Segala yang Busuk adalah Bangkai - Lanang Irawan
Segala yang Busuk adalah BangkaiLanang Irawan
Sudah dua hari penciuman Taim terganggu bau bangkai. Aroma busuk yang tajam itu terasa bikin pengar dan lengket dan melekat di kerongkongannya. Entah sudah berapa ratus kali ia mendeham-deham, meminum air yang dicampur dengan kayu putih, atau menggurah tenggorokannya dengan jahe dan sirih. Namun, aroma memuakkan itu tetap menempel. Makin kuat usahanya untuk menghilangkan atau menyamarkannya, makin tajam pula bau busuk itu tercium. Setiap tarikan napas terasa bagai petaka.
"Anjing!" Taim mengumpat. Ia melemparkan piring berisi rendang sapi yang sebenarnya harum daun salam itu ke halaman beserta nasinya. Ayam tetangga segera memasuki pagar halaman dan mematuki nasi. Induk ayam berketok-ketok memanggil anak-anaknya yang berciak-ciak, disusul ayam jantan yang berkokok-kokok.
Taim memandang peliharaan tetangganya itu dengan dongkol. Bagi Taim, peliharaan adalah cerminan pemiliknya, membiarkan peliharaan memasuki halaman rumah orang lain adalah penghinaan. Sudah sering ia mengadukan hal itu kepada si tetangga, tapi percuma. Ayam-ayamnya selalu datang dan datang lagi. Kalau perilaku tetangganya itu tidak boleh dimaknai sebagai sikap mencari perkara, lalu apa?
Akan tetapi, saat ini ia sedang tidak semangat memperpanjang urusan. Bau busuk yang muncul tanpa sebab dan terus ia cium telah meniadakan kenikmatannya merokok, mengopi, berbicara, bahkan bernapas. Ia merasa tak ada ruang untuk masalah lain.
Awalnya Taim menduga ada tikus mati yang bangkainya tersembunyi. Ia pun segera memeriksanya ke seantero ruangan dan celah-celah bangunan rumah, termasuk halaman dan pagarnya. Ia kuak pula baju-baju di lemari, lempitan kasur, sela-sela kursi. Namun, Taim tetap tidak menemukan apa-apa, seolah-olah bau itu tercium dari semua yang ia endus. Akhirnya ia menyemprotkan parfum ke setiap ruangan dan benda-benda, tapi itu hanya membuat sang istri marah-marah sebab sebotol parfum yang disukainya habis tinggal udara.
Sementara itu, bau busuk terasa terus menggantung di lak-lakan dan mengikutinya ke mana-mana. Taim tersiksa. Badannya lesu. Setiap waktu lambungnya meronta meminta isinya dimuntahkan, sedangkan ia tidak punya kuasa untuk mengisi ulang.
"Berobat sana, Kang. Takutnya kamu polip hidung atau apa, atau jangan-jangan ada bagian tubuh dalam yang membusuk." Istrinya menatap Taim dengan kasihan. Wajah suaminya itu seperti lap kotor yang sudah lama tak dicuci.
Taim mengangguk. Meskipun ia tidak merasakan sakit atau kelainan pada salah satu anggota tubuhnya—kecuali bau busuk itu, tapi saran sang istri ada benarnya, bisa saja ada yang salah dengan tubuhnya.
Akan tetapi, kedongkolan Taim kian menjadi setelah pulang dari dokter. Di klinik tadi, Taim sampai berdebat karena sang dokter mengatakan bahwa ia sehat wal afiat.
"Lalu dari mana datangnya bau busuk yang selalu aku cium ini, Dok? Dokter, kan, orang terdidik. Pasti tau, dong, kalau sesuatu tidak mungkin ada tanpa sebab." Taim berkata sambil menekan rasa muak.
"Iya. Tapi keadaan bapak normal, fisik bapak sehat, indra penciuman pun berfungsi baik, saya tidak menemukan gejala infeksi atau sesuatu yang ..., aneh."
"Dengan kata lain penyakitku ini aneh? Aku orang aneh? Aku tidak sedang bercanda, Dok!" Pandangan Taim yang sinis menajam.
Dokter yang masih muda itu meringis. "Maaf, Pak, tapi bapak benar-benar sehat, bisa saja bau itu cuma sugesti-"
"Tidak, tidak! Aku yakin ada yang salah dengan tubuhku! Kalau dokter tidak mengerti, bilang saja tidak mengerti daripada sok pintar begitu!" Tanpa memedulikan tanggapan dokter lagi, Taim keluar dari ruang pemeriksaan dan pulang dengan wajah kecut.
"Apa katanya, Kang?" tanya istrinya.
"Hebat benar dokter zaman sekarang, taunya cuma uang!" Taim mengempaskan pantatnya di balai-balai. Ia menekuk kaki kanan dan membiarkan kaki kirinya menjuntai. Pandangannya segera terpaku pada rumput di halaman. Benaknya kosong. Roman mukanya menggelap.
Istri Taim menghela napas. "Ya, sudah. Mau dibuatkan seduhan sereh lagi?"
Taim mengangguk sementara pikirannya kembali melanglang. Sumpek. Ia menahan napas. Bau busuk memenuhi rongga hidungnya. Ia mengembuskan napas. Bau busuk itu tetap ada. Napasnya ia tahan lagi, bau busuk terus ada, bahkan ketika ia menutupi kedua lubang hidungnya.
Sebuah kesadaran tiba-tiba terbersit di benaknya. Ia melonjak.
"Jangan-jangan bau bangkai ini datang dari pikiranku," katanya, lalu menahan, membuang, dan menarik napas, merasakan bau busuk yang juga tak hilang-hilang, seakan-akan jika ia menjadi mayat pun bau busuk dari dalam dirinya itu akan tetap ada.
Hatinya terasa pecah dibenturkan kesadarannya yang demikian. Bahwa bau busuk bersumber dari pikiran adalah sebuah kemungkinan. Bisa saja yang mulai membusuk di dalam dirinya itu bukan salah satu organ tubuhnya melainkan hal lain yang lebih subtil.
"Mang Taim!"
Sebuah suara mengagetkannya. Taim menegakkan kepala, menatap anak tetangganya yang datang membawa rantang.
"Bapak nyuruh ngasih ini, goreng ayam. Katanya, maaf banget kalau ayam kami suka masuk rumah Mamang."
Taim
menerima rantang itu dengan gemetar. Matanya terasa panas. Sekonyong-konyong
bau harum ayam goreng di dalam rantang tercium nikmat.
Curugkembar, 09 November 2024.