Analisis Dugaan Plagiarisme Cerpen Hari Itu Pulang Sekali Lagi
Analisis
Dugaan Plagiarisme Cerpen Hari Itu Pulang Sekali Lagi yang dikirimkan oleh penulis
Kathy Okano sebagai cerpen untuk mengikuti lomba event Timira. Berikut
cerpennya:
Hari
Itu Pulang Sekali Lagi
Kathy
Okano
Beberapa
hal berubah dalam rumah sepasang pengantin yang terbilang baru–mereka baru
setahun menikah–setelah pecahnya boneka porselen berpipi merah jambu. Tami
menjadi lebih rajin. Setiap hari ia memeriksa apakah taplak bersulam bunganya
tak ternoda, tak ada debu yang menempel di lantai marmernya, dan apakah stoples
kue di ruang tamu tetap terisi.
Lalu
si Amai–kucing mereka, kucing kampung, tetap makan dari piringnya. Kadang nasi
dan ikan, kadang dry food.
Boneka
porselen yang pecah itu memang tak mengubah banyak hal. Tami tetap menjalankan
rutinitasnya sehari-hari dengan teliti. Menyeduh minuman di pagi hari. Kopi
untuk Steve–suaminya, dan teh untuk dirinya sendiri. Selagi mengaduk ia melihat
ke dalam pekatnya kopi, hangat dan mengkilat. Namun, selalu ada yang mengendap
di bawah sana, sesuatu yang gelap, hitam menggumpal.
Tami
juga masih senang memasak dan membuat roti juga kue-kue. Hanya saja kini ia
membutuhkan waktu lebih lama untuk meremas terigu, atau menatap lumat setiap
butir garam. Usai memasak ia akan menggosok noda pada piring kotornya dengan
hati-hati, lalu mengelapnya dengan penuh tekanan sampai berdecit. Ada kotoran
yang tak terlihat, bakteri yang tak mati meski dibersihkan berulang kali.
Sedangkan
Steve, selalu membaca dunia dari koran paginya sebelum membuka toko sembakonya,
menyeruput kopi hitam yang diletakkan di atas meja makan yang ditutupi plastik
agar taplaknya tak kusam. Ia membuka halaman pertama sampai terakhir, lalu
kembali ke halaman pertama.
Namun,
porselen yang pecah itu, diam-diam juga membuka pintu alam bawah sadar Tami,
membuka luka-luka yang ia pikir telah ia lupakan. Perempuan berambut ikal dan
bermata cokelat gelap itu sering mengalami insomnia, maka pada pukul dua dini
hari ia menelan pil tidur. Pil itu membantunya terlelap dalam tidur tanpa
secuil mimpi pun. Ia benar-benar ingin tidur saat melihat malam yang kelam dari
balik jendela. Langit berwarna hitam pekat dan kamarnya sunyi, kamar yang lelah
dengan bunyi dari lagu-lagu yang terputar di Sandisk Clip Jam, sesaat sebelum
ia kehilangan kesadaran karena terlelap dalam buaian gelap.
Hari
sedang cerah, tapi tiba-tiba gelap dan Tami berlari sekencang-kencangnya, ia
menoleh ke belakang dan melihat air bergulung-gulung menyerupai gelungan rambut
perempuan yang terlepas, tebal, terjatuh ke bawah, melibas, mencoba memagutnya.
Ia terus berlari dengan baju yang lembap akibat keringat dingin. Ia terus
berlari dengan tungkai-tungkai yang rapuh gemetaran. Ia terus berlari dengan
jantung yang dipertaruhkan di arena pacuan kuda. Di belakangnya, air bah sudah
murka sampai ke langit. Musuhnya jauh lebih cepat darinya, menemukannya, siap
menggilas dan menelannya.
Ia
membuka mata, ia berada di tempat tidurnya. Matanya terbelalak, bibirnya dingin
terbuka, napasnya terengah-engah. Mimpi buruk. Dan Tami merasa lebih buruk lagi
karena pil tidur tidak lagi membantunya selamat dari mimpi yang mengganggu.
Siang
dan malam silih berganti, kedua sejoli itu tetap pada rutinitasnya yang
terlihat dingin seolah diselimuti halimun, tetapi menghangat di tempat
masing-masing.
Tami
meletakkan sepiring pisang goreng di meja makan bersamaan dengan Steve yang
meletakkan cangkir kopinya di tatakannya.
"Makanlah
pisang gorengnya selagi hangat," ucap Tami dengan lembut dan riang,
dijawab anggukan oleh Steve. Dan Tami kembali sibuk menjadi ratu di dunia
kecilnya, di dapur, sedang Steve terus membaca dengan mulut terkatup.
Pun
di siang hari ketika Steve pulang untuk makan siang, Tami menata meja dan
berkata bahwa lauknya akan segera dingin. Steve menjawab iya dengan otomatis.
Ia makan sendirian karena Tami sudah makan terlebih dahulu di dapur, karena
bagi Tami, seorang ratu dapat makan kapan saja dan di mana saja sesuka hati.
Percakapan-percakapan
berlangsung seperti biasa, kadang-kadang diselingi topik-topik dari berita atau
gosip-gosip selebriti yang disiarkan televisi di pagi hari.
Perubahan
lainnya adalah pada malam hari. Steve akan tidur lebih awal, lalu Tami,
layaknya penguasa, tidak akan masuk ke kamar sebelum memastikan jendela dan
pintu terkunci, kursi dan jambangan tetap berada di tempatnya, kompor telah
dimatikan dan panci tertutup.
Percintaan
mereka juga lebih tawar, seringkali Tami menolak hubungan badan dengan linangan
air mata tanpa suara, membuat Steve geram, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa,
ia tak sampai hati meluapkan kemangkelan hatinya pada perempuan yang
dicintainya dan telah dipilihnya untuk menjadi istrinya. Steve akan mengisap
berbatang-batang rokok di halaman belakang sampai emosinya reda atau pergi
keluar rumah untuk mendinginkan amarahnya. Lalu Tami akan terpekur, tidak habis
pikir apa yang terjadi pada dirinya.
Selain
hal-hal itu, mereka hidup seperti sediakala, dengan atau tanpa boneka porselen
berpipi merah jambu itu. Mereka tetap pergi ke acara keluarga atau menghadiri
undangan kolega sebagai pasangan yang harmonis, romantis, dan Tami selalu
mendapat pujian secantik boneka.
Pada
siang ketika matahari menggantung terlalu rendah, seolah ingin mencium
ubun-ubun bumi dan membisikkan rahasia-rahasia yang terbakar, Tami duduk
menyulam di samping jendela yang terbuka. Tidak ada angin yang bertiup dan
udara terasa pengap juga gerah. Amai tidur di lantai dengan tenang, melihat
itu, di kepala Tami kembali terputar hari di mana boneka porselen itu jatuh,
pecah berantakan. Ulah Amai. Bola benang mainannya ditemukan di samping kotak
kayu jati dengan ukiran rumit, di mana boneka itu dipajang. Amai terlalu
bernafsu ketika bermain.
Boneka
itu bagus dan Tami sangat menyukainya. Jari-jari tangannya halus dan mungil.
Mungkin sama cantiknya dengan kakinya yang terbebat dalam sepatu–sepasang kaki
kecil, putih, bersih, indah, rapuh. Boneka itu hadiah yang dibawa dar luar
negeri oleh salah seorang kerabat Steve. Tami mendengkus melihat Amai. Kucing
tak tahu diri. Di mana-mana kucing tetap sama. Egois.
Ia
dinamai Amai karena ketika lahir dari induknya yang berandal, anak kucing itu
begitu manis dengan tiga warna bulunya jika dibandingkan dengan induknya,
kucing kampung liar warna kelabu, yang datang sesuka hati, kelayapan
berhari-hari, pulang hanya untuk mencuri ikan di dapur. Tami tak mengusirnya,
ia pikir mereka butuh kucing karena di rumah mereka ada tikus.
Induk
Amai melahirkan di rumah itu. Sama seperti semua kucing, ia juga sundal,
beranak dari puluhan kucing jantan. Kalau kawin di atap rumah, suaranya
memekakkan telinga, dan Tami tak pernah mendengar erangan yang lebih liar dan
menggusarkan dari si kucing liar itu.
Bayi-bayi
kucing lainnya diberikan pada para tetangga, dan hanya menyisakan Amai, yang
bagi Tami, warna bulunya seperti keberuntungan. Dan kucing itu cukup manis dan
tenang, mungkin karena diasuh oleh peradaban manusia sejak bayi.
Ia
menjalankan tugasnya menangkap tikus, ia juga tahu di mana harus buang air
meski kadang Tami masih harus kotorannya yang tercecer di dekat WC. Yah, kita
tidak bisa mengharapkan sikap sempurna dari seekor kucing, kan?
Tetapi
sejak tragedi pecahnya boneka porselen itu, Amai mendapat perlakuan yang getir.
Tami maupun Steve tidak lagi mengajaknya bicara, seolah Amai adalah terdakwa
atas pelenyapan boneka porselen dari tahtanya. Amai masih makan dari piringnya,
jatah makannya juga tidak berkurang, tetapi hukuman ekskomunikasi membuatnya
mati rasa, tak bisa mengecap ikannya. Ia hanya mengingat dan mengecap tatapan
Tami yang pahit dan mencekik, hingga rasanya ia ingin menelan lidahnya sendiri.
Boneka
porselen itu sempat diperbaiki Steve, disatukan dan direkatkan
kepingan-kepingannya dengan lem. Tapi tubuh bagian atasnya parah, kawah besar
di punggungnya tidak bisa terisi karena serpihannya terlalu kecil untuk
direkatkan, dan garis bekas luka di lehernya terlalu menyakitkan untuk dilihat.
Porselen berpipi merah jambu itu telah jadi sundel bolong, dan karenanya ia
dimasukkan dalam laci tertutup. Sesak, pekat. Kegelapan panjang bagi mereka
yang tak utuh.
Pantulan
sinar matahari yang jatuh di aspal dan memantul di udara sangat menyilaukan,
menatapnya terlalu lama membuat napas
Tami menjadi berat, seolah setiap helaan harus dibayar dengan ingatan masa lalu
yang secara acak naik ke permukaan.
Tami
mengingat ibunya, yang meninggalkannya untuk selamanya ketika ia kelas empat
SD. Ibunya tak mewarisi apa-apa selain nasihat-nasihat, termasuk tentang
menstruasi.
"Setiap
perempuan akan mengalaminya, oleh karena itu kau harus tahu cara memakai
pembalut. Tidak sulit."
Ibunya
memperagakan bagaimana cara memakainya dan Tami memperhatikan dengan alis
berkernyit seperti melihat lendir manusia planet asing. Bukan saja melihat
pembalut yang baginya ganjil, tapi menatap tubuh sang ibu yang tidak seperti
tubuhnya. Tubuh ibunya penuh lekukan, garis-garis putih, urat ungu kebiruan dan
rambut yang seperti tanaman liar. Berapa tahun yang ia butuhkan agar tubuhnya
juga dipenuhi lukisan seperti tubuh ibunya?
"Jangan
menatap seperti itu, Tami," ibunya menukas pikiran-pikiran Tami kecil,
"Ini tidak lebih sulit maupun lebih aneh dari mengikat tali sepatu olah
raga."
Lama-kelamaan
Tami terbiasa. Timbul rasa senang karena diam-diam ia tahu apa yang akan
dialami tubuh perempuan dewasa dan cara mengatasinya. Ia memegang rahasia
penting jauh sebelum teman-temannya mengetahuinya.
Tapi
ternyata masa dewasa itu tak sejauh yang ia kira. Ia datang terlalu lekas,
ketika Tami masih terlalu malu untuk membeli pembalut. Ia masih kelas lima.
Kelas L-I-M-A. Anak perempuan lainnya
baru mengalami menstruasi di kelas enam, bahkan ada yang di kelas dua SMP.
Sejak
ibunya meninggal dan ia sebatang kara, Tami diasuh oleh tetangganya untuk
sementara sebelum diambil oleh kerabatnya.
"Mulai
detik ini dosamu dihitung, Tami," kata pengasuh sementaranya ketika
mengetahui Tami sudah menstruasi. "Kesalahan-kesalahanmu bukan tanggungan
orangtuamu lagi, tapi dirimu sendiri. Maka tundukkan kepalamu saat melihat
lelaki. Miliki rasa malu. Jangan bicara keras-keras. Suara perempuan bisa
menggoda, mengundang zina."
Apa
itu zina?
"Dan
jangan duduk dengan kaki terbentang, sebab yang ada di antara pahamu adalah
harta karun."
Mengapa?
"Banyak
yang menginginkannya. Ia sumber malapetaka."
Mengapa?
Tak
ada penjelasan lebih jauh dan Tami berkesimpulan bahwa ia tak boleh tahu,
karena segala larangan mengundang bahaya, dan bila ia tahu, mungkin ia akan
menginginkannya. Sebagaimana sebuah kalimat berandal, bahwa larangan adalah
perintah. Menstruasi mengantarnya mengenal peti berisi emas permata yang
tertutup rapat dan harus disembunyikan di dasar laut karena bergelimang darah.
Gelimangan
darah lainnya, yang lebih banyak dan lebih pekat terjadi tiga tahun setelah ia
tinggal bersama kerabatnya. Pasangan suami istri yang seharusnya melindungi dan
mengayomi justru melecehkannya. Bertahun-tahun Tami bungkam, tetapi pada hari
cerah yang nahas, di mana langit biru terpampang seperti bentangan luka, di
siang yang bukan hanya panas, tetapi telah menjadi gurun yang menyusup di dada,
menyiram pasir-pasir pada teriakan, Tami berjuang demi melindungi kewarasan
terakhirnya.
Dua
jam setelah tragedi berdarah, Tami ditemukan dengan tubuh gemetaran dan tatapan
yang kosong. Tangannya menggenggam erat pisau seolah ia berpegang pada tali
untuk menyelamatkan hidupnya. Kemudian oleh dinas sosial, ia ditempatkan di
tempat rehabilitasi anak dan mendapatkan perawatan khusus. Dalam rehabilitasi
tidak hanya sekali dua kali ia mencoba merenggut nyawanya sendiri, hendak
mendahului tugas malaikat maut, tetapi tali kehidupan masih mengikatnya erat.
Tami
berpikir, hari kematiannya jauh lebih baik ketimbang hari kelahirannya. Dan ia
benci menjadi dewasa, juga makin benci ketika perubahan tubuhnya menjadi dewasa
tidak bisa dihentikannya. Butuh waktu yang amat lama baginya untuk menerima
dirinya sendiri.
Sebulan
setelah penolakan bercinta oleh Tami, Steve kembali mengajak Tami untuk
menghangatkan ranjang mereka, setelah perang dingin membekukannya. Sayangnya
Tami kembali menangis, tak hanya itu, ia juga gemetaran ketika Steve mulai
menyentuh dan menghujaninya dengan ciuman. Steve frustasi, marah, egonya
terluka dan merasa dikangkangi. Ia berteriak dan meninju tembok, kemudian
menjambak rambutnya sendiri.
"Maafkan
aku...." Tami mengucapkannya lirih dan berulang-ulang seperti sebuah doa
yang dipanjatkan di waktu genting.
Dalam
suasana yang chaos itu, Tami kembali mengingat saat pertama kali ia
tidur dengan Steve sebagai pengantin baru. Jantungnya berdebar-debar sebab
berada di garis batas antara perawan dan pelacur. Ia adalah keduanya. Ia dan
bayangannya ketika bercermin sambil membersihkan make-up pengantin,
serupa namun mendua. Dan dalam bercinta kala itu, mereka menantikannya–darah
itu, seperti anak-anak yang berlarian menyambut hujan, tetapi ia tak muncul.
"Ini
bukan yang pertama kalinya bagimu," ujar Steve pelan, tapi menghardik. Ia
berbalik dan memunggungi Tami.
Itu
bukan pertanyaan, jadi Tami tak menanggapi.
Dan
malam itu ketika tubuh Tami kembali menolak bercinta, Steve kembali menghardik.
Mencurigai adanya laki-laki lain sehingga Tami menjadi enggan disentuh. Badai
berupa kata-kata dan tuduhan keluar dari mulut Steve dan Tami menjawabnya
dengan tangis.
"Katakan,
siapa dan mengapa, Tami," ucap Steve dengan suara sarat tekanan dan
kecurigaan setelah berhasil mengendalikan emosinya.
Tami
menatap mata Steve seolah sedang menatap cermin berisi pantulan dirinya.
Retak-retak. Ia menggenggam tangan Steve dan menggeleng.
Steve
membisu, tapi tatapannya mendesak. Tami merasa tak ada pilihan lain selain
mengatakan kebenarannya. Ia bercerita dengan amat pelan, seolah tenaga terhisap
habis dari tubuhnya. Steve diam dan mendengarkan. Untuk pertama kalinya, ia
melihat Tami yang lain. Tami yang begitu rapuh. Namun, apa yang keluar dari
mulutnya menusuk jantung dan hati Steve. Pengakuan yang diutarakannya, tentang
apa yang dialaminya ketika ia masih anak-anak, mengetuk-ngetuk dada Steve,
kemudian menghantam seperti palu godam.
"Oh,
Tuhanku... oh, Tuhanku...." Steve mengucapkannya berulang seperti mantera
perlindungan, ia mendekap Tami di dadanya.
Keesokkan
harinya, kerabat Steve yang dulu memberi boneka porselen itu datang berkunjung.
Ia baru pulang dari kunjungan ke beberapa negara Asia Tenggara. Ia mengulurkan
kotak berbungkus kertas kado berpita cantik pada Tami. Perempuan itu membukanya
dengan gembira dan senyuman mengembang di bibirnya, tapi tak bertahan lama.
Hadiah
itu adalah boneka porselen laki-laki dengan baju tradisional cina berwarna
merah meriah. Amat cocok jika disandingkan dengan boneka berpipi merah jambu
jika belum pecah.
Tami
memandanginya berlama-lama, batinnya campur aduk antara sedih dan senang.
Sayang sekali, pangeran yang baru datang ini tak akan suka pengantin yang
pecah. Tami dan Steve saling menatap, berbagi kekecewaan tanpa kata.
Sang
tamu melihat senyum yang pupus dan bertanya mengapa, lalu Steve bercerita
tentang boneka pemberiannya dulu yang pecah. Mengatakan bahwa boneka itu tak
lagi cocok bersanding dengan pangeran yang gagah lagi tampan. Mendengarnya,
sang tamu tertawa.
"Jangan
sedih, boneka seperti ini banyak di toko suvenir. Dua bulan lagi aku berkunjung
ke sana dan akan kucarikan gantinya."
Senyuman
terbersit di bibir Tami dan Steve. Maka, boneka yang pecah itu dikeluarkan lagi
dari laci yang gelap, kembali diletakkan di atas peti bersama boneka laki-laki
yang baru. Biarlah ia di sana sampai penggantinya datang. Boneka baru yang
cantik dan tak tersentuh, tak cacat.
Di
hari yang sama, Amai menghilang. Tak ada yang menanyakannya, tak ada yang
peduli. Seorang tetangga melihatnya menggelandang, berkejaran dengan
kucing-kucing liar dan mengais makanan dari tempat sampah.
Di
bawah matahari yang menyengat, Amai teringat pada piring makannya, akan Tami di
dapur dan Steve di ruang makan. Akan rumah mungil tempat ibunya yang berandal
itu melahirkannya dan kemudian meninggalkannya. Juga akan boneka porselen
berpipi merah jambu di atas peti. Semua ingatan ada pada tempatnya. Seperti
boneka itu yang dulu aman di tempatnya.
Jika
saja ia bisa bicara, ia ingin membela diri. Ia tak benar-benar menjatuhkan
boneka itu. Sesungguhnya boneka itu memang ingin terjun. Amai melihat semuanya
dari mata gadis manis yang kecil itu dan bibirnya yang berbentuk hati. Ia
begitu kesepian dan merasa asing di sana, menjadi pajangan mulus yang
dibanggakan. Ia ingin bunuh diri. Ia tak ingin dipajang karena ia suka
kegelapan dan ingin bercumbu dengan pekat. Dan motif utamanya, ia benci retakan
halus tak kasat mata yang berpangkal di antara kedua kakinya, menjalar hingga
ke kepalanya.
_________
Cerpen Hari Itu Pulang Sekali Lagi menunjukkan
kemiripan mencolok dengan dua cerpen Intan Paramaditha dalam buku Sihir
Perempuan (2005), yaitu Sejak Porselen Berpipi Merah Itu Pecah dan
Darah.
1. Kemiripan Kalimat Pembuka dan Struktur Narasi
HIPSL: “Beberapa hal berubah... setelah pecahnya boneka
porselen berpipi merah jambu.”
Sejak Porselen: “Sejak porselen berpipi merah itu pecah,
keadaan tak banyak berubah.”
Keduanya menggunakan simbol boneka porselen sebagai pemicu
perubahan (atau tidaknya) dalam rumah tangga. Struktur narasi setelahnya pun
identik: penggambaran aktivitas rumah tangga pasca-kejadian.
HIPSL: “Boneka porselen yang pecah itu memang tak mengubah
banyak hal. Tami tetap menjalankan rutinitasnya sehari-hari dengan teliti.
Menyeduh minuman di pagi hari. Kopi untuk Steve–suaminya, dan teh untuk dirinya
sendiri.”
Sejak Porselen: “Porselen yang pecah tidak mengubah dunia.
Ibu
tetap menjalankan rutinitasnya sehari-hari dengan teliti. Menyeduh minuman di
pagi hari. Kopi hitam untuk Bapak dan teh untuk dirinya sendiri.”
2. Penggunaan Detail Identik
HIPSL: “Lalu si Amai–kucing mereka, kucing kampung, tetap
makan dari piringnya. Kadang nasi dan ikan, kadang dry food.”
Sejak Porselen: “Lalu si Manis... si Manis tetap makan
dari piringnya, nasi dan ikan.”
Kemiripan ini terlalu spesifik untuk dianggap kebetulan.
Gaya dan ritmenya serupa, hanya nama kucing yang diubah.
3. Adegan Menyeduh Kopi dan Metafora Endapan
HIPSL: “Selagi mengaduk ia melihat ke dalam pekatnya kopi,
hangat dan mengkilat. Namun, selalu ada yang mengendap di bawah sana, sesuatu
yang gelap, hitam menggumpal.”
Sejak Porselen: “Selagi mengaduk ia melihat ke dalam
pekatnya kopi. Hangat dan mengilat. Tapi selalu ada yang mengendap di bawah
sana. Sesuatu yang gelap, hitam menggumpal.”
Narasi dan metafora identik, hanya nama tokoh dan beberapa
kata yang diganti.
4. Copy-Paste Gaya Cerita Darah
Paragraf HIPSL tentang pengalaman menstruasi pertama Tami
hampir merupakan salinan langsung dari cerpen Darah, hanya
perubahan nama tokoh dan sedikit penghalusan kalimat. Urutan peristiwa, narasi
reflektif, hingga penekanan pada “kelas L-I-M-A” dikutip nyaris verbatim.
HIPSL: “Lama-kelamaan Tami terbiasa. Timbul rasa senang
karena diam-diam ia tahu apa yang akan dialami tubuh perempuan dewasa dan cara
mengatasinya. Ia memegang rahasia penting jauh sebelum teman-temannya
mengetahuinya.
Tapi ternyata masa dewasa itu tak sejauh yang ia kira. Ia
datang terlalu lekas, ketika Tami masih terlalu malu untuk membeli pembalut. Ia
masih kelas lima. Kelas L-I-M-A. Anak
perempuan lainnya baru mengalami menstruasi di kelas enam, bahkan ada yang di
kelas dua SMP.”
Darah: “Lama-kelamaan
aku terbiasa. Timbul rasa senang karena diam-diam aku tahu apa yang akan
dialami tubuh Perempuan dewasa dan cara mengatasinya. Aku memegang rahasia
penting jauh sebelum teman-temanku mengetahuinya.
Tapi
ternyata masa dewasa itu tidak sejauh yang kukira. Ia datang terlalu lekas,
ketika aku masih terlalu malu untuk membeli pembalut di sekolah. Aku masih
kelas lima. Kelas L-I-M-A. anak Perempuan lain baru mengalaminya di kelas enam,
atau bahkan di kelas dua SMP. Mengapa aku harus berhenti menjadi anak-anak?”
Penyalinan verbatim dengan penggantian sudut pandang “aku”
menjadi “Tami”. Struktur narasi dan diksi sangat identik.
Penyebutan Kelas L-I-M-A
HIPSL: “Ia masih kelas lima. Kelas L-I-M-A.”
Darah: “Aku masih kelas lima. Kelas L-I-M-A.”
Gaya penekanan yang khas ini ditiru mentah-mentah. Ini
merupakan bagian ikonik dari narasi Intan.
HIPSL: “...jangan duduk dengan kaki terbentang, sebab yang
ada di antara pahamu adalah harta karun.”
Darah: “Dan jangan duduk dengan kaki terbentang sebab yang
ada di antara pahamu adalah harta karun.”
Kalimat dan konteks tentang “harta karun di antara paha”
juga ditemukan dalam Darah, menunjukkan pencurian ide naratif dan simbolik
secara penuh.
Analisis Keseluruhan
Cerpen HIPL bukan karya orisinal, melainkan Plagiarisme
Kombinatif, menggabungkan dua cerpen berbeda (dengan teknik
copy-modify-paste), mengubah nama karakter dan latar, namun mempertahankan: struktur
narasi, simbol kunci (boneka porselen, kucing, kopi), diksi puitis (endapan
gelap, L-I-M-A, harta karun), alur emosional dan metafora utama.
Perpindahan Sudut Pandang dari Aku ke Tami
tidak menghapus jejak penjiplakan. Bahkan beberapa bagian tentang pelecehan
seksual dan trauma masa kecil dicomot langsung dari cerpen Darah.
Penulis bahkan menyisipkan struktur flashback seperti
dalam cerpen Darah untuk menghidupkan trauma masa lalu, dengan
latar, urutan peristiwa, dan emosinya yang sangat identik.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Hari Itu Pulang Sekali Lagi adalah hasil plagiarisme
eksplisit terhadap dua cerpen Intan Paramaditha, Sejak Porselen Berpipi
Merah Itu Pecah dan Darah.
Penulis HIPL telah melanggar etika kepenulisan dan layak
dikenai:
· Diskualifikasi
dari kompetisi.
· Blacklist
dari penerbitan atau lomba kepenulisan lanjutan.
· Permintaan
maaf publik jika naskah telah disebarluaskan.