The Third - Putra Mahardhika

Cerpen pilihan pada Event Menulis Genre Thriller, Mystery, & Psychological 2024

The Third

Putra Mahardhika

Mobil yang kukendarai semakin jauh meninggalkan kota. Silir pagi menerobos lewat jendela. Mentari juga belum tinggi. Namun, sejak tadi peluh tidak berhenti bercucuran dari pelipis dan punggungku. Jari-jariku gemetar di lingkar kemudi. Telapakku terasa licin dan basah. Suasana kabin sudah seperti di dalam sauna.

Sesekali kulirik peta mini buatan tangan seseorang agar aku tidak keliru arah. Di persimpangan depan, aku harus belok ke kanan, lalu terus naik sampai bertemu puing gapura. Usai melewati jalanan becek nan sepi, tibalah aku di lokasi yang mungkin adalah tujuanku. Kurogoh foto dari tas selempang kecil. Rupanya benar tempat itu yang dimaksud oleh si pembuat peta.

Di sebuah bangunan yang berdinding bilik dan beratapkan rumbia, kutemukan tiga orang dalam keadaan tidak sadar dan duduk terbelenggu di kursi berbahan besi. Keempat kaki dari masing-masing kursi besi itu dikunci ke tanah pejal menggunakan paku besar. Di pojok ruangan tampak meja bulat berbahan kayu. Sebilah pisau kecil, sebuah pemantik, dan satu mini tape recorder tergeletak di atasnya. Tiga jeriken yang menguarkan aroma bensin berada di dekat meja itu.

Kuedarkan pandangan dari kiri ke kanan. Kucermati wajah-wajah itu. “Raka, Karin, Sherly?”

Aku yang panik langsung melepas plester hitam yang membekap mulut mereka. Aku berusaha merusak gembok pada rantai, berkali-kali mem*kulnya dengan ujung gagang pisau, tapi usaha itu sia-sia. Aku ingin mencari bantuan, sayangnya sinyal di ponsel hilang. Kemudian, kutepuk-tepuk pipi mereka sampai satu per satu siuman.

Sadar lengan dan kakinya dibelenggu, Karin berontak. “Lepaskan aku, Indi!”

“Maaf, Rin. Aku sudah mencobanya, tapi gagal.”

“Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?” ucap Sherly.

“A-aku tidak tahu.”

“Bagaimana mungkin kamu tidak tahu?” Berganti Raka yang bertanya. “Cuma kamu yang bebas dan tidak dirantai.”

“Sungguh, aku tidak tahu! Seseorang bilang kalian bertiga dalam bahaya dan dia menyuruhku buru-buru ke sini.”

“Siapa orang yang kamu maksud?”

Aku menghadap ke Karin. “Ibu Ketua.”

Pelan-pelan kuceritakan kepada mereka awal mula aku bisa sampai mengenal orang itu, wanita yang dipanggil Ibu Ketua oleh para anggota komunitas yang kuikuti.

Kira-kira lima bulan silam suatu perkumpulan mengundangku. Mereka membutuhkan orang yang berpengalaman di bidang kartografi. Kebetulan, aku pernah berkuliah di fakultas geografi, lalu bekerja di salah satu perusahaan konsultan terkait Geographic Information System (GIS).

Kuterima tawaran tersebut tanpa banyak pertimbangan, apalagi kontrakku di perusahaan lama mau habis dan belum pasti diperpanjang. Nominal gaji yang lumayan pun menguatkan niat itu.

Dalam acara tahunan yang mereka sebut sebagai perjamuan raya, pesohor komunitas kemudian mengenalkanku kepada Ibu Ketua. Beliau sosok yang amat menyenangkan. Semakin lama aku mengenalnya, semakin aku mengagumi pribadinya yang keibuan. Aku merasa klop dan banyak bertukar gagasan dengannya.

Hari masih Subuh saat Ibu Ketua bertamu ke rumah. Wanita itu menyerahkan peta berikut selembar foto. Aku bergegas ke gubuk terpencil ini tak lama setelah beliau pamit.

“Sayang, di meja itu ada tape. Coba kamu putar. Siapa tahu kita dapat petunjuk.”

Kuturuti usul Raka. Dari speaker tape terdengar suara seorang laki-laki. Suara itu berkata bahwa tiga orang di depanku telah mengkhianatiku. Suara itu juga menyuruhku untuk menyiram bensin ke tubuh mereka supaya aku paham apa yang sedang terjadi.

“Aku bingung. Aku tidak tahu harus berbuat apa,” lirihku sambil memijit bagian belakang leher yang tiba-tiba terasa kaku.

“Indi, dengarkan aku. Kamu tidak usah memedulikan isi tape itu. Cepat pergi dari sini. Carilah bantuan agar kami bisa bebas.”

“Rin, kita jauh dari mana-mana. Siapa yang bisa aku mintai bantuan? Bagaimana jika orang yang menculik kalian kembali saat aku pergi?” Aku berdecak selepas memeriksa layar ponsel. “Masih tidak ada sinyal!”

Sherly mulai menggeliat di kursinya. “Indi, aku takut. Tolong lepaskan aku.”

“Dosa apa yang sudah kalian perbuat?” Aku kembali memijit bagian belakang leher. Rasa kaku di sana kian membuatku tidak nyaman.

“Dosa?” balas Raka.

“Kamu dengar sendiri, ‘kan, rekaman itu bilang apa? Si pelaku berbuat seperti ini karena kalian sudah mengkhianatiku.”

“Itu pasti fitnah.”

“Tapi apa alasan orang itu sampai memfitnahmu, Karin, juga Sherly?”

“Mungkin dia iri kepadaku, kepada kami, kepada kita.”

“Iri?” Hampir-hampir aku tertawa.

“Tidakkah kamu merasa hubungan yang kita berempat miliki ini istimewa. Bisa saja ini semua adalah ulah orang tuamu. Mereka ingin mengadu domba kita. Bagaimana caranya kamu menjadi tidak lagi percaya kepada siapa pun, berubah putus asa, dan akhirnya mau pulang.”

Menit terus berjalan. Aku terus mondar-mandir di depan mereka. Dugaan Raka bisa saja benar. Namun, aku lebih tahu karakter orang tuaku.

Ibuku dan ayah tiriku … kedua orang itu hanya sibuk mengejar kebahagiaan masing-masing. Masalahnya, eksistensi diriku tidak termasuk aspek yang dapat membahagiakan orang tuaku.

Sudah kuputuskan. Aku akan melakukannya. Kuraih jeriken, kusiramkan isinya ke tubuh Raka, Karin, juga Sherly.

“Indira! Apa kamu sudah g*la?” Baru kali ini kudengar Raka membentakku. Karin menatapku tak percaya, sedangkan Sherly menangis ketakutan.

“Ini demi kebaikanmu, kebaikan kita semua. Aku ingin kalian mengakuinya.”

“Sayang, bukankah sudah kubilang kalau itu cuma fitnah? Lebih baik kamu cepat cari bantuan supaya kita semua bisa cepat pergi dari sini. Oke?”

“Tanpa harus kami beri tahu, kamu pasti tahu siapa sumber penyakitnya. Bukan aku, bukan juga Sherly.”

Pria yang berstatus calon suamiku itu spontan mendelik ke wanita yang duduk tepat di sebelah kirinya. “Karin! Apa maksudmu bilang begitu?”

“Ini kali ke berapa kamu menyelingkuhi Indi?”

Come on! Bukankah kamu yang lebih dulu menggodaku?”

“Oh, ya? Kamu yang duluan bilang sudah lama ingin meninggalkan Indi. Kamu bosan dengan sikapnya, dengan caranya berpakaian, dengan caranya berdandan, dengan semua hal di dirinya yang menurutmu selalu sama dari waktu ke waktu. Tipe yang katamu MEM–BO–SAN–KAN!”

“Kamu jangan hipokrit! Kamu juga bilang, kenapa Indira yang mendapatkanku, padahal kamu merasa lebih cantik, lebih pintar, dan lebih menarik. Terus, kamu yang nyuruh aku buat mikir ulang setelah tahu aku berniat menikahi Indira.”

“Kamu juga berbohong kepadaku, Raka. Katamu, kamu lebih menyukaiku daripada Karin dan Indi. Aku diam saja waktu tahu kamu tidur dengan Karin karena kukira kamu cuma main-main dengannya. Sama seperti kamu cuma main-main dengan Indi.”

Wajah Raka terlihat merah padam. “Apa-apaan kamu, Sherly! Kapan aku bilang begitu?”

Detik selanjutnya perdebatan mereka terdengar kian sayup di telingaku. Benakku berkelana ke mana-mana. Terlintas kenangan ketika ibuku sering memarahi ayahku yang dianggap gagal finansial. Awalnya, ayahku selalu diam. Namun, mungkin gara-gara muak, ayahku membalas umpatan ibuku. Mereka bertengkar sengit, lalu sepakat untuk bercerai. Aku memilih ikut ibu karena kupikir aku lebih butuh seorang ibu dibanding ayah.

Sebelum ayahku angkat kaki dari rumah dan menghilang selamanya, beliau berpesan, “Kamu sudah benar ikut dengan Ibu. Tapi, jangan kamu ikuti pola pikirnya yang tidak pernah puas. Indira, Ayah pamit, ya. Semoga kamu selalu baik-baik saja.”

Ibuku menikah lagi dengan pria yang jauh lebih kaya. Kami hidup berkecukupan. Sekilas yang orang tahu, kami adalah keluarga bahagia. Akan tetapi, orang-orang itu tidak pernah tahu keadaan kami yang sebenarnya.

Meski royal kepada ibuku, ayah tiriku senang main perempuan. Aku tahu dia sering membawa gadis muda ke hotel. Aku tahu dia sering mengajak karyawati cantiknya ke vila. Dan parahnya, kupergoki kelakuan ibuku tidak jauh berbeda dengan tabiat ayah tiriku.

Bak karma, kehidupan asmaraku selalu berujung menyedihkan. Keper*wananku diambil paksa oleh anak relasi bisnis ayah tiriku. Depresi berat mendorongku minggat dari rumah yang semegah dan seluas istana. Aku terus berganti-ganti pacar, terus mencari sesuap perhatian, terus mendambakan ketulusan, sampai akhirnya aku bertemu Raka.

Dia berbeda dengan pemuda lain yang pernah kukenal. Tutur katanya begitu lembut di telinga. Kuperhatikan dia juga santun kepada orang yang lebih tua. Tak butuh waktu lama bagiku untuk jatuh cinta kepadanya: sosok tampan, mapan, serta memiliki ratusan ribu follower.

Dua tahun kami berhubungan, menjalani pahit manis kehidupan bersama-sama, dan suatu hari Raka melamarku. Kujawab iya lantaran aku yakin dia adalah jodohku. Aku percaya kepadanya. Bahkan, aku terlampau percaya kepadanya.

“Cukup sudah, cukup!” Remasanku semakin erat pada gagang pisau.

“Sayang, percayalah, apa yang mereka katakan itu tidak be—”

“Tahukah kamu, Raka. Aku letih selalu bersabar. Aku letih terus dibohongi olehmu. Aku juga letih dikelilingi orang-orang yang seperti ular. Diam-diam mematuk, bahkan setelah tahu aku ini begitu rapuh.”

Selesai memuntahkan sampah dari rongga dada, aku tidak kuasa untuk menangis tersedu-sedu. Sial, sungguh sial nasibku! Bertahun-tahun menderita, berulang kali ditipu oleh lelaki hidung belang, ujung-ujungnya aku tersakiti, lagi dan lagi.

“Maafkan aku, Indi. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu.”

Dengan geram kudekati Karin. Sambil melotot, kutempelkan mata pisau di lehernya. Terdengar isaknya kian menjadi-jadi. Sherly lebih parah lagi. Sesuatu jatuh berceceran dari kursinya. Bau pesing menguar, memenuhi ruangan. Dia mengompol.

Please, Indira. Lepaskan kami. Aku akan memperbaiki semuanya.”

Interupsi itu membuatku menoleh. Kuhampiri Raka. Kutangkap sorot matanya tanpa berkedip.

“Apa bisa kamu memperbaiki cinta yang sudah mati?”

I swear to you, Honey.”

“Sungguh?”

“Aku janji akan berubah. Aku janji tidak akan pernah mengecewakanmu lagi.”

“Katakan, apa bisa kupegang janji yang terucap hanya karena kamu takut mati?”

Dia pun terdiam. Aku beranjak untuk meraih wadah bensin yang lain. Kuguyur lagi kepala dan tubuh ketiga orang itu hingga makin basah kuyup. Karin dan Sherly berteriak histeris. Terlihat Raka meronta, tapi dia tak sehebat itu sehingga dapat menaklukkan lilitan rantai baja.

“Indira, aku sungguh-sungguh minta maaf!” pekiknya. “Iya, aku mengaku salah! Aku salah!”

Mendadak dentuman-dentuman menyerang kepalaku, menimbulkan nyeri. Kupejamkan mata. Kukatupkan kedua tangan ke telinga. Nyeri itu bertambah parah sampai lututku turun ke tanah. Dentuman pun menjelma menjadi wajah-wajah yang mengejek disertai tawa.

“Berhenti!” Aku menggeleng-gelengkan kepala.

“Sayang, kamu kenapa?”

“Berhenti tertawa! Berhenti, kataku!”

“Indira, di sini tidak ada yang sedang menertawakanmu. Bebaskan kami dan kamu akan baik-baik saja.”

“Aku? Baik-baik saja?” gumamku seiring tawa-tawa yang berangsur surut.

“Benar, Sayang. Aku salah dan aku minta maaf. Aku janji kamu akan baik-baik saja.”

Aku mendongak, bergantian memandangi mereka. Tampaknya Karin dan Sherly telah berhasil meredam tangis. Aku tahu Raka melempar kode melalui lirikannya. Kode agar kedua orang itu meniru kata-kata manipulatifnya.

“Iya, Indi. Kamu akan baik-baik saja. Aku yang salah dan aku minta maaf,” ucap Karin.

“Aku juga minta maaf, Indi,” sambut Sherly dengan terbata-bata. “Kamu akan baik-baik saja.”

Keadaan ruangan bertambah remang. Hari hampir menyapa senja. Aku bangkit, lantas meraih wadah yang ketiga. Kulubangi sisi kanan benda itu menggunakan ujung pisau.

“Sayang, apa yang mau kamu lakukan?” Raka menyelidik.

Ya, akhirnya aku tercerahkan. Aku akan tetap baik-baik saja tanpa mereka bertiga. Aku keluar dari pondok dengan menenteng jeriken yang terus mengucurkan isinya. Di belakangku, suara-suara hampir habis energi tidak berhenti menggila.

Pada jarak tertentu aku berhenti melangkah. Kuletakkan jeriken tak jauh dari tempatku berdiri. Kuangkat pemantik yang tadi kusambar dari atas meja. Kuingat-ingat pesan Ibu Ketua sembari memejamkan pelupuk. Aku berlinang air mata.

“Lakukan seperti yang anggota lain lakukan. Cuma tiga orang. Itu tidak banyak. Dan jangan khawatir, kamu akan baik-baik saja.”

Kamu akan baik-baik saja.

Kamu akan baik-baik saja.

Kamu akan ….

Sejenak aku seperti tersedot ke dalam lubang. Tiba-tiba aku berada di ruangan yang serbahitam; ruangan yang seluruh lantainya tergenang air; ruangan yang tak mempunyai dinding maupun atap. Kemudian, aku berjumpa dengan aku yang lain. Aku mematung saat aku yang lain itu, versi diriku yang masih kanak-kanak, memelukku yang sedang berlutut. Dia berbisik seraya membelai rambutku. “Ikutilah saran Ibu Ketua. Cuma kami yang benar-benar peduli kepadamu. Kami janji, kamu akan baik-baik saja.”

Pelupukku kembali terbuka. Kudapati aku tengah menggandeng diriku yang versi kanak-kanak. Lalu, kami berdua melihat Ibu Ketua membuka tutup pemantik, memutar rodanya, dan membuang pemantik yang menyala itu ke jejak bensin. Nyala menjalar dengan cepat, dalam waktu singkat mengubah pondok menjadi api unggun raksasa.

“B*ngsat kamu, Indira! Lepaskan aku! Lepaskaaan!”

Mendengar makian Raka, diriku yang versi kanak-kanak tertawa keras. Selesai tertawa, dia mendongak dan berkata, “Nah, sekarang kamu boleh kembali. Tapi besok kita main lagi, ya?”

–ooooo–

Kendaraanku kembali menyusuri jalanan becek nan sepi. Bertemu puing gapura, mobilku terus turun hingga tiba di persimpangan, kemudian belok ke kiri. Saat ponselku kembali memperoleh sinyal, masuklah sebuah pesan. Tertulis di situ, “Ibu Ketua, apa misi kami selanjutnya?”

= Selesai =

Jember, 24 Maret 2024


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url