BERTEDUH - Tulip’s

Belum lama ini, seorang teman meneleponku, dia mengabari akan segera wisuda dan mengundangku datang. Kami mengobrol cukup lama, sampai cerita liburan ketika SMA dulu mencuat begitu saja. Kami menertawakan kejadian aneh itu. Hingga temanku mengakui satu hal yang membuatku merinding. Dia bilang sudah tidak tahan memendamnya sendiri beberapa tahun belakangan.
Aku selalu takut dianggap berbual dan dicap penakut, jika menceritakannya secara langsung kepada orang lain. Karena itu, kupikir tak ada salahnya menuliskan kejadian itu di sini. Di laman media sosialku. Kalian boleh percaya, boleh tidak. Ah, ya, tentu saja aku takkan menggunakan nama asli kami.
***
Ketika libur SMA tiba, aku dan Mahadi berencana untuk pergi liburan. Kami membicarakan ini sejak hari terakhir ujian. Sebuah perjalanan dengan biaya minim tapi menyenangkan. Mahadi memberi saran untuk mengunjungi desa neneknya yang berjarak empat jam naik motor dari kota. Agak pelosok, tapi ada air terjun dengan pemandangan keren di sana.
Kami mulai berhitung biaya untuk pulang pergi, juga mengira-ngira uang saku selama seminggu di sana. Mahadi tidak keberatan kami menggunakan motornya, jadi aku menawarkan untuk mengisi bensin. Kami mengisi ransel dengan beberapa helai baju dan barang-barang yang sekiranya dibutuhkan. Mahadi bahkan membawa tiga bungkus rokok. Katanya, kami bisa merokok saat istirahat di tengah perjalanan tanpa takut terpergok dan dimarahi. Tentu saja itu ide yang sangat bagus.
Kami berangkat agak siang dan perjalanan hari itu cukup menyenangkan. Sepanjang jalan Mahadi terus bercerita dan melempar lelucon, jadi rasanya tidak terlalu membosankan. Mahadi memang banyak bicara, karena itu dia mudah bergaul dengan siapa pun.
Selama berkendara Mahadi mengaku liburan kali ini sekaligus membuang stres. Rupanya, dia baru putus dengan pacarnya dan itu membuatnya lumayan galau. Aku menghiburnya sebisaku. Well, aku tidak berpengalaman soal itu dan kurasa Mahadi lebih tahu. Paling-paling dalam waktu dekat dia akan mendapat gebetan baru. Begitu biasanya. Akan terlihat bodoh jika aku mengkhawatirkannya.
“Sepertinya akan hujan.” Mahadi sedikit berteriak sambil menelengkan kepalanya ke kanan. Dia lalu mengumpat dan melajukan motor lebih cepat.
Aku mendongak, langit benar-benar gelap. Aku melirik arloji yang melingkar di tangan kiri. Pukul tiga sore. Itu artinya, satu jam lagi harusnya kami akan sampai ke tempat tujuan.
Kami berdiskusi haruskah mencari tempat berteduh. Mahadi bilang, satu kilometer ke depan hanya ada perkebunan sawit sepanjang jalan. Tentu saja itu tidak bagus jika kami benar-benar terjebak hujan.
Sepertinya, kami agak sial. Motor tiba-tiba berhenti. Mahadi mencoba menghidupkan dan mengecek semuanya. Aku tidak terlalu mengerti soal motor, jadi aku hanya berdiri dan mendengarkan Mahadi meracaukan perihal motornya.
“Semuanya oke, gue gak tau kenapa ni motor kagak mau nyala,” kata Mahadi. Dia mengambil rokok dari kantong ransel, menyalakan sebatang dan mengangsurkan bungkusnya padaku beserta korek.
Kami duduk di pinggir jalan sambil merokok, sekalian meminta bantuan jika ada kendaraan yang lewat. Hampir setengah jam dan tidak ada yang berhenti. Dua motor yang lewat hanya menoleh dan membunyikan klakson. Padahal kami sudah melambaikan tangan.
Akhirnya, kami memutuskan mendorong motor masuk jalanan berbatu di sebelah kanan jalan utama. Ada atap rumah yang terlihat tidak terlalu jauh. Kupikir, meskipun seandainya tidak ada orang yang bisa dimintai bantuan, setidaknya kami bisa berteduh sebab hujan benar-benar turun.
Itu adalah rumah berdinding papan. Cukup besar, tapi tampak suram. Kesan pertamaku tidak bagus dan aku sebetulnya tidak ingin beteduh di sini. Mahadi meyakinkan bahwa rumah itu hanya kurang terawat. Semua baik-baik saja, katanya. Mahadi bahkan sempat berkelakar bahwa dia tidak merasakan hawa setan sambil memperagakan seolah-olah dia sedang menerawang.
Perasaanku benar-benar tidak enak. Entah bagaimana, aku merasa seseorang mengintip kami dari dalam rumah. Aku tidak yakin ada yang tinggal di sini melihat kondisi yang menurutku tak layak huni. Dinding-dindingnya terlihat rapuh, ada banyak garis-garis memanjang sampai ke pintu, seperti bekas cakaran. Belum lagi lubang menganga sebesar kepala bayi di bagian paling bawah dinding papan. Mahadi juga hampir jatuh saat dia bersandar pada tiang kayu yang ternyata keropos dan goyang.
Teras tempat kami berteduh lumayan lebar, kira-kira dua meter. Berlantai semen yang retak dan berlubang-lubang. Kaca jendela di belakangku sangat kotor, buram dan sedikit berkerak di bagian pinggir. Aku baru pertama kali melihat rumah papan berjendela kaca. Mungkin karena sedari awal tidak menyukai rumah ini, jadi semuanya tampak aneh di mataku.
Hujan semakin menggila dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Sekali-kali petir menyambar, membuat suasana kian tidak mengenakkan. Tidak ada lagi rumah sejauh penglihatan. Di kanan-kiri berupa tanah kosong yang dipenuhi ilalang dan perdu kira-kira setinggi pinggang orang dewasa. Sementara di depan, pohon-pohon karet menjulang. Aku tidak yakin menyebutnya kebun, terlalu rimbun dan lebih cocok disebut hutan.
Aku bersandar ke dinding setelah meletakkan ransel di atas jok motor. Punggungku rasanya seperti akan patah setelah duduk hampir tiga jam di boncengan. Saat itulah aku mendengarnya. Ada sesuatu di balik dinding! Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya … seperti seseorang yang menekan kukunya pada dinding, lalu menariknya ke atas dan ke bawah. Berulang-ulang. Suara itu agak tersamarkan deru hujan, tapi cukup membuatku ngilu membayangkan sekuat apa dia menekan kukunya hingga menimbulkan bunyi aneh.
Sepertinya Mahadi tidak mendengar suara itu. Dia masih sibuk menelepon dengan seseorang di pinggiran teras. Aku tidak ingin kami berdua ketakutan. Terjebak di tempat seperti ini sudah cukup mengerikan. Jadi aku mendiamkannya saja. Bisa jadi itu hanya tikus yang menggerogoti sesuatu.
“Huuuh.”
Aku berjengit. Itu jelas suara napas dan seseorang benar-benar ada di balik dinding!
Mahadi berbalik secara tiba-tiba lalu melempar kunci motor. Karena tidak siap, kunci itu gagal kutangkap dan masuk melalui lubang di bagian bawah dinding papan.
“Ambilin, Ri, gue mau ke samping sebentar. Udah gak tahan gue,” kata Mahadi. Dia langsung berlari ke bagian samping rumah.
Sepeninggal Mahadi, suara aneh itu kembali terdengar. Dia sedang menggaruk-garuk dinding dengan tidak sabar. Harusnya aku menjauh, atau mungkin menyusul Mahadi. Namun, aku tidak bisa bergerak. Aku terpaku di tempatku berdiri dan jantungku seperti akan merobek kulit dadaku.
Aku melirik lubang papan yang berada tepat di antara kakiku. Demi apa pun, aku tidak akan memasukkan tanganku ke sana.
Ketika Mahadi kembali, perasaan lega langsung saja memenuhi dadaku. Dia sempat protes dan memukul bahuku karena aku tidak mengambil kunci. Mahadi jongkok setelah aku bergeser dan memintaku menyalakan senter ponsel. Kunci itu ada di sana. Tidak terlalu jauh dan sepertinya bisa dicapai dengan tangan.
“Ada seseorang di dalam.” Aku berbisik.
Mahadi menoyor kepalaku, mengatai bahwa aku mulai berhalusinasi.
“Sebaiknya pakai kayu saja.” Aku memberi usul. Jika benar ada sesuatu di dalam, aku tidak ingin dia menangkap tangan kami.
Mahadi menatapku dengan kening berkerut. “Gak perlu, gue bisa ngambil tu kunci,” katanya dengan percaya diri.
Aku masih berpikir untuk menghentikannya ketika Mahadi mendorongku agak ke belakang. Dia menunduk dengan posisi miring sampai sebelah telinganya hampir menyentuh lantai. Mahadi lalu memasukkan tangannya melalui lubang di dinding sampai sebatas bahunya.
Tiba-tiba Mahadi menjerit. Dia berteriak-teriak seperti kesetanan. Sebelah tangannya masih berada di dalam. Pikiran buruk mulai mempermainkanku. Bayangan tangan Mahadi ditarik sesuatu membuat lututku bergetar.
Aku menarik tubuh Mahadi sekuat tenaga. Jantungku berdetak keras dan aku tidak bisa mengenyahkan pikiran buruk yang kian membuatku panik.
Butuh beberapa detik sampai aku berhasil menarik tubuh Mahadi. Kami terjengkang. Punggungku membentur pinggiran lantai yang retak dan Mahadi mendarat di atas perutku. Aku meringis, kedua siku tanganku perih. Mahadi kemudian berguling ke samping. Dia terengah-engah dengan posisi masih setengah membungkuk. Sialnya, otakku malah membayangkan lengan yang terpotong.
“Kau baik-baik saja?” Aku menepuk punggung Mahadi.
Tanpa diduga, Mahadi tertawa-tawa keras sekali. Dia masih membelakangiku, membuatku berpikir mungkin saja dia dirasuki hantu penunggu rumah. Segera saja aku membuat jarak. Setelah tawanya reda, Mahadi berbalik dan melambai-lambaikan kunci di tangannya.
“Jadi lo benaran takut?” ejeknya. “Harusnya tadi gue moto ekspresi lo. Sumpah lucu.”
Aku mendengkus kesal. Setelah mengambil kunci dan memasukkannya ke dalam saku celana–Mahadi tidak mengenakan pakaian bersaku–aku bangkit dan berjalan ke pinggir teras. Ada yang aneh. Harusnya, Mahadi tidak sepucat itu jika memang hanya ingin mengerjaiku.
“Sori, candaan gue berlebihan.” Mahadi menyusulku dan menerima uluran rokok yang kuberikan. Tangannya gemetaran.
Aku bisa melihat garis-garis merah yang samar di pergelangan tangannya. Aku mengisap rokok dan bersikap seolah-olah tidak tahu. Aku takut jika bertanya, jawaban Mahadi seperti yang kupikirkan dan itu sangat buruk.
“Gue udah telepon Paman Roi tadi. Kita tunggu aja di sini,” kata Mahadi setelah dia menghabiskan satu batang rokok dan akan membakar sebatang lagi.
Aku mengangguk. Kami sama-sama diam. Hujan masih turun dengan deras. Pohon-pohon karet bergoyang-goyang bersamaan desau angin yang berisik. Tempias hujan membasahi sepatu dan ujung celana kami, tapi tidak seorang pun di antara kami yang berniat mundur.
Suara itu terdengar lagi. Kali ini disertai suara rantai yang diseret dan jendela yang dipukul pelan. Berkali-kali. Aku melirik Mahadi yang mengusap tengkuknya. Mungkin sadar diperhatikan, Mahadi menoleh. Dia terlonjak dan mengumpat, membuatku ikutan kaget.
Di ujung teras sebelah kanan, berdiri seorang laki-laki dan wanita. Mereka terlihat tua, mungkin berumur enam puluhan. Si pria mengenakan baju kaus kedodoran berbercak lumpur yang basah di sekitar bahu sampai dada. Dia seperti gelandangan dengan rambut putih tipis dan jenggot lebat dari rahang hingga dagu. Sementara si wanita memakai jas hujan dengan penutup kepala yang koyak lumayan lebar.
Mereka mengenakan sepatu bot penuh lumpur dan masing-masing memegang ranting berujung runcing. Kedua orang asing itu menatap kami dengan ekspresi yang janggal. Maksudku, pria itu tersenyum ganjil entah kenapa, sedangkan si wanita seolah-olah tidak menyukai keberadaan kami.
Aku dan Mahadi bertukar pandang. Aku pernah mendengar bahwa saat hujan, makhluk halus akan berkeliaran terutama menjelang petang. Membayangkan bahwa yang berdiri di sana bukan manusia membuat bulu kudukku meremang.
Suara dari dalam rumah semakin menjadi-jadi. Mirip orang yang menggedor-gedor dan memukul jendela dengan tidak sabar. Siapa pun yang ada di dalam sana, seperti ingin mendobrak dan menghancurkan dinding.
Aku ingin pergi, aku tidak ingin berlama-lama di sini!
“Diamlah! Kau membuat mereka takut.” Wanita itu berteriak keras sekali.
Wanita tua itu berjalan tergesa-gesa dan membuka pintu. Segera bau busuk menyeruak, membuatku mual. Aku menutup hidung, Mahadi mengusap-usap hidungnya dan berdehem, sementara dua orang tua itu seperti tidak terganggu sedikit pun. Wanita itu menunjuk-nunjuk ke dalam rumah sambil mengomel-ngomel.
Tepat ketika aku melihat ke arah yang dia tunjuk, seseorang menempelkan wajahnya di balik jendela. Mata kami bertemu dan aku langsung merinding. Seseorang itu memiliki wajah kelewat putih dengan rambut riap-riapan. Matanya sangat lebar, seperti akan keluar dari rongganya. Aku menahan napas.
“Maaf, putriku agak sakit,” kata si pria tua, masih dengan senyumnya yang aneh.
Mahadi menoleh padaku sekilas lalu berdiri tepat di depanku, seperti menyembunyikanku dari sang ibu yang kini menatapku tajam. Putrinya tak lagi membuat suara aneh, dia juga menghilang setelah ibunya memukulkan ranting pada kaca jendela.
Mereka hanya orang tua normal dan putri mereka sedang sakit. Aku mencoba berpikir positif dan menenangkan diri.
“Apa kami boleh berteduh di sini, Paman? Motorku rusak,” kata Mahadi sopan, dia juga menawarkan rokok yang langsung diterima sang ayah.
“Tentu … tentu.” Sang ayah mengangguk-angguk. Dia menyulut rokok dan memasukkan bungkusnya dalam saku celananya. “Temanmu sepertinya kedinginan, mau masuk?”
Aku mengintip dari balik punggung Mahadi. Mendapati pria tua itu menelengkan kepala dan menatapku lekat sekali, membuatku sangat tidak nyaman. Apalagi aku sempat menangkap senyum lebar dari wanita tua yang berdiri di ambang pintu.
Ada yang aneh dengan keluarga ini! Kuharap Mahadi menolak tawarannya.
“Terima kasih, Paman. Tapi kami sedang menunggu seseorang, kurasa lebih baik kami di sini saja.” Mahadi bergeser sampai aku benar-benar tersembunyi di balik punggungnya.
Aku menghela napas. Sedikit lega. Itu memang agak memalukan. Aku seperti pemuda pengecut yang memohon perlindungan. Namun, apa boleh buat. Saat itu aku benar-benar ketakutan.
Mahadi kemudian terlibat obrolan dengan sang ayah setelah menyuruh istrinya masuk ke dalam. Sementara aku memilih jongkok di belakang Mahadi. Hanya saja, kadang-kadang kepalaku refleks menoleh ketika putri mereka mengetuk-ngetuk jendela. Dan aku benci saat mata kami bertemu.
Hujan mulai reda. Sambil menimpali ocehan sang ayah, Mahadi mencoba menghidupkan motor. Sayangnya, motor itu tidak juga mau menyala.
Tidak berapa lama, terdengar suara tangisan dari dalam rumah. Sepasang tangan pucat muncul dan mencengkeram kosen pintu. Gadis itu menancapkan kuku-kukunya ke dinding dan mulai meraung-raung ketika sang ibu menarik tubuhnya.
Sang ibu memeluk pinggang putrinya dan menyeret gadis itu agar masuk ke rumah. Dia tidak peduli meski kuku-kuku anaknya patah dan mulai berdarah-darah. Sang ibu terus membentak-bentak dan si ayah tertawa-tawa. Pria tua itu terlihat begitu terhibur sampai-sampai dia melompat-lompat seperti anak kecil.
Mahadi kehilangan kata-kata, dia berdiri kaku dengan mulut setengah terbuka.
Ketika gadis itu berhenti meraung, sang ibu membungkuk dan mereka mulai berbisik-bisik. Bola matanya yang lebar bergerak-gerak liar dan dia tersenyum. Ke arahku!
Mahadi mendekatiku dan berbisik agar aku segera memakai ranselku.
“Kalian akan pergi?” tanya sang ayah. Tawanya berhenti secara tiba-tiba dan raut wajahnya berubah menyeramkan.
“Tidak boleh! Dia menyukai mereka, jangan biarkan.” Sang ibu melotot. Dia menunjukku dan sang ayah menyeringai.
Nyaliku menciut dan tubuhku gemetaran. Mahadi menyambar tanganku, gerakan tiba-tiba yang membuatku limbung dan hampir jatuh. Kami berlari secepat yang kami bisa. Jalan berbatu terasa sangat licin sebab becek dan lumpur bercipratan ke mana-mana. Aku berkali-kali hampir jatuh jika saja Mahadi tidak memegang tanganku dengan erat. Di belakang, terdengar suara sang ayah dan ibu berteriak-teriak. Aku tidak berani menoleh, tapi aku bisa mendengar suara langkah kaki menyusul kami. Aku panik, takut, dan hampir menangis.
Ketika kami sampai di jalan utama, sebuah pikup berhenti. Mahadi langsung membuka pintu dan menyuruhku masuk. Kami berdua ngos-ngosan dan gemetaran. Tidak ada yang berani bicara, kejadian itu terlalu menakutkan dan kurasa kami terlalu shock saat itu.
“Pada kenapa? Kayak dikejar setan.” Si sopir–yang ternyata Paman Roi–menatap kami.
Setelah beberapa saat dan napas Mahadi jauh lebih teratur, dia menyebut rumah di mana kami meninggalkan motor. Mahadi juga menceritakan tentang keluarga aneh itu secara singkat. Paman Roi diam, dia mengetukkan jarinya ke setir beberapa kali, menoleh ke arah persimpangan dan menatap kami bergantian.
“Serius?” katanya.
Mahadi mengangguk.
Kami kembali ke rumah itu dan mendapati keadaan yang sepi. Pintu rumah itu tertutup rapat, bahkan digembok dari luar. Lebih mengejutkan lagi, bungkus rokok yang dikantongi sang ayah tergeletak di lantai teras di mana pria itu berdiri ketika mengobrol dengan Mahadi.
Ini aneh, benar-benar aneh!
Tidak ingin berlama-lama, kami bertiga langsung menaikkan motor ke atas bak pikap. Beruntung Paman Roi membawa selembar papan jadi kami tidak terlalu kesulitan.
Kami merasa lebih tenang selama sisa perjalanan. Meskipun, jujur saja, perasaan diawasi itu belum hilang. Setelah lumayan jauh, Paman Roi bercerita bahwa rumah itu sudah lama kosong. Dia berkali-kali bertanya apakah kami benar-benar berbicara dengan seseorang di sana. Dia seperti tidak yakin dan Mahadi terus mengatakan bahwa kami tidak berbohong.
Paman Roi bilang, benar ada yang tinggal di sana, tetapi sudah sangat lama. Mereka sepasang suami-istri lanjut usia dengan seorang anak perempuan kurang waras. Mereka bekerja menyadap karet. Konon, suami-istri itu pindah setelah dipecat pemilik kebun. Namun, anak perempuan itu ditinggalkan begitu saja. Dia ditemukan membusuk dalam keadaan terpasung di dalam rumah. Pemilik kebun pertama kali menemukannya karena tidak tahan bau busuk yang tercium dari rumah itu.
Cukup! Aku sudah tidak tahan. Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi perihal rumah itu. Aku memejamkan mata dan menyumpal telinga dengan earphone.
***
Ada mitos yang mengatakan bahwa makhluk halus bisa berubah bentuk. Mereka menyerap energi ketakutan dari manusia. Semakin takut seseorang, semakin terlihat nyata mereka.
Selama liburan, kami sepakat untuk tidak membicarakan hal itu. Aku juga mulai berpikir mungkin yang kami temui hanya jin iseng yang menyerupai penghuni lama. Mereka muncul karena merasakan aura ketakutan dariku. Itulah kenapa mereka menatapku, sebab tahu aku akan semakin takut yang membuat mereka kian kuat.
Pemikiran itu membuatku lebih tenang selama beberapa hari. Akan tetapi, setelah kami kembali ke kota, aku selalu mencium aroma busuk yang berembus sekilas setiap kali hujan. Dan makhluk itu–aku tidak tahu sejenis apa ia–akan muncul di balik jendela.
Mulanya, aku sangat ketakutan. Namun, pelan-pelan aku mencoba mengabaikannya dengan berpura-pura tidak melihatnya. Meskipun jujur saja, kemunculannya selalu berhasil membuatku kaget.
Sekarang, dia sedang mengawasiku dari sela-sela ventilasi udara di atas jendela. Dia baru saja memukul-mukul kaca ketika aku mulai menulis.
Jin iseng tidak akan mengikuti sejauh ini, kan?
Ah, aku hampir lupa tentang percakapan kami dengan Mahadi beberapa waktu lalu. Well, Mahadi mengaku dia mendengar semuanya sejak awal. Suara-suara itu. Dia juga tidak berniat mengerjaiku ketika dia berteriak-teriak saat mengambil kunci. Mahadi mengaku memang ada yang menarik tangannya dan dia sangat ketakutan.
Hanya saja, Mahadi tidak ingin aku bertambah takut–katanya aku sangat pucat saat itu–jadi dia tertawa keras untuk menyembunyikan rasa gugupnya.
Aku sangat berterima kasih padanya tentang itu. Mahadi memang teman yang terbaik.
Sebelum menutup telepon, Mahadi bilang begini, “Lo yakin gak, Safari, sekarang ada yang lagi garukin pintu kamar gue. Ngilu banget gue dengernya. Apa gak patah kukunya, ya.” Mahadi tertawa saat mengatakannya.
Aku merinding, sebab makhluk itu juga sedang menempelkan wajahnya di kaca jendela sepanjang kami menelepon.
Jadi, makhluk itu tidak hanya mengikutiku?
Padang Lawas, 14 November 2023