, Judy menari sambil berputar-putar seperti tengah melakukan ritual.

Tak berselang lama, ia ambruk dan mendarat di atas sebidang dada berbulu lebat. Pemilik dada dengan bekas luka di dahi itu tersenyum lebar, kemudian mendekap Judy yang meronta-ronta.

***

Nicole menenggak cairan berwarna merah gelap di botol kaca berleher tinggi perlahan-lahan hingga sensasi hangat memenuhi saluran cernanya. Ia mendadak rindu pada pelukan Darcey, kekasihnya. Juga harum pie apel buatan si pirang Judy. Ah, Judy. Bagaimana keadaannya di rumah saat ini? Apa ia tengah meringkuk di bawah selimut dengan tubuh gemetar? Atau, malah menikmati semangkok popcorn sambil menonton ulang serial penyihir muda favoritnya di depan televisi?

Tak pernah Nicole bayangkan, semua akan jadi serumit ini. Padahal, ia hanya ingin sedikit bersenang-senang dengan Darcey. Ah, semua ini salah Alfred! Kalau saja petugas kebersihan itu lebih memilih bungkam, alih-alih berusaha menjadi pahlawan, mungkin ia tak harus bersusah payah mendapatkan diazepam untuk Judy telan setiap menjelang tidur.

Saat pikirannya tengah berkecamuk, ponsel Nicole berdering, menampakkan nama Judy di layar. Pria dengan gaya rambut mirip tokoh Edward dalam film Twilight itu memilih mengacuhkan panggilan tersebut dan kembali menenggak minumannya. Ia tetap acuh, bahkan saat sang istri memberondongnya dengan rentetan pesan berisi permohonan.

‘Pulanglah, Nick! Aku melihat bayangan hitam di bawah pintu rumah kita!’

***

Tekan belnya atau tidak? Apakah ia harus berbalik badan lalu pulang atau mulai membuka mulut? Beritahu atau tidak?

Alfred gamang. Ditatapnya pintu kayu berukiran rumit di hadapannya dengan ragu-ragu. Sial! Ke manakah perginya keberanian yang ia bangun sejak pagi tadi? Mengapa pula ia harus terseret dalam masalah semacam ini? Andai saja dirinya tak memergoki aksi nakal kedua dokter di rumah sakit tempatnya bekerja, akankah ia bisa menjalani hidup dengan tenang di rumah barunya?

Berawal ketika Alfred baru saja menyelesaikan shift malam. Pria dengan bekas luka di dahi itu hendak menyimpan alat kebersihan, ketika ia mendengar suara aneh di dekat gudang. Sepertinya, suara tersebut berasal dari ruang binatu. Sebagai karyawan baru di rumah sakit St. Michelle, ia banyak mendengar kisah-kisah mistis dari teman-temannya dan itu membuat Alfred gugup.

Namun, karena terlanjur penasaran, ia putuskan untuk mendekati ruang binatu dan mengintip melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Betapa terkejut dirinya saat mendapati dua orang manusia tengah bercumbu di dalam sana. Ia lebih terkejut lagi sewaktu mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang dikenalnya. Salah satu dari kedua orang itu adalah Nicole, suami Judy, putri seorang kawannya di masa kecil.

Alfred mengamuk, tinjuannya mendarat di pipi kanan Nicole dengan presisi.

“Aku bersumpah akan menyelamatkan Judy dari pria hidung belang sepertimu, Keparat!”

Darcey yang ketakutan bergegas keluar dari ruang binatu. Meninggalkan kedua pria tersebut dengan langkah terbirit-birit menuju pos keamanan.

“Tutup mulutmu atau aku akan membuatmu menyesal, Pak Tua!”

Ancaman Nicole semakin menyulut amarah Alfred. Ia tahu kisah kelam yang pernah menimpa Judy, hal itulah yang mendasari tindakannya selama ini.

“Apa itu kau, Nick?”

Suara wanita dari balik pintu mengembalikan kesadaran Alfred. Namun, ia memilih bungkam. Tak lama, pintu terbuka perlahan-lahan, menampakkan wajah Judy dengan lingkar hitam di sekitar mata.

“Judy, kita harus bicara!”

Tanpa aba-aba, Alfred merangsek masuk sembari mengacungkan ponselnya. Berusaha menunjukkan rekaman saat Nicole dan Darcey tengah bermesraan di ruang poli gigi. Sayangnya, Judy malah menghindar sembari berteriak-teriak.

“Nick! Nick! Tolong aku! Dementor ini hendak mengambil jiwaku, Nick!”

Judy berlari tak tentu arah, sedangkan Alfred berusaha menenangkannya, meski tanpa hasil.

“Hei, Jude, tenanglah! Ini Paman Freddy. Aku pernah membelikanmu permen yang bisa meledak di mulut saat kau kecil, ingat? Kumohon, hentikan ini, Jude! Kau membuatku sedih.”

Apa yang Judy dengar bukanlah apa yang keluar dari mulut Alfred. Berada di bawah pengaruh diazepam, membuat pikirannya terganggu. Bagi Judy, pria yang tengah mengulurkan tangannya itu terlihat seperti Dementor yang melayang-layang di depan wajah Sirius Black.

Judy terus bergerak, merayap dengan panik di tepian dinding hingga mencapai dapur. Kedua matanya meliar, berusaha menemukan apa pun yang kiranya bisa dijadikan senjata. Sungguh, ia tak ingin mati di tangan Dementor yang terus mendekat dengan tangan terulur itu.

“Jude, kemarilah! Bersenang-senanglah denganku malam ini ….”

“Ke manapun kau pergi, ia akan selalu menemukanmu, Jude!”

“Kau akan segera mati!”

“Serahkan jiwamu padaku ….”

Suara-suara itu terus bergaung di dalam telinga Judy, membuatnya memukuli kepala berkali-kali.

“Tidak! Pergi kau Dementor terkutuk!”

Alfred yang dilanda kebingungan mengambil ancang-ancang untuk meringkus Judy, berencana membawanya ke dalam dekapan hingga wanita beriris biru itu berangsur tenang. Ia berharap kewarasan Judy kembali dengan cara tersebut.

Judy, dengan telunjuk teracung berteriak, “Kau takkan bisa merenggut jiwaku lagi kali ini, Makhluk Kegelapan! Aku tahu … aku tahu, kau adalah orangnya! Luka di dahimu itu takkan pernah kulupakan selamanya, Keparat!”

Teriakan Judy membuat Alfred menyentuh dahi. Bekas luka akibat kecelakaan lima tahun silam masih teraba di sana. Lantas, apa yang dimaksud ….

“Tamatlah kau, Iblis! Expecto Patronum!” Judy berteriak lagi sambil menerjang Alfred yang tengah berdiri di seberang kitchen island. Menghujamnya dengan pisau pemotong daging berkali-kali di berbagai titik hingga pria tua itu tak bergerak. Lantai yang semula putih tanpa noda, menjadi merah dengan bau amis memenuhi udara.

Judy tertawa-tawa, kemudian menangis tersedu-sedu di dekat jasad Alfred. Teriakan dan suara tangisnya yang silih berganti, memecah keheningan malam. Ia puas, ia sedih, ia takut, ia putus asa. Ia sudah gila.

=SELESAI=

Pandaan, 07 April 2024


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url