Perempuan yang Menimang Nestapa - Whed

Perempuan yang Menimang Nestapa
Whed

Ada pisau dalam genggamanku. Entah sudah berapa lama aku mencengkeramnya. Tanganku sampai gemetaran. Jam di dinding seakan mengolok-olokku yang sedari tadi hanya membatu. Detaknya berlomba-lomba dengan dentum jantungku.


Jarum jam terus berdetik. Harus bagaimana, harus bagaimana? Otakku buntu. Malah ingatan-ingatan acak muncul begitu saja.


Aku terkenang seorang kawan yang pernah bertanya kepadaku, apakah kemiskinan kadang membuat seseorang bertingkah ganjil. Aku menyahut, “Kurasa kita semua pernah bertingkah ganjil.” Kemudian temanku itu bertanya lagi, “Lebih baik mati bunuh diri atau hidup tapi gila?”


Untuk pertanyaan itu, temanku memilih opsi pertama setelah beberapa hari sebelumnya mengaku gila sebab tidak tahan hidup kere. Ia tak kuat memberi makan anak-anaknya yang masih kecil. Suaminya tidak becus mencari duit, maling pun tidak mau, begitu kata kawanku.


Jika bercerita tentang orang miskin, tak berduit, aku pun teringat almarhum Ayah. Beruntung, lelaki itu memiliki istri ibuku, yang rela bekerja untuknya, mencukupi kebutuhannya. Benar sekali, ibuku adalah tulang punggung. Punggungnya benar-benar gosong karena kerap menggendong kayu bakar untuk dijual, dan sebagian uang hasil penjualannya digunakan untuk membelikan Ayah rokok. Itu dulu, sewaktu aku masih kanak-kanak.


Aku baru tahu betapa hidup Ibu menderita ketika aku dewasa, sebab Ibu baru menceritakannya beberapa tahun setelah Ayah tiada. Ibu ingin pergi, kala itu, tetapi takut dosa. Maka, yang bisa ia lakukan ialah tetap menjalani hari tanpa banyak menuntut pada Sang Pencipta.


Aku tidak ingin terus-terusan mengenang tentang nasib Ibu yang pilu. Sepertinya aku lebih tertarik memikirkan tentang tetanggaku, perempuan yang tak bisa diam: selalu melakukan aktivitas, bahkan di luar rumah meski hujan deras. Ia tak pernah sakit, yang aku tahu, meski saban hari berkutat dengan sampah-sampah di dekat rumahnya, meski makan bubur yang dimasak dengan panci kotor di atas tungku buatannya: batu bata yang ditata dengan satu lubang untuk meletakkan pantat panci.


Orang-orang memanggilnya Mbak Mar. Kutaksir usianya hampir sama dengan Ibu, hampir 60 tahun. Tubuhnya ramping. Rambutnya yang dipotong cepak sedikit kaku. Wajahnya selalu pucat, pun dengan bibirnya yang tipis.


Orang-orang sering mengeluhkan tingkah Mbak Mar. Mereka juga acap kali mengolok-oloknya.


Seperti pada suatu siang yang mendung, mula-mula aroma plastik terbakar mulai tercium sebelum orang-orang berkerumun, lalu berkaok-kaok. Mereka menyumpahi Mbak Mar yang membakar sampah di belakang rumahku. Asapnya berputar-butar, mengenai jemuran orang-orang itu.


Bukan perkara asap yang bau yang menyebabkan mereka murka, aku sudah hafal. Justru mereka kulihat sangat bersemangat melontarkan makian kepada perempuan itu.


“Dungu!”


“Edan!”


“Sinting!”


Aku ikut menyimak—selagi suamiku pergi—sambil memperhatikan ekspresi orang-orang itu. Teriakan mereka hanya melebur dengan udara, sebab yang diteriaki tidak menggubris. Mbak Mar malah bersenandung, membuat orang-orang tampak makin kesal.


“Laporkan saja pada anaknya!”


“Anaknya pergi.”


“Bagaimana dengan suaminya?”


“Suaminya kudengar sedang masuk angin.”


Sekonyong-konyong Mbak Mar masuk ke rumah, lalu keluar dengan seember air di tangannya, kemudian menyiram bekas sampah yang ia bakar. Api seketika padam. Asap lenyap. Kegaduhan berakhir. Orang-orang kurang kerjaan itu berlalu. Aku pun masuk ke rumah dan menutup pintu belakang.


Beberapa menit kemudian kudengar omelan Mbak Mar. Aku mengintipnya dari celah pintu. Ia sedang menghadap pohon dadap sembari berpidato tentang kemiskinan, lalu tertawa sampai gigi kuningnya kelihatan, kadangkala nada suaranya tinggi, lalu terdiam ketika sebuah motor melintas.


Sepertinya benar kata para tetangga, bahwa tingkah Mbak Mar yang demikian dikarenakan kurang uang. Tidak heran, tiap ke warung ia selalu ngutang. Ia membayarnya dengan rongsokan yang ia pungut dari tempat sampah. Namun, si pemilik warung biasanya melapor kepada anak Mbak Mar, minta utang sang ibu dibayar sambil bilang, “Kalau miskin itu jangan berani ngutang.” Aku dengar sendiri dari cerita pemilik warung.


Masih banyak lagi tingkah aneh Mbak Mar, yang tak jarang pula membuat orang-orang bahagia menghujatnya. Memindahkan jemuran tetangga, menyiram jalanan, dan mengomeli tanaman adalah pemandangan biasa bagiku. Aku tidak heran lagi melihat kelakuan ganjilnya.


Akan tetapi, pada malam yang hening, saat para tetangga sibuk melakukan barzanji di rumah Bu RT, aku menyaksikan sendiri betapa perempuan itu bertingkah seakan ia orang lain. Aku belum pernah melihatnya setenang itu. Ia duduk di kursi sambil mengisap rokok.


Mulanya, aku mendengar teriakan dari rumah Mbak Mar. Aku lekas keluar rumah lewat pintu belakang, melewati jalan berpaving yang langsung mengarah ke rumah Mbak Mar. Di depan pintu rumah Mbak Mar aku berdiri, dan makin jelas pula teriakan yang terdengar. Aku maju satu langkah menuju jendela kaca yang gordennya tersibak. Aku lantas mengintip ke dalam, menonton suami Mbak Mar yang histeris di lantai sambil memegang perut.


Bukan sekali itu penyakit suami Mbak Mar kumat. Sudah tiga kali dalam satu tahun lelaki itu dirawat di rumah sakit. Setiap penyakitnya kambuh, lelaki itu akan teriak kesakitan, lalu buru-buru ia dibawa ke UGD. Namun, malam itu berbeda. Tidak ada yang menolong suami Mbak Mar.


Dengan ekspresi tanpa beban, Mbak Mar mengeluarkan asap rokok dari mulutnya. Ia menyilangkan kaki sambil terus mengisap rokok yang terjepit di antara jarinya. Di lantai, suami Mbak Mar terus mengerang. Sementara aku mematung di depan jendela, membayangkan wajah ibuku setelah kematian Ayah.


Ayah meninggal karena sakit. Ibu tetap menangisi lelaki itu meski sepanjang hidupnya tidak pernah diperlakukan baik. Tujuh hari selepas kepergian Ayah, aku melihat cahaya di wajah Ibu. Lambat laun, tubuhnya yang kurus kering perlahan berisi.


Wajah Mbak Mar malam itu seolah-olah dikelilingi ribuan kunang-kunang. Namun, sayangnya aku tak bisa terus menatap wajah itu. Aku harus lekas pulang jika tak ingin mendengar makian yang sudah kuhafal tiap katanya: “Dasar perempuan majir! Apa yang kamu bisa selain bermalas-malasan?”


Aku pun pulang dengan langkah tergesa. Teriakan dari rumah Mbak Mar terdengar mulai samar, lalu menghilang. Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku tak ingin menerka. Kesunyian yang tiba-tiba merayapi malam itu terasa sudah cukup menenangkan.


Sesampainya di rumah, aku mendapati suamiku terlentang di sofa sambil mendengkur. Kopi di meja tersisa separuh. Aku menatapnya cukup lama sambil membayangkan bagaimana jika malaikat pencabut nyawa menjemputnya.


Jika Ibu bisa bahagia selepas Ayah meninggal dan wajah Mbak Mar menjadi terang saat membiarkan suaminya kesakitan, apakah aku juga harus menunggu suamiku mati supaya bisa mencicipi kebebasan yang selama ini hanya ada dalam angan-angan?


Pertanyaan lain muncul setelah sebuah pisau berada dalam genggamanku, “Apakah aku harus menyembelih suamiku malam ini?” 

9 Desember 2024


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url