PANGULUBALANG - Amran Ali

Malam
begitu pekat dan sunyi. Hanya suara binatang malam yang terdengar diiringi
desau angin, menciptakan sebuah melodi hutan yang mencekam. Di kejauhan,
tampak sesosok pria sedang menyusuri jalan setapak menuju gubuk tua di pinggir
hutan belakang kampung. Matanya disipitkan agar bisa melihat lebih jelas jalan
di depan sana. Tak lama, gerimis pun turun menambah lengkap penderitaan Parlin
malam itu.
“Oppung! Buka dulu pintunya, Oppung!”
Parlin
menggedor pintu gubuk kuat-kuat. Ekspresi tidak sabar tercetak jelas di
wajahnya yang ditumbuhi cambang serta kumis tak terurus. Tak ada reaksi dari
dalam. Parlin ingat pesan temannya, kalau ia harus bersabar hingga pintu
dibukakan seseorang. Ia pun menabahkan hati dan bertahan di tempatnya semula.
Dinginnya udara tak menyurutkan tekadnya untuk menemui pemilik gubuk.
“Aku
harus bertemu dengan Oppung Panompuan,” lirihnya sambil mendekap tubuh dengan
kedua tangan.
Giginya bergemeletuk, dan perutnya turut bersuara.
Parlin menggeleng pelan untuk mengusir rasa pusing yang mulai menjalar,
berharap pintu segera dibuka.
Krekk …!
“Oppung–”
“Masuk!”
Seorang pria tua berpakaian sederhana, keluar dari dalam dan memotong omongan
Parlin. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Tak ada yang istimewa kecuali Ulos yang
bertengger di bahunya.
****
Bahri baru saja pulang dari
warung. Lelaki itu berjalan menyusuri jalan setapak sambil mengisap rokok
dengan santai. Samar-samar ia mendengar suara langkah terseret agak jauh di
belakang. Suasana hening, membuat suara tadi terdengar dengan jelas. Bahri
segera menoleh ke belakang.
Kosong. Tidak ada apa-apa.
“Ck!
Apa cuma suara tupai, ya?” gumamnya sendiri.
Namun, baru beberapa
meter lelaki itu melanjutkan langkah, suara kaki terseret tadi kembali
terdengar.
“Siapa?” tanyanya lantang.
Hening.
“Pantek!
Keluar kalian anjing! Kalian kira aku takut dipermainkan begini? Keluar woii
Sal, Jo …!”
Bahri menunggu sebentar, mengira teman-temannya di
warung tadi mengerjainya. Namun, hingga beberapa menit, tak ada seorang pun
yang muncul.
“Ah, sialan!” makinya kesal. Namun, tak urung nyalinya
sedikit ciut.
Bahri mempercepat langkah sambil membuang sisa rokok
yang tinggal separuh. Bulu kuduknya perlahan mulai meremang. Para binatang
malam serentak bersuara saling bersahutan, seolah ada sesuatu yang mengganggu
mereka. Bahri semakin panik. Beberapa kali kakinya terantuk oleh batu dan akar
pepohonan yang timbul dari dalam tanah. Kini langkahnya bahkan mulai
terseok-seok.
Aroma bangkai menyeruak membuat perutnya mendadak
mual, berganti wangi bunga Kamboja, dan disusul bau-bau lainnya menusuk indra
penciuman lelaki 30 tahunan itu. Semakin cepat Bahri melangkah, semakin cepat
pula suara kaki di belakangnya mengejar. Tanpa pikir panjang ia pun lari
tunggang langgang.
“Mah …! Rahmah, buka pintu!” teriaknya dengan
nafas memburu. Sepasang matanya menatap ke belakang dengan liar, mencari tahu
apakah ada sesuatu yang mengikuti.
Bahri menggedor pintu rumahnya
seperti orang kesetanan ketika tiba-tiba ia merasakan nafasnya seperti
tercekat. Tengkuknya pun terasa berat, dan semakin berat. Dicengkeramnya
gagang pintu hingga kulit di balik kuku-kukunya memucat. Bahri berusaha
bertahan sekuat tenaga dari sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak tahu apa.
Wajahnya memerah dengan urat-urat yang menonjol seperti hendak meledak.
Sepasang matanya terbelalak lebar, seolah ada sepasang tangan yang sedang
mencekik lehernya.
Klek!
Suara anak kunci terdengar
diputar dari dalam. Disusul dengan terbukanya daun pintu.
“A–abang,
kenapa?”
Bahri terkejut dan membeku. Lalu perlahan lelaki itu
merasakan udara kembali masuk ke dalam paru-parunya. Tangannya yang tadi
mencengkeram gagang pintu, telah terlepas begitu saja.
“Awas!” seru
lelaki itu ketus.
Tubuh ramping Rahmah terdesak ke samping karena
didorong oleh Bahri, lalu membentur daun pintu. Wanita itu sedikit meringis
menatap kepergian suaminya. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam rumah tanpa
memedulikan istrinya yang bingung bercampur khawatir. Tidak biasanya Bahri
bersikap seperti itu.
Setelah mengunci pintu, Rahmah kembali ke
dalam dan menemui suaminya. Namun, aneh karena ternyata pintu kamar dikunci
dari dalam.
“Bang … Abang! Kenapa pintunya dikunci?” Rahmah
mengetuk pintu itu pelan, tapi tak ada jawaban.
Wanita itu
mendesah, kemudian berlalu ke kamar sebelah. Rahmah hafal betul perangai
suaminya yang tidak mau diganggu kalau sedang sendiri.
****
Di
kamar, Bahri sudah bergelung di bawah selimut tebal. Seluruh tubuhnya gemetar
tanpa bisa dikendalikan. Mulutnya komat-kamit mengucapkan sesuatu yang tak
jelas. Tiba-tiba selimut itu tersibak dan jatuh ke lantai dengan sendirinya.
Hampir saja Bahri menjerit, kalau saja tidak ingat gengsinya sebagai seorang
jawara kampung.
Bahri nekat turun dari ranjang untuk mengambil
selimut itu, tetapi belum lagi kakinya menjejak lantai, sepasang matanya telah
menangkap sesuatu di langit-langit kamar yang belum di asbes. Di rangka atap
rumah, tampak sesosok makhluk seperti anak kecil sedang merangkak, menempel
seperti cicak pada atap rumah.
Sontak, tubuh dan bibirnya bergetar
hebat melihat penampakan di depan. Keringat mengalir deras, membasahi sekujur
tubuh Bahri yang kaku. Bulir air menggantung di pelupuk matanya tanpa bisa
bergerak seinci pun.
Bocah kecil itu menyeringai lebar.
Gigi-giginya yang kotor dan hitam dengan bercak darah di sela-sela bibirnya
menambah kengerian Bahri. Dalam ketakutan yang sangat, hatinya bertanya-tanya,
setan kecil itu mau apa dengan dirinya? Mengapa ia mendapat teror mengerikan
seperti ini?
Bahri mengerjapkan mata berkali-kali. Ingin segera
berlari dari tempat itu, tapi entah mengapa tubuhnya tak bisa digerakkan.
Seperti
paham apa yang terjadi, anak kecil tadi tiba-tiba tertawa dengan begitu
nyaring. Suaranya melengking memekakkan telinga.
‘Semoga ada yang
mendengar. Semoga Rahmah cepat masuk ke kamar ini,’ batin Bahri dalam
kepanikan.
Lelaki itu frustrasi. Masalahnya sejak tadi dia sama
sekali tidak melihat istrinya datang menyusul. Apa jangan-jangan ….
Creek
… krieettt!
“Aaaaah …!” Bahri menutup telinganya dengan kedua
tangan saat anak kecil tadi merayap di seng rumah dengan kukunya yang tajam.
Ngilu dan menyayat gendang telinga mendengar suara kukunya beradu dengan
seng.
Melihat reaksi Bahri, anak itu merasa terhibur. Ia mulai
menekankan kuku-kukunya lebih kuat ke atap rumah Bahri lalu perlahan menyeret
tangannya sambil tertawa-tawa. Awalnya perlahan, kemudian semakin brutal.
Suara
berderak dan berdecit yang ditimbulkan akibat gesekan seng dan kuku anak itu
membuat jeritan Bahri semakin menjadi-jadi. Lalu, tiba-tiba anak kecil itu
melompat dan jatuh tepat di atas tubuh Bahri hingga ia terhuyung, dan–
Bruk!
Keduanya
mendarat di lantai dengan bunyi gedebuk yang kuat.
‘Jangan! Tolong
jangan ganggu aku. Tolong …!’
Kalimat itu hanya tertahan di
tenggorokan Bahri tanpa bisa dikeluarkan. Lidahnya kelu! Hanya matanya yang
melotot tampak mengenaskan, Bahri berharap dikasihani.
Akan tetapi,
anak kecil yang mengunjunginya itu bukanlah anak biasa. Dia adalah
“Pangulubalang”.
Bahri yang sudah tidak mampu berbuat apa-apa,
hanya bisa pasrah saat kuku-kuku panjang dan hitam itu perlahan mengoyak
kulitnya. Air matanya yang tadi sudah menyeruak, kini mengalir deras tak dapat
lagi tertahan.
Darah segar pun terciprat dari lubang yang tercipta
di antara daging yang baru saja menganga. Semakin dalam, hingga jari-jari
kecil itu bisa merasakan detak yang semakin memelan di dalam sana.
Anak
itu kembali menyeringai seperti menemukan mainan baru. Ia merenggutnya dengan
penuh semangat.
Tubuh Bahri pun seketika mengejang dan akhirnya …
tergeletak mengenaskan.
****
Kampung Besari geger dengan
kematian Bahri yang tidak wajar. Beberapa di antara warga termasuk teman-teman
lelaki itu, menuduh Rahmah sebagai pelaku pembunuhan terhadap suaminya. Bahkan
mereka tak segan-segan melayangkan pukulan kepada wanita malang itu. Beruntung
aksi mereka dihentikan oleh kepala desa yang datang bersama warga lainnya.
Pemakaman
buru-buru dan ala kadarnya pun dilakukan. Hanya Fardhu Kifayah yang
dilaksanakan, sedangkan pengajian, tahlilan, dan lainnya sama sekali tidak
dilakukan. Warga kampung enggan menghadiri acara pemakaman Bahri. Beredar
desas-desus, kalau siapa pun yang datang ke tahlilan Bahri, akan menjadi
korban berikutnya. Entah siapa yang memulai, tapi rumah Bahri benar-benar sepi
malam harinya. Hanya ada beberapa teman Bahri yang setia.
Tak jauh
dari rumah Bahri, tampak Parlin sedang berdiri di antara pepohonan, menatap ke
arah rumah di hadapannya sana. Pandangannya jauh menerawang, kembali pada
kejadian beberapa tahun lalu saat ia dan Rahmah masih berstatus sebagai
suami-istri. Kehidupannya dengan Rahmah sangat bahagia.
Namun,
kebahagiaan mereka direnggut paksa oleh Bahri. Ia memperkosa Rahmah dan
membuat skenario seolah mereka pasangan selingkuh. Parlin sakit hati dan
memilih pergi. Bahri dan Rahmah pun dinikahkan oleh warga kampung sebagai
konsekuensi dari perzinaan. Dari hasil kejadian malam itu, Rahmah melahirkan
seorang bayi laki-laki dan diberi nama Satria.
Hingga suatu hari
tanpa sengaja Parlin mengetahui bahwa kejadian dulu adalah skenario Bahri.
Lelaki bertubuh kurus itu marah besar. Sebuah dendam, menggunung dalam
dadanya. Dengan membawa dendam itu dia menemui Sutan Panompuan untuk meminta
‘ilmu’. Oleh pria tua itu, Parlin diminta mencari seorang anak dan harus
dibesarkan sendiri. Semua keinginan sang anak harus dituruti.
Parlin
masih ingat jelas bagaimana hari-hari yang dilewatinya selama membesarkan anak
hasil zina dari istrinya dan Bahri. Namun, rasa sakit hati dan dendam membuat
ia mampu bertahan. Parlin bahkan tidak tahu alasan mengapa dia harus
membesarkan anak itu. Yang ia tahu, semakin dia membesarkan anak itu dengan
baik, semakin cepat dirinya bisa membalaskan dendam. Hingga tibalah waktu yang
ditunggu-tunggunya. Sutan Panompuan datang melalui mimpi dan meminta Parlin
berkunjung ke gubuknya bersama anak itu.
****
Di
belakang gubuk tua itu sudah tersedia sebuah tungku dengan api menyala-nyala.
Sutan Panompuan memberi isyarat kepada Parlin agar mendekat bersama anak kecil
yang dibawanya.
“Buka mulutnya,” lirih si Oppung tanpa ekspresi.
Sementara tangannya sibuk mengaduk cairan timah yang sedari tadi dia panaskan
di dalam wadah.
Parlin sedikit tergagap. Begitu juga dengan anak
kecil itu. Segera saja sang bocah beringsut ke belakang tubuh Parlin untuk
mencari perlindungan. Namun, Parlin merasakan sensasi aneh saat tangan kecil
di belakangnya gemetar ketakutan. Rasanya … sedikit menyenangkan.
“Tidak
apa-apa. Bapak temani. Gak akan apa-apa, kok,” bujuk Parlin lembut untuk
meyakinkan anak itu. Sebuah senyum bahkan ia ciptakan demi meyakinkan
ucapannya tadi.
Satria sangat percaya kepada Parlin. Anak itu
menganggapnya sebagai ayah kandung, karena memang dia diculik saat usia 6
bulan, hingga kini berusia 5 tahun. Hanya ada Parlin di dalam hidupnya dan
pria itu tidak pernah berbohong padanya.
Karena itu Satria menurut
saja ketika Parlin menggeser tubuhnya agar berada tepat di depan sang bapak.
Ia lalu menyuruh Satria membuka mulut. Anak kecil itu menurut tanpa ragu
sedikit pun.
Di saat itulah, Sutan Panompuan tiba-tiba menyiramkan
cairan timah panas di atas tungku ke dalam mulut anak itu, sementara Parlin
memegangi tubuh kecilnya yang menggelepar sebentar sebelum kemudian terkulai
tak berdaya.
Tubuh itu kemudian dipotong-potong oleh Parlin sesuai
arahan Sutan Panompuan. Setiap kali Parlin mengayunkan pisau untuk memotong,
setiap kali itu pula rasa aneh yang tadi dirasakannya datang kembali, dan itu
membuatnya bersemangat.
Semua potongan dimasukkan ke dalam kendi
yang terbuat dari tanah dan dibiarkan membusuk setelah ditambahkan beberapa
ramuan lainnya. Setelah beberapa waktu, hasil fermentasi dari tubuh Satria
disaring lalu dimasukkan ke dalam botol. Kemudian sisanya dibakar, lalu
dikumpulkan abunya.
“Gunakan minyak dan abu itu untuk memanggil
arwah Satria. Lakukan seperti yang aku ajarkan,” ucap Sutan Panompuan setelah
semua ritual selesai mereka lakukan.
“Terima kasih banyak atas
pertolongan, Oppung,” balas Parlin dengan bersungguh-sungguh. Ia lalu
mengeluarkan sejumput emas dari dalam saku. “Ini tanda terima kasih saya,
Pung,” imbuhnya.
****
Parlin tersadar dari lamunannya
ketika merasakan ada sesuatu di belakangnya. Lelaki itu menoleh dan melihat
Satria sudah ada di sana. Berdiri dengan patuh.
“Ayo pulang. Besok
main lagi,” ajaknya.
___SELESAI____
Keterangan :
Oppung
: kakek dalam bahasa batak
Ulos : Tenunan khas batak. biasanya
dipakai sebagai selempang oleh kaum pria, bisa juga sebagai penutup kepala.
Pangulubalang
: urutan mistis tertinggi di suku batak
Pantek : Umpatan kasar
dalam bahasa batak
Catatan:
Karya ini adalah fiksi, jika
ada kesamaan nama, kejadian hanyalah kebetulan saja.
Mistis Pangulubalang
hanya referensi penulis, bukan keadaan sebenarnya.