Lusan - Erlyna

Cerpen Juara Harapan 1 pada Event Merenda Cinta Melintas Budaya 2024

Lusan

Erlyna

Bom besar meledak sebagai hidangan penutup di tengah meja makan keluarga Suyitno yang biasanya tenang dan cenderung kaku, tiap dada yang mengitari meja bundar itu pecah, isinya berhamburan dan membentuk lingkaran sendiri-sendiri, besar bercampur kecil, amburadul mirip sekumpulan sampah tercecer di pinggiran jalan kampung yang dipenuhi lalat dan cacing gemuk. Laksana setan sesat yang kelabakan mencari arah, ledakan itu berkecai-kecai begitu saja, memorak-porandakan segala kemonotonan table manner khas kaum keturunan ningrat Jawa yang dijunjung tinggi. Di luar, bulan condong ke arah tenggara, bulat-bulat menyala dan menyinari rumah joglo dengan halaman luas yang di atasnya tergelar bermeter-meter rumput hasil perkawinan jenis gajah dan peking. Untuk sesaat, tidak ada yang berani bersuara. Mata semua orang menyala-nyala, memelotot dengan tekanan paling kuat nyaris membuat bola di dalamnya mencuat. Di kursi paling ujung, Laksita bergeming dengan tubuh sekaku patung buntung yang terpajang di kios pakaian bekas Pasar Suren, wajahnya pucat, sementara mulutnya mengatup rapat-rapat. Dari sanalah bom besar tadi terperanjat.

Kulo lan Kangmas Rama berencana menikah, mohon doa restu Bapak kaliyan Ibu.”

Singkat, padat, dan menjerat. Pak Suyitno menguliti putri semata wayangnya dengan tatapan setajam belati. Laki-laki paruh baya itu kesulitan memulai menanggapi, sementara di hadapannya, Estri istrinya hanya diam sambil menyembunyikan tangannya di bawah meja, meremas-remas ujung tumpal jarik batik sido asih yang dikenakannya.

Seringkali, petaka memang bertandang bersamaan dengan takdir-takdir yang berkelindan dengan garis nasib manusia. Laksita bukannya tidak mengetahui dan tidak menyadari apa yang baru saja dikatakan kepada keluarganya. Ia memahami betul bahwa perkataan yang telah disiapkannya jauh-jauh hari itu akan membuat kehebohan.

Pasalnya, Rama, kekasih yang diam-diam sudah dipacarinya selama satu tahun lebih itu tiba-tiba mengajaknya menikah. Namun, hal menyenangkan yang menjadi idam-idaman para perawan itu membuat Laksita gusar alih-alih bahagia.

Ada sebuah hukum tradisi yang melekat kuat dan menyekat begitu tinggi di hadapannya, yang ia yakin akan menjadi penghalang besar perihal rencana pernikahannya.

Tidak boleh! Kamu jangan kurang ajar!”

Pak Suyitno langsung menolak sambil meletakkan gelasnya yang isinya telah tandas karena tenggorokannya seketika dipenuhi duri-duri tajam yang menusuk-nusuk dan membuatnya sulit bicara. Laki-laki yang tahun ini menjabat lurah untuk kedua kalinya itu bangkit dengan cepat, meninggalkan meja makan dengan dada murup.

Suara-suara bagai kaleng-kaleng yang ditendang-tendang di atas lantai ubin, serupa melodi terkutuk yang disenandungkan sekawanan maut, terus berdengung-dengung di telinga Laksita. Jalinan-jalinan nada yang kacau balau itu perlahan-lahan menyihir perempuan ayu itu menjadi lebih berani lagi.

“Kami akan tetap menikah, Pak, Bu. Dengan atau tanpa restu dari panjenengan sedanten.”

Bulan makin menyala, bagai gumpalan emas putih raksasa, menggantung di awang-awang dan perlahan-lahan menghilang di balik awan. Pak Suyitno yang belum melangkah terlalu jauh seketika membatu. Sambil membalikkan badan, dihelanya napas bara lewat hidungnya yang barangkali telah berasap.

Selama ini, Laksita selalu penurut. Lalu mengapa tiba-tiba gadis itu begitu berani melontarkan perkataan tidak ubahnya orang kesurupan? Siapa yang telah begitu lancang meracuni isi pikiran anak perempuan satu-satunya di keluarganya yang terhormat? Pak Suyitno terus bertanya-tanya dalam hati dengan perasaan berang.

“Kurang ajar!”

Untuk pertama kalinya setelah menjabat sebagai lurah, Pak Suyitno kehabisan kesabaran dan tersulut emosi begitu mudah. Ia menampar pipi Laksita sekeras-kerasnya lalu berkacak pinggang sambil memelotot.

“Siapa yang mengajarimu bersikap lancang koyo ngene? Awit kapan kamu wani ngelawan orang tua?”

Kulo cuma pingin menikah, Pak. Bapak kaliyan Ibu juga mengenal Kangmas Rama dengan baik. Dia orang yang bertanggung jawab.”

“Bukan itu masalahnya, Nduk. Tetapi Rama dan kamu itu tidak boleh menikah.”
Dengan suara sedikit gemetar, Bu Estri berusaha menenangkan suasana.

“Kenapa, Bu? Apa karena mitos konyol yang masih kalian percaya hingga sekarang? Bukankah itu hanya omong kosong?”

Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Laksita yang halus dan dipoles kemerahan. Pak Suyitno tidak tahan sudah. Dengan cepat laki-laki itu kembali melangkah meninggalkan meja makan, membiarkan asap-asap pertengkaran yang membuatnya sesak meracuni putri dan istrinya yang masih termenung tanpa mengucap kata-kata.

Pernikahan, barangkali saja, juga masuk dalam salah satu daftar harapan Pak Suyitno dan istrinya tahun ini, mengingat usia putrinya sudah menginjak di angka dua puluh lima, usia yang bisa dibilang sangat terlambat untuk menikah, sementara kedua kakak lelakinya sudah lama berumah tangga dan hidup terpisah. Di kampung Suren tempat mereka berada, anak perempuan layaknya menikah saat menginjak usia delapan belas tahun, lebih cepat lebih baik.

Tidak banyak anak perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi sampai kuliah. Sebagai petinggi kampung, Pak Suyitno juga mendukung dan mengakui bahwa tidak ada gunanya anak perempuan menempuh pendidikan berlebihan. Itu sebabnya saat mengetahui Laksita meminta izin untuk melanjutkan pendidikan di kota besar, Pak Suyitno sangat keberatan. Ia merasa hal itu tidak ada gunanya dan hanya membuang-buang uang saja.

Dan firasatnya sebagai keturunan orang pintar nyatanya tidak pernah keliru. Sifat Laksita yang dahulu sangat mudah diatur dan jarang sekali membantah, mendadak berubah. Perempuan itu bahkan tanpa merasa berdosa menjelek-jelekkan kepercayaan yang mengental di benak para sesepuh dan orang tua, tanpa tahu malu mengatakannya sebagai ucapan omong kosong hanya karena laki-laki bernama Rama, anak laki-laki pertama dari keluarga Pak Reyhan, seorang pengusaha gula jawa di kampung mereka. Sungguh tidak beradab.

Sebenarnya, bukan perkara ekonomi atau pekerjaan yang mengganggu benak Pak Suyitno. Terlebih lagi, ia memang mengetahui betul bahwa Laksita dan Rama pernah menempuh pendidikan bersama di luar kota, yang artinya keduanya memiliki tingkat pendidikan yang setara. Laksita kini bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah negeri, sementara Rama saat ini menjabat sebagai salah satu jajaran pamong desa, tepatnya sebagai sekretaris di tempat yang sama dengan Pak Suyitno. Namun, tetap saja, ia tidak akan pernah membiarkan pernikahan itu terjadi. Tidak demi kebaikan satu-satunya anak perempuan yang dimilikinya.

Meski ada banyak hal baik, tetap saja ada banyak pertimbangan yang dipikirkan Pak Suyitno, salah satu yang menjadi alasan terbesar penolakannya itu adalah karena kepercayaan turun temurun yang hingga kini masih diimani dan dipegangnya kuat-kuat. Pernikahan lusan, atau tiga belasan, atau lebih tepatnya pernikahan antara anak pertama dan ketiga itu dipercaya membawa petaka.

Sudah banyak yang membuktikannya, dan Pak Suyitno sendiri pun, pernah melihat dengan nyata secara langsung, bagaimana pernikahan terlarang dan terkutuk itu menciptakan sebuah pertunjukan kehidupan yang mematikan bergerak tepat di depan matanya. Hal yang dengan pasti tidak akan pernah ia harapkan terjadi kepada putri satu-satunya, anak perempuan kesayangan yang didapatkannya setelah melewati berlapis-lapis perkara tidak ubahnya neraka.

Kemudian di hari berikutnya, ia menyadari bahwa apa yang dilakukannya telah menciptakan sebuah penyesalan baru yang akan terus dirutukinya seumur hidup.

Saat sedang tertidur lelap, ia terkaget-kaget dibangunkan oleh istrinya yang masih mengenakan mukena setelah salat tahajud. Dengan malas-malasan, Pak Suyitno membuka mata yang masih terasa berat, lalu bertanya-tanya dengan sedikit marah, apa gerangan yang membuat istrinya yang biasanya begitu tenang mendadak panik?

“Laksita kabur saking ndalem, Pak.”

Bom besar kembali meledak, kali ini lebih birawa dari sebelumnya, bukan di meja makan, tetapi tepat di dada yang seketika carut-marut. Laron-laron menubruk-nubruk dinding dan tirai-tirai penyekat, sedangkah udara dingin menusuk-nusuk pagi buta berkali-kali lipat.

Pak Suyitno langsung meloncat dari ranjang, berlari ke lantai dua tempat kamar Laksita berada, lalu mendapati kekosongan yang lengang begitu menghunjam raganya dalam-dalam.

Apa sebenarnya yang salah? Bagian mana yang luput diberi perhatian? Dan mengapa tragedi suram ini terus saja berulang?

Untuk sesaat, Pak Suyitno hanya diam sambil bersandar, tatapannya kosong, sementara pikirannya tidak bisa lagi dikendalikan.

“Pak! Pripun niki, Pak?”

Tidak lama kemudian Bu Estri muncul dengan langkah tergopoh-gopoh. Wanita itu telah melepas mukenanya, menggantinya dengan daster biru tua dan sehelai jilbab sederhana. Saat itu juga Pak Suyitno bergerak, menampar pipi istrinya dengan begitu keras hingga wanita itu terjerembap ke belakang.

“Apa saja yang njenengan lakukan sampai tidak tahu Genduk kabur, Bu?”

Bu Estri hanya diam sambil menunduk. Tangan kanannya memegangi pipinya yang panas. Rasa terbakar itu dengan cepat menjalar ke seluruh wajahnya hingga menyebar ke dada, menciptakan topan yang tidak tertahankan. Perasaannya pecah saat itu juga.

Tidak usah menangis. Ini bukan waktunya menangis. Lebih baik njenengan bantu cari Laksita sampai ketemu.”

“Tapi, Pak—“

“Cepat!”

Dengan tubuh gemetar dan langkah terhuyung-huyung, Bu Estri bangkit meninggalkan Pak Suyitno yang perlahan jatuh terduduk sambil memeluk lutut. Laki-laki itu meremas kepalanya. Seandainya saat itu ada cahaya yang menyorot tepat ke wajahnya, akan tampak betapa tegang urat-uratnya yang menyeringai merah. Ia kembali mengutuk takdir yang telah begitu tidak adil kembali mengacak-acak kehidupannya.

Saat sedang tenggelam dalam keterpurukan, sebuah benang hitam menarik diri, menjulur keluar dari kepalanya yang rasanya nyaris mati, merepih satu demi satu helai masa lalu yang berjatuhan, berceceran tepat di hadapannya.

Kala itu ….

Saat hujan deras disertai petir yang melengking-lengking, sebuah badai tumpah tepat di sebuah dada yang terbelah. Sebuah perasaan cinta bertamu, bersemu malu-malu, satu-satu mengeja perihal kenyataan yang bisa dilakukan: menerima. Perasaan itu tidak bisa dikendalikan, apalagi dihapuskan secara paksa. Sebab begitu cinta bertandang, segala tentangnya adalah kemungkinan.

Suyitno muda yang saat itu baru saja menyelesaikan pendidikannya, untuk pertama kali pulang ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun merantau. Banyak hal telah berubah, bukan hanya tempat masa kecilnya yang nyaris tidak lagi dikenalinya, tetapi juga kepribadiannya yang tidak lagi polos seperti dahulu.

Keberadaannya, ia tahu dan sadar betul telah menjadi pusat perhatian orang-orang kampung yang diam-diam mengincarnya untuk banyak kepentingan. Demi untuk mewujudkan niatnya mengabdikan diri membangun kampung halaman yang dicintainya dan melindungi hal-hal yang berharga baginya, Suyitno muda yang kala itu berusia dua puluh empat tahun menyetujui saat kepala desa yang menjabat memintanya menjadi petugas kelurahan magang.

Kecerdasannya yang terkenal telah menjadikannya anak emas di kampungnya sendiri. Saat merintis karier itulah ia pertama kali bertemu dengan Estri, anak perempuan kepala desa yang begitu baik dan perhatian kepadanya.

Keduanya semula tidak saling kenal, tetapi sama-sama mencuri pandang saat pertama kali bertemu. Dan begitulah kebiasaan demi kebiasaan berkembang dengan sendirinya, tentang bagaimana sebuah cinta merenda pada dada-dada manusia yang sama-sama membuka diri dan siap menyambutnya.

Sayangnya, hubungan rahasia itu tidak berlangsung lama. Nyi Nur, ibu Estri yang menyadari gelagat aneh putrinya langsung bertindak begitu mengetahui ada yang ganjil. Ia bahkan telah berkali-kali menceritakan hal itu kepada suaminya dan memintanya untuk memindahkan Suyitno dari pekerjaannya di balai desa. Namun, karena keberadaan Suyitno sangat penting dan banyak membantu terutama dalam hal perencanaan dan pengurusan administrasi, yang mana selain trengginas laki-laki itu juga begitu telaten, tentu saja kepala desa tidak pernah benar-benar serius menanggapi permintaan istrinya.

Bahkan setelah ia mendengar semua hal tentang hubungan diam-diam putrinya dengan Suyitno itu, ia tetap memilih tidak acuh dan lebih fokus pada pembangunan desa yang sudah mulai bergerak.

Menyadari sang suami yang ternyata tidak begitu peduli dengan kekhawatiran yang dirasakannya, Nyi Nur memilih menghadapinya sendiri. Sebagai seorang ibu, ia tidak akan pernah membiarkan anak perempuannya terjerumus ke dalam sebuah hubungan yang dilarang oleh kepercayaan yang digenggamnya kuat-kuat.

Akan tetapi, ia telah terlambat. Benar-benar terlambat dan tidak menyadari bahwa kekuatan sebuah cinta bisa menyebabkan seseorang begitu buta.

Subuh itu, ia yang terbangun untuk menunaikan salat, terkejut luar biasa saat menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan salah satu anaknya, Norman. Kakak laki-laki Estri itu, yang biasanya menjadi orang pertama yang datang ke musala pribadi untuk mengumandangkan azan, diam tidak bergerak di kamarnya. Tubuhnya yang berisi terasa dingin, tidak menunjukkan satu pun tanda-tanda kehidupan.

Nyi Nur menjerit keras-keras, berteriak meraung-raung sambil memanggil-manggil nama Norman. Sementara itu, di antara kerumunan para tetangga yang mulai berdatangan, Estri berdiri dalam diam, dengan sorot mata yang sulit untuk dijelaskan.

“Kamu membunuhnya?” tanya Suyitno kepada Estri ketika keduanya diam-diam bertemu saat upacara pemakaman Norman sedang berlangsung. Orang-orang sibuk berkabung, kesempatan itu mereka gunakan untuk bertemu di belakang sebuah lumbung dan merencanakan sesuatu.

Kulo tidak tahu apa-apa. Kangmas Norman mati begitu saja saat tidur. Mungkin Gusti Allah mendengar doa kita, Kang.”

Estri menatap dalam ke arah Suyitno yang justru terlihat waswas. Laki-laki itu beberapa kali memeriksa sekeliling, memastikan tidak ada yang memergoki mereka.

Meski begitu, tidak ada kejahatan yang benar-benar luput dari kesalahan. Tidak peduli seberapa hati-hati keduanya sepakat bertemu dan merencanakan hal-hal yang tidak bisa dibicarakan terang-terangan, nyatanya, Gusti tetap saja memberikan sebuah cela dari arah yang tidak pernah disangka-sangka. Sepasang mata diam-diam mengintip pertemuan keduanya dalam diam. Sepasang mata yang di kemudian hari menjadi tombak penghancur paling mengerikan bagi hubungan cinta yang sesungguhnya tidak pernah direstui oleh semesta. Sejak awal, Suyitno dan Estri seharusnya tidak pernah bersama.

“Apa yang kamu rencanakan?”

Di sebuah ruangan khusus, Estri dipanggil dan diinterogasi oleh sang Bapak. Perempuan itu berlutut di lantai, menunduk dalam-dalam dengan mulut bungkam. Ia tidak tahu siapa yang telah berani membocorkan rahasia pertemuannya dengan Suyitno, tetapi ia juga merutuki dirinya sendiri karena tidak memperkirakan hal ini akan terjadi.

Tidak ada, Pak.”

“Ke mana kamu saat kangmasmu dimakamkan? Apakah elok pihak keluarga pergi sementara orang lain berbondong-bondong datang melayat?”

Kulo ndek dapur, Pak. Rewang—

“Jangan ngadi-ngadi! Siapa yang sedang coba kamu bohongi?”

Estri menunduk semakin dalam. Kepalanya berdenyut-denyut, berusaha memikirkan jawaban yang bisa membuatnya lolos dari hukuman kurung yang ia yakin akan segera diberikan oleh bapaknya.

Ngapunten, Pak.”

“Kamu diam-diam bertemu dengan Suyitno? Benar? Apa yang kamu rencanakan? Apa hubunganmu dengannya?”

Estri hanya diam. Telapak tangannya di atas jarik ia remas-remas dengan keras.

“Kamu tidak kesengsem dengan bujang itu, to? Dia anak pertama di keluarganya, tulang punggung yang menghidupi adik-adiknya. Selain itu kalian—“

Inggih, Pak. Kulo tidak pernah bertemu dengan Kang Suyitno. Bapak tahu hal itu dari mana?” bantah Estri mulai mengelak.

Hening.

Keduanya seketika sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Satrio, kakak pertama Estri muncul dari balik pintu. Wajahnya yang datar dan sangar menatap lurus ke depan. Sebagai satu-satunya anak yang sudah menikah, Satrio sepertinya merasa sedikit terbebani untuk bersikap dewasa. Dahulu, ia dan Estri sangat dekat. Namun, sejak ia menikah banyak hal yang juga ikut berubah, termasuk kepribadiannya dan juga cara ia bergaul dengan adik-adiknya.

Dengan langkah tegap Satrio mendekati bapaknya yang juga terheran-heran melihat kedatangannya. Ia membungkukkan badan, membisikkan sesuatu ke telinga laki-laki paling dihormatinya.

Malam yang lindap kehilangan kata-kata: adalah sekumpulan daun-daun kering yang berguguran diterpa angin usia, gemerisik menciap-ciap dan pecah-pecah. Angin melenguh, mengantarkan sebuah kabar kelam pada harmoni kehidupan.

“Estri! Benar kamu hamil?”

Biji-biji air mata melayang-layang, lalu jatuh dalam pangkuan yang dipeluknya erat-erat. Pak Suyitno kembali ditarik oleh seutas benang hitam ke kehidupannya semula.

Segalanya menerima bagian-bagiannya sendiri, tenggelam dalam nasibnya masing-masing. Ia dan Estri telah bersumpah akan mengubur dalam-dalam kenangan legam itu, kenangan yang pernah menorehkan kenyataan bahwa mereka pernah menjelma sebagai setan sesat, yang juga membongkar-bangkir perasaan kedua orang tua, menciptakan prahara yang menyambar-nyambar nyawa: kesulitan ekonomi, patahnya keberuntungan, dan kematian yang mengerikan.

Dan kabar itu beranjak juga, sebuah mimpi buruk yang menjelma karma paling nyata dan menarik-narik nyawa dengan paksa dari raga. Sebuah kabar prahara yang menyambar-nyambar tepat di atas ubun-ubunnya.

Pak Suyitno bangkit perlahan dibantu beberapa warga yang berbondong-bondong datang ke rumahnya. Di balai depan, orang-orang berkerumun, mengerubungi sepasang tubuh kaku membiru yang diselimuti kain jarik sido asih: Bu Estri dan Laksita ditemukan mati.

Wahai tangan Gusti yang mengiris-iris, neraka dari mana lagi yang baru saja jatuh?

Purworejo, 28 Februari 2024

Sebuah catatan:

-Kulo: Aku/saya

-Kaliyan: dengan

-Ndak: tidak

-Panjenengan sedanten: kalian berdua

-Koyo ngene: seperti ini

-Awit: sejak

-Wani: Berani

-Saking ndalem: dari rumah

-Birawa: dahsyat

-Pripun: bagaimana

-Ndug/genduk: panggilan sayang kepada anak perempuan

-Ngapunten: maaf

-Inggih: iya

-Ngadi-ngadi: mengada-ada


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url