Singo Jowo Tumpuan Hidup - Sari Kusumo

Cerpen Juara 2 pada Event Merenda Cinta Melintas Budaya 2024

Singo Jowo Tumpuan Hidup

Sari Kusumo

Bocah-bocah berlarian saling mengejar. Riuh tawa mereka memecah udara siang. Tidak peduli keringat bercucuran, tidak peduli para kuli yang sedang bekerja membangun pagar pembatas untuk pertunjukan singo barong sore ini di sebuah lapangan desa terpencil di lereng Gunung Willis.

Koh Han duduk pada sebuah pohon roboh di bawah waru besar. Ujung-ujungnya lapuk berwarna cokelat kehitaman dengan beberapa jamur putih yang mulai tumbuh. Tatapan laki-laki keturunan Tionghoa itu lurus ke depan jauh melampaui angannya.

“Duit daripada kamu pakai untuk menghidupi barongan tidak jelas itu mending investasikan ke hal lain yang lebih punya prospek,” cerocos Cik Yin, istri yang sudah mendampinginya selama 25 tahun di suatu pagi. Kopi manis yang tadi diseruputnya berubah hambar, karena Koh Han tahu adegan yang akan terjadi berikutnya. Perempuan berambut lurus sebahu itu pasti akan menyebutkan data yang telah disusun rapi tentang investasi yang dianggap lebih menguntungkan daripada menghidupi sebuah grub reog Ponorogo.

“Lagipula, bukannya pelihara singo dari Tiongkok, malah pelihara singo Jowo.” Begitu kata Cik Yin. Koh Han tahu yang dimaksud istrinya adalah barongsai. Perempuan yang sudah memberinya dua anak itu lalu menunjukkan keuntungan-keuntungan mempunyai grub barongsai daripada mempunyai grub reog. “Personilnya nggak banyak, nggak banyak ngasih makan. Kalau pas sincia yang nanggap juga orang-orang Cina kaya.”

Koh Han menarik napas dalam-dalam. Usaha yang sudah digelutinya selama hampir lima belas tahun ini memang tidak menjanjikan banyak uang, tapi bukan materi yang dicari oleh laki-laki itu.

“Koh,” teriak Kholik memanggil dirinya. Untuk beberapa saat laki-laki bercelana pendek itu tertegun sebelum akhirnya sadar salah satu pekerja membutuhkan dirinya.

“Piye, Lik? [1]” Koh Han berjalan mendekati Kholik yang sedang berdiri di bawah truk yang penuh dengan gamelan, barongan dan dadak merak.

“Didokke ora alate? [2]” Kholik bersiap membuka pintu truk.

“Jangan! Tutupin atasnya, nunggu tenda berdiri dulu. Kalau kehujanan bisa blaen.” Koh Han menunjuk ke atas di mana awan hitam mulai menggantung tidak sabar menurunkan beban. Kholik mengangguk lalu naik lagi ke atas truk untuk menutupinya dengan terpal.

“Koh, jangan melamun saja. Nanti kesambet demit gunung, lho.” Pemuda itu terkekeh sambil turun dari truk, memperlihatkan gigi putih yang berderet rapi.

“Ora ngelamun, mung mikir wae. Sudah jauh-jauh sampai sini kalau hujan terus tiap hari piye?” Koh Han mengusap-usap pipinya yang putih. “Aku ndak iso mbayar panjak[3] dan penari piye?”

“Hujan itu rejeki, Koh. Lagipula hujan tidak akan turun terus menerus.” Kholik terkekeh lagi. Hubungan mereka bukan sekedar pekerja dan atasan. Bagi Koh Han, Kholik itu sudah seperti anak sendiri. Pria itu jatuh cinta pada reog Ponorogo sejak melihat kepiwaian Kholik menggigit ganongan dalam sebuah pertunjukan. Koh Han merasakan aura misterius saat Kholik bergerak menari dan menyatu dengan topeng bujang ganong yang dipakainya. Apalagi suara terompet seperti membawa pria itu pergi ke dunia lain. Hal itulah yang menggerakkan hatinya untuk berkecimpung dalam dunia reog. Sedangkan bagi Kholik, Koh Han itu seperti dewa penolong dalam hidupnya yang hanya seorang diri.

Bukan hanya Kholik, ada dua puluh orang lain yang menggantungkan hidup pada grub Singo Joyo Welang. Mereka terdiri dari kuli bongkar pasang, pemain gamelan, sinden dan penari. Koh Han merasa berat apabila dia harus membubarkan grub reog miliknya tersebut seperti saran sang istri.

***

Koh Han menyeruput kopi hitam dalam cangkir di depannya. Pria itu berkali-kali menyalakan kretek yang mati karena udara yang terus meniup. Lereng gunung semakin dingin menggigit tulang akibat hujan yang tidak berhenti sejak siang.

“Pa, aku butuh uang untuk bayar semester. Kata Mama aku harus meminta pada Papa.” Sebuah pesan pendek sampai di ponselnya pagi tadi. Daichi, anak sulungnya meminta uang kuliah.

Koh Han menatap ponsel di tangan sambil menggaruk kulit kepala yang tidak gatal. Pria itu risau, jika dia memberi uang kepada Daichi, dipastikan upah para pekerja tidak akan terbayar. Sudah seminggu sejak Singo Joyo Welang sampai di tanah lapang itu hujan tidak berhenti turun. Semesta seperti sedang marah lalu menumpahkan semua kekesalannya ke atas bumi dalam bentuk air. Sampai hari ini kas grub hanya berisi beberapa ratus ribu saja. Tiket seharga delapan ribu rupiah per orang tidak banyak terjual. Sekali lagi, Koh Han harus merogoh kocek pribadinya untuk membayar para pekerja seni dalam grubnya.

Sebuah teriakan terdengar di sela-sela hujan. Membuat Koh Han buru-buru datang ke arah suara yang ada di belakang.

“Ada apa? Kok kalian gaduh sekali.” Koh Han mendekat.

“Dadak meraknya kehujanan.” Dendi, salah satu pemain kendang menunjuk atap tenda yang sobek. Air hujan mengguyur dadak merak yang kini sudah berpindah tempat.

“Kok iso suek, to, terpale, Lik? [4]” tanya Koh Han pada Kholik yang mencoba mengeringkan rangkaian bulu merak pada dadak merak raksasa. Kholik hanya diam, sebenarnya dia tahu kalau ada salah satu bagian terpal yang berlubang, tapi tidak pernah menyangka akan ada yang menaruh dadak merak setinggi tiga meter itu tepat di bawahnya. Tangan pemuda itu terus bergerak cekatan, tidak dihiraukan baju yang basah sebagian juga ocehan sang juragan.

“Lho, dadak merak selawe yutoku[5]. Cepet keringkan, Lik! Ayo yang lain bantuin.” Koh Han mengambil serbet dari atas meja.

“Kalau ada yang rusak kalian semua tidak gajian. Butuh empat juta untuk mengganti bulu saja. Belum termasuk ongkos.” Koh Han mendengkus kesal membuat yang lain menundukkan kepala ketakutan.

Setelah peristiwa sore itu semua pemain saling berbisik, saling melempar kesalahan satu sama lain. Mereka juga mengeluh kalau seandainya tidak gajian. Bahkan Eni, gadis cantik yang menjadi penari jathilan mulai mengeluarkan sumpah serapah pada kuli-kuli angkut. Tenda yang diisi oleh dua puluh orang itu menjadi terasa semakin sempit.

***

Seminggu sudah Singo Joyo Welang beraksi di tanah lapang. Dua hari terakhir udara sangat cerah membuat penonton membludak, tapi meski begitu target pendapatan belum bisa terpenuhi.

Para pemain dan penari masih saling berbisik, bukan tentang siapa yang harus disalahkan soal rusaknya dadak merak, tapi soal gajian. Mereka khawatir tentang nasib keluarga di rumah jika tidak bisa mengirim uang.

“Apakah kita benar-benar tidak gajian, Lik?” Suwito, pemain terompet menatap Kholik cemas. Terompet kayu yang dipegang sejak tadi diusap-usapnya dengan kain. Sebenarnya sudah sering Suwito tidak bayaran atau dibayar sekedarnya di tempat lain, tapi jangan untuk kali ini. Anak-anak di rumah sedang butuh uang untuk membayar buku sekolah.

Bukan hanya Suwito yang terlihat cemas, Sapto juga bingung. Pria berbadan besar dengan gigi-gigi yang kuat mengangkat barongan dan dadak merak berbobot puluhan kilo itu sedang butuh uang, istrinya hamil tua.

Kholik hanya diam tidak bisa memberi jawaban. Sebagai pengawas sekaligus orang kepercayaan Koh Han dia memang sering menjadi tempat untuk bertanya teman-teman dalam grub.

“Lik, kalau minggu ini nggak bayaran, pie? Aku datang ke sini kemarin pakai uang utangan.” Vita, sinden bersuara merdu itu tiba-tiba berteriak mendekat.

“Sek, Mbak. Jangan marah-marah. Koh Han masih keluar, kita tunggu saja sampai orangnya balik.” Kholik mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Pemuda itu juga kebingungan. Apalagi Koh Han sudah tidak berada di lapangan sejak pertunjukan terakhir.

Malam sudah beranjak separuh saat Koh Han datang dan mengumpulkan orang-orang. Mereka menebak-nebak apa yang akan dikatakan oleh juragan mereka kali ini, soal sepinya penonton, soal dadak merak yang rusak juga soal bayaran mereka. Tapi tanpa mereka duga Koh Han membayar mereka penuh sesuai dengan standar gaji yang biasa mereka dapatkan.

“Aku tahu kalian ketakutan soal gajian, tapi aku bukan orang jahat yang tega dengan anak buah sendiri. Hanya saja aku mohon kerelaan hati kalian. Aku ingin menjual grub ini. Sepertinya aku memang tidak cocok berada di sini.” Mata Koh Han berkaca-kaca.

Tidak ada jawaban, hanya ada isak tangis dari anak buah yang bertahun tahun membersamainya membesarkan Singo Joyo Welang.


Catatan Kaki

[1]Gimana, Lik?

[2]Diturunkan, nggak, alatnya?

[3]Pemain gamelan

[4]Kok bisa sobek, to, terpale, Lik?

[5]Lho, dadak merak dua puluh lima jutaku


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url