Ulasan Cerpen Oleh Glen Tripollo

Berikut ini adalah ulasan yang secara khusus dibuat untuk 5 (lima) naskah cerpen terbaik dalam event Love in Sadness Season 2, seperti:

Adapun isi ulasan ini tidak akan banyak membahas karya dari segi teknis ketatabahasaan sebagaimana berkaitan dengan KBBI dan EYD sebagai pedoman utamanya, melainkan berfokus pada ide dan cara penulis memanifestasikan ide tersebut ke dalam karya cerpen yang utuh.

Pohon-Pohon Ingatan di Negeri Monotropa

Karya Erlyna

Harus saya akui bahwa Pohon-Pohon Ingatan di Negeri Monotropa telah menjadi salah satu cerpen yang paling berhasil menarik perhatian saya di event Love in Sadness Season 2 ini, terlepas pada penilaian akhirnya setelah saya membaca isi cerita secara keseluruhan. Dimulai dari pemilihan judulnya yang catchy hingga mudah sekali untuk diingat. Tidak perlu menggunakan diksi rumit dan berlebihan, frasa pohon-pohon ingatan terbilang mumpuni dalam mewakili sisi fantasi yang dibutuhkan. Penciptaan sebuah negeri fantasi lalu menamainya Monotropa membuat saya harus memuji kemampuan penulis dalam memilih nama, istilah kerennya naming sense. Penamaan tersebut sangat mudah dilafalkan dan terpatri erat di dalam ingatan.

Cerpen dibuka dengan kalimat:

Lux melangkah perlahan mendekati gerobak berisi kepala-kepala yang siap ditanam.

Fokus pada kalimat yang digarisbawahi. Menurut saya, penulis telah berhasil memilih kalimat pembuka yang sangat menarik dan memancing rasa penasaran. Kalimat yang terkesan gore, tetapi bila ditilik dari sisi lain—sisi fantasinya—kalimat itu mampu mengundang berjuta tanya dan menjadi pendorong untuk terus membaca. Pertanyaan seperti: Kepala-kepala siapa itu? Apakah ditanam dalam artian seperti biji buah? Pemikiran-pemikiran liar lainnya pun mulai bermunculan saat itu juga. Hal tersebut serta-merta meningkatkan ekspektasi pembaca terhadap keseluruhan isi cerita. Menuliskan sebuah kalimat pembuka yang mampu memberi dampak sedalam ini bukanlah perkara mudah.

Memasuki isi cerpen, mulai banyak sisi positif dan negatif yang saya rasakan. Ada beberapa hal yang saya suka di sini, pertama dari segi penamaan karakter yang tidak harus ribet njelimet sehingga mudah dibaca dan diingat, tetapi juga erat berkelindan dengan latar fantasi yang digunakan. Penjelasan mengenai latar fantasinya juga tidak banyak dan berlebihan. Penulis hanya menjelaskan apa yang memang perlu untuk dijelaskan saja. Sisanya lebih fokus pada penggambaran adegan dan perpindahannya. Sayangnya, ada juga beberapa penjelasan sia-sia yang kurang memberi dampak pada isi cerita, seperti penjelasan mengenai kelemahan Jill yang hanya sekilas saja di bagian akhir sebelum sesuatu terjadi kepadanya. Sepertinya akan lebih baik jika jumlah kata di bagian itu dialokasikan untuk menjelaskan sedikit saja latar belakang Mara yang akan mendukung plot twist-nya.

Sebagai cerpen yang seharusnya bergenre perpaduan antara fantasi dan romansa, sebenarnya penggambaran romansa di sini kurang dapat tersampaikan kepada pembaca. Interaksi antara Mara dan Lux membutuhkan eksplorasi lebih dalam untuk dapat dirasakan juga oleh pembaca.
Mengenai gaya bahasa, sangat jelas terasa bahwasanya penulis sangat terpengaruh pada gaya bahasa baku yang biasa diterapkan pada karya-karya fiksi terjemahan. Hal ini tentunya tidak lantas membuat karya menjadi buruk, tetapi ada kecenderungan menjadi monoton yang mana beresiko menjadikan cerita terasa menjemukan. Tentunya ini bergantung pada kepiawaian penulis menyajikan adegan. Asalkan terjaga intensitas dan pace-nya, saya rasa hal tersebut bisa dihindari.

Ada beberapa kalimat yang saya rasa ditulis dengan terburu-buru hingga terasa aneh dan kurang efektif, misalnya yang paling jelas:

“Namun, pada akhirnya, Tetua Soma nyatanya benar-benar orang yang ahli dalam meracik ramuan.”

Selain masalah efektivitas penulisan kalimat, cerpen ini juga terlalu banyak menyajikan dialog yang sebagiannya kurang berisi. Setiap dialog tidak didukung dengan dialog tag sehingga di beberapa kesempatan terasa membingungkan untuk diikuti. Di bawah ini salah satunya:

“Rupanya ada tamu istimewa.”
“Perkenalkan, saya Mara. Saya pelayan Putri Jill.”
“Hmmm. Pelayan, ya?” Tetua Soma mengelus jenggotnya yang panjang. “Pelayan Monotropa memang berbeda.”
“Kakek mengenalnya?”
“Saya mengenali auranya.”

Dialog di atas melibatkan tiga karakter dan tanpa menggunakan dialog tag yang dapat memancing kebingungan pembaca. Dialog di atas juga sebenarnya dapat dikurangi dan menggantinya dengan narasi yang secara fungsi mampu memberikan pendalaman suasana dalam adegan.
Tidak semua hal harus diungkapkan lewat dialog. Sebagai contoh:

“Saya mengenali auranya.”

Alih-alih menjadikannya dialog, akan lebih memberi dampak misterius jika diganti dengan narasi berikut:

“Tetua Soma tak menjawab. Dia menatap Lux dan Mara bergantian lantas menyunggingkan senyuman.”

Sering kali penggunaan narasi untuk menggambarkan suasana lebih memiliki dampak ketimbang mengungkap semua hal lewat dialog. Contoh di atas hanya versi sederhananya saja.
Satu kesalahan yang paling fatal dalam cerpen Pohon-Pohon Ingatan di Monotropa ini ada pada bagian akhir cerita yang begitu menggantung. Sedemikian menggantungnya hingga pada akhirnya cerpen ini terasa seperti penggalan kisah yang lebih panjang. Terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Sangat disayangkan karena secara alur cerita dari awal hingga menjelang akhir sudah bisa dikatakan tergarap dengan cukup baik.
***

2. Ambisi, Cinta, dan Ketiadaan >>


Ambisi, Cinta, dan Ketiadaan

Karya Lanang Irawan

Jika harus memberikan persentase terhadap ide cerita dan pembawaan dunia ciptaannya, Ambisi, Cinta, dan Ketiadaan bisa dibilang 85% mendapatkan pengaruh yang cukup kuat dari kisah-kisah fantasi ala animasi dan gim RPG Jepang.

Setidaknya ada tiga hal yang membuat saya memberikan penilaian lebih terhadap cerpen fantasi ini.

Pertama, tentu saja dari segi ide cerita yang diangkat bisa dibilang lebih unik ketimbang naskah cerpen peserta lainnya yang mengambil tema dan genre yang sama.

Kedua, penciptaan dunia yang cukup konsisten dengan berbagai sistemnya, seperti makhluk-makhluk selain manusia yang hidup di dunia tersebut dan sistem pemanfaatan beragam jenis emosi untuk menjalin ikatan dengan makhluk-makhluk tersebut. Unsur sihirnya jelas tidak secemerlang Harry Potter dengan rapalan-rapalan mantranya ataupun semewah dan semegah kemampuan sihir Gandalf dalam trilogi The Lord of The Rings, tetapi sistemnya yang unik cukup menarik perhatian pembaca, khususnya saya yang sejak lama menantikan racikan-racikan baru atau tidak umum dalam jenis karya fantasi seperti ini.

Ketiga, penyajian plot yang agak lebih unik dibandingkan naskah cerpen lainnya di dalam event ini, yakni memisah cerpen ke dalam empat babak, yang mana setiap babaknya diisi dengan sudut pandang tokoh utama yang berbeda-beda. Meskipun secara stabil dan konsisten tetap menggunakan sudut pandang orang ketiga (POV 3) di keseluruhan cerita, tetapi yang menjadi sorotan utamanya berganti di setiap babak. Dimulai dari POV 3 yang menempatkan Sergey sebagai tokoh utamanya yang berambisi merebut tahta sang raja yang notabene adalah kakaknya sendiri dengan memanfaatkan makhluk ajaib bernama Golden Haze. Babak kedua dilanjutkan dengan POV 3 yang menjadikan Ellena, keponakan haram(?) Sergey, sebagai tokoh utamanya. Di babak kedua ini, pembaca dibawa berkenalan lebih jauh dengan sosok Ellena yang ternyata memiliki kekasih bernama Ethan. Pada babak ini juga terdapat sedikit flashback yang menunjukkan kali pertama Ellena bertemu dengan Ethan di waktu kecil. Di babak ketiga, POV 3 yang dipakai menjadikan Ethan sebagai tokoh utamanya. Bermula dari kerusuhan di dalam wilayah kerajaan yang dipicu oleh Sergey dengan Golden Haze-nya. Ethan yang berusaha lari saat dikejar pasukan Sergey, akhirnya dibiarkan hidup dan dikeluarkan dari wilayah kerajaan setelah Ellena memohon pertukaran dirinya yang dengan nyawa Ethan. Pada babak ini diceritakan bagaimana Ethan bertemu dengan sesosok makhluk sihir bernama Snaizder yang bersedia membantunya menyelamatkan Ellena dari tangan Sergey dengan suatu pertukaran menyakitkan. Kemudian memasuki babak keempat, yang merupakan babak penutup cerita, POV 3 kembali menjadikan Ellena sebagai tokoh utama dan menggambarkan betapa depresi dan dilematisnya berada pada posisinya hingga harus mengambil keputusan besar antara perasaan atau kedamaian kerajaaan, termasuk juga mengorbankan dirinya.

Secara ide cerita, pondasinya terbilang sederhana dan mainstream. Sebuah rencana pemberontakan, perebutan kekuasaan, dan sebagainya. Namun, cara penulis menyajian cerita berinti sederhana ini bisa dibilang sangat menarik dan menghibur untuk diikuti. Penggunaan sistem pergantian babak dengan perubahan tokoh utama agar pembaca memahami sudut pandang setiap tokoh, hingga menciptakan sistem pertukaran antara manusia dengan makhluk sihir, cukup kaya untuk ukuran sebuah cerpen. Pembaca juga tidak dipusingkan oleh berbagai macam istilah atau penjelasan super detail mengenai latar cerita. Semua disajikan seperlunya, dalam lingkup terbatas, sehingga nyaris tak ada penjelasan yang sia-sia.

Namun demikian, bukan berarti cerpen ini tidak memiliki kekurangan. Setidaknya ada tiga kekurangan yang saya rasakan dari cerpen ini yang membutuhkan perhatian ekstra agar bisa diperbaiki dan menjadikan karya ini lebih bagus lagi.

Pertama, gaya bahasa penulis yang terkadang belepotan sehingga membutuhkan proses membaca kalimat dua hingga tiga kali untuk langsung memahami apa yang dimaksudkan dalam narasi tersebut. Ada kalimat yang dirasakan kurang lengkap sehingga menjadikannya sulit dicerna. Demikian juga penggunaan tanda baca, seperti tanda titik (.) dan koma (,) yang sering kali kurang tepat sasaran hingga memberikan pengalaman baca yang tersendat-sendat dan melelahkan.

Kedua, narasi adegan flashback yang kurang mulus di babak kedua yang sempat membuat saya kehilangan fokus adegan. Saya baru menyadarinya ketika sudah membaca jauh ke belakang bahwa yang saya baca adalah adegan sebuah kilas balik pertemuan pertama Ellena dengan Ethan. (Ngomong-ngomong soal Ellena, keponakan raja di awal kisah disebutkan bernama Selena. Apakah ini sebuah ketidakkonsistenan?)

Ketiga, meskipun cerpen ini bisa dibilang sebagai sebuah cerpen yang utuh, tapi cara penulis menutup adegan terasa sangat terburu-buru dan dipaksakan. Paragraf penutup begitu dipadatkan hingga pada kesimpulan akhir cerita yang sepertinya perlu ditulis agak lebih panjang dan dengan kalimat menarik di paragraf yang terpisah. Selebihnya, cerpen ini sudah memiliki karismanya sendiri.
***

3. Buku Harian Seekor Anjing di Galaksi Bimasakti >>

Buku Harian Seekor Anjing di Galaksi Bimasakti

Karya AP Mahardika

Di antara seluruh karya yang masuk ke meja juri, bisa dibilang Buku Harian Seekor Anjing di Galaksi Bimasakti adalah satu-satunya cerpen eksperimental yang paling aneh dibandingkan karya-karya lainnya. Jadi, meskipun tidak menang, saya rasa penulisnya boleh sedikit berbangga hati karena sudah berhasil beda sendiri. Akan tetapi, berbeda bukan berarti pasti bagus.

Hal pertama yang menjadi perhatian saya adalah penentuan judulnya yang secara jujur saya katakan terkesan berlebihan dan hanya dipanjang-panjangkan saja. Fungsinya saya yakin untuk memberi efek megah dan mewah, tetapi penerapannya justru membuat cerpen terasa bombastis dan mengada-ada saja. Saya pikir tanpa tambahan keterangan penegas “Di Galaksi Bimasakti” pun cerpen ini sudah bisa mengundang rasa penasaran dan lebih lugas menantang pembaca untuk mengecek isinya. Buku Harian Seekor Anjing. That’s it! Lugas, jelas, tapi karena secara pemaknaan sedikit di luar nalar, alhasil merangsang keingintahuan.

Saran lainnya mungkin bisa saja menambahkan keterangan agar memberi kesan mewah, tetapi dengan menggunakan metafora yang pas. Berlebihan memang, tapi akan lebih memberi kesan artistik.
Cukup dengan judulnya, cerpen ini ternyata juga menawarkan pengalaman tak biasa dalam penceritaannya. Jika dilihat dengan saksama, kadar narasi yang di cerpen ini mungkin hanya 40% saja, sisanya pembaca akan disuguhi kutipan-kutipan yang diambil dari buku harian seekor anjing. Ya, seekor anjing yang dimaknai secara harfiah, bukan kiasan. Sebenarnya saya sempat berharap kata “anjing” dalam cerita ini bermakna kiasan karena dari sana pastinya akan ada pendalaman emosi dan karakter yang disuguhkan di sepanjang ceritanya. Namun, saya salah. Dengan sedikit sempilan fantasi, seekor anjing peliharaan jadi bisa menulis buku harian.

Secara ide yang tergolong absurd tanpa adanya penjelasan lebih lanjut kenapa Blue, tokoh anjing dalam cerita ini, bisa didatangi oleh seorang “bocah ajaib” selain karena alasan kebetulan saja, cerita ini lumayan berhasil menghibur dengan segala kekurangannya. Di sini saya bisa merasakan kebebasan penulis dalam mengeksplorasi sebuah ide yang jarang terpikirkan oleh orang lain. Namun, di saat yang bersamaan pula, saya jadi merasa bahwa cerpen ini dibuat dengan tujuan eksperimen belaka dan digarap dengan kurang serius. Sejujurnya ide ceritanya memiliki banyak potensi untuk menjadi suguhan yang manis dan mengiris hati pembacanya.

Cerita dibuka dengan memperkenalkan seorang musisi wanita yang sukses bernama Ah Yeon. Namun, tak peduli dengan kesuksesan yang sudah diraihnya, ternyata masih menyisakan satu ruang kosong di sudut hatinya. Dia kehilangan suatu sosok yang berharga dalam hidupnya. Kegalauan Ah Yeon membawanya kembali ke rumah penuh kenangan untuk membaca ulang sebuah buku harian yang ternyata ditulis oleh Blue. Kemudian sebagian besar cerpen ini merupakan kutipan-kutipan isi buku harian Blue yang ditulis dari hari ke hari, beberapa tahun silam, setelah dia bertemu dengan “bocah ajaib” yang memberinya tiga pengabulan keinginan.

Tidak ada yang salah dengan format unik ini. Namun, ada beberapa kesalahan yang kemudian memengaruhi sebagian besar ceritanya.

Pertama, dari gaya bahasa yang digunakan penulis saat menampilkan kutipan buku harian Blue. Sebagaimana seekor hewan, logisnya dia akan berpikir layaknya hewan, meskipun dia sudah diberkati kemampuan berbahasa dan menulis layaknya manusia. Penggunaan gaya bahasa menjadi sangat penting dan krusial di sini. Setidaknya, penulis bisa menggunakan gaya bahasa yang lebih lugu ketimbang gaya bahasa dengan tata bahasa yang rapi layaknya manusia dewasa. Penggunaan gaya bahasa yang tepat akan membuat buku hariannya menjadi lebih meyakinkan telah ditulis oleh seekor binatang peliharaan. Sebagai referensi, bisa menonton film Rise of The Planet of The Apes. Karakter kera cerdas bernama Caesar yang merupakan hasil percobaan, memiliki gaya bahasa yang khas ketika berbicara. Tata bahasa yang lugu dan sederhana, tetapi tetap bisa dipahami oleh manusia, seperti “apes … together … strong!” yang secara literal dimaknai “bersama-sama (kita para kera) akan menjadi lebih kuat” semacam slogan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” ala keluarga kera.

Kedua, kutipan buku harian ini juga terasa kurang konsisten. Dari awalnya yang menampilkan kutipan harian secara runut hingga akhirnya melompat-lompat dengan cepat ingin buru-buru menampilkan klimaksnya. Satu bagian kutipan terasa janggal, yaitu tulisan Blue di tanggal 16 Juni 2016 yang seperti ini:

“Aku ingin membelai rambut Ah Yeon, sama seperti yang selalu ia lakukan kepadaku. Tapi akutakut jika kusentuh rambutnya, ia akan terbangun dan langsung meneriakiku sebagai rampok.Bagaimana pun, kan, ia tidak tahu bahwa aku itu Blue.”

Seolah-olah Blue sudah menjadi seorang manusia tanpa sepengetahuan Ah Yeon. Kemudian di kutipan lanjutannya, jelas menunjukkan bahwa Blue ternyata belum menjadi manusia.

Kutipan terakhir juga bisa dibilang kurang logis karena jika dibayangkan, Blue menuliskannya dalam keadaan sekarat. Bagaimana bisa dia menulis panjang kali lebar dengan tata bahasa yang bagus di saat dirinya sedang sekarat? Sampai di sini saya masih berusaha mengabaikan plothole bagaimana buku harian itu bisa sampai ke tangan Ah Yeon pada akhirnya.

“Itu wajib dilakukan untuk mengurangi sifat-sifat buasmu. Apa kau mau menjadi laki-laki yang doyan memukuli Ah Yeon ketika sudah menjadi manusia?” tanya si bocah ajaib yang kubalas dengan gelengan.”

Saya rasa bagian di atas jelas merupakan kebocoran penceritaan dalam mode buku harian. Penulis lupa sejenak bahwa yang ditulis Blue adalah buku harian, bukan narasi POV 1 yang dapat diselingi dialog.

Namun, seperti yang sudah saya sebutkan, terlepas dari kekurangannya, cerpen ini lumayan menghibur dan berhasil memberi pengalaman membaca yang baru.
***

4. Surga Milik Kita Berdua >>

Surga Milik Kita Berdua

Karya Daiyasashi

Secara ide, bisa dikatakan tidak terlalu orisinal karena Surga Milik Kita Berdua diadaptasi dari legenda Arthurian. Pondasinya sudah ada sejak berabad silam yang hingga kini tidak ada versi legenda yang canon karena terus berkembang dengan beragam versi ceritanya. Jika pada karya fiksi di berbagai media legenda Arthurian yang kita tahu nyaris selalu menjadikan King Arthur sebagai tokoh utamanya, di sini ceritanya berfokus pada sosok Lucius Tiberius, sang Kaisar Romawi Barat yang bernasib cukup tragis karena mati dalam perang melawan King Arthur. Namun, bukan Lucius yang menjadi tokoh utama cerita ini, melainkan sosok Amira—karakter fiksi yang diciptakan penulis—permaisuri Lucius Tiberius yang merupakan seorang putri dari pemimpin militer Timur Tengah yang diceritakan sempat menjadi musuh bagi Kekaisaran Romawi.

Surga Milik Kita Berdua sejatinya adalah kisah romance (mungkin harapannya juga dapat masuk ke dalam genre fantasy) yang cukup solid. Penulis berhasil menuangkan imajinasinya pada sosok Amira dan hubungannya yang cukup pelik bersama Lucius Tiberius hingga menciptakan nuansa romansa tragis yang membuat hati teriris.

Tidak banyak yang perlu dibedah dalam cerita ini karena bagi saya pribadi, penggarapannya—secara isi cerita, konflik, dan plot—bisa dikatakan sangat matang. Cukup dipoles sedikit saja dari segi tata bahasa agar lebih rapi dan makin enak dibaca.

Salah satu hal terkait teknis yang bisa diperbaiki adalah menghilangkan penggunaan tanda pisah (—) di dalam dialog. Tanda pisah lebih baik digunakan di dalam paragraf narasi, bukan dialog, karena terlalu aneh untuk dibayangkan pengucapannya.

Pemilihan judul Surga Milik Kita Berdua sejujurnya kurang menjual dan sama sekali tidak merepreesentasikan isi ceritanya yang berlatar megah. Jika bukan karena ini naskah event yang harus dibaca dan dinilai, mungkin saya akan melewatkannya. Ya, judulnya sangat klise dan tidak menarik. Layaknya drama-drama roman picisan yang biasanya memiliki kisah romansa yang menor dan agak menggelikan untuk diikuti kisahnya. Jadi, pemilihan judul mungkin bisa dipikirkan dengan lebih matang lagi agar terlihat menarik dan mampu menarik rasa penasaran pembaca.

Bagian yang paling saya sukai dari cerpen ini adalah latar cerita yang dipakai sangat mudah untuk dibayangkan dengan gambaran sesuai zaman yang dijadikan latar waktu ceritanya, yaitu era Kekaisaran Romawi, meskipun lingkupnya hanya sebatas pada taman di istana kediaman Lucius Tiberius. Gaya bahasa yang digunakan penulis, terlebih pada saat berdialog, terasa sangat pas diucapkan oleh kedua tokoh di dalam cerita. Sedikit banyak mengingatkan saya pada kisah-kisah romance abad pertengahan, seperti Troy, Spartacus, dan lain sebagainya. Bagi saya, penulis sudah sangat berhasil membangun cerita fiksi yang diselipkan dalam latar legenda Arthurian.

Namun, memang ada sedikit masalah di sini. Terutama karena cerita terlalu berfokus pada unsur romansa Lucius dan Amira, penulis melupakan unsur magis yang sebenarnya adalah elemen terpenting sebuah cerita bisa dikatakan masuk ke dalam genre fantasy.

Legenda Arthurian memang bisa digolongkan ke dalam genre fantasy karena pada banyak versi kisah yang beredar melibatkan unsur magis dan sihir, seperti ajaibnya King Arthur menjadi sang terpilih yang berhasil mencabut pedang Excalibur yang tertancap pada sebongkah batu, setelah banyak ksatria lain tak mampu melakukannya. Belum lagi keterlibatan penyihir sakti dan legendaris bernama Merlin.

Nah, khusus cerita Surga Milik Kita Berdua, meskipun diterangkan berlatar sama dengan legenda Arthurian, tetapi penulis sama sekali tidak menunjukkan unsur magis ke dalam cerita sehingga sulit untuk menggolongkan cerita ini ke dalam genre fantasy. Tanpa catatan kaki penulis, cerpen ini bisa jadi terasa seperti kisah fiksi sejarah biasa, meskipun secara isi memang tak diragukan lagi kebagusannya.
***

5. Ian dan Setan Penyelamat >>

Ian dan Setan Penyelamat

Karya Tulips

Setelah membaca Ian dan Setan Penyelamat, satu pertanyaan yang mungkin tidak penting muncul di dalam kepala. Jadi, sebenarnya si “penyelamat” ini setan atau vampir? Ah, mungkin saja setan dengan perawakan seperti vampir atau vampir yang bersifat mirip setan? Malah jangan-jangan saya yang setan? Entahlah, biarkan jawaban dari pertanyaan ini ditentukan sendiri oleh pembaca dan tetap menjadi rahasia penulisnya.

Alasan saya menjadikan cerpen ini sebagai salah satu favorit, meskipun ada banyak sekali kekurangan dari segi teknis adalah karena ceritanya yang berkembang dengan cara tidak biasa. Ide cerita tentang vampir atau setan semacam ini memang sudah banyak beredar di pasaran, tapi pendekatan cerita dan alur yang disuguhkan bisa dibilang pertama kalinya saya temukan sehingga menghasilkan nilai plus karena berhasil menghibur dengan memberi pengalaman baru dari suatu ide dasar yang sudah umum didaur ulang, lagi dan lagi.

Kekuatan cerpen ini ada pada pendalaman tokoh Ian dan Han, serta bagaimana hubungan mereka perlahan-lahan kian bertumbuh menjadikannya sebuah hubungan romansa yang terbilang aneh, rumit, dan sakit. Pendalaman tokoh Ian bisa dilihat dari penggambaran kerusakan mental yang disebabkan trauma masa kecil akibat perlakuan orang tuanya sendiri. Hingga kali pertama Ian bertemu dengan Han, bukan takut yang dirasakan, melainkan perasaan lega dan bahagia di relung hatinya karena sang Ibu yang dia benci telah tiada. Berakhir di tangan Han, sosok perempuan yang digambarkan sebagai setan pengisap darah. Alih-alih kesedihan yang melanda dirinya akibat kehilangan, Ian justru merasa bahwa Han adalah penyelamat dari kehidupannya yang pelik. Dari sini dimulailah kisah antara Ian dan Han yang terikat oleh suatu perasaan tak biasa antara manusia biasa dengan makhluk supernatural.

Penulis berhasil menggambarkan sebuah interaksi yang menarik antara Ian dan Han, serta dengan piawai menggambarkan isi hati dan pikiran-pikiran kelam Ian yang menjadikannya demikian lewat pemilihan diksi yang pas dan tidak berlebihan. Penggambaran suasana pun dilakukan dengan cukup baik hingga terbangun unsur thriller yang menegangkan di sepanjang cerita. Meskipun beberapa adegan terasa seperti repetisi dari adegan-adegan sebelumnya, tapi hal tersebut secara perlahan membangun keeratan hubungan antara Ian dan Han sambil meningkatkan unsur ketegangan cerita hingga sampai pada klimaksnya di mana Ian mulai benar-benar terpojok.

Saya suka dengan detail-detail kecil seperti kebiasaan Han membawa potongan tubuh mangsanya dan memberikannya pada Ian yang disamakan dengan tingkah laku khas seekor kucing dengan majikannya.
Saya juga suka bagaimana pendalaman hubungan Ian dan Han digambarkan lewat konflik di antara mereka. Tidak serta-merta selalu mulus dan menyenangkan, misalnya ketika Han secara membabi buta kehilangan arah dan mencoba memangsa Ian. Lantas sadar karena perasaan yang dimiliki keduanya sudah makin kuat.

Meskipun kisah Ian dan Setan Penyelamat cukup bisa mencuri perhatian pembaca, ada beberapa kekurangan yang dapat diperbaiki oleh penulis demi menjadikan karya ini jauh lebih baik lagi.
Kebiasaan penulis yang saya perhatikan adalah menulis kalimat-kalimat pendek yang dijadikan sebagai kalimat majemuk dan sangat boros dalam menggunakan tanda koma (,). Sebenarnya bukan masalah jika memang gaya menulisnya seperti itu, hanya saja pertimbangkan bahwa penggunaan koma (,) secara berlebihan akan memberikan dampak pada proses membaca menjadi tersendat-sendat dan menguras lebih banyak waktu. Tanda koma (,) yang terlalu banyak juga bisa memancing rasa lelah membaca yang lebih cepat bagi pembaca.

Contohnya di bawah ini, saya ambil sebagian dari paragraf pembuka cerita.

“Tubuh ibunya terkapar di lantai, darah menggenang, mata ibunya melotot mengerikan. Di samping mayat itu, Han duduk, menjilati jari-jarinya yang berlumuran darah.”

Kalimat di atas bisa diubah menjadi lebih efektif dengan mengurangi penggunaan koma (,). Di bawah ini salah satu contohnya:

“Mata ibunya melotot megerikan, sementara darah menggenang di sekitar tubuh yang terkapar di lantai. Han duduk di samping mayat sang Ibu sembari menjilati jemarinya yang berlumuran darah.”

Pada beberapa kesempatan, ada juga kalimat-kalimat yang seharusnya masih menjadi bagian dari paragraf sebelumnya, ditulis terpisah dalam paragraf baru. Lebih fatal lagi ketika kalimat terpisah tersebut malah bersatu dengan kalimat lain yang sudah berganti fokus di paragraf berikutnya. Intinya, penulis harus lebih berhati-hati dalam memenggal paragraf. Pastikan seluruh kalimat dalam satu paragraf sudah sesuai dengan ide pokok paragrafnya.

Pada akhirnya, Ian dan Setan Penyelamat berhasil menyuguhkan sebuah kisah yang cukup fresh memanfaatkan ide dasar yang mainstream. Itu saja sudah menjadi suatu hal yang layak untuk diapresiasi.
***

Glen Tripollo


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url