The Deafening Silence - Oberheim Zildjian Harahap
Senin, 6 Agustus 2012
Ada dua alasan mengapa akhirnya aku memutuskan bercerita di atas kertas. Pertama, aku tidak menyukai komputer. Usiaku mungkin sudah berkepala enam, tetapi aku masih memahami cara menggunakan mesin terkutuk itu. Sialnya, Miguel–imigran berengsek yang berhasil merebut hati putri tunggalku–memberikanku satu set komputer saat hari Natal lima tahun silam.
“Kau bisa mengoperasikannya, Tuan Frank?” ucapnya.
“Aku hanya lansia. Bukannya orang tolol.”
Aku tahu dia bercanda. Namun, aku sudah terlanjur tidak menyukainya. Itu adalah hari terakhir mereka berdua berkunjung ke rumah. Bahkan saat Shannon meninggal, putriku sama sekali tidak mendatangi pemakaman. Sampai sekarang komputer itu kubiarkan berdebu di rubanah, tepat di sebelah meja perkakas. Entah apa yang membuat orang-orang begitu memuja teknologi. Bukankah kecanggihan itu terlihat mengerikan? Siapa yang tahu seandainya pemerintah mengawasi kita dari telepon dan internet?
Ah, maaf. Aku mulai melantur. Yang tadi itu alasan pertamaku. Alasan kedua mengapa aku menuliskan ini cukup sederhana: aku mencoba untuk tetap waras. Aku harus tetap waras.
Entah kapan tepatnya, tetapi ini terjadi dalam hitungan hari setelah pemakaman Shannon. Aku bisa menahan kesedihan selama proses menyakitkan itu berjalan. Aku bahkan tidak menitikkan air mata saat peti mati itu perlahan terkubur oleh tanah. Hidup bersama penderita kanker membuat dirimu merasa sudah siap menerima segala kemungkinan terburuk. Kukira aku sudah cukup tegar. Nyatanya, itu tidak benar.
Tatkala para pelayat satu persatu keluar dari pintu, di saat tidak ada lagi tamu yang bertandang melantunkan dukacita, lalu dunia kembali berjalan seperti biasa, kesedihan itu datang merangkak. Perlahan aku menyadari bahwa kasurku terlalu luas, menyisakan banyak ruang hampa. Tidak ada lagi dua piring yang saling bersanding di atas meja makan. Aku menyadari bahwa bunyi napasku yang tunggal terasa janggal. Lalu, kesedihan itu datang menyergap, merengkuhku erat tanpa izin selama berhari-hari. Sampai dua minggu lalu, kesedihanku itu teralihkan oleh sesuatu yang sepele.
Bunyi dengungan.
Bunyinya seperti gumaman yang redam bernada datar di tengah kesunyian. Dugaan pertamaku adalah suara itu berasal dari alat-alat elektronik. Kucabut semua steker di seluruh penjuru rumah. Kulkas, televisi, radio, bahkan pemanggang roti, tetapi semua sia-sia saja. Kucoba menyumbat telinga dengan kapas, tetapi bunyi itu masih bersarang di telinga. Bunyi itu seolah-olah beresonansi langsung dengan tengkorakku.
Tidak. Ini bukan gejala tuli. Nyatanya telingaku masih bekerja secara normal. Aku masih bisa mendengar suara burung robin di pagi hari. Aku bisa mendengar suara klakson sayup-sayup dari jalan raya. Aku bahkan bisa mendengar suara mesin konstruksi dan alat berat di Bukit Shelby yang bekerja terus dari siang sampai malam. Namun, entah bagaimana dengungan itu bisa menyelinap masuk ke telingaku di tengah kegaduhan di luar sana.
Bunyi itu sudah bertahan dua minggu dan aku mulai tak tahan. Iramanya yang konstan mulai terdengar menjengkelkan. Tadi malam aku sampai terbangun karena dengungan itu kian intens. Kali ini ia terdengar seperti suara sayap nyamuk yang berdenging mengejek.
Sekarang aku terjaga sampai pagi buta. Satu-satunya hiburanku hanyalah buku ini, karena menyalakan radio maupun televisi justru membuat kepalaku semakin pening. Pelipisku berdenyut-denyut ngilu sejak tadi. Tengkuk juga terasa begitu pegal. Ini sudah keterlaluan. Aku tidak punya pilihan lain selain mengunjungi Dokter Burke nanti ketika matahari sudah terbit. Ah sial, semoga saja dokter inkompeten itu tidak membunuhku. Setidaknya siapa pun yang membaca ini bisa menebak siapa pelakunya seandainya ada sesuatu yang terjadi kepadaku nanti.
________________________________________
Selasa, 7 Agustus 2012
Aku masih bisa mengingat aroma wiski dari mulut Dokter Burke saat dia memeriksa telingaku. Aku berharap dia menemukan serangga atau apa pun di dalam sana yang bisa menjelaskan suara dengungan itu. Alih-alih memberikan jawaban, pemabuk tengik itu justru menanyakan bagaimana aku menghadapi kepergian Shannon. Dia terdengar sok tahu dan dari tatapannya aku bisa merasakan tengah dihakimi. Dia bilang keluhanku itu hanyalah gejala yang wajar dari proses penuaan. Tanpa mendengar penjelasanku, dokter bebal itu hanya meresepkan obat, lalu “mengusirku” keluar dari ruangan.
Namun, harus kuakui obat dari Dokter Burke cukup efektif.
Tadi malam aku bisa tertidur lelap. Namun, itu saja kabar baiknya. Dokter Burke hanya memberikanku payung, tanpa peduli dengan atap rumahku yang bocor. Saat pagi menjelang aku terbangun dengan kepala seperti dicengkeram. Bunyi dengungan itu semakin memekakkan telinga. Kali ini bunyinya seperti teko yang mendidih begitu nyaring melengking. Sejak tadi aku memukul-mukul telingaku berharap ada lebah yang keluar, tetapi nihil. Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Aku butuh jawaban. Siapa pun tolong berikan aku jawaban!
________________________________________
Jumat, 10 Agustus 2012
Aku menemukan sesuatu yang menarik. Selama tiga hari terakhir aku menyelidiki penyebab bunyi dengungan ini melalui internet. Aku tidak bodoh, tentu saja aku menggunakan komputer perpustakaan. Ternyata, fenomena ini tersebar di seluruh dunia. New Mexico, Selandia Baru, bahkan baru-baru ini pada tahun 2011 di Windsor, Kanada, kepolisian lokal juga mendapatkan laporan yang sama. Sejumlah warga mengeluhkan dengungan berfrekuensi rendah yang berirama konstan. Mereka menyebut fenomena ini sebagai “The Hum”.
Penyelidikanku berakhir di sebuah forum internet yang beranggotakan orang-orang yang mendedikasikan waktunya untuk menganalisis fenomena “The Hum”. Ada banyak teori yang beredar, dari penjelasan yang bisa diterima akal sampai yang paling gila. Ada yang bilang bahwa bunyi dengung itu berasal dari mesin industri. Sebagian yang lain setuju bahwa arus udara kencang yang beresonansi menjadi pelaku utamanya. Faktor biologis dan fauna lokal juga tidak luput dari dugaan. Bahkan ada yang bilang bahwa suara dengungan ini berhubungan dengan legenda urban dari sesosok makhluk supernatural. Sungguh, internet merupakan tempat yang konyol.
Ada satu teori yang menarik perhatianku. Ia bilang bahwa ini semua ulah pemerintah. Pemerintah pusat menyiarkan sinyal berfrekuensi rendah demi melakukan eksperimen militer kepada para warganya. Aku tidak kaget jika ini benar-benar ulah mereka. Sudah banyak dosa pemerintah yang terungkap meskipun mereka menepis setiap tuduhan di masa silam.
Tempat paling mencurigakan yang terlintas di benakku hanya satu: Bukit Shelby. Seorang pegawai di balai kota mengungkapkan bahwa mereka tengah membangun stasiun radio lokal. Aku tahu dia berdusta karena faktanya pembangunan masih terus berjalan sejak enam bulan lalu. Memangnya butuh waktu berapa lama untuk menyelesaikan stasiun radio di kota kecil seperti ini? Ada yang tidak beres. Aku harus membongkar ini semua.
________________________________________
Senin, 13 Agustus 2012
Kemarin aku bertemu seorang reporter dari The Daily Digest. Itu hanya surat kabar lokal yang tidak terkenal, tetapi aku tidak punya pilihan lain karena surat kabar lain tidak membalas suratku. Kami bertemu di sebuah restoran dekat binatu langgananku di Jalan McAllister. Aku masih mengingat nama yang tertera di kartu namanya.
“Jadi. namamu Reuben? Kau seorang reporter yang bernama seperti roti lapis dan bekerja di ‘Daily Digest’? Pencernaan Sehari-hari? Ha-ha-ha, itu lucu.”
Reuben tampaknya tidak mengapresiasi leluconku. Tampaknya aku sudah memberikan kesan pertama yang buruk. Demi mengurangi kecanggungan, aku langsung menceritakan semua penelitianku selama ini. Suara dengung di telingaku hingga kecurigaanku terhadap proyek di Bukit Shelby. Aku pasti bercerita panjang lebar terlalu lama karena asbak di depan Reuben sudah nyaris terisi penuh oleh puntung rokok.
Selama aku bercerita Reuben menatapku dengan alis terangkat. Aku mengerti tatapan itu. Itu adalah mata yang sama yang ditunjukkan oleh Dokter Burke. Sesekali Reuben menutupi mulutnya, aku baru tahu tersadar sekarang ternyata itu caranya dia menyembunyikan senyumnya. Sialan, aku pasti terlihat konyol di hadapannya.
“Mohon maaf, Tuan. Waktu makan siangku sudah habis. Tenang saja, aku pasti akan memeriksanya jika ada waktu.” Begitu cara dia mengakhiri percakapan kami berdua. Dia menolak membawa setumpuk dokumen yang sudah aku kumpulkan selama ini dan berjalan keluar dari restoran sambil menutup mulutnya. Aku masih bisa mendengar nada kalimatnya yang terkesan skeptis. Sial. Tampaknya aku harus meyakinkannya lagi. Bukti-buktiku mungkin belum memuaskannya. Aku tahu apa yang harus kulakukan.
________________________________________
Kamis, 16 Agustus 2012
Aku baru saja keluar dari penjara. Hanya satu malam. Kemarin, tepat di saat matahari terbenam aku menyelinap ke stasiun radio di Bukit Shelby. Setidaknya begitulah rencanaku. Dari sisi tebing timur aku bisa melihat gedung mungil berdiri di tengah-tengah kepungan pagar kawat. Di atas gedung itu terdapat menara radio setinggi kurang lebih 100 kaki. Anehnya, di belakang gedung tersebut terdapat kain hitam yang dibentangkan tergantung oleh dua tiang. Kain hitam itu menghalangi pandanganku dari tebing, sehingga aku terpaksa memanjat pagar kawat untuk mengamati lebih dekat. Sialnya, baru sekian meter aku melewati pagar kawat pembatas, seorang penjaga keamanan berhasil meringkusku.
Beruntung mereka tidak menuntutku karena aku berhasil berpura-pura mabuk di hadapan penyidik. Seorang detektif memintaku untuk menandatangani surat perjanjian agar aku tidak mengulangi perbuatanku. Rencanaku memang gagal, tetapi bagiku itu sudah cukup. Aku tidak mendapatkan jawaban, tetapi pertanyaan yang muncul dari observasi singkatku selama di Bukit Shelby semakin menguatkan kecurigaanku.
Penjaga keamanan macam apa yang bersenjatakan pistol Glock? Jika stasiun radio ini sudah berdiri, lalu suara konstruksi apa yang selama ini kudengar di atas Bukit Shelby? Aku yakin Reuben akan menyukai hasil penyelidikanku.
________________________________________
Rabu, 21 Agustus 2012
Rabu, 22 Agustus 2012
Tiga hari ini aku semakin kesulitan tidur. Suara dengungan itu kini terdengar kian tajam, seperti bunyi mikrofon rongsok yang mengalami korsleting. Bunyinya begitu meringking dan menusuk telinga, sampai-sampai dadaku ikut nyeri. Pil-pil Dokter Burke bahkan tidak lagi ampuh membuatku mengantuk. Alih-alih tertidur, aku justru terjaga sampai pagi dengan kepala yang seperti mau meledak.
Meskipun jengkel, aku tetap mengikuti rencanaku untuk pergi ke kantor surat kabar The Daily Digest tadi siang. Sudah berhari-hari Reuben tidak membalas suratku. Namun, aku tidak menemukannya di sana. Meja resepsionis bahkan mengatakan bahwa tidak ada reporter bernama “Reuben” yang bekerja di sana. Apa-apaan? Ah sial, semua ini membuatku semakin pening.
________________________________________
Sulit bagiku untuk menulis dibantu lilin yang temaram. Sore ini aku harus mematikan semua lampu. Seseorang di luar sana sedang mengawasiku. Aku bisa merasakan kehadirannya sejak aku pulang dari kantor surat kabar. Siluetnya terlihat di balik pepohonan.
________________________________________
Sudah berapa lama orang itu berdiri di sana? Dia sama sekali tidak bergerak sejak tadi. Selain itu … entah mengapa siluetnya terlihat janggal. Bayangan kepalanya sama sekali tidak terlihat proporsional.
________________________________________
Dia menghilang. Bayangan orang itu menghilang! Aku bersumpah aku hanya menoleh sejenak, tetapi saat aku kembali siluet itu sudah tidak di tempatnya lagi! Ke mana dia pergi?
________________________________________
Aku melihatnya. Aku melihatnya. Ya Tuhan, makhluk apa itu?! Itu bukan manusia! Dia berjalan ke arah pintu!
________________________________________
Berapa lama aku tak sadarkan diri? Sehari? Dua hari? Entahlah. Yang jelas tadi aku terbangun di genangan muntahanku sendiri serta darah di hidung yang telah mengering. Sampai saat ini aku masih mencoba mencerna apa yang sudah terjadi.
Kepalaku semakin pening saat berusaha mengingatnya. Aku melihatnya dari lubang intip pintu. Makhluk berkulit pucat itu berdiri dengan janggal di teras. Gumpalan daging di atas badannya menyerupai kepala, tetapi tidak ada hidung ataupun mata di sana. Hanya ada mulut tanpa bibir. Rahang berongga kosong itu terbuka lebar tepat di depan mataku.
Tepat di saat itu juga ia menjerit. Setidaknya itu yang kupikirkan. Suara dengungan itu bagaikan bunyi cakaran kuku di atas papan tulis. Aku ingat bagaimana kedua pelipisku rasanya seperti dilubangi oleh mesin bor. Aku ingat gigi-gigiku bergemeretak ngilu. Aku ingat ribuan jarum yang menembus seluruh tulangku. Lalu, aku tidak mengingat apa-apa lagi.
Siapa pun di luar sana, tolong. Tolong aku. Aku tidak bisa meninggalkan rumah. Makhluk apapun yang datang tadi malam, dia masih di luar sana. Aku bisa melihat siluetnya di antara pepohonan.
________________________________________
Sudah terlalu lama aku bersembunyi di lantai dua. Aku bersumpah sudah memblokade semua pintu dan jendela. Kini aku bisa merasakan kehadirannya di lantai bawah. Ya Tuhan. Dia sudah berada di dalam rumah.
________________________________________
Aku pasti sudah gila
Tidak. Tidak mungkin. Aku yakin makhluk itu berada di bawah sini. Baru saja aku melihatnya menyelinap masuk ke dalam pintu rubanah. Masih teringat jelas bagaimana ia menyeret kakinya melintasi ruang tamu. Aku membuntutinya dengan senapan berburu, bersiap menghabisi makhluk laknat itu di jalan buntu.
Namun, tidak ada siapa pun.
Tidak ada siapa pun. Hanya barang-barang berdebu dan perkakas yang tak terawat yang kini berada di depanku. Apakah aku sudah kehilangan akal sehat? Ya Tuhan, suara itu. Suara itu semakin melengking. Mimisanku tak juga berhenti. Kepalaku rasanya seperti dibelah dengan gergaji mesin. Aku harus menghentikan ini semua. Harus.
________________________________________
SEHARUSNYA AKU TAK MELAKUKANNYA
SEHARUSNYA AKU TAK MELAKUKANNYA
SEHARUSNYA AKU TAK MELAKUKANNYA
KENAPA SUARA ITU SE ….
YA TUHAN
DIA DI SINI
________________________________________
Paragraf tersebut merupakan tulisan terakhir di jurnal Tuan Frank Montage. Pada tanggal 23 Agustus 2012 paramedis menemukannya tak sadarkan diri di rubanah dengan kedua telinga yang berdarah dan kondisi hidung mimisan parah. Kepolisian lokal menduga bahwa Tuan Frank Montage berusaha mencongkel gendang telinganya sendiri dengan obeng sepanjang 8 inci. Beruntung nyawa Tuan Frank Montage berhasil diselamatkan, tetapi akibat kondisi mentalnya yang tidak stabil maka Tuan Frank Montage harus dirawat di Institusi Mental Driftwood. Tuan Frank Montage tidak bisa merespon secara verbal karena dirinya telah dinyatakan tuli seutuhnya. Satu-satunya kalimat yang keluar dari bibirnya hanyalah gumaman: “Kenapa suara itu semakin keras?!”
Berdasarkan hasil penyelidikan yang diperkuat jurnal ini, kepolisian lalu menyimpulkan bahwa Tuan Frank Montage merupakan korban malapraktik. Dokter Burke dianggap bertanggung jawab penuh atas gejala halusinasi Tuan Frank Montage karena telah meresepkan obat antidepresan tanpa diagnosis yang tepat. Selain izin praktiknya dicabut, Dokter Burke juga harus membayar denda serta hukuman penjara. Kasus Tuan Frank Montage pun ditutup oleh kepolisian.
Namun, selama sembilan bulan terakhir kepolisian lokal menerima laporan dari lima warga yang mengeluhkan suara dengungan nyaring yang memekakkan telinga. Salah satu dari mereka mengaku bahwa dirinya juga diteror oleh “makhluk pucat dengan rahang menganga”. Orang itu adalah Reuben Crawford, mantan reporter The Daily Digest. Penyelidikan lebih lanjut masih sangat dibutuhkan.
-THE END-