A Love That Sank, A Soul That Sailed - Labirin Waktu

Juara 1 Event Sailing


A Love That Sank, A Soul That Sailed
Labirin Waktu

 

~Jika waktu merenggutmu dariku, kupastikan aku akan menyeberangi lautan takdir untuk mencintaimu sekali lagi.~   ••NEO••

 

Seorang dokter bedah tak seharusnya limbung di hadapan ajal. Namun, di sini aku berdiri dengan tangan yang tergantung lunglai, sementara mataku menatap dada yang naik turun dengan ritme yang sangat lambat, seolah harapan untuk hidup lebih lama hanya menyajikan kenyataan yang begitu singkat. Seperti es yang mencair dalam genggaman, tak bersuara, tak ada perlawanan, namun perlahan lenyap tanpa sempat diselamatkan.

 

Moana terbaring pucat, kelopak matanya bergerak lemah seolah ia masih ingin menikmati kefanaan dunia sedikit lebih lama lagi. Tubuhnya dipenuhi lebam dan luka yang masih beraroma logam. Kecelakaan itu datang begitu singkat dan tragis. Mobilnya menghantam pembatas jalan, lalu semuanya berakhir dalam sekejap. Mereka bilang mobilnya kehilangan kendali, seakan ia memang ditakdirkan untuk melaju menuju kehancuran.

 

"Semua akan baik-baik saja," kataku, entah kepada siapa. Kepadanya, atau kepada diriku sendiri.

 

Ia tersenyum samar. Bibirnya kering, suaranya serupa desir angin terakhir di musim yang mungkin akan segera berlalu. "Jangan bohong, Neo… aku tahu seperti apa kebohongan terdengar."

 

Aku ingin menyangkal, tapi bagaimana caranya berdusta pada seseorang yang sedang berpamitan pada hidup?

 

Selang di hidungnya berembun. Mesin di samping ranjangnya berkedip pelan. Tidak ada yang berisik, tapi sunyi di tempat ini terasa lebih bising dari badai.

 

Kemudian, di antara jarak yang semakin melebar, di antara detik-detik yang terus mendorongnya menjauh, aku menyaksikannya pergi. Moana sudah tidak ada lagi di sana. Hanya ada tubuh dan jemarinya yang perlahan hilang kehangatan.

 

Aku ingin menangis, dada ini sesak terhimpit. Aku ingin menyelamatkannya, tapi tak ada yang tersisa untuk dipertahankan. Mereka menarikku menjauh, mengatakan semua sudah berakhir. Tapi aku tahu, yang mati bukan hanya dirinya. Ada sesuatu dalam diriku yang ikut padam, sesuatu yang tak akan pernah bisa dihidupkan kembali. 

 

***

 

 

Aku membiarkan angin mencabik keberadaanku, membiarkan laut mengajariku cara merasakan luka tanpa harus mengaduh. Geladak kapal ini terasa lapang, tapi dadaku sebaliknya. Semakin luas lautan yang kutatap, semakin sesak yang kurasakan.

 

Kepergian Moana membuat dunia ini terasa lebih sempit, seolah setiap jalan yang kulewati berujung pada kehampaan yang sama. Aku tidak bisa bekerja seperti biasa. Ruang operasi terasa seperti makam yang terus mengingatkanku pada seseorang yang tak bisa kuselamatkan. Setiap pasien adalah cermin yang memantulkan bayangannya. Aku mengambil cuti tiga bulan, berpikir bahwa jarak bisa menjadi penawar.

 

Hawaii, kata mereka adalah tempat yang tepat untuk melupakan. Aku tidak ingin melupakan, tapi aku juga tak sanggup terus mengingat. Maka aku memilih berlayar ke sana, membiarkan laut menjadi sekutu yang membawaku menjauh dari apa pun yang tersisa.

 

Moana pernah berkata, laut adalah ruang bagi yang tersesat. Aku tidak tersesat, tapi mungkin aku ingin hilang.

 

Aku bersandar di tiang layar, menatap langit yang berlumur senja. Angin menyelundupkan bau garam dan kenangan. Dan dalam kepalaku, Moana masih tertawa. Aku menutup mata. Seketika, desau angin berubah menjadi suaranya, mengambang di udara seperti buih yang tak kunjung pecah. Matanya yang dahulu bercahaya, kini hanya ada dalam kepalaku, berkedip di antara kelopak yang menyimpan telaga madu.

 

"Neo, kamu terlalu serius," katanya dulu, ketika kami duduk di atas pasir, jemarinya menggambar sesuatu yang akan segera dihapus ombak. "Hidup ini harus mengalir seperti laut, jangan terus-terusan melawan arus."

 

Lalu aku bertanya, "Kalau arus membawaku menjauh darimu?"

 

Dia tersenyum, cahaya matahari sore memantul di rambutnya. "Maka aku akan menjadi pantaimu."

 

Aku menghembuskan napas panjang. Tangan ini pernah mengobati banyak luka, tapi tidak dengan luka yang tertinggal setelahnya.

 

Layar kapal berkibar, membawaku ke tempat yang jauh. Namun, aku tahu, ke mana pun aku pergi, Moana tetap berada di  tempat yang tak bisa kutinggalkan, yaitu di dalam diriku sendiri.

 

Aku merogoh saku jaketku, mencari sesuatu yang seharusnya tidak lagi kucari. Jemariku menemukan permukaannya, sebuah benda dingin dan berlekuk yang masih menyimpan jejak jemarinya. Cincin dengan ukiran mahkota pernah disematkan Moana di jari manisku, bersama janjinya yang kini tinggal gema.

 

Kusapukan pandangan ke garis cakrawala, laut terbentang luas di hadapanku. Ombak berkejaran, seolah menertawakan keputusasaan yang kusimpan. Angin mengendap-endap di sela rambutku, membawa bisikan yang mungkin miliknya.

 

"Jangan lepaskan."

 

Aku tersenyum miris, lalu menyelipkan cincin itu ke jariku, cincin yang dulu berarti rumah, kini hanya menjadi kenangan yang berputar di antara nadi dan tulang.

 

Lalu langit tanpa aba-aba, meredup.

 

Senja yang semula jingga, berubah pekat dalam hitungan detik. Angin yang tadi lembut, kini mencambuk wajahku. Laut yang semula bernyanyi, mendadak murka.

 

Aku menatap langit yang meretak oleh kilat. Badai datang tanpa permisi. Ombak memainkan geladak kapal, menari liar di bawah langit yang meraung. Petir menggelegar. Dan aku  tetap berdiri di bawahnya, tanpa ingin melindungi diri. Lalu aku merasakan tubuhku terjatuh sebelum semuanya menjadi hitam.

 

 

***

 

Aku membuka mata.

 

Langit-langit kayu yang penuh ukiran menari dalam pandanganku yang kabur. Bau asin laut masih lekat di udara, tapi tidak ada suara mesin kapal, hanya derak kayu dan desir angin menerobos layar.

 

Kusentuh dadaku. Jantungku masih berdetak. Aku masih di lautan. Tapi mengapa semuanya terasa asing?

 

Tubuhku terasa lebih berat. Kulihat jemariku, ia tetap milikku. Aku meraba wajahku, masih dengan rahang dan kulit yang sama. Tetapi, pakaian ini… bukan milikku.

 

Kain yang membalut tubuhku tebal, dihiasi sulaman emas yang rumit. Sabuk kulit berukir naga melingkari pinggang. Sepatu bot tinggi menjejak lantai kayu kapal yang tidak kukenal.

 

Lalu suara-suara itu datang. Bukan dalam bahasa yang asing, melainkan dengan nada yang lebih berat dan lebih berwibawa.

 

"Laksamana, dia sudah sadar!"

 

Langkah-langkah tergesa mendekat. Aku menoleh.

 

Sosok-sosok berzirah berdiri di sekelilingku. Mata mereka penuh tanya, sebagian dengan kewaspadaan. Sebagian lainnya… dengan ketakutan.

 

"Laksamana?" gumamku, mencoba memahami.

 

Seseorang maju. Seorang pria tua dengan jubah panjang, kerutan di wajahnya tampak menyimpan banyak cerita. Ia menatapku menyipit penuh selidik.

 

"Bagaimana mungkin kamu masih hidup setelah petir itu menyambar?" suaranya terdengar lebih seperti bisikan. Aku menggenggam dadaku. Ada sesuatu yang lain dalam tubuh ini, rasanya sakit. Lalu aku melihat tanganku, cincin di jariku masih ada. Tetapi di tengah batu cincinnya, ukiran mahkota itu bersinar redup.

 

Aku menelan ludah. "Di mana aku?" tanyaku.

 

"Laporkan pada Tuan Putri Moana Kaane, Pangeran Neo sudah sadar!"

 

Aku memicingkan mata. Pangeran siapa?

 

Seseorang mendekat lagi, sosok tegap dengan jubah perang berhiaskan lambang yang asing. Sorot matanya menyelidik, seolah mencari sesuatu yang tak terlihat. “Sungguh, kau tidak mati?” desisnya.

 

Aku ingin membuka mulut, ingin bertanya, tapi sebelum kata-kata sempat keluar, cahaya meletup dari telapak tanganku. Aku menunduk. Cincin itu bersinar, memantulkan kilauan samar dari ukiran mahkota di permukaannya. Cahaya keemasan merayap perlahan, seolah membangunkan sesuatu yang telah lama tertidur.

 

Lalu aku melihat.

 

Seorang pangeran yang terlihat sepertiku duduk di geladak, angin mengibarkan rambutnya yang hitam legam. Di kejauhan, anak-anak panah melesat ke udara, menghiasi langit seperti bintang-bintang jatuh. Namun, pangeran itu hanya menyesap anggurnya, mengamati pertempuran dari kejauhan, tak terganggu, seolah kemenangan hanyalah permainan kecil yang sudah ditentukan hasilnya.

 

Lalu bayangan hitam menyelinap di antara tali-temali layar. Satu gerakan cepat, tangan-tangan kasar menariknya dari belakang.

 

Dia terhuyung. Dibungkam. Diseret ke dalam pekatnya kapal musuh. Tidak ada yang melihat.

Tidak ada yang tahu. Dan pangeran itu… adalah tubuh yang sedang kutempati sekarang.

 

Aku tersentak, napasku memburu. Cahaya dari cincin perlahan meredup, meninggalkan rasa penasaran.

 

Jadi, aku telah melintasi waktu dan  ini tubuh yang diberikan waktu padaku? Bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai seorang raja yang dielu-elukan… tapi sebagai seorang tawanan?

 

Aku mendengus.

 

"Apa-apaan ini? Jika aku harus dilempar ke masa lalu, mengapa bukan sebagai raja besar yang dimuliakan? Kenapa harus menjadi pangeran yang diikat dan menunggu ajal?"

 

Tak ada jawaban. Hanya tatapan tajam para prajurit. Rupanya, waktu tak memberiku kesempatan untuk sekadar bernapas lebih lama. Aku harus mengubah takdir pangeran ini. Aku tidak mau disiksa.

 

Ketika aku baru menarik napas, sebuah suara menggema di udara, suara yang dingin, tegas, dan tanpa belas kasih.

 

"Cambuk dia lagi."

 

Sial.

 

Aku belum sepenuhnya pulih dari kesakitan sebelumnya, tapi punggungku kembali dihantam keras. Kulitku seolah terkoyak, nyeri menjalar seperti bara yang merayapi tulang-tulangku. Aku menggigit bibir, menahan teriakan yang mengendap di kerongkongan.

 

"Di mana tempat persembunyian senjata ayahmu?" Kepala prajurit itu melangkah mendekat, menatapku dengan sorot mata yang menguliti.

 

Aku mengangkat wajah, menyeringai meski darah yang kumuntahkan kini terasa asin di mulutku. "Aku bahkan tak tahu siapa ayahku di sini," desisku.

 

Cambukan melayang, membuat kepalaku terhuyung. Kain yang menempel di tubuh ini  koyak, bercampur darah dan keringat. Aku mengerjap dan penglihatanku perlahan buram.

 

"Mengaku saja, Pangeran Neo, katakan di mana senjata itu, dan kau akan hidup dengan layak di kapal ini."

 

Aku tertawa pelan, bukan karena lucu, tapi karena betapa ironisnya ini semua. Aku, seorang dokter bedah dari abad 21, kini terperangkap dalam tubuh seorang pangeran yang  tak pernah kubaca sejarahnya. Aku tak mengerti sedikitpun keadaan ini. Tak ada gunanya menjawab.

 

Cambukan terakhir kembali dilayangkan. Kesakitan itu membuatku jatuh tersungkur. Lututku tak mampu menopang, kepalaku berdenyut hebat, dan dunia terasa bergoyang.  Dan tiba-tiba semuanya terlihat gelap.

 

Aku terbangun dengan kesadaran yang mengambang, seperti terombang-ambing di antara mimpi dan kenyataan. Ruangan ini sempit, dengan dinding kayu yang bergoyang mengikuti irama laut.

Cahaya remang masuk melalui celah-celah, menyorot tubuhku yang lunglai di atas dipan kasar.

 

Suara langkah kaki halus membuatku menoleh. Seorang lelaki berdiri di pojok ruangan, membungkuk hormat sebelum melangkah mendekat.

 

"Tuan…" suara itu cukup menenangkan. "Izinkan saya mengobati luka Anda."

 

Aku mengerjap, menyadari betapa panas dan nyerinya punggung ini. Kubiarkan dia berlutut di sampingku, menuangkan sesuatu yang terasa dingin ke atas luka-luka itu.

 

Aku mengerang pelan saat cairan itu menyentuh kulitku yang terkoyak. Budak itu tetap bekerja dengan cekatan, tanpa banyak bicara. Jemarinya ringan, tapi jelas sudah terbiasa mengobati luka seperti ini.

 

"Kau siapa?" tanyaku akhirnya.

 

"Saya hanya seorang pelayan, Tuan," jawabnya singkat. "Tugas saya memastikan Anda tetap hidup."

 

Nada suaranya terlalu datar untuk seseorang yang berbicara kepada seorang tawanan. Seolah dia tak benar-benar melihatku sebagai pangeran yang takluk. Aku mengamatinya dari ekor mata. Tidak kurus, tidak lusuh. Rambutnya rapi, wajahnya bersih, dan tatapannya tajam meski sering ditundukkan.

 

Aku meringis saat dia menekan punggungku. "Kenapa mereka repot-repot menjagaku tetap hidup kalau yang mereka inginkan hanya membuatku mati pelan-pelan?"

 

Dia terdiam sesaat sebelum menjawab. "Karena Tuan terlalu berharga untuk dibunuh begitu saja."

 

Aku menoleh, menatapnya lebih lekat, entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak terdampar di kehidupan ini, aku merasa lebih waspada daripada sekadar takut. Aku ingin tertawa lagi, tapi yang keluar hanya erangan perih.

 

Pelayaran ini baru saja dimulai.

 

Suara langkah terdengar di luar, berpadu dengan seruan tegas seorang prajurit yang berjaga di depan ruangan.

 

“Tuan Putri Moana Kaane tiba!"

 

Budak di sampingku gemetar, lalu jatuh berlutut tanpa perlu aba-aba. Aku tetap diam di dipan reyot itu, punggungku bersandar pada dinding kayu yang berderit lemah, pintu terbuka perlahan.

Dan ketika aku melihatnya. Sejenak, dunia terhenti.

 

Seorang wanita berdiri di ambang pintu. Cahaya dari lorong memeluknya, membingkai tubuhnya dalam kilauan samar. Mataku menyipit, bukan karena silau, tapi karena sesuatu yang mencengkeram hatiku begitu erat.

 

Dewi. Ratu. Bidadari. Malaikat. Ah, aku tak tahu kata apa yang pantas.

 

Ia melangkah perlahan, gaunnya berpendar menyajikan kemewahan. Rambutnya panjang, dihiasi emas yang terselip di antara helaian gelapnya. Sorot matanya, penuh dengan wibawa yang tak dapat diganggu gugat.

 

Namun, bukan itu yang menghancurkanku. Bukan pakaiannya. Bukan mahkotanya. Bukan keanggunan yang mengalir di setiap gerakannya. Tapi wajahnya. Wajah yang seharusnya telah hilang bersama waktu. Wajah yang seharusnya tinggal dalam kenangan dan nisan yang basah oleh air mata. Wajah yang telah kubawa dalam doa,  yang namanya hanya bisa kugenggam saat takdir merenggutnya dariku.

 

"Moana..."

 

Aku jatuh, bukan karena lemah, bukan karena cambukan yang meremukkan punggungku, tapi karena dadaku terlalu sesak untuk menahan semua ini. Tanganku gemetar, merangkak mendekat seperti seorang pendosa yang mencari Tuhan.

 

"Moana…" Suaraku pecah. "Aku mencarimu... aku merindukanmu... aku..."

 

Langkahnya terhenti. Aku bisa melihat gaunnya berkibar pelan. Aku ingin menyentuhnya. Aku harus menyentuhnya. Tanganku terulur, bergetar, nyaris menyentuh tepi kainnya, tapi …

 

DUG!

 

Rasa panas menyengat menjalari punggung tanganku. Seorang prajurit baru saja memukulku dengan gagang pedangnya.

 

"Jangan sentuh Tuan Putri!" bentaknya tajam.

 

Tapi aku tak peduli. Aku menyeret tubuhku yang lemah, mendekatinya lagi dan sebelum mereka sempat menghentikanku, aku meraih kakinya, memeluknya erat, seolah jika aku melepaskan, Moana akan kembali lenyap dari hidupku.

 

"Aku menunggumu, Moana… Menunggumu kembali." Suara tangisku pecah, membanjiri kata-kataku. "Kenapa aku tak bisa menyelamatkanmu? Kenapa takdir tak memberiku satu kesempatan lagi?"

 

"Aku menyebut namamu setiap malam. Aku mencari wajahmu dalam mimpi-mimpiku. Aku menangis sampai langit pun kehabisan hujan. Tapi kau tetap pergi..."

 

Tak ada yang menjawab.

 

Tanganku mencengkeram erat kainnya, tubuhku bergetar seperti anak kecil yang baru saja kehilangan ibunya.

 

"Sekarang aku menemukanmu lagi, Moana..." bisikku, suaraku nyaris hilang. "Katakan padaku… ini bukan mimpi, kan? Kau benar-benar di sini? Kau hidup kembali untukku, kan?"

 

Tapi dunia tak memberi jawaban yang kuinginkan.

 

"Lepaskan Tuan Putri!"

 

Pedang terhunus. Ujungnya dingin di tengkukku, ancaman yang begitu nyata. Aku terdiam, lalu perlahan melepaskan pegangan tanganku.

 

Moana mundur selangkah, dan aku menegakkan kepala, berharap bisa menemukan sesuatu di matanya, kehangatan atau ingatan. Tapi yang kutemukan hanyalah sorot tajam yang menusuk.

 

Sinis.

 

Seolah aku bukan siapa-siapa. Seolah aku hanya debu yang berani menyentuh bulan.

 

“Pangeran Neo." Suara itu dingin. Tajam. Seperti pedang yang baru diasah dan siap menusuk tanpa ragu.

 

Aku masih di lantai, napasku masih kacau, pikiranku masih terhuyung di antara kenyataan dan mimpi. Tapi suaranya membuatku mengangkat kepala. Moana berdiri di sana, di balik cahaya lentera yang temaram. Matanya menatapku dengan sorot yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Tatapan kebencian yang pekat, nyaris seperti racun.

 

"Apa lagi trik yang sedang kau mainkan?"

 

Aku mengerjap. "Apa?"

 

"Saya tahu, Pangeran sangat membenci saya."

 

Suatu tempat di dadaku seakan runtuh mendengar kata-katanya.

 

"Saya tahu, keluarga kita adalah musuh abadi. Saya tahu, tidak ada yang lebih kau inginkan selain menghancurkan kami."

 

Ia menunduk, mendekatkan wajahnya dan menatapku nanar. Matanya menyayatku lebih dalam daripada semua cambukan yang kuterima hari ini.

 

"Kenapa sekarang Anda berani melekatkan diri pada saya?" lanjutnya. "Kenapa berlutut di hadapan saya seolah Anda benar-benar peduli?"

 

Aku ingin menjawab. Aku ingin mengatakan bahwa aku memang peduli, bahwa aku memang merindukannya, bahwa aku akan melakukan apa pun untuk membawanya kembali kehidupku. Tapi aku tak bisa. Dengan melihat wajahnya, aku tahu, di dunia ini, di masa ini, aku bukan kekasihnya. Aku adalah musuhnya.

 

"Saya tidak lupa, Pangeran Neo."

 

Suaranya kembali merayap ke dalam benakku, menggali sesuatu yang nyaris terlupakan.

 

"Saya ingat semuanya."

 

Aku menahan napas.

 

"Saya ingat bagaimana dulu, sebelum kerajaan kita saling membantai, sebelum orang tua kita saling membenci…"

 

Aku tahu ke mana arah ucapannya. Dan sebelum dia melanjutkan, bayangan itu sudah kembali menghantam ingatanku, bayangan yang muncul setiap cincinku bersinar.

 

Dulu.

 

Saat pangeran pemilik tubuh ini masih bocah dan tak peduli pada dunia, saat perang belum merusak segalanya, saat masih terlalu muda untuk memahami apa itu kehilangan, seorang gadis kecil jatuh di hadapanku. Lututnya terluka. Darah mengalir di kulitnya yang pucat.

 

Aku menatapnya sebentar, berjalan pergi, lalu bergumam, “bukan urusanku.”

 

"Saya ingat bagaimana Pangeran hanya berdiri di sana, menyaksikan saya jatuh, melihat darah di kaki saya, dan tetap melangkah tanpa peduli."

 

Suara Moana bergetar, tapi bukan karena kesedihan. Bukan. Melainkan karena kemarahan yang telah disimpannya bertahun-tahun.

 

"Seolah saya bukan apa-apa. Seolah luka saya tidak ada artinya."

 

Aku menelan ludah. Kenapa Moana mengingatnya. Kenapa Moana tidak pernah lupa.

 

"Dan sekarang Pangeran Neo bersujud di kaki saya, menangis, memohon belas kasihan. Lucu sekali."

 

Lalu dia berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun. Meninggalkanku dengan rasa sakit yang jauh lebih buruk daripada semua luka di tubuhku.

 

***

 

Seminggu berlalu.

Angin laut kembali membawa aroma garam dan darah, mencabik-cabik malam dengan gelegar meriam dan hujan panah. Seminggu penuh, aku terperangkap di tubuh ini, di dunia yang bukan milikku, di antara dendam dan perang yang sama sekali tak kumengerti.

 

Seminggu penuh aku mendengar kabar tentang kapal-kapal yang katanya itu adalah ayahku, semakin gencar menerjang perbatasan, mencoba menebus putra mahkotanya yang hilang.

 

Tapi hari ini, langkah para prajurit yang datang membangunkanku terasa berbeda. Ada ketegangan yang lebih tajam. Ada sesuatu yang lebih genting daripada sekadar perang.

 

“Pangeran Neo, bangunn!”

 

Aku tidak bergerak.

 

“Kau harus menghadap keluarga kerajaan.”

 

Aku menyipitkan mata. “Untuk apa?”

 

Prajurit itu menelan ludah, seakan berat mengucapkan kata-kata selanjutnya. “Raja Kaelani tertusuk panah.”

 

Aku terdiam. Angin laut  tiba-tiba terasa dingin bersalju.

 

“Semua tabib istana telah berusaha,” lanjutnya, “tapi tak ada yang bisa menyelamatkannya.” Aku mendesah. Aku tahu apa artinya ini. Aku bukan dibawa untuk diadili. Aku dibawa untuk menjadi saksi. Untuk melihat seorang raja meregang nyawa, agar aku bisa memahami betapa besar luka yang diukir oleh ayahku dalam sejarah kerajaan ini. Dan aku tak bisa mengelak.

 

Ruangan tempat Raja Kaelani terbaring dipenuhi aroma dupa yang pekat, seolah kematian sudah hampir menyentuhnya. Di tengahnya ada ranjang bersulam emas, di mana Raja itu tergeletak. Napasnya berat, kulitnya pasi seperti malam tanpa bulan. Darah kering masih melekat di pakaiannya, tapi yang paling mencolok adalah matanya, mata yang perlahan kehilangan nyala.

 

Di sampingnya, Moana berdiri. Tatapannya kosong. Aku tahu, kosongnya tatapan itu bukan berarti kehampaan. Itu adalah lautan yang sedang bergejolak, menyimpan badai yang belum dilepaskan.

 

Aku didorong ke depan oleh seorang laki-laki bertubuh besar dengan jubah perang yang masih berlumur darah. Lalu ia berbicara. Suaranya berat, tajam seperti mata pedang.

 

“Lihatlah, Pangeran Neo.” Dia menunjuk Raja Kaelani dengan telunjuk gemetar.

 

“Lihat kematian yang kau dan keluargamu ciptakan.”

 

Aku menatap lurus ke arahnya, tanpa berkata apa-apa.

 

“Raja Aldebrand telah menumpahkan darah kami bertahun-tahun. Dia membakar tanah kami, menenggelamkan kapal-kapal kami, merebut daratan dan lautan kekuasaan kami dan sekarang dia membunuh Raja kami.”

 

Aku tetap diam. Ekor mataku memotret jemari Moana yang mengepal erat, seakan mencengkeram sesuatu yang tak kasatmata.

 

“Tak cukupkah semua ini?” suara lelaki itu mulai bergetar, “Tak cukupkah kau menyaksikan sendiri betapa ayahmu adalah iblis?”

 

Aku menarik napas panjang. “Dia bukan ayahku.”

 

Orang itu menyeringai dingin. “Benar. Tapi kau darah dagingnya. Dan seperti ayahmu, kau harus membayar.”

 

Lalu, rasa sakit kembali menyentakku di dunia asing ini. Sebuah cambukan membelah udara. Menyayat punggungku yang belum pulih. Aku tak menjerit. Aku hanya menatap Raja Kaelani yang tersengal di ranjangnya. Kematian berjalan mendekatinya, dan di wajah Moana, untuk pertama kalinya aku melihat ketakutan jelas di matanya.

 

Aku mengepalkan tangan. Aku bisa pergi dari sini sebagai orang yang kalah. Aku bisa diam, membiarkan waktu membawaku ke takdir yang sudah ditentukan. Atau… aku bisa melakukan sesuatu? Aku  mengangkat kepala. Melakukan sesuatu adalah hal yang tepat, aku harus ingat, aku adalah dokter bedah.

 

“Aku bisa menyelamatkannya.”

 

Sesaat suasana membeku. Tabib-tabib yang berlutut tersentak. Beberapa tertawa.

 

“Kau? Tawanan perang? Kau pikir ini lelucon?”

 

Aku tetap menatap lurus ke arah Moana.

 

“Aku bisa menyelamatkan ayahmu.”

 

Matanya menyipit. “Bagaimana bisa?”

 

“Percayalah padaku,” kataku pelan, “beri aku kesempatan.”

 

Tawa sinis meledak di sekitar ruangan.

 

“Ini penghinaan! Kau pikir Raja Kaelani butuh belas kasihan dari musuhnya?”

 

“Dia hanya mengulur waktu!”

 

“Gantung dia sekarang juga!”

 

Tapi Moana mengangkat tangannya. Semua suara langsung terhenti. Dia menatapku dalam diam dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Seolah aku adalah misteri yang belum dia pecahkan.

Seolah dia ingin melihat, sampai sejauh mana kebohongan dan kebenaran akan membawaku.

 

Lalu, akhirnya, dia berkata, “Biarkan dia mencoba. Aku juga ingin ayahku selamat.”

 

Semua orang menoleh padanya, seakan tak percaya. Penasihat yang tadi bicara  segera mendekat, berbisik penuh keberatan. “Tuan Putri, ini berbahaya.”

 

“Jika dia gagal,” Moana melanjutkan, “maka gantung dia di layar kapal tertinggi.”

 

Jantungku mencelos. Moana menoleh padaku sekali lagi.

 

“Tapi jika kau benar-benar bisa menyelamatkan ayahku…” Dia tidak melanjutkan. Tapi aku tahu.

Ini bukan tentang kepercayaan. Ini adalah perjudian nyawaku sendiri.

 

Aroma anyir memenuhi ruangan, melekat di udara. Raja Kaelani masih tergeletak, napasnya tersengal, nyaris tak terdengar. Dan aku berdiri di sisinya, dengan tatapan ragu dan puluhan pasang mata yang mengawasiku.

 

"Apa yang kau tunggu?" suara Moana tajam, menusuk seperti bilah pedang. "Lakukan. Atau mati."

 

Aku menarik napas dalam. Tanganku mengepal di sisi tubuh. Aku tidak punya pilihan. Jika aku gagal, tubuhku akan tergantung di layar kapal tertinggi. Bukan hanya nyawaku yang dipertaruhkan di sini. Tapi juga… tatapan Moana.

 

Aku berlutut di sisi Raja Kaelani, menyingkirkan sobekan kain yang basah oleh darah. Kulit di sekitar luka itu menghitam, tanda pembusukan mulai bekerja. Jika aku terlambat sedikit saja, aku takkan bisa menyelamatkannya.

 

"Aku butuh air mendidih dan pisau."

 

Ruangan itu hening. Seolah aku baru saja berbicara dalam bahasa yang tak mereka pahami.

 

"Kau pikir ini dapur istana?" salah satu tabib mencemooh. "Kami bukan pelayanmu, Pangeran Neo. Kau pikir kau siapa?"

 

Aku tidak menjawab. Hanya menatap Moana.

 

Dia mengerjap, bibirnya mengatup, tapi sedetik kemudian tangannya terangkat. "Berikan apa yang dia minta."

 

Aku tidak punya alat bedah. Tidak ada anestesi. Tidak ada perban steril. Semua yang kumiliki hanyalah tekad, dan ingatan tentang dunia yang kutinggalkan.

 

Prajurit membawakan pisau belati. Aku menyeka bilahnya dengan api, membiarkan logam itu memerah, sebelum menekan ujungnya ke kulit Raja Kaelani. 

 

Dagingnya mendesis.

 

Raja itu merintih dalam setengah sadar. Suara para pengawal bergetar marah, beberapa menarik pedang, siap menebasku jika aku menyakitinya lebih jauh. Tapi aku tak peduli. Aku membuat sayatan kecil di sekitar luka, mengupas jaringan yang sudah membusuk, lalu meraih panah yang tertancap di dadanya. Aku menekan sisi tubuhnya, memastikan posisinya tetap stabil, sebelum menarik anak panah itu dengan satu gerakan cepat. Darah memuncrat, membasahi tanganku.

 

Moana menahan napas.

 

"Aku butuh jarum dan benang."

 

Mereka memberikannya, meskipun masih dengan tatapan penuh kecurigaan. Aku mulai menjahit luka itu. Tanganku gemetar, tapi aku bertahan. Satu tarikan benang. Dua. Tiga. Hingga akhirnya, luka itu tertutup rapi.

 

Aku mengusap keringat di dahiku. "Selesai."

 

Ruangan itu sunyi.

 

Semua mata terpaku pada Raja Kaelani. Tubuhnya masih kaku, matanya tertutup, napasnya tersengal. Tapi perlahan, warna kulitnya yang semula pucat mulai kembali.

 

Lalu…

 

Jari-jarinya bergerak. Napasnya lebih stabil. Setelah menunggu beberapa waktu, kelopak matanya bergetar, kemudian terbuka. Raja itu hidup. 

 

"Pangeran Neo menyelamatkan Raja…" seseorang berbisik, suaranya nyaris tak percaya.

 

Aku hanya menatap Moana. Wajahnya pias, matanya yang selalu penuh kebencian padaku kini kosong.  Aku duduk di lantai, napasku tersengal, tanganku berlumuran darah, darah yang bukan milikku. Di sekelilingku, suara bisik-bisik memenuhi ruangan. Tabib-tabib yang tadinya mencemoohku masih terpana. Para prajurit yang siap menghunus pedang kini meremas gagangnya dengan ragu.

 

Di atas dipan emas, Raja Kaelani yang sekarat beberapa saat lalu kini bernapas stabil.  Matanya yang sudah terbuka menatapku dalam kebingungan, seolah aku adalah teka-teki yang tak bisa dipecahkan.

 

Aku tidak peduli pada tatapan itu. Aku tidak peduli pada keterkejutan mereka. Aku hanya peduli pada satu hal. Moana Kaane.

 

Ia menatapku lama, sorotnya penuh pertanyaan, penuh kewaspadaan. Lalu bibir itu bergerak, mengucapkan sesuatu yang membuat jantungku remuk dalam sekejap.

 

"Terima kasih."

 

Suara itu datar. Tidak ada kehangatan di dalamnya. Tidak ada kelembutan yang dulu pernah kusimpan di antara malam-malam yang penuh debaran. Entahlah, atau aku yang tak bisa lagi menerjemah nada suaranya.

 

"Kenapa kau bersedia menyelamatkan ayahku, sementara ayahmu ingin membunuhnya?"

 

Aku menelan ludah. Apakah itu satu-satunya yang ingin ia tanyakan setelah semua ini?

 

Aku ingin menjelaskan. Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak peduli perang mereka. Tidak peduli kebencian yang diwariskan oleh darah. Bahwa satu-satunya alasan  aku masih bernapas di sini, adalah karena dia. Tetapi lidahku kelu. Suaraku patah. Aku menggeleng, lalu menunduk. Bahuku bergetar. Air mata yang kutahan sejak berhari-hari lalu, sejak pertama kali melihatnya kembali dalam wujud yang tak mengenalku, akhirnya runtuh.

 

"Aku merindukanmu, Moana..."

 

Aku tidak tahu apakah suaraku terdengar. Aku tidak peduli. Aku sudah terlalu lelah menahan ini semua sendirian.

 

"Aku merindukanmu..." suaraku akhirnya pecah, patah berkeping-keping. "Sangat... sangat merindukanmu."

 

Aku merangkak mendekatinya, tanganku ingin meraih gaunnya, ingin memastikan bahwa dia memang nyata. Bahwa ini bukan hanya ilusi yang dimainkan waktu untuk menyiksaku terus menerus. Tapi sebelum jari-jariku menyentuhnya, sebuah bentakan menggema.

 

"Menjauh dari Tuan Putri!"

 

Aku bahkan tidak sempat mengangkat kepala saat tendangan keras menghantam tubuhku. Aku terhuyung, jatuh lagi ke lantai, udara terhempas dari paru-paruku. Kenapa mereka tidak tahu terima kasih? Setidaknya berikan aku waktu dengan Moana.

 

Tidak. Aku tidak peduli. Aku merangkak lagi, lebih dekat, meski setiap inci tubuhku menjerit kesakitan. Aku hanya ingin merasakan hangatnya wanitaku, meski hanya di ujung jari.

 

Akhirnya aku berhasil meraih ujung gaunnya, memegangnya erat, seolah itu satu-satunya hal yang menahanku untuk tidak tenggelam ke dasar lautan luka.

 

"Moana..." bisikku parau.

 

Sebuah cahaya melintas di matanya, sesuatu yang samar, sesuatu yang hampir kukenali. Tapi hanya sekejap. Karena detik berikutnya, prajurit di belakangnya menghunus pedang, menempelkannya ke leherku. Dan Moana masih menatap penuh pertanyaan, matanya seperti mengatakan, “Kau benar-benar telah menyelamatkan ayahku.”

 

***

 

Malam di lautan bukanlah sekadar kelam, nyala perang  tak pernah padam. Ombak menjerit, langit tersayat oleh kilat, dan kapal-kapal yang bertarung menari dalam pusaran takdir yang tak bisa dihindari.

 

Di tengah itu semua, Moana berdiri tegap di haluan, rambutnya berkibar liar seperti bendera perang yang menantang langit.  Pedang di tangannya mengkilat, merindukan luka baru.

 

"Arahkan haluan ke barat laut!" suaranya melintasi badai, mengalahkan riuhnya pertempuran. "Jangan biarkan mereka menerobos lebih jauh!"

 

Para prajuritnya mengangguk, mata mereka menyala dengan keyakinan yang Moana tanamkan.

Mereka tahu, sang putri mahkota bukan hanya pemimpin, tapi nyawa dari lautan itu sendiri.

 

Namun, takdir sering kali berteriak lebih lantang daripada gemuruh perang. Karena ketika Moana menoleh, dia melihat seseorang. Sosok itu. Bukan prajurit biasa, bukan musuh yang bisa dia abaikan. Tapi seorang raja, pemimpin kerajaan lawan, dan lebih dari itu, ia adalah ayah dari seseorang yang seharusnya telah mati di geladak kapal ini.

 

Ah, itu ayahku.

 

Pria itu menerobos perisai, menangkis tombak-tombak yang dilemparkan ke arahnya. Dalam genggamannya, pedang panjang berlumur darah. Tatapannya penuh murka, bukan hanya untuk kerajaan ini, tapi untuk putri mahkota.

 

"Putri Moana Kaane," suaranya berat, lebih menusuk daripada baja. "Kaulah duri yang harus dicabut. Perang ini tak akan berakhir selama kau masih bernapas."

 

Moana mengangkat pedangnya, bibirnya melengkung dalam senyum yang tak kalah tajam.

"Kalau begitu, cabutlah aku," tantangnya. 

 

Mereka beradu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tak bisa memikirkan konsekuensinya.

 

Baja bertemu baja, percikan api membuncah di udara yang sudah sesak oleh kematian. Moana lincah, menghindari setiap serangan dengan tarian yang hanya dimiliki oleh mereka yang lahir untuk lautan. Pedangnya menari, dan beberapa kali dia hampir menang, hampir, tapi belum cukup.

 

Lalu sebuah kesalahan terjadi. Hanya sepersekian detik. Sebuah gerakan yang sedikit terlambat, sebuah pijakan yang goyah. Dan dalam waktu yang tak lebih panjang dari hembusan napas, pedang sang raja berhasil ke menyentuh dagingnya. Moana sudah berusaha menghindar. Tapi terlambat. Besi dingin merobek kulitnya. Rasa sakit sepertinya datang lebih lambat dari darah yang mulai beringsut keluar. Dia tersentak. Lututnya hampir goyah. Tapi Moana adalah samudra, dan samudra tidak runtuh hanya karena satu luka.

 

Moana menarik napas tajam. Darah hangat merembes ke pakaiannya, tapi dia tetap berdiri. Dia tak akan jatuh. Setidaknya bukan sekarang. Bukan di hadapan musuh.

 

“Moana!”

 

Pedang ayahku terangkat lagi, menghunjam udara dengan niat yang lebih kejam. Dan aku berlari, lalu berdiri di antara mereka. Tanganku terangkat, tubuhku memagari Moana yang mulai melemah. Aku tahu, sekali tebasan lagi, mungkin dia tak akan selamat.

 

"Tidak!" suaraku menggelegar, mengalahkan deru angin dan pekikan perang. "Takkan kubiarkan kamu membunuh kekasihku!" Seperti petir yang membelah cakrawala, kata-kataku menghantam lebih keras daripada senjata apa pun di medan pertempuran.

 

Moana terkejut.

 

Ayahku terkejut.

 

Prajurit-prajurit di sekeliling kami terpaku, seolah waktu membeku di antara geladak kapal yang penuh dengan sisa pertempuran.

 

Aku bisa melihat di mata ayahku, kesakitan yang lebih dalam dari luka mana pun yang pernah ditorehkan perang padanya. Tangannya yang berlumur darah gemetar, bukan karena takut, tapi karena ketidakpercayaan.

 

"Apa maksudmu?" suaranya serak, nyaris tak terdengar di antara debur ombak.

 

Tangan kasarnya meraih bahuku, menarikku menjauh dari Moana, seolah ingin memastikan bahwa aku masih putranya, bahwa aku masih ada di pihaknya. Tapi aku tak bergeming.

 

Aku memilih untuk memeluk Moana erat-erat, merasakan detak jantungnya yang mulai melemah, nafasnya mulai berat. Tanganku menyentuh wajahnya yang dingin, darahnya masih mengalir di bahu, dan hatiku terasa lebur.

 

“Pangeran Neo…”

 

“Moana…” bisikku, suaraku serak menahan sedu sedan. 

 

Lalu aku berbicara, bukan kepada ayahku, bukan kepada prajurit-prajurit yang menyaksikan, tapi hanya untuk Moana. Untuk perempuan yang telah membuat hatiku menjadi lautan, tempat segala gelombang kasih berlabuh.

 

"Aku adalah gelombang yang lahir dari namamu

Pasang dan surutku mengeja jejakmu

Aku adalah angin yang tersesat dalam nadimu

Menghembuskan rindu yang tak pernah menemukan senyap

 

Jantungku berdetak bukan untuk hidup

Melainkan untuk mengalirimu seperti sungai yang lupa jalan pulang

Sebab kaulah laut yang tak pernah selesai kucintai Tanah yang tak pernah lelah kutuju Takdir yang tak ingin kusingkapkan akhirnya.”

 

Matanya yang redup menatapku, bibirnya bergetar seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi hanya keheningan yang jatuh di antara kami. Aku menarik nafas dalam-dalam, memejamkan mata. Jika dia pergi saat ini, maka aku akan mengikutinya. Dan aku akan menikamkan pedang ini ke dadaku sendiri, agar tak ada lagi dunia yang bisa memisahkan kami.

 

Ayahku melihat itu semua.

 

Wajahnya yang terbiasa dingin kini berubah kelam. Aku melihat guncangan di sana, retakan di mata seorang raja yang terlalu lama hidup dalam perang, terlalu lama percaya bahwa cinta hanya membuat manusia lemah.

 

"Lindungi dia dan bunuh aku," kataku lirih, tetapi setiap kata berpendar seperti api di udara. Ayahku mengatupkan rahangnya. Lalu, dalam satu isyarat yang tak terduga, tangannya terangkat ke udara.

 

"Semua prajurit," suaranya terdengar seperti reruntuhan istana, berat dan penuh luka. "Mundur. Kembali ke kapal."

 

Prajuritnya, kerajaannya, seluruh pasukan yang dibawanya ke kapal ini, mereka semua memandangnya dengan bingung. Tapi tak seorang pun berani membantah. Satu per satu, mereka menurunkan senjata. Langkah-langkah berat menggema di geladak, suara dayung mulai mengayun, dan kapal-kapal kerajaan perlahan menjauh dari pandangan.

 

Sebelum pergi, ayah menatapku dan menatap Moana yang ada dalam dekapanku.

 

"Aku tak mengenalmu lagi," katanya lirih.

 

Aku hanya diam.

 

***

 

Semenjak aku menyelamatkan Raja Kaelani, tak ada yang menahanku merawat Moana. Bahkan Moana pun tak pernah sinis kepadaku. Sudah beberapa hari aku merawatnya karena ia demam, akibat dari lukanya. Aku mengganti kain di dahinya. Aku juga mendekatkannya ke api kecil di tengah ruangan agar dia tidak merasa dingin. Jemarinya masih lemah, tapi ketika aku menyentuhnya, ada denyut halus yang menegaskan bahwa ia masih di sini. Bahwa aku belum kehilangannya.

 

Jika malam menjahit sunyi di dadamu

Akan kusembunyikan cahaya di sela-sela nadimu

Lalu kau temukan aku dalam tiap detaknya

 

Jika gelap menutup matamu

Akan kutitipkan namaku di kelopaknya 

Agar saat kau terjaga, akulah yang pertama mekar dalam pandanganmu

 

Moana membuka mata perlahan, bola matanya yang dulu bercahaya kini redup, tapi masih ada sesuatu di sana, sebuah kesadaran yang kembali menyalakan dirinya.

 

"Kau masih di sini…" Suaranya serak, hampir seperti gumaman.

 

 "Tentu saja. Aku berjanji tidak akan pergi."

 

Dia mengangkat tangannya perlahan, mencoba menyentuh pipiku, tetapi tangannya terlalu lemah. Aku menangkapnya sebelum jatuh, menempelkannya ke dadaku, membiarkan dirinya merasakan detak jantungku yang masih memanggil namanya.

 

Jika jiwamu terluka, akan kubalut dengan nyawaku

Jika semesta ingin memisahkan kita, akan kutulis ulang jalan hidupku

Agar di setiap kelokan takdir, aku tetap menemukanmu

 

Moana menutup matanya sesaat, bukan karena lelah, tetapi karena hatinya mulai berbicara lebih keras dari pikirannya. Aku bisa melihatnya dari caranya menghela napas, dari caranya menahan sesuatu yang mungkin belum ingin ia akui.

 

Dia  membuka matanya kembali. " Pangeran Neo…"

 

"Apa?"

 

Dia tidak langsung menjawab. Bibirnya bergetar, seakan ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan tetapi terperangkap dalam keheningan.

 

Lalu, dengan suara yang hampir seperti bisikan, dia berkata, "Aku merasa… ingin kamu tetap di sini."

 

Aku menggenggam jemarinya lebih erat, dan untuk pertama kalinya sejak badai menghempaskanku ke dunia ini, aku seperti tak perlu lagi mencari jalan pulang. Karena di sinilah rumahku. Bersama Moana.

 

Jika kau adalah laut yang tiada bertepi

Biarkan jiwaku menjelma perahu tanpa nakhoda

Terombang-ambing tanpa tahu di mana daratan

 

Jika kau angin yang menyesatkan

Aku akan melucuti dayungku

Menyerahkan diri pada pusaranmu

Sebab ke mana pun arus menggiringku

Aku tahu, aku hanya akan karam di palung matamu

 

***

 

Pagi menyingsing dengan lembut. Langit masih menyimpan sisa warna merah muda yang berbaur dengan biru keperakan, seperti sapuan tangan dewa yang enggan menghapus jejak mimpi. Ombak berayun perlahan di bawah kapal, mendendangkan irama tenang yang seolah mengantarkan dunia menuju sesuatu yang baru, sesuatu yang tak terucapkan, tapi bisa dirasakan.

 

Di kejauhan, kapal-kapal yang membawa panji ayahku telah berlayar pulang. Tak ada pertempuran. Tak ada sorak kemenangan atau ratapan kekalahan.

 

Mereka hanya pergi.

 

Mungkin, baginya, tak ada gunanya bertempur lagi ketika putranya memilih berdiri di pihak musuh. Atau mungkin, ia memahami sesuatu yang lebih besar dari perang, bahwa pertempuran sesungguhnya bukan tentang siapa yang berkuasa, melainkan tentang siapa yang berani menyerahkan hatinya.

 

Dan aku? Aku tetap di sini. Berdiri di tepi kapal, membiarkan angin menari di rambutku, membiarkan dadaku mengembang oleh sesuatu yang lebih luas dari samudra itu sendiri.

 

Lalu aku mendengar langkah. Langkah yang lebih ringan dari angin, lebih lembut dari buih ombak, tapi cukup untuk membuat seluruh nadiku bergetar sebelum aku menoleh.

 

Moana.

 

Dia sudah berdiri di belakangku, diam, seperti menunggu sesuatu. Cahaya pagi jatuh di rambutnya, membuatnya terlihat seperti dewi yang baru turun dari langit. 

 

"Ternyata kau tak pergi." Suaranya pelan, hampir seperti angin yang takut mengusik pagi.

 

Aku menggeleng. "Tidak akan pernah."

 

Dia menelan ludah, lalu berjalan ke sisiku. Angin laut mengacak rambutnya, membuat helaian hitam itu menari di udara. Tapi matanya tertuju padaku, mata itu menyimpan badai, sekaligus seluruh ketenangan dunia.

 

"Aku ingin mengatakan sesuatu."

 

Aku diam menunggu.

 

Moana menarik napas, lalu menatap cakrawala sejenak, seolah mencari keberanian di antara gelombang yang jauh. Kemudian dia menoleh.

 

"Aku selalu mengira diriku adalah lautan. Liar, tak bisa dimiliki dan tak bisa dipeluk." Jemarinya menggenggam pagar kapal, erat, seakan jika dia melepaskan, dia akan jatuh ke sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. "Tapi ketika aku bersamamu, aku mulai berpikir… mungkin aku bukan lautan."

 

Aku menatapnya lembut. "Lalu apa?"

 

Dia kembali menelan ludah dan menatap mataku lebih dalam. "Mungkin aku hanyalah kapal yang tersesat. Dan kau adalah bintang yang selalu kutolak untuk kutatap. Padahal aku membutuhkanmu."

 

Hatiku mencelos. Ada sesuatu di dadaku yang mencair begitu saja, seperti salju yang akhirnya menyerah pada musim panas.

 

Aku tersenyum kecil. "Maka tataplah aku sekarang."

 

Moana terdiam, dia terus menatap. Lama dan cukup dalam. Seolah ingin mengukir wajahku di jiwanya, seolah takut waktu akan mencuriku darinya

 

Aku menyentuh pipinya, ibu jariku menyusuri bekas luka kecil yang nyaris tak terlihat di sana.

Dan dengan suara yang lebih dalam dari laut itu sendiri, aku berkata: 

 

"Jika kau adalah kapal yang tersesat, maka aku adalah angin yang menghembuskan rinduku di layar, mengantar langkahmu tanpa paksa.

 

Jika kau enggan menatap bintang, maka aku akan menjadi langit yang rela kosong, menunggumu menorehkan cahaya di dadaku.”

 

Moana menarik napas sejenak, lalu menyentuh dadaku.

 

"Jika kau menjadi angin yang ingin menggiringku pulang, maka aku adalah layar yang mengembang tanpa ragu, menari dalam dekapmu, menyerahkan diri pada setiap hembusanmu.

 

Jika kau menjadi langit yang setia menungguku, maka aku adalah malam yang tenggelam dalam pekatmu, membawa rembulan sebagai isyarat bahwa aku akhirnya kembali.”

 

Aku terkekeh pelan, tapi ada sesuatu di tenggorokanku yang tercekat oleh keindahan kata-katanya.

 

"Maka, Moana…" Aku mendekatinya. "Jatuhlah padaku. Seperti malam yang jatuh ke bumi, seperti ombak yang jatuh ke pantai, seperti hati yang tak pernah bisa menolak takdirnya."

 

Dia menutup matanya sejenak, lalu membukanya kembali dan saat itu, aku tahu dia telah jatuh.

 

Lalu dia menarik tengkukku, dan tanpa ragu, bibirnya menyentuh bibirku, lembut, seperti memberi ruang bagiku untuk mundur. Tapi aku tidak melakukannya. Aku malah menariknya lebih dekat, menciuminya lebih dalam, membiarkan setiap hela napasnya menyusup ke dalam hatiku.

 

Tangan Moana naik, menyentuh dadaku, awalnya hanya sekilas, lalu semakin mantap. Jemarinya bergerak perlahan, menelusuri tiap lekuk yang tertutupi kain. Lalu, dengan satu tarikan napas, tangannya menyelinap masuk ke dalam bajuku. Sebuah desahan lolos dari bibirku, antara keterkejutan dan sesuatu yang lain. Sentuhannya begitu nyata, begitu hangat, seakan ia sedang mencari sesuatu di balik kulitku. Jantungku berdegup di bawah telapak tangannya, dan aku tidak tahu apakah ia merasakannya juga. Tapi aku merasakannya. Aku merasakan setiap inci kehadirannya, setiap sentuhan yang seolah menghapus jarak yang pernah ada di antara kami.

“Neo…” Seseorang menarik tanganku begitu keras, hingga aku terjerembab. Kemudian, gelap.

***

Aku membuka mata, napasku tersengal. Rasa nyeri di dada langsung menyergap, seolah mengingatkanku pada sesuatu. Aku terdiam sejenak, mencoba merangkai kepingan ingatan yang masih berserakan. 

Petir. Aku terjatuh. Dadaku menghantam sesuatu. Aku meraba, permukaannya kasar, ada luka kecil yang belum kering. Perihnya tipis, nyaris sepele, tapi ada sesuatu di dalamnya yang koyak.

Sesuatu yang tak bisa dijahit oleh waktu atau akal sehat.

Mataku mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya lembut yang merembes masuk melalui jendela bundar di dinding. Udara pagi terasa hangat dan asin, membawa aroma laut yang bercampur dengan bau kayu basah dan ramuan obat. Aku berada di ruang rawat kapal, ruangan luas dengan dinding kayu mahoni yang berukir, dipoles hingga mengkilap. Tirai linen putih melambai di sekitar tempat tidur, menari pelan diterpa angin pagi.

Meja di ruangan dipenuhi oleh botol kaca dengan cairan keemasan dan hijau zamrud, beberapa gulungan kain perban berserakan di sampingnya. Ada sebuah lemari besar di pojok, pintunya setengah terbuka, menampakkan barisan buku dan gulungan catatan. Serta ada sesuatu yang mengingatkanku pada … Moana!

Darahku berdesir, tubuhku bergerak sebelum logikaku sempat mengejarnya. Aku bangkit dengan kasar, selimut linen terjatuh dari tubuhku. 

"Moana!" suaraku serak, hampir putus. Aku melangkah terhuyung ke luar, melewati ambang pintu yang terbuka lebar.

 "Moana! Moanaaa!"

Geladak kapal menyambutku dengan cahaya matahari pagi yang keemasan. Tiang layar menjulang tinggi, kainnya berkibar pelan dihembus angin. Laut membentang sejauh mata memandang, biru, luas, tanpa batas. Seolah-olah dunia ini hanya terdiri dari ombak yang bergulung dan langit yang jauh.

Aku mencari wajah yang kukenal di antara hembusan angin dan bayangan yang bergerak di geladak. Beberapa awak kapal menoleh, ada yang terkejut, ada yang menundukkan kepala.

Langkah-langkah kecil terdengar dari arah lain, tapi tak ada suara yang menjawab panggilanku.

Moana tidak di sini.

Tanganku gemetar, mencengkeram pagar kapal dengan sisa tenagaku yang sia-sia. Lalu, seseorang menarikku dari belakang, "Neo."

Aku menoleh, dan mata Revan menatapku dengan sesuatu yang tajam, bukan amarah, bukan kasihan, tapi sesuatu yang lebih dalam.

"Sudah." Suaranya lirih tapi menusuk. "Berapa lama lagi kau akan menolak sesuatu yang tak bisa kau ulang?"

Aku terdiam. Lalu, segalanya runtuh. Moana telah pergi. Dan aku, aku telah kembali ke dunia yang bahkan tak menyisakan namanya. Hanya menyisakan luka yang tak bisa kusembuhkan, dengan rindu yang tak akan pernah dijawab.

Namun, bukankah beberapa menit yang lalu, aku …. Aku mengusap bibir, bukan sekadar mengusap. Aku mencoba mencari sisa hangatnya, memastikan bahwa sentuhan itu bukan sekadar mimpi. Jemariku turun ke dada, menyisir titik kosong yang kurasa pernah disentuhnya.

Lalu, ada sesuatu di saku bajuku. Gerakanku membeku. Aku tidak ingat menyimpan apapun di sana. Dengan enggan, tanganku merogoh, menarik keluar selembar kertas yang sudah lecek.

Tulisannya mengalir di atas serat kertas, samar, tapi nyata. Aku membaca. Lalu seketika aku tahu, ini bukan sekadar tinta yang tertoreh di atas kertas. Ini Moana, ia berbicara kepadaku dengan suara yang tak bisa kudengar, hanya bisa kubaca, tapi sanggup melumatkan seluruh keberadaanku. Tulisan tangan itu mengukir kalimat yang membuatku ternganga.

 

Sejarah telah membakar kisah

Lalu menyerahkan abunya pada angin

Ia juga membangun jembatan 

Namun menghanguskannya sebelum kaki kita menginjak Lihatlah kita…

sepasang nama yang dipahat dalam dua cakrawala yang tak bisa berciuman

 

Jika dunia ini menolak memberi kita ruang

Maka semesta lain akan membangkang pada takdir

Merajut ulang benang kisah yang pernah tercerai

Sebab meskipun sejarah bersikeras menjadikan kita puing

Ada yang lebih perkasa dari riwayat

Sesuatu yang membuat langit tak pernah lupa pada laut

Sesuatu yang membuat gelombang selalu pulang pada pantai

Itu adalah kita

 

Jika dadamu masih bergemuruh oleh namaku

Jika malammu masih berkabut oleh siluetku

Jangan cari aku di peta

Aku telah melampaui garis yang bisa dijangkau manusia

Jika jiwamu masih haus akan kehadiranku

Jika nadimu masih berdenyut dengan namaku

Maka datanglah ke laut

Berdirilah di bibir pantai yang dulu mengulum jejak kita

Padahal

Bisikkan namaku

Bukan pada udara

Tapi pada air yang tak pernah berdusta

Jika dunia kali ini bersekongkol dengan takdir

Aku akan pulang bersama angin

Menyelinap dalam desir

Lalu menyentuhmu diam-diam

Akan kubuat kita menjadi legenda yang menolak tenggelam

 

Aku tersenyum dan mencium lembaran itu. Mataku mengukur luasnya lautan,  menatap ombak yang tak henti berlarian. Ah, Sayang… tunggu aku di samudera yang lain. Aku akan terus menyatu dengan lautan, sebab hanya gelombanglah yang tahu cara merengkuh jiwaku. Aku tak ingin pulang, pelayaran ini  takkan pernah berakhir.

 

Punik, 22 Maret 2025



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url