PANGULUBALANG - Amran Ali

    > Juara Harapan lomba Creepypasta 2023 <

 

PANGULUBALANG
Amran Ali

 

Malam begitu pekat dan sunyi. Hanya suara binatang malam yang terdengar diiringi desau angin, menciptakan sebuah melodi hutan yang mencekam. Di kejauhan, tampak sesosok pria sedang menyusuri jalan setapak menuju gubuk tua di pinggir hutan belakang kampung. Matanya disipitkan agar bisa melihat lebih jelas jalan di depan sana. Tak lama, gerimis pun turun menambah lengkap penderitaan Parlin malam itu.

“Oppung! Buka dulu pintunya, Oppung!”

Parlin menggedor pintu gubuk kuat-kuat. Ekspresi tidak sabar tercetak jelas di wajahnya yang ditumbuhi cambang serta kumis tak terurus. Tak ada reaksi dari dalam. Parlin ingat pesan temannya, kalau ia harus bersabar hingga pintu dibukakan seseorang. Ia pun menabahkan hati dan bertahan di tempatnya semula. Dinginnya udara tak menyurutkan tekadnya untuk menemui pemilik gubuk.

“Aku harus bertemu dengan Oppung Panompuan,” lirihnya sambil mendekap tubuh dengan kedua tangan.

Giginya bergemeletuk, dan perutnya turut bersuara. Parlin menggeleng pelan untuk mengusir rasa pusing yang mulai menjalar, berharap pintu segera dibuka.

Krekk …!

“Oppung–”

“Masuk!” Seorang pria tua berpakaian sederhana, keluar dari dalam dan memotong omongan Parlin. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Tak ada yang istimewa kecuali Ulos yang bertengger di bahunya.

****

Bahri baru saja pulang dari warung. Lelaki itu berjalan menyusuri jalan setapak sambil mengisap rokok dengan santai. Samar-samar ia mendengar suara langkah terseret agak jauh di belakang. Suasana hening, membuat suara tadi terdengar dengan jelas. Bahri segera menoleh ke belakang.

Kosong. Tidak ada apa-apa.

“Ck! Apa cuma suara tupai, ya?” gumamnya sendiri.

Namun, baru beberapa meter lelaki itu melanjutkan langkah, suara kaki terseret tadi kembali terdengar.

“Siapa?” tanyanya lantang.

Hening.

“Pantek! Keluar kalian anjing! Kalian kira aku takut dipermainkan begini? Keluar woii Sal, Jo …!”

Bahri menunggu sebentar, mengira teman-temannya di warung tadi mengerjainya. Namun, hingga beberapa menit, tak ada seorang pun yang muncul.

“Ah, sialan!” makinya kesal. Namun, tak urung nyalinya sedikit ciut.

Bahri mempercepat langkah sambil membuang sisa rokok yang tinggal separuh. Bulu kuduknya perlahan mulai meremang. Para binatang malam serentak bersuara saling bersahutan, seolah ada sesuatu yang mengganggu mereka. Bahri semakin panik. Beberapa kali kakinya terantuk oleh batu dan akar pepohonan yang timbul dari dalam tanah. Kini langkahnya bahkan mulai terseok-seok.

Aroma bangkai menyeruak membuat perutnya mendadak mual, berganti wangi bunga Kamboja, dan disusul bau-bau lainnya menusuk indra penciuman lelaki 30 tahunan itu. Semakin cepat Bahri melangkah, semakin cepat pula suara kaki di belakangnya mengejar. Tanpa pikir panjang ia pun lari tunggang langgang.

“Mah …! Rahmah, buka pintu!” teriaknya dengan nafas memburu. Sepasang matanya menatap ke belakang dengan liar, mencari tahu apakah ada sesuatu yang mengikuti.

Bahri menggedor pintu rumahnya seperti orang kesetanan ketika tiba-tiba ia merasakan nafasnya seperti tercekat. Tengkuknya pun terasa berat, dan semakin berat. Dicengkeramnya gagang pintu hingga kulit di balik kuku-kukunya memucat. Bahri berusaha bertahan sekuat tenaga dari sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak tahu apa. Wajahnya memerah dengan urat-urat yang menonjol seperti hendak meledak. Sepasang matanya terbelalak lebar, seolah ada sepasang tangan yang sedang mencekik lehernya.

Klek!

Suara anak kunci terdengar diputar dari dalam. Disusul dengan terbukanya daun pintu.

“A–abang, kenapa?”

Bahri terkejut dan membeku. Lalu perlahan lelaki itu merasakan udara kembali masuk ke dalam paru-parunya. Tangannya yang tadi mencengkeram gagang pintu, telah terlepas begitu saja.

“Awas!” seru lelaki itu ketus.

Tubuh ramping Rahmah terdesak ke samping karena didorong oleh Bahri, lalu membentur daun pintu. Wanita itu sedikit meringis menatap kepergian suaminya. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan istrinya yang bingung bercampur khawatir. Tidak biasanya Bahri bersikap seperti itu.

Setelah mengunci pintu, Rahmah kembali ke dalam dan menemui suaminya. Namun, aneh karena ternyata pintu kamar dikunci dari dalam.

“Bang … Abang! Kenapa pintunya dikunci?” Rahmah mengetuk pintu itu pelan, tapi tak ada jawaban.

Wanita itu mendesah, kemudian berlalu ke kamar sebelah. Rahmah hafal betul perangai suaminya yang tidak mau diganggu kalau sedang sendiri.

****

Di kamar, Bahri sudah bergelung di bawah selimut tebal. Seluruh tubuhnya gemetar tanpa bisa dikendalikan. Mulutnya komat-kamit mengucapkan sesuatu yang tak jelas. Tiba-tiba selimut itu tersibak dan jatuh ke lantai dengan sendirinya. Hampir saja Bahri menjerit, kalau saja tidak ingat gengsinya sebagai seorang jawara kampung.

Bahri nekat turun dari ranjang untuk mengambil selimut itu, tetapi belum lagi kakinya menjejak lantai, sepasang matanya telah menangkap sesuatu di langit-langit kamar yang belum di asbes. Di rangka atap rumah, tampak sesosok makhluk seperti anak kecil sedang merangkak, menempel seperti cicak pada atap rumah.

Sontak, tubuh dan bibirnya bergetar hebat melihat penampakan di depan. Keringat mengalir deras, membasahi sekujur tubuh Bahri yang kaku. Bulir air menggantung di pelupuk matanya tanpa bisa bergerak seinci pun.

Bocah kecil itu menyeringai lebar. Gigi-giginya yang kotor dan hitam dengan bercak darah di sela-sela bibirnya menambah kengerian Bahri. Dalam ketakutan yang sangat, hatinya bertanya-tanya, setan kecil itu mau apa dengan dirinya? Mengapa ia mendapat teror mengerikan seperti ini?

Bahri mengerjapkan mata berkali-kali. Ingin segera berlari dari tempat itu, tapi entah mengapa tubuhnya tak bisa digerakkan.

Seperti paham apa yang terjadi, anak kecil tadi tiba-tiba tertawa dengan begitu nyaring. Suaranya melengking memekakkan telinga.

‘Semoga ada yang mendengar. Semoga Rahmah cepat masuk ke kamar ini,’ batin Bahri dalam kepanikan.

Lelaki itu frustrasi. Masalahnya sejak tadi dia sama sekali tidak melihat istrinya datang menyusul. Apa jangan-jangan ….

Creek … krieettt!

“Aaaaah …!” Bahri menutup telinganya dengan kedua tangan saat anak kecil tadi merayap di seng rumah dengan kukunya yang tajam. Ngilu dan menyayat gendang telinga mendengar suara kukunya beradu dengan seng.

Melihat reaksi Bahri, anak itu merasa terhibur. Ia mulai menekankan kuku-kukunya lebih kuat ke atap rumah Bahri lalu perlahan menyeret tangannya sambil tertawa-tawa. Awalnya perlahan, kemudian semakin brutal.

Suara berderak dan berdecit yang ditimbulkan akibat gesekan seng dan kuku anak itu membuat jeritan Bahri semakin menjadi-jadi. Lalu, tiba-tiba anak kecil itu melompat dan jatuh tepat di atas tubuh Bahri hingga ia terhuyung, dan–

Bruk!

Keduanya mendarat di lantai dengan bunyi gedebuk yang kuat.

‘Jangan! Tolong jangan ganggu aku. Tolong …!’

Kalimat itu hanya tertahan di tenggorokan Bahri tanpa bisa dikeluarkan. Lidahnya kelu! Hanya matanya yang melotot tampak mengenaskan, Bahri berharap dikasihani.

Akan tetapi, anak kecil yang mengunjunginya itu bukanlah anak biasa. Dia adalah “Pangulubalang”.

Bahri yang sudah tidak mampu berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah saat kuku-kuku panjang dan hitam itu perlahan mengoyak kulitnya. Air matanya yang tadi sudah menyeruak, kini mengalir deras tak dapat lagi tertahan.

Darah segar pun terciprat dari lubang yang tercipta di antara daging yang baru saja menganga. Semakin dalam, hingga jari-jari kecil itu bisa merasakan detak yang semakin memelan di dalam sana.

Anak itu kembali menyeringai seperti menemukan mainan baru. Ia merenggutnya dengan penuh semangat.

Tubuh Bahri pun seketika mengejang dan akhirnya … tergeletak mengenaskan.

****

Kampung Besari geger dengan kematian Bahri yang tidak wajar. Beberapa di antara warga termasuk teman-teman lelaki itu, menuduh Rahmah sebagai pelaku pembunuhan terhadap suaminya. Bahkan mereka tak segan-segan melayangkan pukulan kepada wanita malang itu. Beruntung aksi mereka dihentikan oleh kepala desa yang datang bersama warga lainnya.

Pemakaman buru-buru dan ala kadarnya pun dilakukan. Hanya Fardhu Kifayah yang dilaksanakan, sedangkan pengajian, tahlilan, dan lainnya sama sekali tidak dilakukan. Warga kampung enggan menghadiri acara pemakaman Bahri. Beredar desas-desus, kalau siapa pun yang datang ke tahlilan Bahri, akan menjadi korban berikutnya. Entah siapa yang memulai, tapi rumah Bahri benar-benar sepi malam harinya. Hanya ada beberapa teman Bahri yang setia.

Tak jauh dari rumah Bahri, tampak Parlin sedang berdiri di antara pepohonan, menatap ke arah rumah di hadapannya sana. Pandangannya jauh menerawang, kembali pada kejadian beberapa tahun lalu saat ia dan Rahmah masih berstatus sebagai suami-istri. Kehidupannya dengan Rahmah sangat bahagia.

Namun, kebahagiaan mereka direnggut paksa oleh Bahri. Ia memperkosa Rahmah dan membuat skenario seolah mereka pasangan selingkuh. Parlin sakit hati dan memilih pergi. Bahri dan Rahmah pun dinikahkan oleh warga kampung sebagai konsekuensi dari perzinaan. Dari hasil kejadian malam itu, Rahmah melahirkan seorang bayi laki-laki dan diberi nama Satria.

Hingga suatu hari tanpa sengaja Parlin mengetahui bahwa kejadian dulu adalah skenario Bahri. Lelaki bertubuh kurus itu marah besar. Sebuah dendam, menggunung dalam dadanya. Dengan membawa dendam itu dia menemui Sutan Panompuan untuk meminta ‘ilmu’. Oleh pria tua itu, Parlin diminta mencari seorang anak dan harus dibesarkan sendiri. Semua keinginan sang anak harus dituruti.

Parlin masih ingat jelas bagaimana hari-hari yang dilewatinya selama membesarkan anak hasil zina dari istrinya dan Bahri. Namun, rasa sakit hati dan dendam membuat ia mampu bertahan. Parlin bahkan tidak tahu alasan mengapa dia harus membesarkan anak itu. Yang ia tahu, semakin dia membesarkan anak itu dengan baik, semakin cepat dirinya bisa membalaskan dendam. Hingga tibalah waktu yang ditunggu-tunggunya. Sutan Panompuan datang melalui mimpi dan meminta Parlin berkunjung ke gubuknya bersama anak itu.

****

Di belakang gubuk tua itu sudah tersedia sebuah tungku dengan api menyala-nyala. Sutan Panompuan memberi isyarat kepada Parlin agar mendekat bersama anak kecil yang dibawanya.

“Buka mulutnya,” lirih si Oppung tanpa ekspresi. Sementara tangannya sibuk mengaduk cairan timah yang sedari tadi dia panaskan di dalam wadah.

Parlin sedikit tergagap. Begitu juga dengan anak kecil itu. Segera saja sang bocah beringsut ke belakang tubuh Parlin untuk mencari perlindungan. Namun, Parlin merasakan sensasi aneh saat tangan kecil di belakangnya gemetar ketakutan. Rasanya … sedikit menyenangkan.

“Tidak apa-apa. Bapak temani. Gak akan apa-apa, kok,” bujuk Parlin lembut untuk meyakinkan anak itu. Sebuah senyum bahkan ia ciptakan demi meyakinkan ucapannya tadi.

Satria sangat percaya kepada Parlin. Anak itu menganggapnya sebagai ayah kandung, karena memang dia diculik saat usia 6 bulan, hingga kini berusia 5 tahun. Hanya ada Parlin di dalam hidupnya dan pria itu tidak pernah berbohong padanya.

Karena itu Satria menurut saja ketika Parlin menggeser tubuhnya agar berada tepat di depan sang bapak. Ia lalu menyuruh Satria membuka mulut. Anak kecil itu menurut tanpa ragu sedikit pun.

Di saat itulah, Sutan Panompuan tiba-tiba menyiramkan cairan timah panas di atas tungku ke dalam mulut anak itu, sementara Parlin memegangi tubuh kecilnya yang menggelepar sebentar sebelum kemudian terkulai tak berdaya.

Tubuh itu kemudian dipotong-potong oleh Parlin sesuai arahan Sutan Panompuan. Setiap kali Parlin mengayunkan pisau untuk memotong, setiap kali itu pula rasa aneh yang tadi dirasakannya datang kembali, dan itu membuatnya bersemangat.

Semua potongan dimasukkan ke dalam kendi yang terbuat dari tanah dan dibiarkan membusuk setelah ditambahkan beberapa ramuan lainnya. Setelah beberapa waktu, hasil fermentasi dari tubuh Satria disaring lalu dimasukkan ke dalam botol. Kemudian sisanya dibakar, lalu dikumpulkan abunya.

“Gunakan minyak dan abu itu untuk memanggil arwah Satria. Lakukan seperti yang aku ajarkan,” ucap Sutan Panompuan setelah semua ritual selesai mereka lakukan.

“Terima kasih banyak atas pertolongan, Oppung,” balas Parlin dengan bersungguh-sungguh. Ia lalu mengeluarkan sejumput emas dari dalam saku. “Ini tanda terima kasih saya, Pung,” imbuhnya.

****

Parlin tersadar dari lamunannya ketika merasakan ada sesuatu di belakangnya. Lelaki itu menoleh dan melihat Satria sudah ada di sana. Berdiri dengan patuh.

“Ayo pulang. Besok main lagi,” ajaknya.


___SELESAI____


Keterangan :

Oppung : kakek dalam bahasa batak

Ulos : Tenunan khas batak. biasanya dipakai sebagai selempang oleh kaum pria, bisa juga sebagai penutup kepala.

Pangulubalang : urutan mistis tertinggi di suku batak

Pantek : Umpatan kasar dalam bahasa batak

 

Catatan:

Karya ini adalah fiksi, jika ada kesamaan nama, kejadian hanyalah kebetulan saja.
Mistis Pangulubalang hanya referensi penulis, bukan keadaan sebenarnya.




Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url