Topeng Kayu - Edellweiss London

Cerpen juara 2 lomba Creepypasta 2023
Topeng Kayu
Edellweiss London
Citraku tentang desa terpencil ini sudah menggelisahkan sedari awal menginjakkan kaki di sini. Gapura bertuliskan Desa Tinalah telah kulewati dua kali namun aku tetap tak menemukan jalan keluar dari kaki gunung Menoreh.
Di pertigaan kecil yang kutemui, aku bingung memilih berbelok ke kanan atau kiri. Pada pilihan pertama aku berbelok ke kiri. Tak lama kemudian aku kembali menemui gapura Desa Tinalah. Lalu pada pilihan kedua aku memilih arah sebaliknya, berbelok ke kanan. Namun setelah sekian lama berkendara, yang kutemui lagi-lagi gapura Desa Tinalah. Sepertinya sedari awal aku hanya berputar-putar di dalam labirin.
Bukan kesengajaan aku berada di jalan kecil dan sepi, tengah malam seperti ini. Yah, aku tersasar. Saking terpencilnya, wilayah ini tak lagi terdeteksi google map. Tujuanku sebenarnya adalah Desa Jatimulyo yang terletak di balik Gunung Menoreh. Aku beberapa kali berkendara ke Jatimulyo, namun seingatku tak pernah sekali pun aku melewati Tinalah. Pasti jalur yang kulalui salah total.
Kesialan rupanya tak berhenti menaungiku malam ini. Setelah salah belok entah di mana, dua kali berputar dan masih kembali ke desa Tinalah lagi, aku menjadi gugup. Kecerobohan malah membuat ban mobilku terperosok ke dalam lumpur. Jalanan licin sehabis hujan membuat selip. Aku memaksa menekan pedal gas beberapa kali, namun ban mobilku justru terperosok semakin dalam.
Aku keluar dari mobil sembari membanting pintu. Kuperiksa ban sisi kiri belakang, posisinya sungguh mengenaskan. Aku mendadak tahu, tak ada harapan keluar dari lumpur tanpa diderek.
Kulihat sekeliling, hanya ada semak, jalan setapak kecil yang mengarah ke dalam hutan, dan jalan setapak kecil lain yang mengarah ke satu rumah warga. Lampu rumah itu terlihat berpendar begitu temaram, menunjukkan betapa jauh jarak yang harus kutempuh untuk sampai ke sana dengan berjalan kaki. Namun aku tak punya pilihan lain. Tidur di dalam mobil seorang diri terlalu beresiko, kalau tak bisa dibilang menyeramkan.
Sebelum memutuskan untuk berjalan ke rumah terdekat, aku ingin membawa serta barang-barang yang ada di mobil: laptop, HP dan beberapa camilan. Namun baru saja aku memegang handle pintu, aku menyadari jika mobilku terkunci otomatis dengan kunci yang masih berada di dalam! Benar-benar kesialan yang tak ada ujung. Aku terpaksa berjalan mengendap tanpa bantuan senter HP.
“Habis ini apa lagi?” tanyaku bermonolog.
Baru melangkahkan kaki sekira sepuluh meter dari mobil, sayup-sayup kudengar langkah kaki seseorang mendekat sambil melantunkan gending Jawa. Dia bergumam dengan suara parau dan berat, khas lelaki tua. Suaranya makin lama makin mendekat ke arahku. Dari yang awalnya terdengar samar hingga menjadi sangat jelas bergaung di telinga.
humiring sang kingkin
mring Candhi Patunon
sung sesanti sang dyah kamuksane
nedya anut mring sang guru laki
kang sirna madyaning
palagan wor lebu.
Aku membeku, tak berani bergerak, apalagi membuat suara. Orang yang bernyanyi dengan suara parau itu sudah pasti manusia. Aku memilih bersembunyi di tengah kegelapan dan mengamatinya dari balik semak belukar.
Dia, lelaki bertopeng itu, memanggul karung goni yang terus bergerak di punggungnya sambil menenteng lampu petromak di satu tangan yang lain. Kala dia berdiri memunggungiku, kulihat sebilah sabit tersemat di punggungnya.
Aku hampir memekik ketika punggungnya berbalik dan cahaya petromak tak sengaja menerpa wajahnya, menampilkan seraut muka berwarna merah dengan mata melotot dan senyum meyeringai. Aku mengenalinya sebagai topeng kayu. Topeng yang menghalangi bibirnya, membuat suara paraunya berdengung saat bersenandung.
Aku makin merundukkan bahu, tak berani menampakkan muka. Kulihat sosok bertopeng itu terus mendekat ke arahku, membuat tubuhku yang semula membeku jadi membatu. Aku tidak tahu dia orang jahat atau bukan, namun setahuku orang baik tidak berkeliaran di tengah malam sambil membawa karung dan sabit. Jadi aku tak mau ambil resiko. Aku memilih tetap bersembunyi.
Dari jarak sekira empat atau lima meter dari persembunyian, kulihat lelaki bertopeng itu menurunkan karungnya yang bergerak-gerak. Tadinya kupikir rusa, ternyata isinya manusia. Dia memotong ujung karung dengan sabit, lalu mengeluakan seorang gadis dari dalamnya. Aku bergidik ngeri membayangkan apa yang akan dia lakukan pada gadis muda itu.
kadya duk ing nguni
samya sapatemon
datan nganggo rangu rangu ning tyas
hagni murub mbulat sundhul langit
saksana den byuri
swaranya jumlegur.
Suara paraunya kembali berdengung. Dia bersenandung layaknya merapal mantra. Gadis muda yang dibawanya menangis lirih dengan mulut tersumpal dan tangan terikat ke belakang. Lelaki itu menendang betis sang gadis, memaksanya berlutut. Lalu sedetik kemudian dia menggorok pelan leher gadis itu, menimbulkan suara lengking kesakitan yang begitu memilukan.
Aku terkejut meilhat pemandangan mengerikan itu, mulutku spontan menjerit, membuat lelaki bertopeng itu melihat ke arahku.
“Sopo kuwi?!” teriaknya.
Aku ketahuan. Dia menghentikan ritualnya dan berbalik mengejarku. Kini statusku telah berubah menjadi saksi pembunuhan. Tentu pembunuh bertopeng itu tak akan melepaskanku.
Meski diselimuti gulita, setidaknya aku harus berlari, harus melarikan diri. Karena jika tertangkap, pasti lah aku bakal jadi korban selanjutnya.
Aku berlari, berlari, dan terus berlari. Lelaki itu mengejarku, terus mengikuti ke mana pun aku menuju. Bodohnya aku justru berlari ke arah yang makin menjauh dari desa. Aku terengah, tak ada pilihan selain masuk lebih jauh ke dalam hutan. Aku lebih muda darinya, juga lebih gesit. Kegelapan menyelamatkanku.
Manakala langkah kakinya tak terdengar lagi, aku mulai berani memanjat ke atas pohon. Setidaknya dari atas pohon aku lebih leluasa memantau pergerakan kalau-kalau lelaki bertopeng kayu itu sampai di tempat persembunyianku.
Meski tak ada lagi pergerakan, aku tetap bertahan di atas pohon, menunggu pagi. Saat fajar tiba, kulihat dua orang pencari kayu datang dari kejauhan. Aku turun dari atas pohon dan mengagetkan mereka berdua.
Penampilanku yang berantakan sudah cukup menjelaskan pada kedua wanita itu, gambaran yang kualami semalam. Mereka membawaku ke rumahnya, rumah terdekat yang semalam bermaksud kudatangi. Mereka menyuruhku membersihkan diri sambil menenangkan diri.
“Nduk, gek ndang diombe teh e,” teriak salah satu Simbah yang menolongku.
Aku segera menyeruput the yang diangsurkannya, “Nggih, Mbah.”
“Iki gek ndang adus!” Simbah yang seorang lagi, kutaksir usianya lebih muda, memberiku sebuah handuk.
Aku bergegas ke kamar mandi, namun sesaat setelah menutup pintu, kulihat topeng kayu tergantung di balik pintu kamar mandi. Topeng merah dengan senyum menyeringai, persis seperti yang kulihat semalam. Aku panik, ingin segera pergi dari tempat itu. Seseorang di rumah ini pastilah pembunuh itu. Aku tak boleh gegabah. Aku harus secepatnya mencari jalan keluar.
“Arep nyang ngendi, cah ayu?” tanya Simbah yang tadi memberiku segelas teh.
Aku tergagap, “Mboten, Mbah, badhe golek …”
“Golek dalan nggo mlayu?” sahut Simbah yang tadi memberiku handuk.
Aku tercekat, pandanganku mengabur. Dalam kesadaran yang mulai menghilang, kudengar perempuan itu memanggil seseorang di belakangnya. Kudapati seorang lelaki tua dengan sigap memakai topeng kayunya dan mulai menggumamkan tembang Lelayu seperti yang kudengar semalam:
humiring sang kingkin
mring Candhi Patunon
sung sesanti sang dyah kamuksane
nedya anut mring sang guru laki
kang sirna madyaning
palagan wor lebu.
(end)
***
Catatan kaki:
- Sopo kuwi? : Siapa itu?
- Nduk, gek ndang diombe teh e: Nak, cepat diminum tehnya
- Iki gek ndang adus!: Ini cepat mandi
- Nggih, Mbah: Iya, Nenek
- Arep nyang ngendi, cah ayu?: Mau ke mana, anak cantik?
- Mboten, Mbah, badhe golek … : Nggak Nek, mau mencari…
- Golek dalan nggo mlayu?: Mencari jalan untuk lari?