Semut-Semut Nakal di Pucuk Gunung Es - Lanang Irawan
Cerpen juara 3 lomba Creepypasta 2023
Semut-Semut Nakal di Pucuk Gunung Es
Lanang Irawan
Selesai mandi, Iwata menyempatkan waktu membaca berita di ponselnya. Ada kasus pembunuhan dan itu terjadi di jalan yang Iwata lalui setiap hari. Seketika hatinya menjadi tidak tenteram. Apalagi dia teringat bahwa besok adalah hari ulang tahunnya.
Sambil mencoba mengalihkan pikiran, pemuda yang hidup seorang diri itu memasuki kamar. Sebelum mengenakan seragam kerja, Iwata melihat tiga patung setengah badan tanpa kedua tangan. Meskipun tidak seindah karya di pameran-pameran, ketiga patung dari tanah liat itu Iwata taruh di dalam lemari. Tekstur ketiga patung itu pun sangat kasar.
Iwata mengusap kepala patung-patung itu bergantian seraya meminta perlindungan di pertambahan umurnya. Menurut Iwata, karena patung-patung hasil ritualnya itulah dia masih selamat hingga sekarang.
Setelah usianya dua puluh, sejak tiga tahun lalu, Iwata memiliki perayaan khusus pada hari ulang tahunnya. Dia pun terdaftar sebagai anggota Sekte Shi, sebuah kumpulan yang semua anggotanya lahir di tanggal empat bulan empat.Dari sektenya, Iwata mengadopsi ritual rahasia yang harus dilakukannya secara mandiri. Tujuannya adalah membersihkan kesialan ganda yang dibawa oleh hari lahirnya.
Selama tiga tahun ke belakang, Iwata selalu melakukan ritual bernama Hukum Kebalikan yang puncaknya pada tanggal empat pukul 04:00. Di puncak ritual itu dia harus memberikan persembahan dengan penuh kesenangan. Tidak hanya itu, dari tanggal satu sampai sebelum puncak persembahan, Iwata diwajibkan membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan angka sembilan. Hal itu dilakukan untuk membenturkan kesialan dengan kesialan.
Iwata sudah dalam perjalanan menuju tempatnya bekerja. Namun, saat melewati tempat pembunuhan yang diberitakan, dia berhenti sebentar. Dia merasa begitu tertarik sekaligus cemas, seakan-akan ada sesuatu yang menghubungkan kejadian itu dengannya.
Garis polisi masih melintang meringkus sekeliling rumah. Aura suram dari dalamnya mengalahkan keindahan musim semi. Iwata berdiri di luar pagar tembok. Saat itulah dia melihat angka Ku yang ditulis dengan spidol merah. Meskipun tulisannya kecil, tapi cukup membuat Iwata bergidik. Dia buru-buru meninggalkan tempat itu.
Angka sembilan dalam huruf kanji itu mengantarkan ingatan Iwata pada Sekte Ku. Dari keterangan guru yang juga ketua sektenya, Organisasi Ku selalu membunuh orang yang lahir di tanggal empat kapan saja. Ritual mereka tidak terikat waktu karena berpedoman bahwa Kurushimi lebih lama dari Shibetsu.
Iwata memasuki restoran tempatnya bekerja dengan pikiran masih linglung. Karena itu, dia tidak mengacuhkan sapaan Tanaka, kasir paruh baya, kepadanya.
“Iwata-kun, kamu terlihat gelisah,” kata Tanaka pada akhirnya sambil menahan bahu Iwata.
Pemuda itu segera tersadar. Dia menghentikan kaki, lalu meletakkan tas selempangnya di meja kasir begitu saja.
“Hanya sedikit lelah, Ojisan, tidak apa-apa.”
Iwata kemudian pamit ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, meninggalkan Tanaka yang mengernyit karena tidak biasanya Iwata meninggalkan barang pribadinya di hadapan orang lain.
Tanaka mengambil tas Iwata. Dia berdecap saat hendak menyimpan barang itu di laci kasir.
“Dia bahkan lupa menutupkan tasnya. Bagaimana kalau ada yang hilang?” Tanaka menggerutu, tapi kemudian dia tertawa saat tidak sengaja melihat kartu identitas Iwata. “Ternyata Iwata-kun besok ulang tahun. Aku baru tahu.”
Sekembalinya dari kamar mandi, Iwata langsung dipanggil operator restoran karena ada pesanan yang harus diantarkan segera. Pemuda itu pun lekas bergerak untuk mengerjakannya setelah mengambil tas. Tidak lupa dia mengucapkan terima kasih kepada Tanaka.
Tanaka Ojisan selalu bersikap baik. Hal itu membuat Iwata terkenang Sensei-nya. Dulu, ketika berumur sembilan belas tahun, Iwata dilanda kesialan berturut-turut. Dia dikeluarkan dari universitas karena menunggak pembayaran terlalu lama. Lalu, orang tuanya meninggal secara bersamaan dalam mobil. Sebuah truk tangki minyak menabrak mereka dan meledak.
Iwata terpuruk. Saat itulah Sensei datang, berbelasungkawa. Lalu, esoknya lagi, Sensei kembali mendatangi dan mengajaknya mengobrol.
“Sepertinya sudah waktunya aku mengajakmu memasuki Sekte Shi, Iwata-kun. Kau akan mendapat banyak manfaat dan perlindungan di sana.”
Iwata pada awalnya menolak dengan diam. Duka mendalam saat itu hampir-hampir merenggut kewarasannya. Dia sudah tidak semangat untuk apa pun, bahkan sempat terbersit untuk pergi ke Aokigahara.
Namun, Sensei memahami jika perasaan adalah benang-benang gaib yang menghubungkan manusia dengan lainnya. Maka, kemudian dia berkata kepada Iwata, “Yang terjadi padamu adalah kesialan ganda. Kau lahir di tanggal dan bulan sepertiku. Aku baru tahu setelah mengecek kembali identitas Iwata-kun. Di usia sembilan belas, orang tuaku juga sama meninggal.”
Setelah Sensei menceritakan kehidupannya, barulah Iwata tergugah. Dia merasa terhubung dengan Sensei karena kesamaan nasib.
Sensei tersenyum. Dia kemudian menjelaskan rahasia Sekte Shi dan organisasi-organisasi tersembunyi lain yang dia ketahui.
Iwata terkejut. Apalagi mendengar tentang ritual dan persembahan. Dia bertanya, kenapa manusia harus membuat orang lain sial untuk mencegah kesialannya sendiri.
Sensei tertawa. Dengan tenang dia menjawab, “Di atas permukaan, manusia memang terlihat seperti biasa-biasa saja. Tapi, itu hanya puncak kecil gunungan es. Dalam hidup ini jangan terlalu naif, Iwata-kun.”
Sensei kemudian mencomot dua semut hitam yang melintas di hadapannya. Dia mencabut antena di kepala salah satu semut itu, lalu membuat keduanya berhadapan. Semut yang antenanya tinggal satu menyerang kawannya dengan ganas, mematahkan kaki, dan terus mengganyangnya sampai tak berdaya. Sensei kemudian memencet kedua semut itu hingga penyek lalu membuangnya.
“Kita tidak minta dilahirkan. Lalu kita hidup dan tampak berusaha untuk hidup, tapi pada akhirnya, di hadapan takdir, kita seperti kedua semut itu, Iwata-kun.”
“Saling menyerang untuk bertahan hidup?”
“Tidak ada yang namanya bertahan hidup, Iwata-kun. Takdir membuat semuanya mati.” Sensei tertawa dan menepuk pundak Iwata. “Kita hanya tidak ingin mati paling awal dari yang lainnya. Kita tidak ingin menjadi lebih sial dari siapa pun.”
Setengah jam mengendarai sepeda motor tanpa hambatan, Iwata pun sampai di rumah pemesan. Dia menekan bel. Beberapa saat, seorang ibu rumah tangga muncul dengan bocah perempuan yang memegangi tangan ibu itu sambil menangis. Ibu rumah tangga itu sangat ramah.
“Aduh, maaf kalau lama, anak ini sangat rewel padahal sudah sembilan tahun dan sudah tidur sendiri,” katanya sambil menandatangani nota.
Iwata tersenyum. Angka sembilan bersinggungan dengannya. Tatapan Iwata tertuju pada pipi gembil si bocah, lalu turun ke lengan dan kakinya yang gempal.
Mendadak musim semi bersemi di pikirannya. Aroma bunga-bunga pun kini tercium harumnya. Iwata pulang dengan hati penuh harapan hidup. Sebelum pulang, dia mengamati rumah dan lingkungan si bocah sembilan tahun dengan saksama. Dia juga menduga-duga letak kamar si bocah perempuan itu. Di benak Iwata terbayang patung setengah badan di lemarinya akan segera bertambah jumlahnya.
Pulang bekerja, Iwata langsung ke gudang mengambil golok. Untuk mencoba ketajaman senjatanya, dia pun mengambil sepotong kayu berdiameter dua senti. Dibayangkannya kayu itu adalah tulang lengan dan pinggang seorang bocah sembilan tahun. Iwata lalu menebaskan goloknya. Kayu pun terbelah menjadi dua.
Pukul 02:00 Iwata hendak keluar rumah untuk menjemput calon patung penolak balanya. Dia menggendong tas berisi golok dan peralatan lain. Tergos sudah tergulung di kepalanya.
Namun, baru saja Iwata membuka pintu, sebuah katana melesat dan menyambarnya dari atas kepala. Tubuh Iwata terbelah menjadi dua bagian. Sesaat sebelum kesadarannya lenyap, dia melihat tubuhnya seperti bunga sakura di musim gugur yang disembur badai, berhamburan.
Kematian tragis Iwata dengan cepat tersebar. Siang harinya, teman-teman sepekerjaannya datang untuk penghormatan terakhir meskipun dihalang-halangi polisi.
Tanakalah yang paling terlihat sedih. Selama bekerja di restoran memang dialah yang paling dekat dengan Iwata. Lelaki paruh baya itu terus membungkuk, menumpukan kepala dan tangan kirinya pada pagar rumah Iwata. Dia tersedu-sedu, tetapi bibirnya tersenyum dan tangan kananya menuliskan angka sembilan kanji dengan spidol merah di tembok pagar.
Curugkembar, 15 November 2023.
Shibetsu: Kematian
Kurushimi: Penderitaan
Ojisan: Paman
Aokigahara: Sebuah hutan yang sering disebut tempat sempurna untuk mati di Jepang.