SEWIDAK - Ilal Angke Ring
- Juara Harapan lomba Creepypasta 2023 -
SEWIDAK
Ilal Angke Ring
“Kau masih saja percaya hal-hal tidak logis seperti itu, Lis?”
Sam menyorongkan kembali buku kunjungan pasien itu. Dia mengabaikan wajah Listia, sang asisten, yang masih terlihat kukuh mempertahankan keyakinannya.
“Dulu, nenek saya bilang bahwa angka 60 atau sewidak itu sangat keramat, Pak Dokter. Sewidak itu artinya wes wayahe tindak. Maksudnya mati. Hal buruk ….”
“Kau salah menafsirkan nasihat nenekmu, Lis. Astaga!” Dokter Sam memotong perkataan asistennya. Dia menepuk dahi lalu mendongakkan kepala, menatap tajam wajah Listia. “Akronim kata sewidak itu berkaitan dengan usia, sangat filosofis. Bahwa usia 60 tahun adalah umur senja seseorang. Maknanya, pada usia tersebut seseorang hendaknya mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi kematiannya. Begitu. 60 bukan angka keramat dan pertanda buruk kematian seperti yang kau katakan.” Panjang lebar akhir Sam menjelaskan.
“Tapi, Pak Dokter ….”
“Sudah, panggil pasien itu sekarang.”
Listia melangkah ke pintu, diiringi gelengan kepala Dokter Sam. Ada-ada saja tingkah asistennya yang sudah bekerja kepadanya selama enam tahun itu.
Listia merupakan pekerja yang cekatan dan teliti. Bahkan, untuk pengulangan angka yang tadi dia katakan pun tidak luput dari perhatiannya. Melihat etos kerjanya tersebut, Sam langsung merekrut Sintia setelah masa magang di tempat praktik pengobatannya ini selesai dan Listia mendapatkan sertifikat lulus di akademi perawatan.
Keberatan Listia berkaitan dengan nomor antrean pasien yang kebetulan sama selama tiga kali pertemuan ini. Nomor 60. Padahal hal itu merupakan kejadian acak yang masuk akal. Lantaran kesibukannya, pasien itu, seorang laki-laki yang seumur dengannya, datang sesuai dengan jam istirahat, pukul satu siang. Ketepatan waktu merupakan hal utama dalam kehidupan sekarang. Jadi, apa istimewanya jika jadwal pemeriksaan itu bertepatan dengan berulangnya nomor antrean?
Pasien yang dimaksud Listia, laki-laki 60-an. Profesinya sebagai tukang bangunan. Datang ke klinik dokter umum ini dengan cukup banyak keluhan. Nyeri sendi, tensi darah yang tinggi, dan asma. Tiga minggu ini dia memutuskan untuk cek rutin, terutama keluhan sendinya.
“Tuh kan, Dokter, dia selalu menjadi pasien terakhir, usia 60 tahun ….”
“Listia ….” Sam memotong ucapan berbisik gadis itu dan lekas mengambil kartu berobat yang dia berikan, membaca dengan cepat riwayat diagnosis pertemuan sebelumnya. Listia sendiri dengan masygul memaksa wajahnya tersenyum, menyilakan pasien itu berbaring untuk melakukan prosedur standar, mengecek tensi darah.
Sam bangkit sembari memasang stetoskop ke telinga.
“Masih sering sesak napas, Bapak?” tanyanya memulai sesi pemeriksaan.
Laki-laki itu mengangguk, ada garis senyum kaku di wajahnya. Tercetak di wajah yang dipenuhi bopeng dan bibir hitam tebal, senyum itu lebih mirip seringai. Bisa dimaklumi jika Listia merasa takut melihatnya sehingga menghubungkan wajahnya dengan segala mitos yang serba kebetulan.
Tarikan napas pasien terasa normal, hanya jantungnya yang berdetak tidak normal. Sam memandang wajah laki-laki itu yang terlihat tegang.
“Bapak baik-baik saja …?” Baru saja bertanya demikian, Sam mendadak merasakan nyeri melanda pangkal lengan kanannya, seperti ada sesuatu yang menusuk. Pasien yang terbaring segera bangun, menahan tubuh Sam yang terjatuh.
***
Di bawah impitan Sam, tubuh gadis itu melejang-melejang. Wajah yang menyerah kalah itu lantas layu kehilangan daya. Tidak ada lagi teriakannya yang memohon-mohon untuk dilepaskan.
Sam mengusap peluh. Setelah tindakan buasnya, hanya tersisa keheningan di ruangan itu. Sam menyeringai puas, ditatapnya wajah gadis remaja yang tidak lagi bergerak tersebut.
“Kau juga menikmatinya, bukan?” Sam berbisik ke telinga si gadis ….
Sam lantas merasakan tubuhnya seperti dilontarkan ke suatu tempat yang lain.
Argh!
Sam meronta-ronta. Dia coba membuka matanya. Dia tahu ini hanya mimpi. Setidaknya dia berharap demikian.
Sam mencoba menggerakkan tangan yang seperti terikat, maksudnya hendak menutupi telinganya, menolak suara yang terus-menerus mengulang ucapan yang sama. Suara perempuan, terdengar seperti keluar dari lubang yang sangat dalam.
“Kau juga menikmatinya, bukan?”
“Kau juga menikmatinya, bukan?”
Argghh!!!
Sam akhirnya mampu berteriak. Belum pernah dia merasakan takut luar biasa seperti sekarang. Sekali lagi Sam berusaha meronta, melepaskan dirinya dari situasi aneh tersebut. Dia tidak tahu persisnya apa, tetapi seperti ancaman kematian, sesuatu yang meneror jiwanya.
‘Dokter Sam, ah! Jangan lakukan ….” Satu suara halus kembali menusuk telinga, membuatnya kembali tersuruk lebih dalam lagi ke dunia yang tidak bisa dia definisikan. Gelap. Sam menggerakkan kaki, mencoba berlari. Berhasil. Namun, suara-suara itu terus mengejarnya di belakang.
“Tolong!!!” Sam sekali lagi berteriak kencang. Sam berhasil membuka matanya. Terbelalak. Akan tetapi, mendadak ada paras putih dan pucat seorang gadis muncul dekat sekali dengan wajahnya, membuat kaget luar biasa. Sam menutup matanya kembali.
Perlahan Sam membuka mata. Kali ini dia bisa menghela napas lega. Tidak ada lagi wajah menyeramkan itu di depanya.
Sam bangkit dari tempat tidur, duduk dengan gemetar. Keringat membasahi sekujur tubuh yang lemas tidak bertenaga.
Memandang sekeliling, Sam mendapati dirinya masih berada di ruang praktiknya, di atas tempat tidur pasien. Beberapa lembar kertas berserakan di lantai. Pandangannya tertuju kepada tiga lembar data kunjungan pasien dengan kolom nomor antrean 60 yang dilingkari. Pandangannya lantas singgah ke lemari obat-obatan. Ada sesuatu yang menempel di sana. Gambar sebuah rambu-rambu lalu lintas bertuliskan “KM 60”. Entah apa maksudnya.
Kepala Sam berdenyut, mencoba mengingat-ingat. Mimpinya barusan …. Bukan mimpi, peristiwa itu pernah nyata, saat dia memperkosa seorang gadis di ruangan ini. Dia benar-benar ingat sekarang, KM 60 itu ….
Sekejap ingatan masa lalu terputus saat Sam mendengar suara pintu berderit. Seseorang masuk dengan mendorong troli makanan. Di atasnya terdapat kue ulang tahun.
Namun, bukan kue tart berwarna putih itu yang menarik perhatiannya, tetapi seseorang yang mendorongnya. Listia.
Asistennya itu tersenyum ke arahnya. Listia tidak memakai baju seragam perawatnya, tetapi dress merah dan denim berwarna hitam. Bajunya tampak robek di beberapa bagian, juga celana jeans yang kancing dan resletingnya yang sudah terlepas.
“Selamat ulang tahun, Pak Dokter,” ujar Listia. Senyum manisnya tetap tidak berubah ketika menunjuk kue tart yang dia bawa. Sam melirik kue tart pucat itu. Ada angka 60 di bawah lilin yang menyala.
“Sekarang, apakah Bapak Dokter Sam bisa mengingat saya?” Listia mengajukan pertanyaan tidak terduga.
Kepala Sam rasanya mau meledak. Pakaian itu, wajah Listia. Entah apa maksud ini semua. Apakah …?
“Oh, iya …” tukas Listia sembari melambaikan tangan, “Lupakan dulu soal perbuatan bejat yang Bapak lakukan 10 tahun lalu. Biar Lis urus dulu kue ulang tahunnya.”
Listia mengambil sesuatu di atas talam kue. Sebuah pisau. Benda itu tergenggam di jemari halusnya. Berwarna coklat kehitaman dan berkarat. Pisau itu sepertinya telah dipendam di dalam tanah selama bertahun-tahun sehingga tonjolan-tonjolan karatnya terlihat sangat kasar.
“Kita perlu memotong kue ulang tahunnya, bukan?”
“Apa maksudmu, Listia? Apa-apaan ini?” Sam akhirnya mampu membentak meskipun terdengar sangat lemah.
Listia tertawa. Tawa yang manja seperti biasa.
“Ah, usia sewidak, Pak Dokter. Sejatine wayahe tindak.”
Listia mendekat.
Sam baru menyadari bahwa tubuhnya benar-benar tidak bertenaga ketika Listia mendorong pelan keningnya. Tubuh Sam kembali terbaring di tempat tidur.
“Apa, apa yang akan kau lakukan, Lis?” Sam mencicit. Dia menatap jeri pisau berkarat yang bagian tajamnya sudah tampak rumpang.
“Kita butuh warna merah untuk kuenya, Pak Dokter. Tenang saja, Bapak pasti akan menikmatinya.” Listia mengerlingkan mata, masih dengan sikap manja dan cekikikan tawa.
Tanpa banyak berkata lagi, pelan-pelan, Listia menarik celana yang dikenakan Sam.
“Apa yang kau lakukan, Listia?” Sam bertanya panik ketika merasakan sesuatu menyentuh bagian bawah perutnya. Lalu ….
“Argh!” Sam berteriak ketika pisau tumpul dan berkarat di tangan Listia mulai bekerja. Tubuhnya tampak kejang-kejang didera rasa sakit tidak terperi.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang mendera, teriakan Sam akhirnya berubah menjadi gerungan yang menyayat hati.
Beberapa menit kemudian, Sintia selesai dengan pekerjaannya. Dia memegang sesuatu dengan ujung-ujung tangan kiri, selayaknya sedang memegang benda yang menjijikkan, dan memang menjijikkan.
Diletakkannya benda yang masih berdenyut-denyut itu di atas kue tart, perlahan-lahan, seperti seorang chef yang sedang mengatur toping hidangan. Sintia tersenyum melihatnya darah yang meluber di permukaan kue. Lalu dia berpaling kembali kepada Sam yang tengah merintih.
“Tadi, Pak Dokter menikmatinya, bukan?” ujarnya, mengabaikan raut marah di wajah Sam. “Nah, sekarang karena Lis baik, Pak Dokter boleh istirahat. Lukanya sudah Lis perban. Aman.”
Listia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan anestesi dari saku celana. Segera cairan itu dia pindahkan ke alat suntik.
Sam memperhatikan botol cairan tersebut. Dia mengenalinya. Obat bius. Ucapan Listia tentang kata “istirahat” tersebut … berarti gadis ini hendak membiusnya secara total.
Namun, Sam bersorak dalam hati. Gadis bodoh itu telah salah memilih obat. Ini kesempatannya.
Kepala Sam sempurna terkulai seolah-olah tidak sadarkan diri ketika Listia menyuntik obat bius melalui pangkal lengan. Sang dokter sekuat tenaga menahan napas, sampai akhirnya terdengar langkah Listia keluar dari ruangan.
***
Beberapa lama kemudian, Sam berhasil menggerakkan tubuh. Apapun zat yang dimasukkan Listia sebelumnya, yang membuat tubuhnya kehilangan tenaga, bermimpi buruk, dan berhalusinasi, telah berkurang efeknya. Gadis itu jelas merencanakan hal buruk untuk membalas perbuatannya dulu. Akan tetapi, sekarang Sam bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri.
Selalu ada ketidaksempurnaan dalam kejahatan. Demikian Sam berpikir. Serapi apa pun Listia menjalankan rencananya, akhirnya Sam menemukan celah untuk balik melawan.
Pelan-pelan, dia mencoba bangkit, lalu beringsut turun dari tempat tidur. Hal pertama yang harus Sam lakukan adalah menangani luka di organ vitalnya. Dia memang sempat melihat Sintia menaburkan Betadine untuk menghentikan pendarahan. Namun, itu tidak akan cukup mencegah infeksi.
Susah payah Sam berjalan menuju rak obat-obatan. Dia mengacak-acak isi rak, mencari obat anti tetanus, tetapi tidak dia temukan. Kosong. Bahkan semua kotak obat-obatan itu kosong!
Sam kembali ke tempat tidur. Berbaring. Otaknya dipaksa bekerja. Sam berusaha berpikir.
Akibat bius lokal yang disuntikkan Listia tadi, pangkal lengannya mati rasa. Sam sempat memperhatikan dosis saat Listia memasukkannya ke jarum suntik. Dosis yang cukup untuk menidurkan seseorang sampai enam jam seandainya itu adalah bius total yang biasa digunakan untuk menghilangkan kesadaran pasien. Dan itu merupakan kecerobohan Listia.
Listia akan kembali dalam enam jam lagi, sesuai perkiraan semunya. Sam harus mempersiapkan diri untuk membalas. Masih cukup waktu. Dia akan pura-pura masih tidak sadarkan diri saat Listia masuk dan melakukan serangan mendadak. Itu rencana terbaik Sam.
Enam jam berlalu menurut perkiraan Sam, belum ada suara langkah Listia. Sam tetap menunggu.
Jam-jam berikutnya sama, Listia tidak masuk ke ruangan ini. Sementara lukanya semakin terasa perih. Organ intimnya itu telah membengkak dan berwarna kebiru-biruan.
Sam masih bertahan berbaring beberapa jam kemudian. Setelah tidak ada tanda kedatangan Listia, dokter umum tersebut segera memikirkan rencana lain.
Kabur. Itulah rencananya.
Ini adalah ruangan praktiknya, tentu saja dia paham seluk beluk tempat ini. Sam melihat ke arah jendela yang ditutupi gorden hijau. Jendela itu menghubungkan ruangan ini dengan dunia luar. Sam hanya perlu memecahkan kacanya.
Sam kembali beringsut turun. Pelan-pelan melangkah, mengabaikan rasa sakit luar biasa setiap kali dia bergerak. Lukanya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda infeksi, berdenyut-denyut sakit tidak berkesudahan.
Sam sampai ke jendela, lekas dia menyingkap gorden.
Namun, alangkah kagetnya Sam. Di balik gorden tersebut ternyata tembok, tidak ada bingkai jendela.
Astaga. Sam mengeluh. Ini bukanlah ruangan praktiknya. Dia menjambak rambutnya kuat-kuat, mencoba mencerna apa yang telah terjadi.
Benar apa yang Sam pikirkan. Ruangan ini adalah kamuflase, dibuat dengan meniru ruangan praktiknya. Listia merencanakan ini sangat lama. Pasien nomor antrean 60 itu adalah jawabannya. Seorang tukang bangunan yang memperhatikan setiap detail ruangannya setiap kali berobat.
Tubuh Sam melosoh ke lantai, mengusap wajah. Kembali memutar otak. Dia harus tetap bertahan hidup dan keluar dari tempat ini, bagaimanapun caranya.
Beberapa jam lagi berlalu. Sam merasa tenggorokannya kering dan rasa lapar mulai melanda perutnya, ditambah nyeri pada lukanya yang kian menghebat. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Ruangan ini didesain rapat, tidak ada celah sedikit pun di dinding dan di langit-langitnya.
Sam berteriak kesal. Teriakan yang segera lenyap ditelan ruangan yang kedap suara. Tidak ada yang akan mendengarnya. Bahkan, mungkin dia akan menemui ajal di tempat ini.
Satu-satunya hal yang dia sesali adalah rasa kemanusiaan yang mencegahnya untuk tidak menghabisi gadis itu sepuluh tahun lalu. Jika saja hal tersebut dia lakukan, alih-alih hanya menelantarkan Listia di tepi hutan, di KM 60, hal buruk ini tidak akan pernah menimpanya.
Sam memperhatikan setiap sudut ruangan. Tempat tidur dengan ceceran darah yang mengering, rak besar berisi kotak-kotak obat, juga kue tart yang diletakkan Sintia begitu saja di lantai. Sam menelan ludahnya. Dia harus menemukan jalan keluar. Harus!
Pintu.
Tertatih-tatih dokter itu kembali melangkah mendekati pintu keluar.
Sam mendelik kesal. Lagi-lagi angka. Ada dua tombol di dekat pintu. Sam mengernyitkan dahi.
“Kalau Sintia jadi Pak Dokter, Sin akan percaya dengan mitos sewidak.” Tiba-tiba terdengar suara. Sam yakin itu adalah suara Listia melalu speaker.
Sam memandang keliling, mencari keberadaan pengeras suara tersebut.
“Karena Sin baik, Sin kasih kesempatan Pak Dokter. Itu satu-satunya pintu keluar. Pilihannya mudah, pilih salah tombol itu, Pak Dokter.”
Sam berpikir. Ini situasi terbarunya. Faktanya memang Sintia keluar dari pintu ini. Pintu dengan sistem elektronik, tanpa gerendel. Namun, Sam harus bertaruh, mengikuti permainan Listia. Sam tidak punya pilihan.
Tidak. Tidak mungkin Listia memberikan petunjuk yang benar. Gadis itu sedang mempermainkannya. Di sana hanya ada dua tombol dengan angka 60 dan 50. Dengan clue tadi, tentang mitos, Sintia pasti berpikir dirinya akan memilih angka 50, sementara jebakan yang sebenarnya pasti di angka tersebut.
Sam menetapkan pilihan dengan yakin. Dia perlahan-lahan menekan tombol berangka 60.
Dan ….
Ziiing!
Sam terkapar di lantai dengan dahi berdarah.
Dalam keadaan sekarat, Sam masih bisa mendengar Sintia berkata melalui pengeras suara.
“Bukankah sudah Sin bilang, sewidak, sejatine wayahe tindak? Kenapa Pak dokter tetap memilih angka itu?”
Lampung, 15 November 2023