Cinta di Sebatang Wijaya Kusuma - Supriyatin

Cerpen Juara 3 pada Event Merenda Cinta Melintas Budaya 2024

Cinta di Sebatang Wijaya Kusuma

Supriyatin


Assalamualaikom kamek ucapkan

Kepade hadirin yang hader sekalian

Terima kaseh kamek haturkan

Sebab sudi dudok mendengarkan

Pade kesempatan ini izinkan kamek mengisahkan

Satu ceritera sarat pelajaran

Bahwe cinte dan perasaan

Semue bise dan wajib diarahkan[1]

Aku lalu memejam, mendendangkan syair tundang melayu dengan segenap perasaan.

*******

Bila ada yang bertanya padaku pasal bunga-bungaan paling elok di dunia, maka jawabanku bukan mawar, bukan melati, bukan pula lili atau pun kenanga. Sebab aku telah lama jatuh suka kepada wijaya kusuma.

Tentu saja itu karena Meilan menyukainya. Dan aku menyukai Meilan.

Aih, amoy berlesung pipi itu!

Aku mengenal Meilan sejak ia masih menjadi gadis belia usia sepuluh tahun. Sedangkan aku baru saja beranjak ke umur tiga belas. Ia yang seorang keturunan Tionghoa berkulit semulus pualam sungguh memesona di mataku, pribumi dengan tubuh segelap bubuk cokelat dan rupa tak seberapa menarik, beraroma campuran padi dan matahari.

Hubungan kami ganjil sejak semula tumbuh hingga berkembang. Dan sebagaimana wijaya kusuma, ia pun mekar di waktu dan cara yang amat tak lazim, menentang segala syariat dan adat budaya yang berlaku di tengah masyarakat.

Meilan adalah putri dari seorang seniman Tionghoa keturunan. Koh Apek, ayahnya, masyhur sebagai tatung. Nama lelaki bertubuh tinggi besar itu terkenal tak hanya di Segedong–tempat asal kami, tetapi juga sampai ke Pontianak, Sungai Pinyuh, Singkawang, hingga Pemangkat. Ilmu kebalnya menjadi-jadi.

Sementara aku, adalah putra asli pribumi Segedong, pewaris tunggal grup kesenian besutan Ayahanda: Tundang Melayu Sanggar Pusaka. Kebisaanku semata memukul gendang dan rebana, seraya mendendangkan macam-macam pantun berirama. Tiada sedikit jua pengetahuanku soal senjata dan cara menebalkan kulit badan agar aman sentosa manakala digores bilahnya.

Pendek kata, kami amat berlainan. Tiada cara bagiku untuk menjadi sama dengan ia atau keluarganya. Namun, laksana kidung, bukankah harmonisasinya tercipta dari perbedaan?

Maka, kubesarkan kembali hati. Kurenda hari-hari dengan pelbagai usaha untuk menjembatani kami.

“Kau tak ubahnya orang yang tengah menggantang asap, Mail!”

Itu omelan emakku tatkala desas-desus soal hubunganku dengan Mei–nama panggilan Meilan–mulai berembus di kalangan tetangga. Dugaanku, Emak mulai berang sebab banyak yang mengipasi. Di dunia pergaulan skala desa, urusan satu keluarga memang dapat menjadi beban pikiran orang sekampung. Aku sama sekali tak heran.

Kesinisan Emak makin menjadi bilamana hari perayaan Imlek dan Cap Go Meh tiba. Aku yang hendak merebut hati papa Mei, acapkali menggabungkan diri dalam iring-iringan naga, menjadi salah satu pemain–meski sebenarnya aku cuma bertugas memegang kayu penyangga ekor naga.

“Abang, tengoklah anakmu telah berubah menjadi orang tak tahu malu! Katakan kepadanya, berhenti memaksa memakai pakaian orang lain yang bahkan tak muat di badan sendiri! Aku benci melihatnya!”

Emakku itu, bila telah memuncak emosinya, kerap benar membawa-bawa orang lain dalam omelannya. Dan jika sudah begitu, tak cuma Ayah yang kena getahnya. Gagang pintu, gantungan baju, juga macam-macam perabot semua habis diajak kelahi.

Orang tua Mei pun bukannya tak pernah menegur. Pernah suatu kali Mei mengadu padaku dengan bersimbah air mata. “Mama menyuruhku menjauhimu. Katanya tak pernah ada amoy yang berpasangan dengan seorang bujang Melayu. Aku mesti menurut atau Mama akan mengirimku ke Taiwan, menyusul Ci Ling.”

Aku menanggapinya ringan saja. Seringan gerak pot gantung wijaya kusuma yang ditiup angin sore. Seberapa pun pelik permasalahannya, tak patut bila bersilang kata dengan para orang tua. Itu prinsipku.

Lantas menyerahkah aku dan Mei? Sama sekali tidak. Laksana batang-batang kecil wijaya kusuma, kami berdiri tegak nan tegar menopang daun-daun harapan, mengalirkan asupan semangat pada kuncup-kuncup perasaan yang terus membesar dari hari ke hari.

Bukankah sudah kukatakan? Kami memang gila. Cinta kami tak lazim.

Akan tetapi, orang tua kami pun tak kalah gertak.

Mei benar-benar dikirim ke Taiwan saat usianya dua puluh dua tahun. Dan aku dijodohkan Emak dengan putri Cik Ebrahim. Azizah namanya, pemain rebana di grup tundang Ayah.

Tentu saja kutolak mentah-mentah. Mana tega aku menjadikan dara ayu serupa melati itu sebagai saingan wijaya kusuma. Aku takut berdosa sebab tak mampu berlaku layaknya seorang penjaga yang adil lagi bijaksana.

Emak muntab. Lalu pikiran-pikiran buruknya mulai menggerogoti badan, menjadi senjata lain buat mengalahkan keras kepalaku. Namun, laksana batu besar di tengah kali, aku bergeming.

“Bahkan sampai mati pun aku takkan ikhlas bila kau menyanding gadis toko arloji itu sebagai istri!”

Serapah itu akhirnya menjadi penghujung kemarahan Emak. Ia langsung dilarikan ke rumah sakit setelahnya dan berpulang dua hari kemudian. Pembuluh darahnya disinyalir tak sanggup menahan tensi yang terus menanjak.

Dan aku menganggap pantang larang Emak yang penghabisan itu sebagai salah satu wasiat. Kugenggam dengan sekuat kemampuan, tanpa sekali pun niatan melanggar. Termasuk ketika Meilan pulang bertahun kemudian dan memintaku melamarnya.

“Mama dan Papa sudah menyerah. Katanya itu lebih baik daripada aku tak kawin-kawin,” kata Mei membuka percakapan. Ia menunduk malu-malu, susah payah menyembunyikan rona di kedua pipi.

Amboi, manisnya!

Serupa benar dengan kelopak wijaya kusuma yang mekar selepas berbulan-bulan terkurung dalam kuntum.

Lama aku terdiam. Separuh sebab terpesona memandangi purnama yang seolah terpantul sempurna di wajah Meilan, separuh lagi karena tak tega membayangkan reaksi Meilan selepas mendengar hal yang hendak kusampaikan.

Akan tetapi, Meilan berhak tahu.

“Mei ….”

Meilan menoleh, memandang langsung ke mataku. Lalu sebagai biasa, ia senantiasa dapat membaca tatapku. Seketika segumpal awan mendung menggelayuti wajahnya.

“Mengapa, Mail? Adat budaya bukankah telah semuanya kita leburkan?”

Ganti aku yang menunduk. Sesak dadaku.

“Sebab aku tak hendak meletakkanmu di tengah antara, Mei. Aku dan kau biarlah berdiri di masing-masing sisi, sementara sumpahku sebagai sekatnya.”

Mei menunduk kian dalam, tenggelam dalam duka paling megah. Pun denganku. Sekarang ini kami benar-benar menjelma sebagai kembang wijaya kusuma. Meilan sang bunga dan aku batangnya. Meilan layu, aku merana.

*******

Kirenye demikian kisah dua insan

Yang merende cinte tapi gagal ke pelaminan

Adat dan budaye memang terleburkan

Namun syariat tak mengizinkan

Duhai begitulah naseb badan

Sumpah pula menjadi sandungan

Dua insan Ismail dan si Meilan akhirnye memutoskan

Same-same membujang hingge penghabesan
[2]

[1]Assalamualaikum saya ucapkan

Kepada hadirin yang hadir sekalian

Terima kasih saya haturkan

Sebab sudi duduk mendengarkan

Pada kesempatan ini izinkan saya mengisahkan

Satu cerita sarat pelajaran

Bahwa cinta dan perasaan

Semua bisa dan wajib diarahkan

[2]Kiranya demikian kisah dua insan

Yang merenda cinta tapi gagal ke pelaminan

Adat dan budaya memang terleburkan

Namun syariat tak mengizinkan

Duhai begitulah nasib badan

Sumpah pula menjadi sandungan

Dua insan Ismail dan si Meilan akhirnya memutuskan

Sama-sama membujang hingga penghabisan


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url