Keinginan Mama Bukan Keinginanku - Wediastuti

Cerpen Juara Harapan 2 pada Event Merenda Cinta Melintas Budaya 2024

Keinginan Mama Bukan Keinginanku

Wediastuti

Mama masih mendiamkanku sejak pertemuan tidak sengaja di resepsi pernikahan sepupu Mas Bayu, pria keturunan Jawa yang sudah tiga tahun menjalin hubungan denganku. Aku sama sekali tidak tahu kalau Mama dan Papa menjadi tamu undangan di situ. Mama memasang muka masam saat Mas Bayu menyalaminya, berbeda dengan Papa yang tersenyum sumringah sambil menepuk-nepuk bahu pria berkacamata itu.

Untungnya orang tua Mas Bayu tidak ada di dekatku, dia tetap bersikap ramah dan mendampingi Mama dan Papa untuk bersalaman dengan pengantin. Sedangkan aku memilih berbaur dengan among tamu lainnya. Dari kejauhan aku melihat Papa tengah bercakap-cakap dengan salah satu kerabat Mas Bayu, mereka terlihat sangat akrab. Begitu juga Mama yang sesekali menimpali, ternyata orangtuaku mengenal Om Ruslan, sang pemilik hajat.

Aku ingin sekali mendekat dan berdiri di samping Mas Bayu, apalagi dia berulang kali memanggil dengan isyarat tangan. Namun, aku tidak ingin suasana hati Mama berubah dengan kehadiranku, dari tatapan matanya saja kelihatan agar aku menjauhi Mas Bayu. Titah Mama tidak boleh dilanggar.

“Jangan mengikuti jejak dua kakakmu, Nanda. Mama ingin kamu manyunjuang suntiang [1], saat menikah nanti. Kamu harus mengangkat kembali marwah keluarga besar kita. Mambangki batang tarandam[2].”

Pesan Mama dua tahun yang lalu kembali terngiang, emosi yang terpancar, bibir yang bergetar saat mengucapkannya, dan cengkeraman di lengan kiriku. Kejadian itu tepat satu bulan sebelum pernikahan Kak Erna dengan Bang Burhan, pria berdarah Bugis. Kak Desti, anak pertama Mama menikah dengan Bang Made, putra asli Bali yang menjadi atasannya saat bekerja di Denpasar. Mama sampai harus menggunakan paranormal untuk memisahkan mereka, tetapi kekuatan cinta mengalahkan segalanya. Semakin dilarang malah semakin menjadi, Kak Desti memilih mengikuti agama Bang Made dan menikah tanpa restu dari Mama dan Papa.

Dua tahun kemudian hal serupa terjadi, karena tidak ingin kehilangan anak untuk kedua kalinya. Papa berusaha menengahi penolakan Mama dan juga keluarga besar mereka. Perundingan dengan Ninik Mamak3 sampai berminggu-minggu dilakukan, berbagai syarat diajukan, membahas proses maminang[3], manjapuik marapulai[4], dan basanding[5]. Kedua keluarga tidak ada yang mau mengalah, sama-sama keras mempertahankan budaya dan tradisi.

Akhirnya Kak Erna menikah hanya didampingi Papa, sedangkan Mama memilih untuk tidak datang karena resepsi pernikahan memakai adat Bugis. Aku tahu Mama kecewa, tetapi haruskah aku yang menanggung semua ini?

“Ma … Maafkan, Nanda.”

Mata Mama masih terpaku menatap layar TV di depannya, dia meraih remote dan beberapa kali mengganti pilihan siaran. Namun, semuanya menampilkan iklan. Karena tidak menemukan acara yang menarik, Mama menekan tombol merah sambil menggerutu. Remote dihempaskan begitu saja ke sofa.

Mama melipat kedua tangan dan menatapku dengan pandangan sinis. Kami saling bertatapan beberapa detik, mata Mama membulat. Aku mengalihkan pandangan menatap sofa abu-abu berbentuk hurup L yang murung malam ini.

“Kamu masih berhubungan dengan Bayu kan, Nanda?”

Aku diam. Mengiyakan pasti akan membuat Mama meradang, membantahnya pun percuma. Seandainya saja Papa ada di sini, aku pasti tidak disudutkan seperti ini. Mas Bayu sudah masuk kriteria menantu idaman Mama, mapan, berpendidikan, dan berasal dari keluarga baik-baik. Kekurangannya cuma satu, bukan keturunan Minang!

“Nanda. Jangan terus kecewakan Mama. Salah Mama apa ke kalian? Mama cukupi semua kebutuhan kalian, kuliah di manapun terserah, menjadi apapun tidak ada Mama larang-larang. Mama berikan semua yang kalian mau, lalu mengapa mengikuti satu saja permintaan Mama kalian tidak bisa!”

Suara Mama meninggi, matanya memerah. Aku reflek memejam dan menutup kedua telinga dengan tangan. Aku takut kemarahan Mama semakin menjadi-jadi.

“Maafkan Nanda, Ma. Nanda tidak bisa memenuhi harapan Mama.”

“Kamu bisa. Asal kamu bersungguh-sungguh ingin membahagiakan Mama.”

Suara Mama tidak lagi sekeras tadi. Aku memberanikan diri menatapnya, jarak kami hanya di pisahkan sebuah meja oval. Mama menarik rambut panjangnya yang sebagian memutih ke atas, kemudian menjepitnya dengan asal.

“Mas Bayu dan Nanda akan menikah tahun depan, Ma. Mungkin bulan depan keluarga Mas Bayu ingin kenalan dengan Mama dan Papa.”

Mama tiba-tiba berdiri dan meninggalkanku begitu saja. Dia berjalan ke arah kamar dan menutup pintu dengan kasar. Aku menarik nafas dalam-dalam.

“Apa yang sebaiknya aku lakukan?” gumamku dalam hati.

“Jangan jadi anak durhaka, Nanda. Cukup Kak Desti saja yang dilabeli Mama seperti itu. Walaupun berat untukmu, semoga kamu bisa membahagiakan Mama dan Papa.”

Jawaban Kak Desti lewat pesan teks, tidak cukup menguatkanku. Rasanya aku ingin berlari ke pelukannya, seperti yang pernah aku lakukan saat masih bersama-sama. Kak Desti adalah orang pertama tempat aku bercerita semuanya, dia pengganti Mama di rumah. Mama benar, Mama sudah banyak berkorban demi kebahagiaan anak-anaknya.

Sejak aku kecil Mama memang lebih mendominasi ketiban Papa, perbedaan penghasilan yang lebih besar membuat hal itu terjadi. Walaupun masih ada pertalian saudara antara keduanya, tetapi tingkat sosial keluarga Mama memang lebih tinggi. Mama dan Papa dijodohkan, istilah pernikahan mereka disebut pulang kabako[6].

Sesulit apapun ujian perkawinan mereka, Mama mencoba bertahan. Termasuk saat Papa memutuskan menikah lagi karena ingin memiliki anak laki-laki, Mama tidak bisa meminta cerai karena hal itu mendapat dukungan dari keluarga besar. Apalagi yang dinikahi juga berdarah Minang dan memiliki karakter bertolak belakang dengan Mama. Di usia pernikahan yang sudah masuk tiga dasawarsa, Mama menjadi lebih penurut ke Papa. Dominasinya berkurang, mau mendengarkan, dan jarang membantah. Namun, hubungan Mama dengan kedua kakakku masih dingin. Tidak pernah ada komunikasi.

***

Aku baru saja menyelesaikan mencuci semua perkakas dapur, saat Mama keluar dari kamarnya. Mama berjalan ke arah pintu, menyambut kedatangan Papa. Aku sempat melirik jam dinding di ruang tengah, pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Papa datang lebih cepat tiga puluh menit dari biasanya di Minggu pagi ini. Tumben.

Aku tidak langsung menghampiri Papa, ada sesuatu yang direncanakan Mama. Apalagi sejak semalam Mama mengurung diri di kamar terus.

“Nanda, kamu masak apa hari ini?” tanya Papa setengah berteriak.

Aku lihat Mama menuangkan teh hangat dari teko ke cangkir yang sudah aku siapkan di atas meja makan, mulutnya masih terkunci. Diam seribu bahasa.

“Soto ayam, Pa. Papa mau makan?”

“Iya, mau. Nggak usah pake nasi.”

Aku menyiapkan dua buah mangkuk, menata bihun, sayur kol, ayam yang disuwir, dan telur rebus. Lalu, menyiramnya dengan kuah soto panas.

“Kok cuma dua mangkuk? Kamu nggak sekalian?” tanya Papa sambil menarik kursi meja makan di depanku.

“Belum lapar, Pak. Tadi sudah sarapan roti.”

“Jam sebelas nanti Mama dan Papa akan mengajakmu bertemu seseorang.”

Aku menatap Mama yang sedang mengambil wadah plastik berisi kerupuk di atas kulkas. Keningku berkerut, kejutan apalagi ini? Pantas saja Mama sudah rapi saat keluar dari kamar dengan rambut tergerai. Mama memakai baju kurung berwarna merah hati, senada dengan kemeja yang dipakai Papa. Selera berpakaian istri kedua Papa sepertinya mirip dengan Mama.

“Nanda, kok malah melamun. Kamu nggak siap-siap? Ganti baju sana.”

Suara Mama menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk dan berjalan ke arah wastafel untuk mencuci tangan terlebih dahulu. Begitu sampai di depan pintu kamar, aku mendengar suara ponsel berbunyi. Begitu aku meraihnya, panggilan terputus. Ternyata Mas Bayu yang menghubungiku, ada enam panggilan tidak terjawab. Spontan aku panik, ada apa lagi ini?

“Halo, Mas. Maaf hpku ketinnggalan di kamar.”

Tidak ada jawaban. Mas Bayu menarik nafas dengan berat, seolah tertekan.

“Ada apa, Mas. Kamu sakit?” tanyaku basa-basi.

“Sepertinya rencana keluargaku untuk menemui orangtuamu kemungkinan tidak jadi.”

Aku yang semula berdiri di samping lemari, mendadak lemas. Nada suara Mas Bayu juga tidak biasanya seperti ini, dia yang selalu ceria, penyemangat aku di saat sedih. Kenapa berubah seperti ini?

“Kenapa, Mas. Ada apa ini?”

“Aku sebenarnya tidak ingin membahasnya di telepon, tapi masih ada persiapan acara ngunduh mantu. Kalau kamu mau tau sebenarnya, aku bisa di jam sebelas. Kita ketemu di tempat biasa.”

“Aku jam sebelas mau pergi dengan Papa dan Mama.”

Suaraku melemah. Padahal baru semalam aku bercerita kalau keluarga Mas Bayu akan datang melamar.

“Nanda … Sudah siap belum? Jangan kelamaan.”

Teriakan Mama terdengar dari arah tangga. Aku buru-buru berdiri dan menghampiri Mama.

“Ya, ampun. Belum ganti baju juga,” pekik Mama.

Aku yakin Mas Bayu bisa mendengarnya. Dia menutup telepon dan berjanji akan menghubungi kembali tanpa sempat aku iyakan.

Satu jam kemudian aku sudah berada di rumah megah yang ruang tamunya berjejer lemari kaca berisi koleksi kristal dan juga barang antik lainnya. Hiasan rumah gadang, lukisan-lukisan suasana di kampung menghiasi dinding ruang tamu yang besar ini. Mama dan Papa bercakap-cakap dengan bahasa Minang dengan sepasang suami-isteri yang sama sekali tidak aku pahami. Sesekali aku melempar senyum saat namaku disebut.

Tidak lama kemudian, dari arah tangga turun seorang pria tinggi besar, aku spontan menoleh saat mendengar suara langkahnya. Dia tersenyum ke arahku.

Iko[7] Adrian, Nanda.”

Senyum sumringah dari Tante Nelly membuatku serba salah. Mama benar-benar memaksaku menikah dengan pria pilihannya.

“Gimana, Nanda. Kamu sudah siap menikah tahun ini kan?”

Pertanyaan Mama membuatku membatu. Dunia rasanya mau runtuh. Ternyata perjodohan di zaman modern ini masih ada dan aku tidak bisa menolaknya. Senyum Adrian tidak cukup mengobati kekecewaanku saat membaca penjelasan Mas Bayu mengapa tidak jadi melamarku.

“Om Ruslan cerita ke ibuku kalau papamu memiliki dua istri. Ibu memintaku membatalkan rencana melamarmu, Nanda. Maafkan aku.”

Pesan yang dikirim lima menit yang lalu itu membuatku limbung. Aku berharap tidak pingsan di sini. Percakapan basa-basi ini mesti berapa lama lagi aku dengarkan? Sementara keringat dingin sudah membahasi sekujur tubuhku. Tidakkah ada yang peduli dengan perasaanku?[]

Dato Tonggara, 28 Februari 2024

Wedia, budak korporat yang bermimpi menjadi penulis hebat di sisa umurnya.

Catatan kaki:

[1] Manyunjuang suntiang = memakai sunting/mahkota khas pengantin Minang.

[2] Mambangki batang tarandam= upaya mengangkat kembali marwah yang terabaikan.

[3]Maminang= meminang.

[4]Manjapuik marapulai= menjemput pengantin pria.

[5]Basanding= bersanding di pelaminan.

[6]Pulang kabako= mengawini kemenakan ayah.

[7]Iko= ini.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url