Luka Merah Mawar - Layla Nusayba
Layla Nusayba
Santi duduk di sisi kasur sambil menatap kosong ke arah jendela yang terbuka. Ia berharap udara pagi bisa menghilangkan bau peluh Drajat yang menyelimuti kamar dan tubuhnya yang sudah dibersihkan. Bau itu sungguh membuatnya ingin muntah. Selimut masih melilit tubuhnya yang tanpa sehelai benang. Sebagian rambutnya yang digelung berantakan. Matanya tampak sembap. Lebam kebiruan menghiasi pipinya. Sesekali ia meringis menahan perih di area sensitifnya.
Kenelangsaan hidup menimpa Santi sejak beberapa bulan lalu. Namun, ia merasa sudah bertahun-tahun lamanya tinggal di rumah yang bagai neraka itu. Drajat tidak akan segan memaksa dan memukulinya bila ia menolak melayani hasrat suaminya itu. Santi diperlakukan seperti patung penghias rumah.
Dua kali perempuan itu mencoba kabur. Namun, centeng-centeng Drajat dengan cepat menemukan keberadaannya. Apalagi kampung itu dikelilingi oleh hutan dan bukit. Makin mudah untuk orang-orang itu menemukan Santi yang lemah. Ia diseret paksa ke hadapan suaminya, lantas sang suami memukulinya dengan rotan tanpa belas kasihan. Drajat juga mengancam akan menghabisi orang tua angkatnya.
Menjerit-jerit Santi meminta ampun. Pernah juga Santi melaporkan kekerasan yang dilakukan Drajat terhadapnya kepada kepala desa atau pihak keamanan di kampungnya. Tetapi, apalah daya, uang suaminya mampu membungkam para bandit berseragam itu.
Penderitaan Santi bermula ketika orangtua angkatnya menikahkannya dengan Drajat untuk melunasi utang. Lelaki itu memberikan tambahan sepetak sawah dan uang sebagai mas kawin. Sebenarnya perempuan enam belas tahun itu ingin menolak, tetapi ia tak punya kuasa. Semenjak orangtua kandung Santi ditembak tentara Belanda sepuluh tahun lalu, tetangga yang menjadi orangtua angkatnya itulah yang telah merawatnya.
Sudah sejak lama lelaki berusia empat puluhan itu menyukai Santi yang tumbuh bak mawar: segar, sedap dipandang, dan memesona. Kesulitan hidup di masa-masa awal kemerdekaan membuat Drajat memanfaatkan bapak angkat Santi yang bekerja sebagai buruh lepas di perkebunannya.
“Kau boleh meminjam uang berapa pun kepadaku untuk berobat istrimu yang sakit-sakitan,” ucap Drajat saat itu.
“Tapi utang saya pada Tuan sudah bertumpuk.”
“Tak usah kau pikirkan.”
Namun, siapa menyangka bila ujungnya Drajat memberikan bunga berlebihan, sehingga bapak angkat Santi kelimpungan membayar. Di saat itulah Drajat meminta lelaki itu menikahkan Santi dengannya sebagai pelunas utang. Tidak ada yang bisa melawan kehendak juragan pemilik berhektar-hektar perkebunan itu. Centeng-centeng peliharaan Drajat selalu siap melenyapkan mereka.
Ketukan di pintu kamar mengalihkan tatapan Santi dari jendela. Dengan suara serak, orang yang mengetuk itu disuruhnya masuk. Perempuan paruh baya berkebaya kusam masuk dengan wajah tanpa ekspresi. Sebelah tangannya memegang cangkir berisi jamu. Diletakkannya jamu itu di atas meja jati tanpa rasa iba sedikit pun kepada Santi.
Beberapa saat selepas kepergian si pelayan, Santi mengenakan kebaya dan menggelung rapi rambutnya. Diminumnya jamu yang ia harap telah dibubuhi racun. Lalu, berjalan-jalan ia di pekarangan depan. Ia mendekati seekor anjing yang rebah kelaparan di bawah pohon asem. Tubuhnya kotor dan kurus. Diusapnya takut-takut punggung binatang itu sambil menggumam, “Aku akan merawatmu bila kau berjanji untuk menjaga dan menjadi temanku.”
Anjing itu menggonggong lemah, seakan-akan mengerti apa yang Santi katakan.
Santi kerap mendatangi anjing itu setelah Drajat menyalurkan hasratnya. Hanya di hadapan anjing itu ia bebas meluapkan amarah dan kesedihannya. Gonggongan dan jilatan lidah si anjing ia anggap sebagai simpati yang tidak ia dapatkan dari manusia. Binatang itu pula yang menuntunnya bertemu dengan Galih, buruh baru di perkebunan suaminya. Pemuda itu berwajah rupawan dengan rahang tegas. Berbeda sekali dengan rupa Drajat yang seperti genderuwo. Saat bersitatap dengan Galih, Santi seolah-olah tenggelam ke kedalaman mata hitam pekatnya.
Pertemuan mereka di perkebunan menghadirkan desiran tak biasa di hati Santi. Jantungnya jadi berdegup lebih kencang. Hampir setiap hari ia mengajak anjingnya berjalan-jalan ke perkebunan agar bisa berpapasan dengan Galih. Siapa duga, Galih pun merasakan apa yang dirasakan perempuan itu. Senyuman dan sapaan menjadi awal kedekatan mereka. Pertemuan diam-diam selanjutnya pun terjadi. Mereka bertemu di malam hari ketika Drajat menghabiskan waktunya bersama para centengnya di kedai tuak.
Galih begitu lembut memperlakukannya sebagai perempuan. Perhatian yang ia berikan dan tutur katanya yang halus membikin Santi jatuh hati. Seperti kata orang kebanyakan, rasa saling cinta akan menciptakan perasaan bahagia yang meluap-luap.
Wajah Santi yang awalnya dilanda murung telah berubah cerah. Senyum hampir selalu tersungging di bibir tipisnya. Ia pun lebih memperhatikan penampilannya agar terlihat menawan. Tak lagi ia melawan ketika Drajat hendak menggaulinya. Tak lagi peduli ia pada peluh suaminya yang membuatnya mual. Di benaknya hanya terisi wajah Galih. Mendapati perubahan istrinya yang sedemikian rupa itu, Drajat kerap mengerutkan kening. Ia dilanda curiga meski juga senang.
**
Bulan sabit tak sanggup menyinari hamparan kegelapan yang pekat. Ribuan bintang berkelip bagai kunang-kunang. Ilalang bergerak-gerak seiring Galih yang mendekatkan duduknya ke sisi Santi. Terbuai perempuan itu akan sentuhan-sentuhan Galih yang menghadirkan sengatan listrik ke sekujur tubuhnya. Sebelumnya ia belum pernah merasakan sensasi itu bersama Drajat. Angin kemarau berembus dingin, tapi keduanya berkeringat.
“Bawalah aku pergi jauh dari sini, Kang,” ucap Santi. Ia berbaring beralaskan ilalang.
“Aku akan membawamu pergi ke kota jika uangku sudah cukup.” Galih menggenggam erat jemari kekasihnya itu.
“Aku memiliki sedikit uang untuk bekal kita.”
“Kau harus memikirkannya masak-masak, Nti. Aku belum memiliki apa-apa dan hidupmu bakal susah bersamaku.”
“Itu jauh lebih baik asal kita saling mencintai, Kang.” Santi merasa memiliki harapan untuk keluar dari kubangan penderitaan.
Ide itulah yang akhirnya disesali Santi. Rencana kepergian mereka terendus oleh Drajat. Dengan penerangan obor dan dada dipenuhi amarah meletup-letup, lelaki itu bersama beberapa centengnya menghadang kepergian mereka di perbukitan. Di sana pula Drajat mengeksekusi Galih dengan menebas lehernya di hadapan Santi. Dengan kedua lengan dipegangi centeng, perempuan itu meronta-ronta dan meraung-raung seperti orang gila. Hatinya hancur tak berbentuk. Hidupnya kembali tersungkur ke jurang yang lebih dalam.
Setelah kepergian Galih, benih kebencian tertanam kuat di hati Santi. Seiring waktu, benih itu tumbuh merambat dan beracun serta membungkus jiwanya. Di hadapan anjingnya, Santi menyesali permintaannya kepada Galih. Andai saja ia tak meminta pemuda itu untuk membawanya pergi, pastinya pemuda itu tak akan kehilangan nyawa. Cinta telah membutakan matanya hingga tak menyadari bahwa Drajat mengawasi setiap gerak-geriknya.
Drajat menjadi lebih bengis terhadapnya. Ia merasa Santi sudah menginjak-injak harga dirinya sebagai lelaki. Berulang-ulang ia menyetubuhi istrinya itu disertai jambakan dan tamparan. Namun, Santi tak memberontak seperti biasanya, seolah-olah kulitnya mulai kebal akan rasa sakit.
“Perempuan tak tahu diuntung! Sudah kuberi hidup enak, tapi kau malah menginjak-injak wajahku!” Drajat geram. Napasnya memburu.
“Aku tak pernah sudi menjadi budak nafsumu! Lebih baik kau bunuh saja aku!” Santi menantang tatapan tajam suaminya.
“Ha-ha-ha! Kau tak akan kubiarkan mati semudah itu!” Tamparan kembali mendarat di pipi Santi. Bibir perempuan itu sobek.
Pada hari selanjutnya, Drajat mengurung istrinya di dalam gudang agar merenungi kesalahannya. Porsi makannya pun dikurangi. Gudang itu berbau pesing dan kotoran Santi. Tak ada satu pun pelayan yang betah berlama-lama di dalam sana saat mengantarkan makanan.
Ketika pelayan mendapati Santi terbaring tak sadarkan diri di gudang, buru-buru ia melaporkannya kepada Drajat. Tanpa rasa jijik akan aroma tak sedap yang terhirup dari tubuh istrinya, lelaki itu segera memindahkannya ke dalam kamar. Setelah tubuh perempuan itu dibersihkan oleh pelayan, Drajat memanggil seorang dokter untuk memeriksa keadaannya. Di lubuk hatinya ia tak mau kehilangan istri untuk kedua kalinya. Ia hanya ingin Santi patuh dan tunduk kepadanya.
Drajat mondar-mandir menunggu Santi terbangan dari pingsannya. Wajah perempuan itu pucat sekali dan terlihat lebih tua dari usianya. Bobot tubuhnya pun menyusut. Meskipun hatinya masih menyimpan rasa sakit akibat pengkhianatan Santi, Drajat masih berharap bisa memperbaiki pernikahan mereka. Ia tak ingin mati tanpa memiliki keturunan yang akan mewarisi seluruh hartanya.
Drajat berteriak memanggil pelayan dari ambang pintu kamar ketika Santi mengerjap-ngerjap. Diperintahkannya si pelayan untuk mengurus dan menjaga Santi. Ia lalu pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya di perkebunan.
Santi duduk perlahan di sisi kasur dengan kepala pengar. Embusan angin sore dari luar jendela yang terbuka sedikit menenangkannya. Ia membuka mulut saat pelayan yang biasa mengurusnya itu menyuapkan bubur yang dibawakan oleh pelayan yang lebih muda.
“Kenapa Neng Santi tak mencoba mengambil hati Tuan Drajat?”
“Aku membenci lelaki tua itu, Bi.”
Si pelayan menghela napas. “Neng Santi bisa melakukan apa saja jika Tuan Drajat bisa ditundukkan. Rebut dulu hatinya, lalu remas sampai hancur.”
Kening Santi berkerut. Ia mencoba mencerna ucapan perempuan berwajah datar di depannya itu.
“Kau cantik, tapi terlalu bodoh,” lanjut perempuan itu. Ia menyuapkan sesendok bubur terakhir, lantas pergi dari sana.
**
Pagi itu, wajah Drajat tampak segar. Senyum tersungging dari bibir tebal kehitamannya. Senyum yang memperjelas kerutan-kerutan di kedua sudut matanya. Jauh lebih bersemangat hidupnya setelah Santi bisa menerimanya sebagai suami. Tak ada lagi paksaan dan kekerasan yang ia lakukan agar perempuan itu sudi melayaninya dengan sepenuh hati.
Kedatangan Santi dengan nampan berisi teh melati dan pisang goreng membikin senyumnya makin melebar. Rambut sepunggung perempuan itu tergerai basah. Dengan isyarat tangan, setelah Santi menaruh nampan di atas meja, Drajat meminta istrinya itu duduk di sampingnya.
“Aku ingin segera memiliki anak darimu, Nti.”
Santi mencoba sebisa mungkin menyembunyikan keterkejutannya. Teringatlah ia akan ucapan si pelayan paruh baya yang menyuruhnya untuk patuh.
“Kalau begitu kita harus lebih giat membuatnya, Kang.”
Drajat terkekeh, manggut-manggut, lalu mengusap rambut istrinya.
Anjing yang berbaring tak jauh dari mereka menggonggong. Santi mendekati anjing berbulu halus dan berbadan gemuk itu, lantas berjongkok di sampingnya. Ia bergumam, “Aku senang karena kau anjing patuh.”
Mereka pun menghabiskan pagi sembari memandangi pegunungan di kejauhan. Lalu, Santi menemani Drajat ke salah satu perkebunan seperti beberapa hari sebelumnya. Ia mulai mempelajari apa-apa yang dikerjakan suaminya di sana. Para centeng dan buruh menyukai sikap ramahnya, berbanding terbalik dengan sikap Drajat yang kasar dan seenaknya.
Malam harinya, setelah meminum jamu kuat, Drajat siap bertempur di atas kasur. Ia melumat Santi bulat-bulat seperti ular boa menelan tikus. Santi lekas mengambil alih permainan. Dicumbuinya dada berlemak sang suami hingga ke bagian paling intim. Lelaki itu memejamkan mata dan mengerang. Namun, beberapa detik kemudian, pintu kamar terbuka dan seekor anjing meloncat masuk. Dengan beringas anjing itu menggigit benda berharga yang menjulang tegak di selangkangan Drajat.
Lelaki itu berteriak-teriak, menendang-nendang, dan menyuruh Santi menyingkirkan si anjing. Tubuh besarnya kesulitan melawan serangan hewan itu. Alih-alih membantu Drajat, Santi malah membuat badan suaminya telentang. Ia bekap muka Drajat dengan bantal agar diam. Sampai kemudian, si anjing putih berhasil membawa sekerat daging panjang milik Drajat keluar kamar.
Sementara itu, dari balik pintu yang ia bukakan, si pelayan paruh baya tersenyum tipis. Tidak ada yang berani mengganggu kesenangan majikannya di dalam kamar.
Solo, 15 Juni 2024