Kapas di Hati Beruk - Tulip's

Kapas di Hati Beruk
Tulip's


Kiranya, bolehlah saya menuturkan satu kisah seorang perempuan, yang bila kau percaya padaku, teringatlah akanku kisah ini setelah melihat seekor kecoak. Binatang dengan kotoran di kaki yang menempel bila mana ia beranjak.

Adalah Nurmian, perempuan dengan rupa seburuk-buruknya rupa. Tak payah kurincikan penampakannya, cukuplah bagi engkau membayangkan seekor beruk kurus kering yang targantung-gantung menatap sebiji nangka mentah. Tidak, tidak, saya tidak seburuk itu sehingga menyamaknnya dengan binatang. Yakinlah, Perumpaman itu tertangkap telinga saya keluar dari mulut suaminya sendiri.

Akan tetapi, bukankah rupa dan hati seyogyanya adalah dua hal yang berlainan? Saya tidak tahu, tidak yakin pula bagaimana bentuk hati Nurmian sebab tak pernah terpikir untuk membedahnya. Namun, yakinlah engkau, bahwa ia memiliki hati serupa kapuk randu yang terawang-awang. Saya sebagai penjamin. Ia bersih, ia halus, ia lembut, tetapi ringan sehingga amatlah gampang mempermainkannya. Sebab itu pulalah saya menyebutnya bodoh dan naif.

Tersebutlah pada hari itu, ketika matahari belumlah sempurna tertidur dan menyisakan kuning merah di langit lebam. Suami Nurmian, ah, saya benci menyebut namanya sebab mengingatkan saya pada setumpuk belatung baru menetas. Ilham, baiklah, sebut saja ia Ilham. Pulanglah ia ke rumah di mana Nurmian telah menyajikan berupa-rupa hidangan. Namun, dibawanya serta seekor binatang yang saya pun tak tahu mesti menyebutnya apa.

Binatang itu penuh kotoran seperti kecoak, tetapi ramping layaknya belakang sembah. Ia licin serupa ular, dan mengeluarkan madu yang dikerubungi lalat tiap-tiap ia membuka mulut. Dan dari mulutnya yang bertaring empat itu, meluncur jarum-jarum yang melesat cepat dan bersarang pada dada Nurmian telah koyak sejak dahulu.

“Saya hendak menikahinya.” Begitu kata Ilham. Namun, sungguh ia tak benar-benar butuh pendapat Nurmian. Ia adalah batu, dan Nurmian tak lebih dari beruk. Sehingga meski dipukul dengan kepalan tangan, batu tetaplah batu. Guratan halus tak akan memecahkannya. Terlebih, apalah daya tangan beruk dibandingkan batu kali yang kokoh dan angkuh?

“Adakah saya kurang bagimu?” Bertanya Nurmian, dengan mata selayakjya rawa-rawa kelebihan air.

“Ya. Kau kurang dalam segala hal.”

Saya tertawa, terbahak-bahak, terbatuk-batuk, terbungkuk-bungkuk. Itu adalah kata paling lawak dan menggelikan sehingga perut saya sakit akibat tawa yang tak kuncung berhenti serupa air yang jatuh dari mata Nurmian.

Seharusnya, kalimat itu cukuplah jadi penyadaran bahwa Nurmian tak dibutuhkan. Ia harusnya melepaskan diri, sehingga tak perlu lagi meratapi lebam-lebam biru merah hitam di tubuhnya tiap-tiap hari. Tetapi, bukankah sedari awal, sudah saya katakan Nurmian bodoh dan naif? Dan karena hati kapuknya itu, ia bertahan. Bertahan dalam kebodohan abadi yang ia sebut kesetiaan seorang istri, dan keikhlasan seorang ibu.

Apakah engkau telah bosan? Saya pun begitu. Tetapi, kisah Nurmian adalah lelucon bagi saya. Dan lelucon akan lebih menyenangkan jika ditertawakan bersama-sama. Bukankah begitu?

Begitulah, binatang yang dibawa pulang Ilham telahlah sah sebagai madu bagi Nurmian. Madu kental berlalat dan berulat.

Selayaknya binatang, ia mulai menggeliat, mematuk, dan sekali-kali, ketika kebinatangannya meronta, ia mulai menerkam anak-anak serupa anjing lapar menyantap tulang babi.

Tetapi, meski nyata ia berlaku buruk, ia tetaplah memiliki sedikit sisi ular sehingga ia amatlah licin. Tak secelah pun Ilham menangkap kejahatan dalam perilaku istri barunya. Dan Nurmian, yang berpikir telah membela hak anaknya, tak mendapat apa-apa selain kemurkaan yang dibuat-buat. Tetapi, amat nyata sakit di tubuh dan dada Nurmian.

Nurmian tahu, ia tak dapat membela, ia tak dapat berbuat, sehingga ia pada keputusasaan, menutup mulutnya dengan mantra karangannya sendiri. Ia tahu betul, semakin ia melawan, semakin ringkih tubuhnya sendiri. Sementara ia tak dapat meninggalkan Ilham meski ia sangat ingin. Sebab ia takut, anaknya tak dapat mengisi perut jika ia sendiri yang menafkahi. Sebab seperti kata Ilham, ia beruk buruk yang tak bisa melakukan apa-apa. Ia kurang dalam segalanya, dan ia mesti patuh sebab Ilham sudi menikahinya dahulu sekali.

Tetapi, Nurmian lupa, kesetiaan dan keikhlasan yang digaungkannya, telah pula membuat lubang di kepala anaknya. Lubang yang kian hari kian bertambah seperti ketombe di kepala.

 


 

 

Aek Tinga, 10 Desember 2024

 

 

 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url