PEMENANG BATTLE ROYALE
Dua peserta yang melaju ke putaran GRAND FINAL, Erlyna & Dyah Diputri, masing-masing mengirim tulisan yang menurut saya selaku penyelenggara naskah tersebut tidak layak berada di babak final. Dikatakan bagus, nggak begitu bagus. Dikatakan jelek pun, tidak terlalu jelek.
Cukup mengecewakan dan perlu dijadikan pelajaran bagi kita semua, jika sedang mengikuti lomba besar yang menuntut kualitas, bukan kuantitas alangkah baiknya jangan semua muanya mau, karena sangat berpengaruh terhadap kualitas naskah tersebut.
Diberikan fasilitas jumlah kata bebas bagusnya manfaatkanlah sebaik mungkin. Tujuannya adalah, agar peserta dengan bebas mengeksplorasi ide untuk mendapatkan hasil maksimal.
Kualitas naskah yang diterima oleh panitia pada putaran akhir masuk kategori medioker sangat jauh dibandingkan pada babak penyisihan sampai pertengahan. Kesetabilan atau ritme yang belum mampu dipertahankan oleh penulis membuat putaran akhir menjadi seperti biasa saja, tidak ada yang istimewa. Padahal, dari segi ide cukup bagus.
Salah satu finalis grand final yaitu, Dyah Diputri masih lemah dalam pembuatan opening. Beberapa naskah menurut saya buruk openingnya.
CATATAN JURI:
Mata Kata-Kata
Pada bagian awal, transisi ceritanya tidak disusun dengan baik, hingga melahirkan sedikit kebingungan, terutama pada bagian “Siapa tokoh utama di sini?”, sebab tidak ada kesan itu pada salah satu tokoh. Rasanya, tokoh-tokoh yang muncul di sini adalah tokoh utama, tapi diceritakan dengan porsi tokoh sampingan.
Bagian awal ini pun, terasa pekat dan lompat-lompat. Baru setelah nama Mahaya muncul, cerita berubah jadi encer, dan fokus narator langsung melekat ke arah Mahaya, membuatnya jadi tokoh utama. Hal ini membuat bagian awal tadi, atmosfernya terasa amat berbeda dengan bagian bawahnya.
Penulis pun rasanya ingin menyelipkan suspense dan plot twist di sini, tapi bagi saya itu gagal, tersebab kurang baiknya tatanan di dalam ceritanya.
Pada bagian awal sekali, ada gambaran serigala berbulu domba, yang mengisyaratkan ada seseorang yang memiliki penampilan atau perilaku baik dan tidak berbahaya di permukaan, tapi sebenarnya memiliki perilaku buruk atau berbahaya. Dan itu ada di salah satu karakter di dalam cerita ini.
Lalu cerita dimulai dengan suasana pemilihan nabi baru, di mana narator di sini bertindak sebagai si Sudut Pandang Orang Ketiga Maha Tahu (yang umumnya bersifat netral), tapi ketika sampai pada Mahaya, langsung berubah jadi si Sudut Pandang Orang Ketiga Terbatas, yang fokus pada Mahaya seorang.
Perpindahan sudut pandang yang tidak tentu ini, membuat narator yang mungkin ingin dibuat sebagai narator yang tidak bisa dipercaya oleh penulis, menjadi terganggu. Jika memang ingin membuat narator seperti ini, seharusnya sedari awal dibuat PoV3 Terbatas saja, atau malah PoV1 sekalian, agar lebih kokoh. Tapi karena di awal ada narator PoV3 Maha Tahu, membuat Narator yang tidak bisa dipercaya tadi, menjadi goyang, atau dalam kata lain tidak konsisten.
Dan faktor kegagalan twist ini, tidak hanya di sana, tapi juga di sisi bagaimana narator menceritakan sosok Mahaya dan tokoh lainnya, dan interaksi antar tokoh. Hampir sama masalahnya seperti di atas, kebohongan narator yang tidak bisa dipercaya ini, ketika menceritakan Mahaya (bagaimana reaksinya atas setiap peristiwa dan apa yang ia lakukan), tidak bisa dipercaya (tidak mampu menghasut pembaca, khususnya saya, kalau apa yang ia katakan adalah sebuah kebenaran), sehingga ketika kebenaran sejati itu diungkap, dan setiap perkataan narator selama ini adalah bohong belaka, tidak mampu mengeplak kepala saya.
Berbohong pun, harus konsisten, kalau tidak konsisten, yah, kebohongannya jadi tidak masuk akal, mudah ketahuan. Itu yang terjadi pada cerpen ini, yang mungkin, plotnya mau di-twist, tapi gagal, karena kurang pandainya narator dalam berbohong.
Kesimpulannya, narator di sini buruk dalam berbohong, sehingga ketika kebohongannya terungkap, saya sudah tidak terkejut lagi.
Dan satu lagi yang ingin saya katakan, pada bagian paling awal, bagaimana penulis menggambarkan sosok serigala, di sana dikatakan kalau di lemari serigala itu, ada banyak mantel tebal. Meski tidak secara jelas dikatakan, tapi kesan dari pemilihan kata-katanya, kalau mantel-mantel itu beraneka ragam, dan si serigala kali ini, memilih kostum domba.
Tapi di bagian paling akhir, gambarannya berbeda. Di sana digambarkan, kalau mantel-mantel itu semuanya berbulu domba. Apakah ada yang terlewat ketika saya membaca hingga tidak mampu menangkap maksud dari 2 bagian ini, atau memang ini adalah ketidakkonsistenan penulis?
Kotak Kebahagiaan Julie
Paragraf pertama ada inkonsistensi subjek dan objek.
=Saat hendak tidur siang, Mirea mendengar suara Julie memanggilnya.
Di kalimat pertama, subjeknya adalah Mirea dan objeknya adalah Julie.
=Daya sadar Mirea terentak sehingga ia batal memejam.
Di kalimat kedua ini, hal itu makin dikuatkan.
=Panggilan terus-menerus digaungkan dan belum berhenti jika wanita itu tak segera menemuinya.
Tapi di kalimat ketiga, malah tertukar. “Panggilan (Julie)” malah jadi subjek, sementara “Wanita Itu (Mirea)” malah jadi objek.
Hal tersebut membuat kesan narasinya jadi terpenggal dan menimbulkan kebingungan.
Hal serupa juga terjadi di beberapa bagian, seperti pada:
= Jangankan Julie, Mirea juga benci dengan anak itu. Tak sepantasnya ia hidup dan menyerobot jatah anak lain untuk mendapat orang tua adopsi. Maka, ketika Julie menyilakan masuk ke kamar anak itu, Mirea tak menyia-nyiakan kesempatan.
Kamar itu, kamar siapa dan siapa yang dipersilahkan masuk?
Kalau itu kamar Julia, dan disuruh masuk adalah Joy, agak ganjil. Tersebab mana ada tamu yang menyilakan masuk si empunya kamar?
Kalau itu kamar Joy dan Julia mempersilahkan masuk Mirea, juga terasa aneh. Sebab, dari awal paragraf, objek yang sedang diceritakan adalah Joy, dan subjeknya adalah Mirea, sementara Julie hanya sebagai pelengkap keterangan, tapi tiba-tiba malah berubah. Julie jadi Subjek, Mirea jadi keterangan, dan Joy jadi objek.
Perubahan status dalam satu paragraf yang tiba-tiba ini, membuat narasinya terasa terpenggal, dan menimbulkan sedikit kebingungan. Dan hal itu, terjadi di beberapa bagian di dalam cerita. Imbasnya, narasi psikologi yang hendak ditekankan oleh penulis di sini, tidak terasa, atau dalam kata lain, gagal. Terlebih, penulis memilih PoV yang lebih sulit diterapkan pada bentuk narasi yang seperti ini, di mana akan lebih mudah jika menggunakan PoV1.
Tambahan lagi, bagaimana cara Mirea membunuh 6 anak itu, terkesan biasa, bahkan terlalu biasa untuk level dunia nyata. Sementara ini kan khayalan Mirea sendiri, di mana khayalan tentunya memiliki level yang lebih tinggi. Dengan kata lain, seharusnya cara membunuhnya jauh-jauh lebih bagus dan menggetarkan, karena itu lahir dari dendam dan dieksekusi dalam bentuk khayalan (seorang penderita penyakit mental).
Kesimpulan:
Dengan segala plus minus kedua cerpen ini, cerpen pertama menurut saya lebih mending dari cerpen kedua.
Nataraja Mahasiwa
Cerpen yang berbentuk Cerita Bingkai ini, dihadirkan dengan cukup baik. Antara satu cerita dengan cerita satunya, dipadukan dengan cukup bagus. Meski demikian, porsi cerita Rumi terasa sangat sedikit, hingga membuatnya tidak memiliki kesan yang kuat. Sekedar cerita tentang seorang mahasiswi yang melihat orang-orang melakukan hobi yang selama ini ia tinggalkan.
Sementara untuk cerita Siwa sendiri, entah karena diceritakan oleh tokoh lain (bukan tokoh utama kita), atau memang penulis membentuk kesan yang sangat netral pada narator, sehingga cerita itu terasa sekedar cerita belaka (tidak memberikan kesan yang mendalam untuk pembaca, ataupun untuk tokoh).
Bisa saya katakan, ini bukan cerpen yang jelek, tapi juga bukan cerpen yang bagus-bagus amat. Sebuah cerpen yang enak untuk dibaca dan dinikmati, tapi masih belum mampu untuk memberikan kesan yang mendalam untuk dikenang selama beberapa waktu.
Tersebab Anjing
Cerpen yang memiliki refrain ini cukup unik dan menarik untuk diikuti, di mana bagian refrain dan bagian lain dari cerita di awal, terasa berjauhan, tapi makin lama jarak itu makin dipangkas hingga melebur jadi satu di bagian akhir.
Hal tersebut membuat kesan dualisme cerita, di mana cerita tentang macan dan anjing di seberang sungai bisa dikatakan cerita nyata, yang dialami langsung oleh kedua tokoh, baik itu Fahim Akbar dan Bapak Tua. Di sisi lain, jarak yang lebar di awal cerita membuat kesan lain, di mana Macan dan Anjing itu adalah metafora antara kedua tokoh dan dunia yang kejam (yang dilambangkan dengan Macan).
Mereka ini adalah seorang buangan, hidup sendirian dan memiliki status sosial dan ekonomi rendah, bagai anjing. Sementara kehidupan Bakri yang memiliki status sosial dan ekonomi tinggi, di mana bisa dengan mudah meraih mimpi atau apa pun yang diinginkan dengan mudah di dunia ini, diibaratkan seekor macan. Dua macan bersaudara itu pun bisa dikatakan adalah keluarga yang lengkap, sementara kedua tokoh ini adalah anjing sendirian, yatim piatu.
Perulangan kejadian di sungai secara tersirat menguatkan metafora tersebut, seperti ketika Bapak Tua menolong Bakri, kemudian Bakri yang menolong seekor anjing, dan kedua kejadian tersebut sama-sama mendapatkan ancaman dari seekor macan, meski keadaannya sedikit berbeda.
Cerita yang unik dan menarik untuk diikuti.
*Shin Elqi
• Mata Kata-Kata
Kesegaran Naskah
Cerpen ini menawarkan ide yang segar dan imajinatif: Nabi, serigala, domba, tokoh utama. Menjadi senjata hidup untuk mengajak pembaca langsung dibuat berpikir berulang-ulang untuk mengikuti runtutan alur dalam cerita ala-ala surealis. Ada keberanian untuk menciptakan warna baru, dengan logika yang khas cerpen-cerpen koran.
Teknik Bercerita
Penulis menunjukkan kontrol yang cukup baik terhadap alur dan struktur cerita semi-full surealis dalam mempersonifikasikan Nabi, ornamen serigala, domba dalam hubungannya dengan tokoh Mahaya.
Namun, di sisi lain, karena keberanian pada poin-poin di atas, ada bagian-bagian dalam cerita eksperimental yang beresiko— membuat pembaca perlu kerja ekstra untuk memahami cerita. Di titik-titik tertentu, teknik yang digunakan ini justru berisiko membuat pembaca merasa asing dengan cerpen semi-full surealis. Hal ini bisa sedikit menghambat kelancaran pemmbaca, sebab beberapa dialog seharusnya masih bisa dipertajam agar lebih mudah menyampaikan pesan melalui cerpen semi-full surealis.
Keberanian Bermain-main dengan Kekejaman Cerita
Mata Kata-kata berani menghadirkan bentuk kekejaman yang subtil namun sangat menusuk — tidak melulu lewat adegan fisik, tetapi lewat perusakan makna, pengkhianatan kata-kata, dan manipulasi mental. Kekejaman itu tidak sekadar dipertontonkan, tetapi diolah menjadi bagian penting dari perjalanan cerita
Ada beberapa bagian di mana eksplorasi kekejaman ini bisa lebih efektif jika dibangun lebih bertahap. Pada momen ending cerpen, cerita seperti melompat langsung ke akhir, buru-bur ingin menyelesaikan, tanpa memberi cukup ruang bagi pembaca untuk merasakan emosi lebih jauh lagi.
• Cerpen "Nataraja Mahasiwa"
Cerpen Nataraja Mahasiwa menarik perhatian sejak awal karena keberaniannya mengangkat personifikasi Dewa Siwa dalam bentuk yang segar dan berbeda. Saya menilai cerpen ini unik, penulis merujuk Siwa pada versi Asia Selatan, tidak mengadaptasi Siwa ke dalam versi Nusantara atau Batara Guru. Secara tema, cerpen ini (bagi saya) gagal.
Kesegaran Naskah
Penulis menghadirkan sosok Dewa Siwa dengan nuansa kosmis yang lebih dekat dengan pemaknaan aslinya dalam mitologi Hindu di Asia Selatan (India, Sri Lanka, dan sekitarnya), bukan dalam bentuk sinkretisme lokal seperti Batara Guru dalam budaya Jawa. Ini adalah pilihan yang unik dalam menghadirkan kesegaran. Memperkaya lanskap cerita dengan nuansa spiritual yang universal. Penulis berhasil menghadirkan Siwa sebagai sosok yang transenden sekaligus manusiawi tanpa menghilangkan aura ke-Dewata-annya.
Namun, justru ini bisa menjadi pemancing pertanyaan pula, “Jangan-jangan penulis tidak tahu bahwa sosok Siwa telah mengalami sinkretisme panjang, sehingga berevolusi menjadi banyak karya-karya sastra klasik ketika berkembang di Nusantara?”
Tanpa penyesuaian sastra lokal, beberapa pembaca golongan “cerpen sastra” merasa jarak emosional terhadap tokoh Siwa—Asia Selatan dibenturkan setting lokal—ini putus. Ada risiko keterasingan kultural, sehingga ide yang diangkat adalah halusinasi.
Teknik Bercerita
Cerita dibangun dengan struktur yang cermat, perlahan mengupas lapisan karakter Nataraja Mahasiwa melalui peristiwa-peristiwa sederhana, tetapi bermakna.
Meski demikian, ada bagian-bagian di mana narasi terasa terlalu berat oleh simbolisme. Ada bagian yang beresiko terjadinya teknik kolase yang gagal.
Keberanian Bermain-main dengan Kekejaman Cerita
Nataraja Mahasiwa tidak menampilkan kekejaman bercerita yang tajam, kecuali hanya mencoba mendaur ulang sumber bacaan penulis ketika menulis cerpen ini: Siwa, Ganesha, Parvati, beserta kiprah orisinal mereka versi Asia Selatan.
• Cerpen "Kotak Kebahagiaan Julie"
Kotak Kebahagiaan Julie mengangkat gagasan yang kompleks dan sensitif: kesehatan mental dalam bayang-bayang trauma masa lalu (tragedi pembunuhan) anak.
Kesegaran Naskah
Menulis isu mental healthy lewat personifikasi Ibu Peri, Mirea dan Julie, Kotak Kebahagiaan Julie tampil dengan pendekatan yang terasa segar. Alih-alih memaparkan trauma secara frontal atau berlarut dalam melodrama, cerita ini memilih membungkus luka lama dengan metafora sederhana namun kuat — kotak yang menyimpan kebahagiaan. Konsep ini mengundang rasa penasaran yang kuat di tengah banyak naskah yang membahas trauma secara klise.
Teknik Bercerita
Secara teknik, penulis masih lemah pada opening cerita. Untung masih tergantikan dengan kemampuan menjaga tensi emosional dengan apik (alur struktur). Pergantian sudut pandang antara Mirea dan Julie terasa luwes, membantu membangun kedalaman karakter tanpa kehilangan fokus cerita. Penulis juga piawai membuat tulisannya benar-benar rapi.
Keberanian Bermain-main dengan Kekejaman Cerita
Cerpen ini memperlakukan kekejaman dengan pendekatan yang sangat manusiawi. Tidak semata-mata mengeksploitasi tragedi pembunuhan untuk efek dramatis, penulis memilih untuk memperlihatkan bagaimana kekejaman itu membekas, mengendap, dan membentuk kepribadian seseorang.
Namun, karena bentuk kekejamannya disampaikan sedemikian realis, ada potensi bahwa sebagian pembaca merasa kekejaman itu seharusnya bisa disajikan bukan sebagai adegan semata. Bisa ke dalam pesan tersirat, misalnya.
• Tersebab Anjing
Cerpen ini tidak bisa saya ulas panjang, sebab penulis melakukan kesalahan fatal: tidak memahami tema, atau tidak sekadar mencari informasi tentang apa sebenarnya tema “sangkan paraning dumadi”.
Pemahaman yang dangkal terhadap tema, menjadikan cerpen (yang sebernarnya potensial) ini terkesan “yang penting kirim”. Padahal, unsur kekejaman yang ditawarkan tak kalah menarik dengan cerpen pertamanya.
Sangkan Paraning Dumadi adalah sastra klasik. Bersumber pada karya Mpu Siwamurti di masa akhir Majapahit. Meskipun ditulis dengan merekonstruksi menjadi cerpen sastra modern, didopsi ke gagasan-gagasan cerita masa kini yang kaya, tentunya tetaplah tidak lepas dari definisi sastra klasik itu sendiri.
*Heru Sang Mahadewa
Dari empat naskah putaran akhir. Karya, Erlyna, yang bisa dikatakan lumayan. Dengan ini kami nyatakan, Erlyna, berhasil menyabet juara satu pada battle musim kedua 2024-2025.
Juara 1 : Erlyna
Kategori naskah terbaik pendaftaran Battle:
Finny Arkana
Kategori naskah terbaik tiap babak:
Putaran pertama : Putra Mahardhika
Putaran kedua : Erlyna
Putaran ketiga : Erlyna
Total nilai terbanyak putaran 1-3 diraih oleh Dyah Diputri
Berikut adalah 27 naskah pilihan antologi Battle Royale musim kedua.
Babak Penyisihan:
1. Ada Monster Bersemayam dalam Kepalaku
2. Pembangkangan Pohon Terakhir
3. Bunga Mekar di Pembaringan
4. Nada-Nada yang Sumbang dalam Alunan Kehidupan
5. Dialog, Pertanyaan-Pertanyaan, dan Orang-Orang
6. Gunjingan Belantara
7. Perempuan-Perempuan yang Menimang Nestapa
Putaran Pertama:
8. Seorang Kekasih Meminta Ia Menjadi Nabi
9. Muara Tanpa Hilir
10. Kedunguan yang Mencipta Kekekalan
11. Pohon Lupa Nama dan Kamar-Kamar Surga
12. Mari Kita Akhiri
13. Setiap Tahun
14. Sang Pengamat dan Alasan-Alasan Mencintai
15. Adegan-Adegan dan Percakapan-Percakapan yang Telah Terkunci
Putaran Kedua:
16. Sepetik Pengkhianatan di Akhir Angkara
17. Seekor Ngengat dan Perempuan
18. Wanita yang Dimakan Kesunyian
19. Tiga Genggam Pasir
20. Bukan Kisah Tragis
21. Apa yang Lebih Menakutkan dari Monster
Putaran Ketiga:
22. Ibu Gantari
23. Talak
24. Anak Tuhan
25. Kemustahilan Pada Dua Kebangkitan
Putaran Semifinal:
26. Ayat-Ayat Keniscayaan
Grand final:
27. Nataraja Mahasiwa
Terima kasih atas partisipasinya. Pengambilan hadiah pada tanggal 7 Mei 2025. Hari Rabu biar samaan dengan Tiga Strata lahirnya hari Rabu sodaranya Terong, Tomat, dll yang huruf depannya T. 😁
Salam Literasi.