Cinta yang Membunuh dan Sebuah Gelungan yang Bisu - Myre Jane


>> Cerpen Juara 1 pada Event Merenda Cinta Melintas Budaya 2024

 

Cinta yang Membunuh dan Sebuah Gelungan yang Bisu
~ Myre Jane

 

Akankah orang sepertiku memiliki pilihan? Jika iya, aku memilih untuk mati. Kematian yang menenangkan, kematian yang tidak memiliki satu pun mata untuk menangisinya. Napas ini adalah milikku, maka aku memiliki hak penuh atasnya, dan aku memilih untuk mati bersama gelungan[1], takhta di kepalaku. Juga ampet[2] kebanggaanku.

 

Aku masih selalu bahagia saat merengkuh gelungan dan ampet pemberian nenekku ini ke dalam pelukan. Bahkan meskipun duri-duri tajam yang selalu kusisipkan di dalamnya masih terus menusuk dan menyumbangkan perih, aku telah berhenti hirau akan rasanya. Dan kali ini, aku menyertakan racun ke dalam duri-duri itu. Racun yang sama yang telah melemparkan laki-laki pujaanku ke dalam liang lahat.

 

Tiada pernah kusesali keputusanku untuk menjadi pengibing[3] di sebuah grup kesenian Gendang Beleq[4] yang cukup masyhur. Sebab aku mencintai seni tari layaknya cinta penyair kepada puisinya, sebelum cinta itu terbagi dengan sesosok raga yang kerap disebut orang sebagai tambatan hati. Terlebih, profesi sebagai pengibing pula yang telah mempertemukanku dengan lelaki yang hingga saat ini masih mendekam dalam benakku.

 

Perlahan racun itu mulai menyusuri tubuhku sejengkal demi sejengkal. Di hadapanku yang mulai remang, bayangan laki-laki itu menyambangi benakku sekali lagi.

Pertemuanku dengannya tak ubahnya bak kisah romansa. Dia adalah satu dari sekian pasang mata yang enggan berkedip ketika tubuhku melenggak-lenggok mengikuti tabuhan gendang beleq dengan kombinasi seruling dan kenceng[5] malam itu. Semakin petang menyergap malam, alunan gendang beleq kian menghanyutkan setiap telinga yang mendengarnya. Lalu, sampailah aku pada detik ketika kedua pasang mata kami bertemu menembus malam. Sejenak kurasakan waktu seakan berhenti, dan atmosfer di sekelilingku berubah menjadi sulit kumengerti.

 

Entah angin apa yang mendorongku, tanganku yang tengah menikmati gerakan tari tiba-tiba melemparkan ampet kepada laki-laki itu. Aku menepek[6], dan senyumnya merekah sebelum langkahnya memangkas jarak antara kami. “Namaku Nanang,” bisiknya ketika kami kian menikmati alunan musik, wajahnya hampir menyentuh pipiku. Seakan sihirnya begitu kuat.

 

Aku hanya tersenyum, berpura-pura tidak peduli. Meski nyatanya jantungku ikut berdentum mengiringi musik gendang beleq yang seketika terdengar kian syahdu. Tak seperti biasanya, berkali-kali aku membiarkan laki-laki beralis tebal itu mendekat denganku, membuatnya mengulas senyum kemenangan. Padahal sebelumnya, aku akan menyerang pria-pria yang mencoba terlalu dekat atau berbuat nakal dengan duri yang kutancapkan di atas gelungan. tetapi dengannya, aku hanya diam. Senyum nakalnya justru kunikmati.

 

Berawal dari tarian yang terhenti, kami mengikat hati dengan seutas kata rindu. Rindu yang entah mengapa lahir seketika tatap terlepas. Lalu namanya senantiasa terngiang dalam angan, dan mendekam dalam jiwa.

 

Jika pertemuan pertama ialah kebetulan, maka pertemuan kedua dan selanjutnya telah ia rencanakan. Aku tahu, laki-laki itu terus berusaha menciptakan kebetulan yang teramat klise. Sampai aku menyerah pada pengakuannya, dan mengiyakan segala pintanya. Jangankan menawan rasa hati, aku bahkan tidak kuasa menahan tatap untuk berhenti berusaha menemukan wajahnya.

 

Hingga di suatu malam ketika langit menyembunyikan bintang-bintang. Seiris bulan mencoba menguasai kegelapan di malam yang pekat. Aku melepaskan diriku dari segala batasan etika atas nama cinta. Kuserahkan mahkotaku, juga setiap inci harga diri yang kubanggakan dalam satu dekapan malam yang dipenuhi hasrat.

Aku menyerah pada tiap-tiap bait janji yang terasa begitu manis dalam angan. Pada tiap gelas cinta yang kureguk laksana musafir yang telah terlampau lama menahan dahaga.

 

Bahkan gelungan yang senantiasa kubanggakan turut menjadi saksi yang teramat bisu. Ia kubiarkan memandangi dengan saksama.

 

Lalu waktu-waktu setelahnya menjadi sulit. Aku bahkan tidak bisa membedakan antara rasa bahagia atau justru nista, ketika buah cinta yang tak pernah direncanakan itu hadir di tengah-tengah rasa yang bergejolak. Namun, ketika kusampaikan kehadirannya, laki-laki itu lenyap. Dia, sosok dengan tatapan tajam dan alis tebal yang telah merenggut kesucianku itu seketika menghilang seakan tertiup angin yang hanya menyisakan desau menyakitkan.

 

Nanang tak pernah terlihat lagi bahkan di setiap tarian-tarian yang menggoda. Akankah mandi kembang yang selalu kulakukan di sepertiga malam setiap purnama itu tiada lagi bermakna? Apakah mantra-mantra yang telah dibacakan dukun sakti pada gelunganku ini telah hilang kekuatannya sehingga aku tidak lagi cantik dan menarik di mata para lelaki?

 

Tidak mungkin! Dukun itu mengatakan keperawanan bukanlah syarat mantranya berlaku. Asalkan kuberikan santapan, gelungan di kepalaku akan senantiasa memancarkan cahaya memikat pada setiap lenggak-lenggok tubuhku.

 

Pada tiap sekali dalam tiga purnama, aku harus melumuri jarum-jarum yang kutancapkan pada gelunganku dengan racun. Jika saat itu ada laki-laki yang hendak berbuat nakal ketika ngibing[7] denganku, maka ia akan menjadi santapan racun gelunganku. Jika pun tidak, seorang laki-laki tetaplah harus kukorbankan. Tak akan ada yang menyadari kematian mereka disebabkan racun dari gelunganku, sebab waktu yang diperlukan racun itu untuk menyebar selalu berbeda pada setiap orang. Aku bahkan tidak memahami apa yang membedakannya.

 

Lalu hari itu, segala mantra yang tertanam dalam tubuhku seakan pecah dan menguap. Sekuatnya kucoba untuk memahami setiap kalimat yang berdentum dan menggema berulang-ulang. “Maaf, aku tidak pernah benar-benar mencintaimu. Denganmu, aku hanya bermain-main saja,” ucapnya. Suaranya yang pelan terdengar bak petir menggelegar yang menyambar hingga ke jiwa. Aku remuk. Hatiku berserakan, terinjak, lalu dia tinggalkan begitu saja.

 

Seketika aku menghantam perutku dengan tinju yang lemah. Berkali-kali, hingga aku tak mampu lagi.

 

Siang itu menyengat. Aku masih membawa gelungan dan ampetku ketika kuputuskan untuk meminta pertanggungjawaban dari laki-laki pertama yang telah menanamkan cinta sekaligus mencabutnya dengan paksa. Setelah banyak mencari informasi, aku berdiri di depan pagar dua bangunan yang begitu kontras, bangunan yang mereka katakan tempat Nanang bernaung.

 

Di bagian depan, kutemukan sebuah bale[8] tradisional beratap ilalang dengan dinding pagar dari sulaman bambu. Bahkan aku masih ingat bau khas lantai bale itu yang terbuat dari kotoran sapi. Bale khas Lombok yang telah hampir tidak pernah kujumpai lagi.

 

Lalu di sampingnya kulihat rumah yang lebih modern dengan tembok kokoh seperti rumah kebanyakan. Aku masih berdiri di depan pagar itu tanpa suara. Pikiran-pikiran tak karuan mulai berdatangan di kepala.

 

“Cari siapa, Baiq[9]?” Seorang wanita paruh baya melepaskanku dari kecamuk pikiran yang bergejolak.

 

Tiang[10] cari Nanang, Inak[11]. Tapi sepertinya rumah ini sedang sepi.”

“Oh, enggih[12]. Mereka sekeluarga memang sedang pergi. Sepertinya akan menginap beberapa hari.”

 

Aku pun pulang, membawa harapan yang terpaksa kutelan.

 

Sampai di suatu malam, kedua pasang mata kami kembali beradu tatap di tengah kerumunan. Lalu tanganku kembali tersihir, melemparkan ampet kepada laki-laki yang telah terasa begitu lama menimbun rindu dan bermacam emosi dalam satu rasa yang siap tumpah kapan saja. Malam itu, bahkan pasangan penganten[13] yang mengundang grup gendang beleq kami pun tak lagi kuhiraukan.

 

“Apa kau sudah menggugurkannya?” Nanang membuka perbincangan dengan sebuah tanya yang bukan hanya menelusuri gendang telinga, tetapi menikam jantung hingga ke bagian terdalamnya.

 

Aku menatapnya tajam. “Apa kau berharap aku akan menggugurkannya?”

 

“Lalu apa lagi? Kulihat kau cukup pandai menyembunyikannya. Apa kau sudah terbiasa melakukan hal seperti itu? Lagi pula, tubuhmu tidak terlihat mengalami banyak perubahan. Masih sempat jika kau mau menggugurkannya. Tidak akan ada yang tahu.”

 

Seketika api murka membakar sekujur tubuhku. Ya, tubuhku memang adalah tubuh seorang penari, tetapi tidak pernah kubiarkan laki-laki lain menjamahnya. Lalu ketika Nanang semakin dekat, aku menyapa tubuhnya dengan duri-duri yang kutancapkan pada gelunganku. Senyumku menyungging ketika kulihat dia meringis.

 

“Apa kau menusukku?” Sorot matanya menunjukkan kebingungan, rasa kesal, juga penuh tanya.

 

Aku menjawabnya dengan senyum kepuasan.

 

Tiga hari berselang dan berita kematian laki-laki itu santer terdengar. Kematian yang tidak wajar, bekas gigitan, dan banyak lagi kabar-kabar yang tersiar tentang kematiannya. Bahkan setelah kematiannya aku tidak jua merasa puas dan tenang.

Lalu kakiku melangkah perlahan menuju bale tradisional yang pernah kulihat sebelumnya. Aku hendak melihat wajah laki-laki yang masih saja mengisi relung hatiku untuk yang terakhir kalinya. Dengan alasan belangar[14], aku berusaha mengobati patah hatiku. Tetapi, justru hatiku semakin patah. Di samping jenazah yang terbujur kaku itu, seorang wanita dan seorang anak kecil menangis sejadi-jadinya. Matanya bengkak, wajahnya sembab. Setiap orang mengelus pundaknya dan berkata, “Sabar, biarkan suamimu pergi dengan tenang.”

 

Hari itu aku menyadari satu hal, aku bukan hanya telah melenyapkan seorang laki-laki, tetapi juga seorang ayah dan seorang suami. Kenyataannya, laki-laki yang kepadanya telah kuserahkan seluruh jiwa dan ragaku itu tidak pernah benar-benar mencintaiku. Lalu apa arti setiap mantra yang dilepaskan dalam tubuhku? Apa arti nyawa-nyawa yang telah kuhilangkan selama ini? Sial! Bahkan aku telah membayar cukup mahal untuk mantra-mantra sialan itu.

 

Aku menatap gelungan dalam pelukanku sekali lagi, lalu kurengkuh lebih erat. Bahkan kurasakan tubuhku mulai bereaksi terhadap racunnya. Perih mulai terasa menjalar ke seluruh tubuhku. Tak butuh berselang lama, janin dalam rahimku mulai berontak. Sepertinya racun yang kudekap telah sampai kepadanya. Membangunkannya. Setiap menit tenggorokanku kian terasa kering, seakan kehilangan fungsinya perlahan-lahan.

 

Napasku semakin sesak setiap detiknya. Sepertinya racun itu bereaksi lebih cepat kepada pemiliknya. Gelungan dalam pelukanku kurengkuh lebih erat dan lebih erat lagi. Sejenak kalimat nenekku saat menyerahkan gelungan ini kepadaku kembali terdengar menggema. “Gelungan ini adalah mahkota dan harga dirimu, jangan pernah menyerahkannya secara sukarela kepada laki-laki mana pun sebelum Yang Kuasa memberikan restu-Nya. Cinta hanyalah alasan klise.”

 

Aku kalah. Aku bahkan tidak mampu menjaga segala yang Nenek titipkan kepadaku. Bukan hanya kehormatan dan harga diri, bahkan gelungan ini pun telah kehilangan maknanya semenjak kujadikan ia pembunuh yang bisu.

 

Maka dalam kesendirian yang nyata, kuputar lantunan gendang beleq memecah keheningan yang mendekap. Dengan sisa tenaga yang kupunya, kuletakkan gelungan di kepala. Lalu aku mulai melenggak-lenggok dengan tarian yang tak jauh berbeda dengan tari Bali. Hanya saja, tarianku tidak memiliki ketukan. Ia hanya bergerak begitu saja mengikuti irama. Kumainkan ampet di tangan meski tubuhku semakin lemah. Lalu ketika musik berhenti, tubuhku roboh dan semuanya menjadi teramat gelap.

 

Tamat.

 

Lombok, 28 Februari 2023.

 

[1] Gelungan: mahkota yang dikenakan penari.
[2] Ampet: kipas tangan yang digunakan menari. Biasanya terbuat dari kain.
[3] Pengibing: penari.
[4] Gendang Beleq: Kesenian tradisional Lombok yang menggunakan dua gendang besar.
[5] Kenceng: alat musik berupa sepasang piringan kecil yang dibenturkan.
[6]Menepek: gerakan menepuk penonton dengan ampet sebagai ajakan untuk menari bersama. Jika penonton yang diinginkan cukup jauh, penari akan melemparkan ampetnya untuk menepek.
[7]Ngibing: Menari.
[8] Bale: rumah.
[9]Baiq: sebutan untuk “Nak” dalam bahasa Lombok.
[10]Tiang: saya
[11]Inak: Ibu
[12]Enggih: iya
[13]Penganten: pengantin
[14]Belangar: melayat

 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url