Istri yang Baik - Marjani Zahra Ning
Istri yang BaikMarjani Zahra Ning
Bisa karena terbiasa, itu yang
sering dikatakan orang-orang untuk menyemangati orang lain. Kalimat penghibur.
Terus-menerus aku memikirkan kalimat itu dan aku pun tersenyum. Di dalam
kepalaku aku menghadirkan sosok perempuan yang akan mengatakan kalimat seperti
itu dan aku mencoba masuk, masuk, masuk,
dan menenggelamkan diri di sana.
Aku sudah tidak merasakan apa-apa.
Tubuh dan perasaanku terpisah. Aku seolah bisa melihat diri sendiri dari sudut
manapun yang kuinginkan. Aku bersorak untuk merayakan itu.
"Yah! Yah! Yah!" Nada
suaraku semakin meninggi. Menyebut huruf h membuat bibirku gemetar.
"Perempuan sinting!"
katanya dan dia melepaskan pegangannya di rambutku. Aku mendongak menatapnya.
Kuberikan ekspresi, kenapa kau berhenti? Lanjutkan! Bukankah tubuhku empuk
dipukuli? Apa kau sudah tidak merasa nikmat lagi? Aku mencoba tersenyum.
Pandanganku merabung menatap kedua
mata nyalangnya. Dia berkacak pinggang, kemudian berbalik dan semakin
punggungnya menjauh semakin dia tampak bayangan yang melebur dengan ruang. Dia
berjalan biasa atau sedikit mempercepat langkah seolah berlari, aku tidak bisa
membedakannya. Ini hanya mimpi, tapi ketika terbangun nanti selalu ada lebam
pada bekas pukulan yang kuterima.
***
"Mama! Mama! Mama! Mama!
Mama!" Sayup-sayup kudengar suara putriku. Semakin lama nadanya semakin
jelas, terasa seperti kami sedang bertelepon. Kami berjauhan? Dia pasti lapar
karena memanggil-manggilku dengan nada sedih dan khawatir. Aku akan datang. Aku
akan datang. Air mata mengalir di pipiku. Hangat. Aku membuka mata dan sosok
dirinya yang tampak mengabur perlahan-lahan menjadi utuh. Seperti biasa, aku
tersenyum.
"Apa kau lapar?" Dia
menggeleng dengan pelan. Bohong, dia pasti lapar. Wajahnya tampak pucat.
"Kau mau makan apa?" Aku
berusaha bangkit dan dia menggeleng lagi.
"Mama tidur lama sekali. Aku
takut Mama mati."
Aku tertawa sedikit. "Tidak,
Sayang! Aku tidak akan mati. Aku ini mamamu."
"Apa Mama tidak akan
mati?"
"Tidak." Aku berusaha
menggapai rambutnya dan menyugarnya, merapikannya seperti orang yang sudah
bersisir. "Kau lupa bersisir, ya?"
"Aku tadi bersembunyi di bawah
kolom meja."
"Kenapa kau bersembunyi?"
Ia diam. Aku menghela napas kemudian mengusap kepalanya.
“Aku tidak lupa Ombre dipukuli
dengan tongkat, tempurung kepalanya retak, dan ia langsung mati.”
“Ombre itu kucing dan Mama ini
manusia. Kucing dan manusia berbeda.”
Ini dia, mimpi itu menjadi nyata.
Tulangku terasa remuk dan aku perlu mencoba berkali-kali baru bisa berdiri
dengan doyong. Aku bersandar pada lemari dan penglihatanku mengabur lagi. Aku
haus.
“Sayang, tolong ambilkan air minum!”
Dia mengangguk dan langsung
meninggalkanku. Dia kembali dengan air setengah gelas.
“Hanya ada setengah gelas,” katanya.
Aku mengangguk, lalu mengambil gelas
itu dengan tangan gemetar. Paling tidak, setelah meminumnya aku sedikit merasa
lebih baik. “Kita akan ke dapur dan mengecek bahan makanan apa saja yang kita
punya.” Dia mengangguk.
“Ketika tidur, Mama bermimpi
dipukuli Ayah. Hanya mimpi, dia itu laki-laki yang baik, suami yang baik,
juga ayah yang baik. Lihat, kita punya
rumah yang luas dan juga uang. Tidak semua orang seberuntung kita. Kita harus
bersyukur. Tolong buka kulkasnya, Sayang!”
“Aku mau susu,” katanya setelah
menoleh pada rak pintu kulkas tempat aku sering menyimpan susu stroberinya.
“Ya, kita akan beli itu juga.
Segalon air dan sepuluh bungkus susu. Mama mau susu juga.”
“Iya. Aku bosan makan masakan, Mama.
Kita pesan makanan juga.”
“Bosan? Sudah umur berapa putriku
ini?” Aku mencuil pipinya dan dia tersenyum. Air mataku merebak lagi. “Kau akan
jadi anak yang kaya uang dan berpendidikan tinggi. Mama berjanji.”
Mendadak dia membanting pintu kulkas
dan berlari meninggalkanku. Masih kecil, dia belum tahu soal berjuang dan
bertahan hidup. Tidak apa-apa, suatu
hari dia pasti mengerti dan berterima kasih. Pelan-pelan aku melangkah ke
kamar, ponselku pasti tertinggal di sana.
***
Sehari semalam dia pergi. Itu
kebiasaannya ketika dia habis memukuliku di dalam mimpi. Soal ke mana dan
bersama siapa? Aku tidak pernah mencari tahu. Sebab aku tidak butuh tahu. Untuk
apa? Apa yang akan kulakukan setelahnya? Mengomelinya? Aku pernah melakukannya
soal tubuhnya yang bau minuman keras saat mendekati bayi kami, akhirnya tidak
baik, dan sebagai pembelajar, aku belajar mengabaikan hal-hal yang tidak bisa
kucegah dan kuubah. Termasuk soal keberadaan bayinya di dalam perutku sebelum
dia menikahiku.
Masih jelas diingatanku, ekspresi
bahagianya yang sebelumnya tidak kuduga.
Dia menyambut putri kami bahkan
sebelum dia lahir dan alasan itu cukup bagi seorang gadis pemandu di tempat
karaoke untuk menikah dengan lelaki setengah baya.
Sekarang, aku sudah mandi dan juga
makan. Kuobati memar-memarku dengan salep. Kurias wajahku dengan warna pemulas
yang pastel. Kupakai gaun panjang yang menyentuh mata kakiku. Kuulurkan ke dada
gerai rambut panjangku. Dia tentu akan senang dan kami akan bersenang-senang.
Aku tahu menempatkan diri karena itu
aku wanita yang baik. Kupandangi diriku baik-baik. Istri yang baik adalah istri
yang menyejukkan mata suaminya. Aku memenuhi hal tersebut. Aku pun tersenyum
pada sosok di dalam cermin. “Kau beruntung sekali!”
Menit demi menit berlalu. Ini
waktunya dia pulang. Tidak, ini sudah enam jam berlalu. Aku keluar kamar.
Kemudian aku menyusuri ruang demi ruang
menuju ruang tamu. Aku membuka pintu
dan menatap ke pekarangan. Rumput-rumput sudah meninggi. Aku memandang ke arah
jalanan. Tidak ada lalu-lalang orang. Ponsel yang kupegang sunyi senyap. Semua
teman meninggalkanku. Mereka bilang, aku menjadi tolol demi uang dan keluarga
lengkap yang sudah lama kuidam-idamkan.
Aku menghela napas. Setiap orang
punya cara berbeda menjalani hidupnya dan inilah caraku. Cara mereka menjalani
hidup tidak lebih baik dariku. Kami sama-sama tahu, tetapi mereka tetap
menganggapku tolol.
Kenapa aku menungguinya seperti ini?
Aku bertanya pada diri sendiri. Sebab, dia suamiku dan aku istri yang baik.
Aku meyakinkan diri lalu ponselku
yang selalu senyap ini berbunyi. Sebuah nomor yang tidak kukenal. Aku
mengangkatnya dan kudengar suara orang yang riuh rendah. Sebuah suara
samar-samar mengatakan, kecelakaan beruntun, mati di tempat, kepalanya retak,
dan aku bertanya-tanya, bagaimana itu terjadi? Bagaiamana itu bisa terjadi? Aku
teringat status pernikahan kami yang tidak tercatat di kantor agama. Bagaimana
aku akan membesarkan putriku sendirian? Ini tidak boleh terjadi. Aku meraung.
B,
10 Desember 2024