Perpisahan yang Memaknai Perjumpaan - Erlyna
Perpisahan yang Memaknai Perjumpaan
Gempita pesta perayaan Shangrilla semakin memecah malam,
menjadikan pekatnya serpihan-serpihan tawa yang memenuhi udara, berhamburan ke
selatan dan utara, terempas sesaat lalu kembali membentuk kupu-kupu buta yang
mencari pemiliknya. Gedung Xiss yang menjadi tempat perayaan diadakan, seketika
menjelma menjadi surga dunia yang dipenuhi banyak manusia.
Reveri duduk menyilangkan kaki sambil menikmati asap dengan
aroma segar yang dijadikan penawar mual, wajahnya sesekali menengadah, seolah-olah
sedang menghitung kepak-kepak sayap yang terus membuatnya gelisah. Perempuan
itu melirik jam di pergelangan tangannya, menggigit bibir bawah, lalu kembali
mengisap benda kecil di tangannya tanpa mengatakan apa-apa.
Ia kemudian menutup e-cigs tersebut saat melihat bayangan
dan suara langkah kaki dengan birama yang khas menuju ke arahnya. Perempuan itu
menarik rok pendek dengan belahan setinggi paha yang dikenakan, menurunkan tali
dress di pundaknya hingga jatuh di sisi kanan dan kiri lengan, lalu tersenyum
tepat saat bayangan yang menjelma sosok laki-laki perlente itu berhenti di
hadapannya.
Laki-laki itu menatap Reveri beberapa detik, seolah-olah
sedang menghubungkan gejolak nafsu yang memancar dengan menyala-nyala di
matanya, ke iris biru berlapis lensa kontak milik Reveri yang juga sedang
menatapnya.
Tanpa menunggu lama, tangan kekar dengan sebuah cincin kawin
perak melingkar di jari manisnya itu segera menarik dagu Reveri dengan lembut, menyalurkan
aroma mint bercampur nikotin yang langsung membuat bibir perempuan itu seketika
basah. Reveri mengerang sesaat, berusaha menahan gejolak dadanya yang terus mendorongnya
untuk berhenti, tetapi ia hanya bisa pasrah.
Tidak ada penolakan dari tubuh Reveri yang berusaha untuk
rileks. Ia mengosongkan pikirannya, berusaha mengingat kenikmatan-kenikmatan
laknat yang menjadi pekerjaannya selama ini. Jelas sekali ia tengah berusaha
melupakan sesaat sebuah bayangan yang membuatnya terus merasa gelisah dan
dipenuhi rasa bersalah.
Setelah beberapa menit berlalu, laki-laki itu melepaskan
pagutannya, menyelipkan sesuatu di antara dada Reveri yang sengaja dibiarkan
sedikit terbuka, lalu berlalu dengan cepat begitu mendengar nada dering
ponselnya.
Reveri menatap dalam diam, perasaannya melangut saat menatap
pekat malam yang seolah-olah siap menelannya. Ia menoleh ke belakang, menatap
bangunan gedung yang masih menyala begitu terang, dentuman musik yang begitu
riuh menandakan bahwa pesta belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir.
Shangrilla yang diadakan setiap satu tahun sekali itu selalu
dinantikan oleh banyak orang, terutama orang-orang yang tergabung dalam
kelompok elite yang kehabisan cara untuk bersenang-senang dan
menghambur-hamburkan uang. Reveri yang menjadi salah satu bagian dari pekerja
yang bertugas memuaskan para laki-laki kurang bahagia itu memutuskan untuk beranjak,
bukan menuju gedung pesta diadakan, tetapi ke arah sebaliknya, melangkah
menjauh meninggalkan keramaian membosankan ke tempat yang sejak tadi membuat
pikirannya terus teralihkan.
***
Bangunan raksasa dengan simbol burung camar terpampang tepat
di bagian atas, berdiri kokoh dikelilingi rangka baja yang setiap sudutnya
tertutup kaca tebal transparan. Di kejauhan, awan berarak dengan ketinggian
yang terasa begitu dekat, tetapi juga jauh. Sambil melangkah keluar dari
bangunan bertingkat itu, pria berkacamata hitam
melepaskan alat komunikasi yang sejak tadi terpasang di telinganya,
melemparnya ke sembarang arah yang kemudian diikuti suara ledakan kecil tepat
sepuluh detik setelah benda itu terjerembap di lantai besi.
Ia berdiri di ambang pagar pembatas. Sejak dahulu, ia selalu penasaran. Bagaimana bisa di bawah awan-awan itu ada banyak sekali kehidupan? Bagaimana semua itu bermula? Siapa yang merancang dan memulainya? Sisi kemanusiaannya yang tersisa entah mengapa selalu bertanya-tanya.
Pria dengan setelan jas keluaran Brioni Vanquish II terbaru
yang memiliki jahitan berlapis emas itu melompat turun dengan cepat, lalu
berjalan kaki menyusuri trotoar. Wajahnya tenang dan santai memperhatikan
sekitar. Lampu-lampu yang menyala sepanjang jalan, juga cahaya artifisial
warna-warni menghiasi bagian depan pertokoan yang ia lewati. Iklan-iklan
hologram tiga dimensi saling berpacu menawarkan produk dan jasa. Ia berhenti di
perempatan dan menyeberang jalan menuju arah sebaliknya.
Pria itu menikmati malam dalam diam. Diperhatikannya
balon-balon reklame di langit yang terbang bergoyang-goyang sambil menampilkan
video-video iklan. Logo LH besar tercetak di tengah balon-balon zeppelin itu.
LH adalah logo perusahaan terbesar di wilayah ini. Living in Heaven, perusahaan
besar itu bergerak di berbagai bidang. Semuanya menyangkut hajat hidup orang
banyak. Salah satunya adalah setelan jas dan segala aksesoris yang
dikenakannya.
Pria itu bersandar di baja pengaman. Memandang orang-orang
yang terus bergerak adalah terapinya selepas menyelesaikan pekerjaan. Ia hanya
tinggal melompat turun menembus awan setelah tugasnya selesai, lalu mengambil
sebuah sudut yang dirasanya tepat dan cocok untuk menghabiskan waktu. Terlihat
sepele, memang. Namun, itu adalah hal yang menenangkan. Setidaknya untuk
dirinya. Selain itu, kebiasaan itulah yang akhirnya mempertemukannya dengan
seorang perempuan berparas ayu yang kini menghubunginya.
Pria itu mendengarkan suara di seberang sana yang terdengar
sangat tidak sabar untuk bertemu dengannya. Sesekali ia menimpali dengan
jawaban singkat, yang justru membuat suara di seberang berbicara lebih panjang
lagi. Entah mengapa perempuan itu suka sekali mengomel, bahkan untuk sesuatu
yang menurutnya terkadang tidak terlalu penting. Namun, ia hanya membiarkan
saja karena sudah terbiasa.
Setelah panggilan berakhir ia pun beranjak dari tempatnya
melepas penat. Ia harus segera menemui perempuan yang baru saja menghubunginya
karena ia juga memiliki hal penting yang harus disampaikan. Sebelum benar-benar
beranjak, ia menatap sekali lagi suasana di sekelilingnya beberapa saat, lalu
mulai melangkah menjauh.
“Kenapa lama sekali?”
Reveri mengomel begitu melihat pria yang sejak tadi
ditunggunya dengan gelisah, akhirnya datang dengan langkah tenang.
“Duduklah.”
Mendengar jawaban singkat itu, Reveri yang semula hendak
melanjutkan omelannya seketika terdiam. Ia menatap mata pria itu, mencoba
mencari tahu terlebih dahulu apa yang hendak dikatakan kepadanya. Namun,
satu-satunya kelemahan sang pria itu sama sekali tidak menunjukkan apa-apa.
Pandangannya terlihat datar dan kosong, sama seperti gerak tubuhnya yang selalu
kaku dan canggung. Biasanya Reveri akan menangkap sorot mata ganjil jika pria
itu sedang menyembunyikan sesuatu, tetapi tidak kali ini.
Melihat pria itu menunggu, Reveri lalu menarik sebuah kursi
di meja tamu, duduk tepat di hadapan pria itu yang sudah duduk terlebih dahulu.
“Aku akan pergi.”
“Ke mana? Bukankah kamu baru saja kembali? Kamu bilang
pekerjaanmu sudah selesai.”
“Ya. Pekerjaanku sudah selesai.”
Pria itu mengulang kalimat Reveri dengan nada datar, begitu
juga dengan wajahnya yang menatap lurus ke arah Reveri yang terlihat gelisah.
Lalu hening mengambil alih pembicaraan. Reveri yang sejak
tadi berusaha memahami ucapan pria di hadapannya itu, tiba-tiba memekik
tertahan. Ia membelalakkan mata, merasa tidak yakin dengan pikiran yang
melintas di kepalanya. Sayangnya, pikiran tersebut adalah sebenar-benarnya
jawaban atas pertanyaan yang mengganggunya.
“Kamu---“
“Ya. Aku akan pergi.”
Pria itu mengulangi kalimatnya sekali lagi, membuat Reveri
seketika bangkit dari duduknya lalu memeluk pria yang menjadi satu-satunya
sosok penghibur baginya.
“Tidak. Tidak. Itu tidak boleh terjadi.”
“Aku sudah bilang, sejak awal tempat ini bukan tempatku. Dan
sekarang aku harus pergi.”
“Tidak!”
Reveri memekik sambil mempererat pelukannya. Bagaimanapun,
ia tidak akan membiarkan sang pria beranjak dan meninggalkannya.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali Reveri merasakan ada
sosok yang begitu setia menemani dan peduli kepadanya. Ia dan pria yang juga
pandai melakukan banyak hal itu, pertama kali bertemu di persimpangan kota saat
dirinya baru saja pulang dari pusat hiburan tempatnya bekerja. Ia yang sedang
melamun di ujung jembatan penyeberangan, seketika tertarik dengan pria yang
sedang bersandar di sebuah besi pembatas jalan dengan begitu tenang, menikmati
keramaian seolah-olah itu adalah hal yang menarik.
Entah dorongan apa yang pada akhirnya membuatnya bergerak
dan menghampiri sang pria, yang kemudian diajaknya untuk ke rumahnya karena
ternyata pria itu tidak memiliki tempat tinggal.
Awalnya Reveri mengira bahwa pria itu adalah sosok kaya raya
pembosan yang menghabiskan uang dengan tinggal berpindah-pindah, sama seperti
kebanyakan orang yang ditemuinya di pusat hiburan.
Akan tetapi, pada suatu hari, ia menyadari bahwa dugaannya
ternyata keliru dan sosok itu sama sekali berbeda dengan apa yang
dibayangkannya. Ada sebuah batas yang menjulang tinggi antara ia dan pria itu,
yang terhubung akibat kemajuan teknologi dan pemutakhiran kehidupan yang tidak
pernah ia bayangkan.
Reveri lalu teringat pada perangkat digital yang menyerupai
jam di pergelangan tangan pria tersebut. Dahulu, ia mengejek bahwa jam tersebut
agak ketinggalan jaman karena bentuknya yang tidak menarik. Namun, ternyata benda
itu bukanlah jam tangan. Angka-angka yang bergerak mundur di perangkat digital
tersebut adalah jumlah misi yang harus diselesaikan pria itu, yang sekaligus merupakan
umur dari keberadaannya.
Dengan tangan gemetar, diraihnya pergelangan tangan yang
sejak tadi terdiam di atas lutut, sama sekali tidak membalas pelukan Reveri
yang semakin erat.
Kosong. Tidak ada angka di sana, benar-benar sudah selesai
dan berakhir. Reveri melepaskan pelukan begitu pria itu mendorong pelan
tubuhnya. Mau tidak mau ia juga harus bersiap untuk melupakan pria tersebut
yang tetap bersikap kaku dan tanpa ekspresi.
Ia memang sudah menduga momen seperti ini akan terjadi,
tetapi tidak menyangka akan datang secepat ini. Rasanya dunianya seketika
kosong. Ia yang menjalani kehidupan dengan membahagiakan orang lain dan
melupakan kebahagiaannya sendiri, merasa bahwa keadilan tidak pernah benar-benar
berpihak kepadanya. Perasaannya runtuh, sementara gejolak rasa yang selalu
membuatnya terlena justru semakin membara. Ia dipaksa melepaskan sesuatu yang
membuatnya terasa hidup seperti manusia.
Tanpa mengutip kata-kata, pria itu bangkit perlahan,
melangkah melewati Reveri yang bergeming dengan mata penuh kaca-kaca. Tubuh tinggi
tegapnya melewati pintu, melawan angin kencang yang sejak tadi menunggu, lalu pecah
berhamburan memenuhi udara, menjelma asap-asap yang membubung, berputar-putar
di antara jajaran papan reklame dan pekat malam.
Reveri mendongak, menatap awan yang menggantung jauh di
atasnya. Seandainya bisa, ia ingin melompat menuju awan itu, lalu mendatangi
tempat di mana sang pria berasal. Ia mengimani kemajuan teknologi gila-gilaan
yang berkembang pesat, tetapi tidak menyangka dirinya akan benar-benar ikut
terjebak dalam kegilaan tersebut.
Ia ingin tahu bagaimana kehidupan di atas sana bisa
menghapus kemanusiaan dan menciptakan sosok baru yang lebih sempurna, meski sebenarnya
tidak akan pernah menjadi benar-benar sempurna.
Sambil menghapus air mata yang tidak sanggup lagi
dibendungnya, Reveri melambaikan tangan, memberi salam perpisahan kepada
kupu-kupu buta yang beterbangan ke selatan dan utara.
Di kejauhan, lampu sorot Shangrilla masih terlihat menyala
terang dan bergerak menyinari langit. Orang-orang di sana masih sibuk dengan
limpahan kebahagiaan dunia, tetapi tidak dengan dirinya. Jiwanya telah mati
berkali-kali, dan kali ini sepertinya enggan untuk hidup lagi. Segala rasa yang
ia limpahkan kepada sang pria atas nama cinta yang dipahaminya, dengan terpaksa
harus dibunuhnya bersamaan dengan malam yang perlahan mulai beranjak. Cinta itu
tidak pernah berbunga, meski ia dengan suka rela menumbuhkan akar-akarnya
berharap menjadi semakin kuat.
Tidak ada cinta yang benar-benar murni. Dan kini, segala
miliknya pergi, tidak pernah lagi kembali.
Pwr, 15 Juni 2024