Dari Bunga Bakung kepada Lavender di Jambangan Itu - Supriatin
Dari Bunga Bakung kepada Lavender di Jambangan
Itu
Supriatin
Cinta tak punya batasan, sebab ia seringkali hanya butuh sedikit alasan.
Percayakah kau bila kukatakan bunga bakung itu
lebih bingal daripada ilalang pinggir ladang? Kalau tidak, maka kurasa kau
perlu sekali-kali menengok pada batang kurus menjulang berdaun tajam dengan
bunga cokelat dan putih, yang melambai syahdu tiap-tiap angin berembus itu.
Ialah ilalang. Konon ia memang tersohor sebagai gulma bernyawa liut, tetapi ia
dan keturunannya telah pula bersumpah untuk takluk di bawah lidah api. Pun ia
tahu diri, hidup hanya di sudut-sudut terjauh permukiman, ladang, atau kebun.
Sementara bakung yang bingal itu, ia tak
mempan tebasan sabit, tak pula dapat dijamah api. Ia cuma dapat diangkat ke
tepian, pingsan sebentar, untuk kemudian tumbuh lagi sekehendak hati, lalu
beranak pinak tak terkendali. Di sungai berair banyak, di parit berair sedikit,
atau di comberan yang tanahnya anyau sebab cuma mendapat air dari bekas cucian.
Semua tak jadi soalan. Sepanjang tanahnya sedikit becek dan akarnya dapat
menempel, maka ia akan hidup sejahtera dengan batang gemuk gelimpung. Lalu,
buat merayakan kehidupannya yang bebas lepas tanpa beban itu, ia pun berbunga.
Satu kuntum di setiap tengah batangnya, dengan kelopak kecil berwarna ungu
cerah. Cantik tak terperi.
Dan nilai-nilai kehidupan serupa bunga bakung
itu jualah yang tampaknya diserap oleh keluarga Rusmana. Meski tak benar-benar
punya rumah tangga, ia dan istrinya rajin berkembang biak. Anaknya banyak,
gemuk-gemuk, meski hari-hari cuma tinggal dalam gerobak, berpindah dari satu
tempat sampah ke tempat sampah lain. Persis sekumpulan bakung berbatang subur
yang tak terpengaruh pasang surut air dalam habitatnya.
Lalu, sebagaimana tanaman bakung yang makmur,
keluarga Rusmana pun punya bunga. Rum namanya. Ia anak tengah yang diapit
kelahirannya oleh dua orang abang dan tiga adik yang kesemuanya lelaki,
berbadan tambun dan berambut keriting. Cuma Rum seorang yang badannya indah
berlekuk, meski tetap mewarisi rambut ikal sang ayah.
Boleh jadi karena Rum adalah satu-satunya anak
perempuan keluarga Rusmana. Ia menjelma sebagai kembang nan elok. Bahkan bau
busuk sampah dan kerak lumpur yang kerap menempel di sebagian besar anggota
badan dan pakaian, tak benar-benar mampu menyembunyikan keelokan paras dan
kemolekan tubuh seorang Rum. Ia benar-benar bunga unggulan, dengan tubuh tinggi
padat berisi, rambut legam bergelombang, mata belok, hidung bangir, kulit
cokelat eksotis, juga kaki jenjang berbetis bunting padi.
Dan yang paling menarik dari sekian keindahan
Rum itu, ialah dadanya yang sintal. Sekal macam pepaya mengkal. Satu anugerah
yang sekaligus menjadi musibah, sebab Rum jadi kepayahan menyembunyikannya di
tengah keterbatasan pakaian yang ia miliki. Akibatnya, ia kerap menjadi sasaran
kegeraman kawan-kawan sesama pemulung. Bajunya sering tiba-tiba disingkap, lalu
tangan-tangan kasar berkuku hitam itu berebutan masuk menjamah buah dadanya
yang bergelantungan tanpa kutang. Meremasnya dengan gemas.
Rum terang saja merasa terhinakan. Meski tak bersekolah dan tak mengerti apa-apa mengenai norma kesusilaan, Rum tahu betul bahwa anggota tubuhnya adalah miliknya. Kekuasaannya.
“Tak boleh ada yang menjamah selama bukan aku
yang mengizinkan!” tegas Rum dengan mata berkilat menyiratkan amarah.
Seandainya mampu, ingin benar Rum menghantam mulut-mulut yang terbahak
menyambut peringatannya itu.
Ah, kalau saja Rum punya tempat mengadu.
Sayang, keluarga bakung bukan jenis makhluk
yang punya kemampuan untuk saling membela. Hasrat lindung-melindungi tak pernah
tumbuh di jiwa kerdil mereka. Kesanggupan kawanan itu ialah semata bertahan
hidup dengan mencengkeram erat lumpur di akar masing-masing. Karena itu, tiada
satu jua yang peduli pada jerit luka seorang Rum. Alih-alih iba, justru ayah
dan dua abang Rum turut menikmati yang kadung tersuguh di depan mata. Pekik
jerit Rum yang berupaya mempertahankan bajunya, ibarat tepauan sepoi angin senja
yang kemudian malah menggerakkan daun-daun berjari milik mereka agar ikut
menjamah yang tersaji di sana. Bersama-sama, mereka meregang, menarik, mencium,
menjilat apa-apa saja yang tersingkap dari tubuh Rum, dan tertawa puas
setelahnya.
Rum yang malang. Dihinakan lelaki, dikhianati
darah daging sendiri. Meski sesungguhnya ia masih punya ibu, kedudukannya tak
lebih dari tunggul kayu bernyawa.
“Biarkan saja, daripada ribut. Susumu pun tak
hilang cuma karena dipegang,” katanya tiap-tiap Rum tersedu sehabis dikerjai.
Rum merana. Ia jera mengadu, tetapi juga tak
rela bila mesti kehilangan harga diri lebih banyak lagi. Sejak itu, ia
memutuskan menolak bepergian bila malam dan memilih berjaga sendirian. Sebuah
botol kaca bekas kecap asin sedia digenggamnya buat berjaga-jaga. Rum
bersumpah, siapa saja yang berani menyingkap bajunya, maka ia pun akan
menyingkap isi perut orang itu dengan beling di tangannya. Namun, berapalah
daya sekuntum bunga bakung. Kekuatannya tiada sepersepuluh dari tenaga dua ekor
binatang yang saat itu kompak menyergapnya.
Pula malam itu jalanan lengang. Gerimis turun
sejak pungkak petang, mengurung sekalian orang yang biasa berlalu lalang di
sana dalam selimut di rumah masing-masing. Sementara keluarga Rusmana yang lain
tengah berkeliling tong sampah dengan gerobak mereka. Makin leluasalah dua
karib, buaya dan babi itu, menjalankan rencana mengoyak mahkota Rum.
Buaya dengan ekor panjangnya lantas bergerak
tak sabar. Mengibas ia. Sekali mengibas, terlepaslah botol kaca dari genggaman
gadis yang kini meronta serupa orang gila itu. Kibasan berikutnya, baju Rum
pula yang ikut terlepas.
Tawa sarat birahi seketika menggema.
“Kau tengok betapa menantangnya gunungan itu,
Kawan? Kita akan mendaki sampai pagi!” seru si buaya hantu bercongor panjang
nan sempit penuh semangat. Nafsu berkobar-kobar di matanya, membuat ia
kepayahan mengendalikan liur di antara gigi tonggosnya.
Rum memekik histeris. Tak dapat ia bayangkan
luka yang bakal menderanya jikalau gigi runcing berselimut ludah busuk itu
sampai menjamah salah satu bagian di tubuhnya.
Sementara babi buntal yang menjadi kawan si
buaya bermoncong tajam tadi cuma menggeram. Ia tak sanggup menjawab sebab
mulutnya telah lebih dahulu ia pakai membungkam teriakan Rum.
“Dasar babi! Berani benar kau mendahuluiku!”
Buaya tonggos tak terima kawannya mencuri kesempatan. Diambilnya bekas botol
kecap asin milik Rum yang tergeletak tak jauh dari kakinya, lantas dengan
sekuat tenaga mengayunkan botol beling itu ke belakang kepala si babi.
“Mati kau, babi!” maki buaya sambil memunguti
beberapa pecahan beling yang tersisa dan menancapkannya di perut babi.
Berkali-kali.
Menyaksikan darah yang memercik, Rum panik
bukan main. Ia ketakutan sampai seluruh tubuhnya menggigil dan giginya
bergemelutuk. Namun, Rum tak hendak menjadi saksi, apalagi korban dari
peristiwa barusan. Dengan sisa akal, Rum lalu berlari menuju jalan raya. Tak ia
pedulikan keadaannya sendiri yang nyaris bugil. Selama masih bisa selamat, Rum
tak masalah dianggap gila.
Dan bunga bakung itu beruntung.
Tak lama berselang, sebuah mobil melintas.
Tambah terberkati ia, sebab sang empunya sedia melambat dan berhenti tepat di
depannya, lantas menurunkan kaca sambil bertanya, “Apa yang terjadi, Nak?”
Rum hendak menjawab, tetapi suaranya belum
kembali setelah habis dipakai menjerit tadi. Karena itu, digunakannyalah satu
tangan buat menunjuk. Celaka benar. Sebab Rum jadi tak sengaja membebaskan
sebelah susunya yang sebesar buah labu dan membuat lelaki di belakang kemudi
yang menanyainya tadi menelan ludah dengan susah payah.
“Baiklah. Masuklah dahulu ke mobilku. Apa pun
yang tengah menimpamu, aku tahu itu bukan sesuatu yang baik. Ayo, lekaslah!”
Demikianlah. Semesta senantiasa punya jalan
untuk mempertemukan manusia dengan jawaban dari doanya. Atau dalam hal ini, Rum
dengan segala pengharapannya. Tentang kebebasan, tentang kemerdekaan, tentang
kendali atas diri sendiri, tentang hidup yang sebenar-benarnya hidup. Sebab
lelaki paruh baya berwajah ramah yang kemudian ia panggil ‘Om’ itu sedia tak
cuma buat menampungnya, menjauhkannya dari kawanan serigala lapar yang selama
ini merongrongnya, tetapi juga menuntun dan mengajarinya banyak hal.
“Perempuan dewasa ini juga mesti berdikari,
Rum. Itulah sejatinya esensi emansipasi,” kata Om di hari pertama ia memberi
Rum kepercayaan mengelola sebuah toko bunga. Rum telah lebih dari lima tahun
ada dalam perlindungannya. Sudah pandai membaca, berhitung, dan tamat kursus
merangkai bunga.
Rum terpana. Bukan cuma oleh pesona si Om,
melainkan juga wibawa dalam sikap dan gaya bicaranya. Meski tak sepenuhnya
mengerti arti dari kata-kata lelaki itu, Rum tahu maksudnya pastilah baik.
Bunga bakung itu dengan segera tertambat
akarnya.
Begitulah. Rum jatuh cinta. Kepada Om Tobi,
lelaki pemilik restoran yang menyelamatkan hidupnya, memindahkannya dari
comberan sempit ke danau berair jernih. Om Tobi yang tampan, mapan, dan matang.
Yang sepenuhnya berbeda dari lelaki yang selama ini Rum jumpai. Yang tak pernah
memandangnya dengan sorot dan seringai hewani. Yang kebapakan. Yang tatapannya
selalu teduh, penuh cinta kasih lelaki sejati. Yang perlakuannya lembut dan
mengayomi, juga sarat perhatian. Yang sosoknya selama ini Rum ingini.
Pun dengan Om Tobi. Ia bukannya tak tahu ada
yang bertumbuh tak biasa di hatinya terkait Rum. Gadis itu pintar, cantik, dan
terlampau memikat, dengan pahatan wajah dan tubuh yang aduhai. Om Tobi
kewalahan bahkan sekadar menepis bayangnya. Saban malam, ditukar-tukarnya wajah
sang istri dengan Rum, semata untuk memompa darah kelelakiannya.
Maka, kehilangan Rum bukan sesuatu yang dapat
Om Tobi kenankan. Diupayakannya segala cara buat mengikat bunga nan jelita itu.
Materi dan kasih sayang semua ia berikan, melimpah-limpah tercurah buat Rum
seorang. Asal Rum tetap di sampingnya, berhabis pun ia rela. Begitu sumpahnya.
Rum sendiri bukan orang yang tak tahu
berterima kasih. Ia telah lama bertekad untuk membalas budi. Bila tak cukup
dengan cinta kasih, maka akan ia serahkan satu-satunya milik yang paling
berharga.
“Kau yakin, Rum? Aku tak hendak kau menyesal.
Sebab bila sudah terlanjur memulai, aku tak tahu caranya berhenti.”
Rum tersenyum. Haru ia menyaksikan betapa
jantan lelaki di hadapannya. Bahkan untuk menyentuh sesuatu yang telah sepenuh
hati Rum serahkan, lelaki itu masih sedia bertanya.
“Takkan ada penyesalan. Aku bersumpah.
Lagipula aku yang menginginkan ini.” Rum berkata patah-patah. Napasnya memburu.
Oleh nafsu, oleh birahi yang belum pernah ia kenali, oleh perasaan malu-malu
yang ganjil.
“Pikirkanlah sekali lagi, Rum. Aku memang
mencintaimu, tetapi takkan dapat menyandingmu sampai kapan pun. Kau kembang di
hatiku dan selamanya hanya dapat begitu. Jambangan di rumahku terlanjur berisi
bunga lain. Apakah kau bisa menerimanya?”
Rum tertegun sesaat. Teringat ia lavender
dalam vas di foto keluarga Om Tobi. Peduli setan. Api birahi kadung
menyala-nyala dalam dirinya. Toh selama ini semua berjalan baik. Meski bukan
berkedudukan sebagai istri, Rum tetap beroleh bahagia. Perhatian, naungan,
keuangan, semua tak pernah kurang didapatnya. Jadi, apa masalahnya?
Maka, di malam sejuk berselimut gerimis itu,
dengan mata terpejam rapat dan bibir menyungging senyum, Rum mantap
mengangkangkan kaki, terlentang pasrah di bawah kungkungan Om Tobi.
Larut dua anak manusia itu dalam tarian
kelamin yang tabu, hingga lupa pada ritual pencegahan yang semestinya. Hingga
di ujung bulan ketiga, persediaan pembalut Rum memberi pertanda. Tak ada
pergerakan di sana. Utuh bagai bulan-bulan yang lampau.
Rum menangis.
Om Tobi terlepas memaki.
Namun, nasi telah menjadi bubur. Benih itu
terlanjur tumbuh di rahim Rum.
Benih penjaga taman di kelopak bunga bakung.
“Gugurkan!”
Mata Om Tobi semerah saga tatkala mengucapkan
kata itu. Rupanya cinta saja tak cukup buat ia membiarkan Rum memiliki sebagian
dari dirinya.
“Mengapa? Aku bahkan tak berkeberatan
seandainya Om tak hendak mengakui ia sebagai darah daging. Asal diizinkan
memeliharanya, itu sudah lebih dari cukup bagiku.”
“Sebab ini bukan tentangmu, melainkan
tentangku.” Om Tobi bergeming. “Perasaan berlainan benar halnya dengan
keturunan, Rum. Galurku mesti murni. Cinta sekali pun takkan kubiarkan merusak
silsilahnya!”
Lelaki itu lantas berlalu ke ruang tamu dengan
menghempas daun pintu kamar Rum.
Rum jatuh tergugu. Rasanya penghinaan Om Tobi
atas asal usulnya hari ini, jauh lebih menyakitkan daripada tawa melecehkan
yang dahulu ia terima dari sesamanya. Namun, ia bisa apa?
“Berhentilah menangis dan turuti saja kataku,
Rum! Aku mencintaimu, sungguh! Tetapi memiliki anak itu sesuatu yang sama
sekali berbeda.” Om Tobi, sebagai biasa, tak pernah tahan menyaksikan Rum
merajuk. Seberapa pun marahnya, ia akan berbalik buat membujuk. “Akan ada
hadiah besar bila kau sedia menurut kali ini. Sebut saja!”
Rum mengusap air mata. Dalam benaknya,
terbayang gambar sebuah mobil yang telah lama ia idamkan. Ia lantas tersenyum.
“Nah, begitu lebih baik. Sekarang, tolong
buatkan aku secangkir kopi yang manis. Aku butuh kafein untuk mengurai isi
kepala.”
Rum mengangguk takzim. Senyumnya terkembang
menuju meja kompor di belakang ruang tamu. Tarikan dua bibirnya bahkan tak
lekang, meski ia tengah sibuk menanak tiga kilogram gula dengan sedikit air.
Kekasihnya ingin sesuatu yang manis, bukan? Bertepatan benar dengan Rum yang
tengah bermurah hati. Larutan tiga kilogram gula itu bukan hanya cukup buat
mengisi cangkir kopi, melainkan juga tandas untuk mengguyur tubuh Om Tobi.
Rum tertawa. Perkara silsilah, biarlah menjadi
urusannya.