Yang Tumbuh dari Impian yang Kering - Layla Nusayba
Juara 2 Event Sailing
Yang
Tumbuh dari Impian yang KeringLayla Nusayba
Di
hutan
Danau
membara
Airnya
mendidih
Tanah
tak lagi bisa ditanami
Sepasang
belibis
Kian
ceking kian hari
Kus mengisap dalam-dalam rokok lintingan berisi daun singkong kering, lalu mengembuskan asapnya yang tak enak itu perlahan-lahan. Ia tatap telapak tangannya, melihat jari-jemari kotornya. Terdapat goresan rumput liar dengan titik-titik darah. Ke arah kakinya yang tanpa alas, rupanya tak berbeda. Rumput jarum yang tidak sengaja ia pegang atau injaklah yang telah membikin luka-luka itu.
Kus lantas melempar batang rokok yang makin pendek dan membuat sela jemarinya terasa panas, kemudian menghela napas. Bangkit, Kus menyarungkan golok ke sisi pinggang. Dengan sebelah tangan menggenggam tombak, Kus meninggalkan rindangnya bawah pohon tempatnya duduk bersandar sedari tadi. Kus kemudian melangkah, lesu, menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dedaunan dan ranting kering. Teringatlah lagi ia ucapan Ritis, istrinya, sebelum berangkat berburu.
“Sudah tak ada apa pun yang bisa kita makan, Kang.”
Mata Ritis seperti langit mendung yang siap menumpahkan hujan saat itu. Hati Kus tersayat. Tanpa menjawab, bergegaslah ia mengambil peralatan berburu di dapur, yang dinding biliknya sudah bolong-bolong termakan usia. Rumah itu merupakan peninggalan orang tuanya; emaknya meninggal dua bulan lalu, bapaknya lama mati diserang binatang buas saat berburu.
Sebenarnya Kus merasa tak enak hati dengan Ritis. Sejak menikahi perempuan pujaannya itu ia belumlah mampu membahagiakannya. Terlebih lagi, orang tua Ritis dulu sempat menolaknya. Di pulau terpencil itu, mertuanya adalah orang yang berkecukupan. Keluarga Ritis hidup dari hasil beternak ayam dan berkebun.
“Mau kau kasih makan apa anakku, Kus? Memberi makan emak dan dirimu saja kau tak mampu!” Emak Ritis mendengkus. Tatapan tajamnya melucuti nyali Kus yang duduk sambil meremas lutut.
“Aku akan berusaha membahagiakannya,” jawab Kus dengan sedikit keraguan.
“Dengan apa? Tempat tinggal saja kau tak punya!”
Kus terdiam, menyadari perkataan emak Ritis itu nyata tidak keliru. Ia sadar diri, mafhum, bila ucapannya terdengar seperti bualan belaka. Kus memang tak memiliki apa-apa, hanya pekerja serabutan dengan upah seadanya.
“Dengan apa, ha?” ulang emak Ritis.
Kus makin meremas lututnya. Di saat yang sama, bapak Ritis menghela napas, bangkit, dan pergi begitu saja.
Merasa lamarannya ditolak, Kus memutuskan pamit. Tangannya mengepal. Badai membeludak di kepalanya. Ia merasa terhina karena kemiskinannya. Sementara itu, Ritis yang sejak tadi meneteskan air mata di ambang pintu kamarnya yang setengah terbuka, tak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggerak-gerakkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu.
Siapa sangka, malam harinya Ritis mendatangi rumah Kus secara diam-diam, membelah keremangan. Kus yang membukakan pintu terbelalak tak percaya.
Segera, matanya menyusuri keadaan sekeliling demi memastikan keadaan cukup aman, lalu meminta kekasihnya itu untuk segera pulang. Sayangnya, Ritis menolak. Ia malah mengunci pintu, menarik lengan Kus memasuki kamar yang pintunya terbuka lebar.
Mereka lantas duduk di dipan. Di bawah cahaya redup lampu minyak, wajah Ritis tampak resah. Matanya sembab, dan jemarinya saling remas. Untuk sesaat keduanya terdiam, hanya terdengar suara jangkrik dan cicit anak ayam di luar rumah.
“Tak seharusnya kau berada di sini, Tis.” Kus memulai, menatap kekasihnya lekat-lekat. Ingin betul ia memeluknya, tapi penolakan orang tua Ritis membuatnya merasa harus cukup tahu diri.
“Hanya ada satu cara agar kita segera dikawinkan, Kang.”
Kus kembali membelalak. Jantungnya berdebar kian kencang. Ia tahu apa yang dimaksud kekasihnya itu.
“Jangan macam-macam. Orang tuamu bisa menanggung malu.” Kus menghela napas.
“Aku tak peduli. Mereka hendak mengawinkanku dengan lelaki lain.”
Memanglah selepas kepulangan Kus dari rumahnya siang itu, orang tua Ritis memarahinya habis-habisan, mengatakan akan menikahkannya dengan lelaki yang jauh dianggap layak dari Kus. Saat itu Ritis menjatuhkan tubuhnya ke lantai papan, mengiba, tapi orang tuanya seolah-olah tak mau peduli. Itulah sebabnya Ritis menyambangi rumah Kus di tengah malam ketika orang tuanya sudah terlelap.
“Mungkin lelaki itu bisa membahagiakanmu, Tis.” Suara Kus nyaris tak terdengar. Hatinya bagai dirajam ribuan tombak. Ingin ia mengatakan tidak rela, tapi apa yang bisa ia berikan untuk sang pujaan hatinya?
Alih-alih menjawab, Ritis memangkas jarak di antara mereka sambil menanggalkan pakaiannya, lalu melabuhkan dirinya dalam pelukan Kus. Tubuh Kus menegang. Ingin menolak, tapi nyatanya ia menikmati apa yang Ritis lakukan. Perlahan tapi pasti, otaknya tak bisa lagi berpikir jernih. Sebagai pejantan yang memiliki berahi, ia pun membiarkan iblis dalam diri menuntunnya.
Dalam desah napas keduanya, pertemuan-pertemuan mereka menari-nari di kepala Kus. Bagaimana Kus memandangi perempuan itu ketika sedang mencuci kain di sungai, lantas mengantarnya pulang sambil sesekali menggodanya. Pun ketika mereka diamdiam sering bertemu di tepi hutan ketika Kus hendak berburu. Dan di sanalah Kus mengungkapkan isi hatinya.
Saat itu segala gejolak yang semula terasa mendesak di kepala Kus perlahan-lahan mengurai selepas mengungkapkan perasaan. Terlebih lagi ketika mendengar jawaban dari pernyataannya. Jawaban itu seolah-olah turun dari nirwana, membawa titik-titik embun yang khusus untuk Kus, si musafir yang hampir mati sebab terserang dahaga cinta di padang gurun.
“Tis ...,” bisik Kus mesra.
Ritis membalas lebih gila, semakin gila, dan itu terus berlanjut hingga keduanya terlelap seiring malam yang beranjak makin larut.
Keesokannya, gedoran di pintu membikin emak Kus bangkit dari dipan. Ia lantas berjalan tertatih-tatih membuka pintu. Cahaya matahari menyambut, membuat mata tua kusamnya mengerjap-ngerjap. Sementara itu, di hadapannya sudah berdiri kedua orang tua Ritis dengan wajah penuh amarah.
“Ada apa ini?” Suara emak Kus parau. Selain terkejut, ia ketakutan.
“Geledah rumahnya, Pak. Aku yakin Ritis berada di dalam!” Tanpa menunggu persetujuan si pemilik rumah, orang tua Ritis menerobos masuk, melewati emak Kus dengan kasar sehingga perempuan tua itu sedikit terhuyung. Mereka langsung menuju kamar Kus.
Emak Ritis berteriak histeris saat mendapati anak semata wayangnya duduk bersisian di dipan bersama Kus, apalagi mendapati tubuh anaknya hanya ditutupi sehelai kain.
“Ritis!” pekik perempuan itu seketika, yang kontan mengundang tetangga segera ke sana.
Emak Kus yang turut memasuki kamar pun terkesiap. Ia bergumam lirih sambil memegangi dadanya. Semalam, mungkin tersebab kelelahan sehabis bekerja di kebun orang, ia terlelap seperti orang mati. Ia tak tahu bila Ritis berada di rumahnya.
“Kurang ajar! Aku tak sudi bermantukan pemuda sepertimu!” Emak Ritis memukulmukul Kus. “Kau pasti sudah meracuni pikiran anakku.”
Sambil menjauhkan istrinya dari Kus, bapak Ritis menyuruh anaknya mengenakan pakaian. Lalu, ia meninju wajah Kus hingga hidung lelaki itu mengeluarkan darah.
Ritis berteriak, “Hentikan, Pak! Aku yang meminta Kang Kus meniduriku!”
Bapak Ritis terdiam. Orang-orang yang berada di sana saling pandang.
Tiga hari berselang, ketua adat terpaksa menikahkan Ritis dengan Kus. Ini sesuai adat yang berlaku jika ditemukan seorang pemuda merenggut keperawanan seorang gadis. Mau tidak mau, suka tidak suka, orang tua Ritis tak kuasa menolak lagi.
Wajah perempuan itu berbinar meski tahu setelahnya ia tak dianggap lagi sebagai anak. Namun, tidak dengan Kus. Ia tampak murung dan digelayuti perasaan malu sebab telah mencoreng wajah emaknya, yang bahkan terpaksa memotong induk ayam satu-satunya demi merayakan hari bahagia anaknya itu.
Kehidupan mereka setelahnya pun tak baik-baik saja. Banyak ucapan tak enak yang terdengar telinga Kus, yang tidak jarang membikin ia geram. Selain itu, warga pun mulai banyak yang menolak menggunakan jasanya untuk berkebun karena dianggap sebagai aib kampung yang memalukan. Sebab ini, hidup mereka makin susah untuk sekadar mengganjal perut tiga kali sehari. Itu belum lagi ditambah emaknya yang sakit-sakitan, kemudian meninggal tak lama kemudian. Mungkin jantung tuanya sudah tidak kuat melawan dunia yang berisi gunjingan demi gunjingan.
Tersebab itulah tak ada lagi obrolan, pelukan hangat, atau desah napas memburu di dipan ketika malam. Kus tak pernah lagi menggoda Ritis hingga tertawa. Kus yang merasa sakit hati sekaligus kehilangan menjadi lebih banyak diam. Menanggapi ini, Ritis memilih tak banyak bicara meski sorot mata perempuan itu menampakkan kesedihan mendalam.
Suatu hari tersiarlah kabar bahwa pemerintah pusat sedang mengadakan program transmigrasi. Bagi Kus, itu merupakan kesempatan untuknya keluar dari kampung dan menata hidup baru bersama Ritis di luar sana.
Maka, ketika Kus berjalan keluar dari hutan sore itu tanpa membawa hasil buruan, tekadnya untuk mengikuti program transmigrasi makin kuat. Kepalanya dipenuhi harapan dan gambaran akan bagaimana kehidupan transmigrasinya nanti. Sekarang semua keputusan ada di tangan Ritis. Kus takut istrinya itu tidak mau. Meski begitu, ia harus mengutarakan niatnya lebih dulu. Kalaupun Ritis tidak mau, perempuan itu masih punya orang tua. Tidak mungkin orang tuanya tak akan memaafkan Ritis seandainya berpisah dengan Kus.
Sesampainya di rumah, Kus langsung mengutarakan keinginannya itu kepada Ritis dengan semangat tapi juga hati-hati. Ia jelaskan rencana hidup mereka ke depannya. Istrinya itu mengangguk-angguk. Kus tersenyum dan meminta persetujuan. Rasa laparnya seolah-olah menghilang.
“Hidup kita akan menjadi lebih baik, Tis. Pemerintah menyediakan lahan kosong untuk kita olah di pulau sana.” Kus mencoba meyakinkan istrinya.
Ritis terdiam beberapa jenak, memperhatikan binar di wajah suaminya, lantas mengangguk. “Aku akan ikut ke mana pun kau pergi, Kang.”
Kus tersenyum lega. “Aku akan segera mengurus segala sesuatunya besok.” Kus segera berlalu ke belakang rumah, mencabut sebatang singkong yang tersisa untuk makan mereka. Sementara empat ayam yang sudah besar akan ia jual untuk bekal transmigrasi.
Tak
ada lagi air
Danau
dan hutan kering
Rerumputan
habis meranggas
Sepasang
belibis
Putuskan
terbang menempuh badai
Di sinilah mereka berada. Dalam perut sebuah kapal yang lumayan dipenuhi orangorang yang turut bertransmigrasi. Wajah-wajah yang terlihat letih di antara deru mesin kapal dan bau asin laut yang menyapa. Namun, di balik wajah-wajah kusam yang berasal dari berbagai kampung itu, terdapat juga harapan untuk hidup yang lebih baik.
Udara laut memenuhi paru-paru Kus dan Ritis yang berdiri di dek kapal sambil memandang kejauhan. Pulau tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan sudah tak terlihat pandangan. Kus menggenggam erat tangan istrinya seolah-olah menguatkan bahwa semua akan baik-baik saja.
Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Ketika Kus sibuk menata pikirannya di antara para penumpang yang sedikit berjejalan, Ritis tenggelam dalam obrolan bersama seorang lelaki yang baru dikenalnya di kapal. Dari lelaki itu ia merasa telah menemukan sosok Kus yang lain. Kus yang hangat. Kus yang penyayang.
Selama dua hari di perjalanan, obrolan itu makinlah intens. Kehadiran para penumpang tak mengganggu mereka sedikit pun. Tanpa sungkan, si lelaki mengajak Ritis melihatlihat kondisi kapal. Kus yang masih tenggelam dengan pikiran dan rencana hidupnya mengiakan saja agar sang istri tidaklah bosan. Lantas, keduanya berjalan di sepanjang lorong dek seraya bersenda gurau tanpa beban.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Akibat kedekatan itu, datanglah bencana di malam ketiga. Kejadian ini bermula dari Kus yang merasa sudah selesai dengan dirinya, lalu mencari-cari keberadaan Ritis. Saat itulah, ia dikejutkan oleh sesuatu yang lebih dari sanggup menghancurkan seluruh mimpi dan dunianya. Ia menemukan istrinya sedang bercumbu penuh hasrat dengan si lelaki di sudut dek.
Tubuh Kus berubah kaku. Deru mesin kapal dan angin kencang seolah-olah menertawakannya.
Ritis dan si lelaki yang akhirnya melihat keberadaan Kus buru-buru menyudahi perbuatan mereka. Keduanya tertunduk dan Ritis menangis.
“Tis?” Kus mengepalkan tangan kuat-kuat hingga otot-otot lengannya bermunculan. Napasnya pun memburu.
“Kau yang membuatku seperti ini, Kang! Kau tak lagi memedulikanku!” Ritis justru membela diri di antara isak tangis. Ia merasa bersalah, tapi sebagai perempuan muda ia membutuhkan kasih sayang dan nafkah batin.
Kus tak berkata lagi. Amarah menyelimutinya. Dengan kalap ia menghajar si lelaki dengan membabi buta. Lelaki itu tak melawan meski tubuhnya serasa remuk. Setelah puas melampiaskan emosinya, Kus segera berlalu dari sana. Tanpa kata, tanpa peduli pada Ritis yang mulai histeris.
Pada akhirnya, setelah tiba di tanah rantau, Kus memilih berpisah dengan Ritis. Mereka membelah sekoci yang dulu dibangun buru-buru itu, lalu membawanya ke kapal baru masing-masing.
O,
pawana
Memusar
di atas awan
Pasukan
belibis cerai-berai
Menjadi
santapan elang
Tersaji
di piring kenangan
Solo,
26 Maret 2025