Gunjingan Belantara - Awaken Inside

Gunjingan Belantara
Awaken Inside

 

Mentari terbangun di pelupuk timur, sinarnya membias ke sela-sela pohon jati yang digelayuti. Seekor monyet menggantung sedih, memandang ke arah mentari terbit. Ia mengayun berputar dengan tangan-tangannya yang kuat dan panjang, hingga pada akhirnya terhenti dan persis duduk di salah satu ranting terkokoh.

Sedangkan dari balik semak, pada tanah yang diselimuti perdu-perdu kering, terlihat tengah menepi seekor kijang. Langkahnya ringan, sayangnya ia gemetar dirundung cemas. Keanggunannya terhenti kala sepasang manik cokelat membidik ke tengah tundra.

Dilihatnya kawan, bukan lagi bermanik cokelat. Merah darah memenuhi urat matanya yang tak terlihat. Cemas itu terjawab. Namun, tak dipikirnya kawan melahap daging terhina. Meneganglah kijang di tepian itu. Mundur ke belakang, bersembunyi di balik semak rendah tadi dan menatap geligi-geligi kawan dipenuhi najis kental sewarna hati.

Kawan mengunyah daging manusia.

Dihentaknya kaki kijang di tepian ke tanah, memanggil kawan dalam ragu. “Hei.” Pikirannya bergema.

Telinga sang kawan menegak, melirik liar mata merah itu. Terbidiklah yang di tepian.

Apa yang kau lakukan?” tanya kijang di tepian dengan pandangannya. “Tidak seharusnya geligi putihmu, mengoyak daging itu.”

Kawan terdiam.

Tidak seharusnya,” tegur yang di tepian.

Mata merah sang kawan membatu dikuasai nyalang. “Tidak seharusnya.”

Yang di tepian bungkam.

“Tidak seharusnya daging busuk ini mencabut tandukku, tidak seharusnya tubuh bau ini menguliti ibuku, tidak seharusnya kulit najis ini menebas kepala ayahku, tidak seharusnya raga iblis ini menembaki kawananku, melucuti tulang, daging, kuku, dan jantung keluargaku. Tidak seharusnya!”

Termangu yang di tepian.

Kawan tersenyum puas, sematan merah mengalir bangga di sela-sela giginya. “Tidak mengapa, Teman.”

Masih termangu yang di tepian.

“Yang kau lihat hanya ilusi semata, tidak mungkin pula kita lebih kuat dari mereka, tidak mungkinlah gigiku merobek jaringan kokoh mereka, aku hanya seekor kijang. Aku hanya binatang. Lantas, apa arti kastaku dibandingkan mereka yang sempurna? Sampai tak ingat bahwa dahulu mereka berguru dari binatang juga.”

“Tidak mengapa, Teman. Mereka hidup berbahagia dengan penggalan tubuh kita di dalam kediamannya.”

“Kita?”

“Ya. Kita.”

“Tapi—“

“Sekali lagi yang kau lihat hanya ilusi. Kita ini sudah mati, Teman. Kita sudah tiada; punah. Darah di lidahku hanya sebuah andai-andai. Jika Pencipta memberi kuasa lebih pada kita, aku bersumpah akan melakukan hal ini, aku tahu aku mampu.”

“Lantas, mengapa tak kau lakukan?”

“Pencipta melarangku. Jika semesta saja tunduk padaNya, maka aku juga.”

“Lalu manusia?!”

“Pencita juga melarang mereka.”

“Dan mereka tetap melakukannya?”

“Ya. Hanya mereka yang berani; yang tersombong di seluruh jagat raya.”

Terdiam kembali yang di tepian. Geram wajahnya, merah matanya, liurnya tampak berbuih di sela-sela giginya, akan melakukan yang kawan lakukan.

“Makan mereka,” pikiran kawan mengajak. “Hingga mereka dikumpulkan, dan Pencipta mengizinkan kita sungguh-sungguh memakannya. Tanpa tabir ilusi. Kita makan hingga butir terkecil tulang-tulangnya.”

Keluarlah yang di tepian. Kijang itu melangkah, lantas berbisik pada daging tak bernyawa, “kutunggu kau, di Hari Akhir.” Dan dikunyahlah daging manusia itu.

Dari atas pohon, monyet yang semula bersedih, kini  menghela napas. Monyet jantan yang masih teramat muda itu enggan menghampiri mata air mana pun akibat kejadian buruk yang ia lihat, padahal kerongkongannya mengering sebab menahan haus. Ia tak mau bertemu air yang memantulkan citra. Monyet itu masih terus menatap ke arah semak di bawah sana.

“Ketidakmanusiawian mereka bukan lagi berita baru,” tutur burung hantu yang bertengger tak jauh dari monyet. “Entah mereka terlupa bahwa binatang juga makhluk Tuhan yang bisa merasakan sakit, atau mentang-mentang kita tak sebahasa dengan mereka, atau memang mereka tak punya hati lagi. Aku tak tahu. Mungkin mereka lalai bahwa segala yang di bumi hadir untuk dijaga, bukan diperlakukan semena-mena.”

Monyet tiba-tiba menunduk. Kekecewaan kembali melandanya. “Sayang sekali. Tak mereka sadari bahwa setiap jengkal alam ini memiliki mata yang tak terlihat padahal mereka semua bersaksi,” sahut monyet sebelum ia kembali melompat dan mengayun ke dahan yang lain melanjutkan pengelanaannya.

 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url