Ujung Sebuah Rute - Jenny Seputro
Ujung Sebuah Rute
~ Jenny Seputro
Seumur-umur aku tidak pernah berdandan untuk Tuhan. Sejak kecil, Mama yang selalu memakaikan baju-baju bagus setiap kami pergi ke gereja. Kupikir benar juga, Tuhan pasti lebih senang mengabulkan doa orang yang berpenampilan rapi dan cantik.
Lama-kelamaan aku tahu, orang berlomba-lomba dengan penampilan bukan untuk membuat Tuhan terkesan, tetapi sebagai pernyataan status di hadapan jemaat lain. Seperti pagi ini, sengaja kupilih sebuah baju tua, gaun kuning bermotif bunga matahari untuk satu hal khusus: dia pernah memuji ketika aku mengenakannya, hampir enam tahun lalu.
Kuperiksa sekali lagi warta gereja di situs online paroki, memastikan Romo Yakobus Fidaris memimpin misa pukul sepuluh pagi ini. Kupesan taksi daring dan kunikmati kemacetan Jakarta sambil mengenang kembali masa-masa itu, aku dalam seragam putih biru.
Hari itu kelasku baru pulang dari acara retret di Puncak. Tiga hari dua malam yang sangat berkesan, bukan hanya sebagai penyegaran rohani, melainkan kebersamaan yang membuatku merasa dekat dan akrab dengan teman-teman yang biasanya tidak saling peduli. Itu juga kali pertama aku melihat Frater Fidaris, guru agama kami, dari sisi yang berbeda.
Bus yang kami tumpangi berhenti di jalan utama. Kami lalu memasuki gang kecil menuju sekolah sambil membawa ransel dan kantong-kantong besar. Frater Fidaris berjalan di sebelahku, berbasa-basi sekadarnya apa aku menikmati retret itu.
Kukira itu saat yang tepat menanyakan satu hal yang sudah lama membuatku penasaran. "Boleh tanya, apa Frater sudah menikah?"
Frater Fidaris tertawa, membuatku bingung. "Frater, seperti juga pastor dan para biarawan biarawati, tidak ada yang menikah, Jen. Kami hidup selibat."
Aku tersipu. Tentu aku tahu para imam tidak menikah. Bagaimana bisa kutanyakan sesuatu yang begitu konyol dan memalukan? Kenapa aku bisa lupa frater itu adalah calon imam? Untungnya, pria asal Flores itu tidak membiarkanku malu berlama-lama. Dia segera mengalihkan topik pembicaraan.
Tidak kusangka, percakapan konyol itu menjadi awal kedekatan kami. Meskipun beberapa bulan setelahnya aku lulus dan pindah ke SMA yang agak jauh, kami tetap menjalin komunikasi dengan surat. Waktu itu belum zamannya ponsel dan SMS.
Kukirimi dia surat berisi puisi-puisi yang bila kubaca sekarang hanya rangkaian kata-kata lebai yang disusun berima dan berbait. Dia membalas dengan menceritakan kejadian-kejadian di sekolah, tentang guru-guruku yang lama, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang membuat proses belajar-mengajar menjadi kurang menyenangkan.
Suatu hari, kukirimi dia surat dengan cap bibir memakai lipstik warna flame milik Mama. Aku bertanya-tanya hingga hari ini, apakah dia menempelkan bibirnya sendiri ketika menerima surat itu.
Hingga memasuki masa-masa kuliahku, korespondensi kami berkembang. Kami saling bertukar cerita-cerita pribadi, perasaan dan harapan terpendam, dan tidak sungkan mengungkapkan kerinduan. Pada beberapa kesempatan kami bertemu, makan dan nonton bersama. Aku menggenggam tangannya dan dia mengecup keningku. "Kamu adik yang lebih dari saudara kandungku," katanya walaupun usia kami terpaut sebelas tahun.
Aku sungguh tidak tahu apa sebenarnya yang kuharapkan dari hubungan kami. Yang pasti, ketika berita itu sampai ke telingaku, duniaku runtuh. Frater Fidaris akan ditahbiskan menjadi pastor pada Paskah yang akan datang, dua bulan kemudian.
Aku hancur. Aku patah hati. Aku marah. Aku cemburu, sangat cemburu, kepada Tuhan. Kubayangkan Tuhan mentertawakanku. Bukankah sudah sejak awal dulu aku tahu tentang panggilan hidupnya?
Sejak itu aku tidak mau lagi ikut Mama dan Papa ke gereja. Tidak hanya karena kecewa dan marah kepada Tuhan, terlebih karena aku tidak sudi melihat Fidaris lagi.
Aku turun dari taksi, menapaki jalanan berbatu yang ramai. Di kanan kiri jalan berjajar penjual jajanan. Gedung gereja yang belum ber-AC itu terasa dingin ketika aku memasukinya.
Kupilih tempat duduk di baris kedua dari depan, di tengah-tengah. Aku berlutut dan berdoa, memohon pengampunan atas kekerdilan hatiku selama ini. Ketika akhirnya dua tetes air mata menembus pertahananku, aku berhenti berdoa. Aku hanya diam, yakin bahwa Tuhan tahu isi hatiku tanpa aku harus menarasikannya.
Lonceng berbunyi. Misa akan segera dimulai. Jantungku kembali berdebur. Setelah hampir empat tahun, aku melihatnya lagi. Berjalan di paling belakang iring-iringan, memakai jubah putih. Selain sedikit kurus, dia tetap sama seperti yang kuingat. Seperti pada foto yang dikirimnya pada salah satu surat-surat yang tidak pernah kubalas lagi.
Aku merinding menyaksikannya membuka misa. Sampai pada "marilah berdoa", dia melihatku. Kami bertatapan dan aku merasa pandangan ratusan umat terarah kepadaku. Untungnya tidak. Fidaris segera melanjutkan membaca doa sekalipun gagal menyembunyikan kegugupannya. Dua kali dia keseleo lidah.
Pada saat pembacaan kitab suci oleh lektor, berkali-kali kami mencuri pandang. Setiap kali aku merasa ribuan kata terucap lewat tatapan mata. Senangkah dia melihatku lagi? Pikiranku kembali ke empat tahun lalu ketika Papa mengenalkanku kepada anak teman bisnisnya, Robiansyah.
"Kenalan dulu, siapa tahu cocok," kata Mama. "Robby itu lulusan Amerika, pintar kerja. Eh, Mama enggak maksa, lho. Kalau memang enggak cocok ya, jangan."
Terus terang saat itu aku sudah tidak peduli dengan kehidupan cintaku. Aku telanjur menitipkan hati kepada seseorang yang tidak bisa kumiliki.
Aku berkenalan dengan Robby. Dia baik dan sopan meskipun aku sama sekali tidak mencintainya. Kupikir cinta bisa tumbuh belakangan. Seandainya tidak, toh cinta sudah dicerabut dengan paksa dari hatiku yang kini beku. Konon, Mama dan Papa dulu juga dijodohkan. Buktinya mereka rukun dan bahagia.
Begitu Robby setuju, kami mempersiapkan pernikahan. Kami mengikat janji tujuh bulan setelah berkenalan. Kami seiman, tetapi Robby bukan penganut yang takwa. Dengan alasan yang berbeda, kami tidak pernah ke gereja.
Tidak lama setelah menikah, aku menyadari bahwa perkawinan tanpa cinta tidak sama dengan tinggal bersama teman kos. Banyak hal menjadi kewajiban seorang istri yang terasa berat dilakukan tanpa cinta. Yang paling nyata adalah urusan ranjang. Ada yang salah ketika setiap kali wajah Fidaris yang terbayang.
“Perayaan Ekaristi sudah selesai. Pergilah dalam damai Tuhan.” Romo Fidaris menutup misa.
Aku masih terpaku di tempat duduk, menimbang apakah cepat-cepat pulang atau menunggu di belakang gereja, tempat para pastor biasa bercakap-cakap dengan jemaat. Ketika iring-iringan meninggalkan altar, tatapan kami kembali bertemu sejurus lamanya dan aku tahu harus menemuinya.
Beberapa orang sedang mengerumuni Fidaris. Percakapan mereka penuh basa-basi dan kepura-puraan. Aku menunggu giliran. Tanganku lembap berkeringat.
"Jenna!" Fidaris membuatku terlonjak dan gugup. Bagaimana aku harus memanggilnya sekarang? Dulu dia kupanggil Frater, lalu Sayang. Sekarang … Romo? Pater?
Dia menjabatku, erat sekali. Bagai beban empat tahun kerinduan dilesakkan lewat telapak tangan. Betapa aku ingin dia merengkuhku dalam hangat peluknya, yang tentu saja tidak mungkin dengan jubah pastor melekat di tubuhnya, di hadapan puluhan jemaat yang tersisa.
“Lama sekali kita tidak jumpa. Tugasku sudah selesai hari ini. Kalau kau sempat, aku ingin mengobrol,” katanya ringan.
Seandainya ada janji lain pun, aku tidak ingat. Satu jam lagi di tempat biasa, kami sepakat. Kedai Soto Mak Rukiah, tidak jauh dari SMP-ku dulu.
Ketika aku tiba, Fidaris sudah menunggu, duduk di meja pojok tempat kami biasa nongkrong berlama-lama.
"Maaf, aku terlambat."
Dia berdiri, kali ini memelukku. Oh, bahkan aroma parfumnya masih sama seperti dulu ketika dia mengajarku. Wangi maskulin yang membius.
"Aku yang terlalu cepat,” sahutnya. “Ya Tuhan, kau belum berubah."
Jangan bawa-bawa Tuhan! "Pater …."
Fidaris tergelak. "Jangan panggil Pater. Terdengar aneh sekali bila kau yang mengucapkannya. Panggil Kakak saja."
"Kakak …." Lidahku kelu.
Kulihat di sekeliling beberapa orang memperhatikan kami. Aku pun akan melakukan hal yang sama bila melihat dua orang seperti kami. Yang pria berkulit hitam dengan rambut keriting, sementara yang wanita berkulit putih dan bermata sipit. Tentu bukan bersikap rasis, justru karena aku senang melihat keberagaman yang mempersatukan. Apakah masih mungkin kita bersatu, … Kakak?
"Kok, malah melamun?" tegur Fidaris. Dia menatapku berlama-lama sambil tersenyum. Sementara di dalam hatiku berkecamuk berbagai perasaan yang membuatku bungkam.
"Kau tidak membalas lagi surat-suratku," kata Fidaris setelah kami memesan dua mangkuk soto dan dua gelas teh panas.
"Aku sudah menikah."
"Ya, aku tahu itu. Diumumkan di gereja kita, tapi aku tidak pernah melihatmu."
"Maafkan aku."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku gembira kau sudah bahagia."
Kukerjapkan mata berulang-ulang. Aku tidak boleh menangis.
"Aku sangat kehilanganmu, Jenna. Sejujurnya, aku masih sedih kamu tidak datang ke misa pentahbisanku."
"Aku tidak bisa." Menghadiri pentahbisan itu sama saja dengan datang ke pesta pernikahan kekasih dengan orang lain. Sama-sama kalah dan hancur. Bedanya, yang ini bersaing dengan Tuhan.
Kami makan tanpa banyak bercakap-cakap. Begitu banyak yang ingin kubicarakan, tetapi aku tidak tahu harus bagaimana memulainya. Setelah selesai makan, kami berpisah begitu saja. Sampai ketemu lain waktu, begitu kami berjanji.
Sejak itu, aku kembali rajin ke gereja. Selalu kucari jadwal Romo Fidaris memimpin. Beberapa kali kami bertemu di luar gereja.
"Kau tidak takut kepergok jemaatmu?" tanyaku sore itu di sebuah taman kota.
Fidaris mengetatkan genggaman tangannya. "Mudah-mudahan tidak. Tempat ini jauh dari paroki."
Juga jauh dari kantor dan tempat main Robby, tambahku dalam hati. Kami duduk di sebuah bangku kayu, berbincang tentang masa lalu, tentang hal-hal yang terjadi selama kami tidak saling bertukar kabar, dan tentang saat ini.
“Jenna, apakah kau bahagia?”
“Saat ini, iya.” Aku membelai buku-buku jarinya.
“Bukan begitu, maksudku … suamimu baik?”
Ada dua hal yang membuat orang ketahuan berbohong. Menjawab terlalu cepat dan terlalu lambat. Aku menjawab iya, dua detik lebih lama dari seharusnya.
“Kau tahu, Jen, tidak ada sehari aku tidak memikirkanmu.”
“Tidak seharusnya. Kau sudah jadi seorang pastor.”
“Pastor tetap manusia.”
“Tapi kau telah memilih panggilanmu.” Padahal saat itu kau sudah mengenalku dan bisa saja mengurungkan niatmu melanjutkan imamat.
“Kenapa kau tidak bahagia?” Dia mengalihkan topik, seperti yang selalu dilakukannya setiap kali tersudut. “Suamimu tidak baik?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Hei, kalau kau tidak nyaman bercerita sebagai teman, berceritalah sebagai umatku. Aku disumpah menjaga semua rahasia.”
Aku memalingkan wajah. Tidakkah dia tahu, aku tidak ingin menganggapnya sebagai teman? Namun, akhirnya semua mengalir. Kuakui pernikahan itu hanya usahaku untuk melupakannya. Bahwa empat tahun ini aku tidak bahagia.
Fidaris terdiam. Aku terdiam. Yang terdengar hanya suara deru kendaraan dan sesekali bunyi klakson di jalan raya. Hari telah gelap.
“Sebaiknya kita kembali,” kataku. Seharusnya Robby belum pulang, tetapi akan buruk bila dia sampai di rumah sebelum aku.
Taman itu sudah sepi. Di bawah sebatang pohon Fidaris memelukku. Entah siapa yang memulai, bibir kami berpagut. Hanya sebentar, tetapi itu mengubah segalanya.
Aku tiba di rumah sedikit lewat pukul sembilan. Mobil Robby sudah terparkir di depan pagar. Benar saja dia menyambutku dengan makian. “Dari mana saja kamu, perempuan jalang?” Tamparannya telak menghantam pipiku. Kujilat bibirku yang terasa asin, menggantikan kemanisan yang tadi ditinggalkan Fidaris.
***
Perlakuan kasar Robby tidak membuatku insaf. Aku justru semakin membandingkannya dengan Fidaris yang sabar dan penuh pengertian. Aku tidak peduli lagi bila yang kulakukan ini salah. Toh, tidak ada yang dirugikan. Tuhan tentu tidak keberatan aku meminjam gembala-Nya sesekali.
Pada suatu hari Minggu, Robby tiba-tiba mau ikut ke gereja denganku. Aku heran bercampur waswas, tidak ingin Fidaris melihatku bersama suami. Lagi pula, firasatku tidak enak dengan perubahan sikap Robby itu.
Sepanjang misa berlangsung perutku mulas. Beberapa kali kulihat Fidaris melirik ke arahku, lalu cepat-cepat mengalihkan pandang. Begitu misa selesai, aku ingin segera pulang, tetapi Robby justru berlama-lama.
Robby pergi ke bagian belakang gereja dan tanpa memedulikan antrean jemaat, menghampiri Fidaris dan mencekal bagian depan jubahnya. “Heh, Pastor busuk! Khotbahmu tentang kesetiaan, tapi kaugoda istri orang. Istriku!” serunya lantang sambil menunjuk aku.
Kedua lututku lemas ketika semua jemaat serentak berhenti bicara. Semua mata menatap kami bergantian.
Sepertinya Robby tidak peduli. “Dengar, ya. Sudah kulaporkan kebejatanmu ke Uskup. Kami tidak perlu gembala palsu macam dirimu!”
Dua orang satpam bergegas datang dan melerai. Mereka memegangi Robby seperti di sinetron. Kulihat Fidaris berusaha tenang. Mungkin wajahnya pucat, saking tidak kelihatan karena dia hitam.
Aku tidak pernah membahas kejadian itu dengan Robby. Entah dari mana dia tahu tentangku dan Fidaris. Kami lebih banyak diam dan hanya bicara yang benar-benar perlu.
Hari itu Sabtu. Aku terbangun dengan migren yang mengganggu. Matahari belum terbit dan aku tidak bisa tidur lagi. Pukul sepuluh pagi aku berjanji temu dengan Fidaris. Sudah lebih dari sebulan dia tidak memimpin misa. Sejak ponselku dibanting Robby hingga hancur, aku tidak bisa menghubungi Fidaris. Aku tidak berani menelepon paroki menggunakan telepon rumah. Aku meneleponnya dari rumah Mama. Aku berutang maaf dan ingin mengakhiri semuanya baik-baik.
Aku pergi dengan perut kosong karena sakit kepala membuatku mual. Di taman kota, Fidaris sudah menunggu.
“Mukamu pucat. Kamu sakit?” tanyanya khawatir. Robby tidak pernah perhatian seperti itu.
“Lagi migren, agak mual,” sahutku sambil mengempaskan tubuh ke bangku kayu. “Kakak, maafkan aku. Maafkan suamiku. Dia—”
“Jangan dibahas lagi,” potongnya. “Seharusnya aku yang minta maaf. Aku berusaha menghubungimu.”
“Ponselku rusak. Kakak, kenapa kau tidak memimpin misa lagi?”
Fidaris menghela napas. “Sementara diskors. Bapa Uskup mau memindahkan aku.”
“Ke mana?” Tiba-tiba aku panik.
“Mungkin Kalimantan Utara atau Maluku.”
Tiba-tiba rasa mual menjadi tidak tertahankan. Aku bergegas ke pohon sebelah dan menumpahkan isi perutku yang hanya air.
“Kamu masuk angin.” Fidaris sudah berdiri di sebelahku, memijit-mijit tengkukku. “Mukamu beneran putih kayak hantu.”
Aku ingin tertawa, tetapi terlalu lemas. Aku mulai melihat bintang-bintang atau kunang-kunang memenuhi pandanganku. Aku cepat-cepat kembali duduk di bangku.
“Kita cari tempat istirahat,” kata Fidaris lagi.
“Di sini saja.”
“Kau perlu berbaring.” Dia tampak ragu melanjutkan. “Di seberang situ ada penginapan ala-ala. Kurasa daripada kau pingsan di sini.”
Aku ingin menolak. Meskipun bukan orang kaya, aku tidak bisa membayangkan mampir ke penginapan yang biasa disewa jam-jaman oleh para sopir truk, seperti yang dikatakan seorang pegawai Papa. Namun, perutku kembali bergolak. Lagi-lagi aku muntah meskipun nyaris tidak ada yang keluar. Aku pasrah digiring Fidaris ke losmen ala-ala di seberang jalan.
“Ada KTP Mas atau Mbaknya?” tanya perempuan muda yang duduk di meja kecil di bagian depan.
“Wah, enggak bawa,” sahutku cepat.
Perempuan itu tersenyum penuh arti. Dia mengulurkan sebuah anak kunci. “Enggak usah KTP. Ini, kamar nomor tujuh.”
Aku merasa terhina, tetapi denyut di kepalaku membuatku bersyukur dia memberikan kunci itu.
Kamar itu pengap, bau rokok bercampur apak kasur usang. Seprainya lusuh dengan noda cokelat dan abu-abu yang sepertinya tidak hilang setelah dicuci. Sangat menjijikkan. Aku membaringkan diri.
“Kau di sini dulu, biar aku beli obat dan bubur. Sebentar aku kembali.”
Aku hanya menggumam, tidak sanggup lagi membuka mata. Setelah pintu tertutup, kubiarkan air mata mengalir. Dia akan dipindahtugaskan begitu jauh. Aku tidak akan bisa menemuinya lagi. Mungkin itu memang yang terbaik, agar kami jangan bertemu lagi.
Fidaris kembali membawa bubur ayam dalam wadah plastik, obat sakit kepala, sebotol air mineral, dan minyak angin.
“Ayo, makan pelan-pelan, ya. Aku suapi.” Fidaris membantuku duduk, bersandar pada bantal.
Aku menatap wajahnya yang tetap tersenyum sambil menyuapiku bubur seperti anak kecil. Seorang pastor di sebuah kamar losmen ala-ala, menyuapi seorang perempuan bersuami. “Aku tidak bisa menghabiskan semua itu.”
“Biar kubantu.” Dia menyendok bubur itu satu ke mulutku, satu ke mulutnya, begitu hingga pada sendok kedelapan aku menyerah. Dia memberiku dua kapsul obat dan air mineral, lalu menghabiskan sisa bubur.
Aku berbaring, dia duduk di sebelahku. Satu tangannya meraih ponsel, tangan lainnya membelai kepalaku. Sempat aku mengintip lock screen-nya bertuliskan: Kyrie eleison. Tuhan kasihanilah kami.
Sepertinya aku terlelap sejenak. Ketika terbangun, migrenku sudah hilang. Aku merasa jauh lebih baik. Yang paling menyenangkan, aku melihat Fidaris di sebelahku, tersenyum melihatku membuka mata.
“Bagaimana rasanya? Mukamu sudah lebih cerah.”
“Sudah hilang migrennya. Terima kasih. Kau sudah merawatku dengan sangat baik.” Seperti selayaknya seorang suami.
Kami duduk bersisian, meneguk air dari botol yang sama. Kembali dia bertanya tentang perlakuan Robby kepadaku. Aku tidak ingin berbohong. Kutarik kausku di bagian bahu hingga tampak lebam biru keunguan hasil pelampiasan emosi Robby dua malam lalu.
Fidaris terkesiap. Aku terkejut ketika tiba-tiba dia menempelkan bibirnya di lebam itu, mengecupnya lembut. Setelah itu naluri mengambil alih logika, hati menggantikan pikiran. Dalam kamar sempit dan pengap itu hanya ada sepasang manusia yang saling mencinta, saling merindu, saling mendamba. Tanpa norma, tanpa batas, tanpa sesal.
Segalanya selesai begitu segera, kurasa, tidak lebih sepuluh menit. Fidaris berterima kasih, juga berkali-kali meminta maaf karena kepolosan membuatnya selesai terlalu cepat dan aku belum apa-apa. Kubelai wajahnya. Kukatakan bahwa aku sudah bahagia dengan kebersamaan kami.
“Jenna.” Fidaris merengkuh tubuhku. Dia mencium pucuk kepalaku. “Aku akan menanggalkan jubahku.”
“Apa? Jangan!”
“Bagaimana aku bisa terus, sementara hati dan jiwaku telah terpaut padamu?” Jemarinya membelai bahuku. “Tidak bisa kubiarkan si brengsek itu terus menyakitimu. Tinggalkan dia, Jenna. Izinkan aku menjagamu.”
Air mataku luruh. Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan panik. Tadi pagi aku minta izin Robby pergi ke tempat Mama, tetapi aku lupa memberi tahu Mama.
“Aku harus pergi. Mau ke tempat Mama.” Aku tidak ingin pergi. Aku mau terus berada dalam kamar pengap ini bersamamu.
Sore itu di rumah Mama, aku disidang. Rupanya Robby menelepon hendak menjemputku. Mama berbohong, padahal tidak tahu apa-apa.
Terpaksa aku mengakui selama ini masih berhubungan dengan Fidaris, guru agamaku di SMP dulu. Juga tentang perkawinanku yang makin di ambang kehancuran. Mama kehilangan kata-kata. Untung Papa tidak di rumah.
Mama tidak memberiku kuliah berkepanjangan. Dia hanya mengingatkan tidak seharusnya aku menggoda seorang pemimpin gereja, mempelai Allah. Sepatutnya aku berusaha memperbaiki rumah tanggaku karena pernikahanku bukan paksaan, melainkan keinginanku sendiri.
Malam itu, Robby datang menjemputku. Dia sama sekali tidak bicara dalam mobil. Begitu sampai di rumah dan pintu tertutup, tangannya menghantam pipiku.
“Biar kubunuh pastor keparat itu!”
“Apa maksudmu?” bantahku seiring air mata menderas.
“Parfum siapa di badanmu itu? Baunya bikin aku mual!”
Sungguh, hal itu tidak terpikirkan olehku. Kebodohan yang harus kubayar mahal.
Aku sudah tidak tahan. Ketika aku sanggup membeli ponsel baru dan Fidaris mengatakan lagi hendak menghadap Bapa Uskup untuk membatalkan imamatnya, aku setuju menemaninya. “Setelah itu, bawalah aku pergi jauh, ke Kalimantan Utara atau Maluku,” kataku yang disambut tawa renyahnya.
“Temui aku di stasiun. Kita pergi sama-sama.” Begitu kata Fidaris.
Siang itu aku pergi ke stasiun setelah semalam suntuk berperang batin. Kurasa manusia layak untuk bahagia. Tuhan tentu akan memaklumi. Begitu banyak pastor, berkurang satu tidak akan berarti bagi-Nya.
Di peron aku melihatnya. Berdiri celingukan mencari sosokku. Aku hampir berlari menghampiri ketika seorang laki-laki menabrakku.
“Maaf sekali, saya buru-buru,” katanya. Dia berbalik pergi.
Aku tercengang. Di belakang kausnya tertulis: Kyrie eleison. Dan aku melihat Fidaris dalam jubah imamnya. Dia milik Tuhan, milik jemaat.
Lama aku terpaku sebelum berbalik dan berlari keluar stasiun. Sekali ini tidak akan kubiarkan hatiku memberontak. Aku masuk ke taksi kosong pertama yang muncul dan kusebutkan alamat rumahku kepada Pak Sopir.
Sekuat tenaga kutahan isak agar tidak membuat laki-laki tua itu curiga. Namun, air mata mengalir deras tanpa mampu kubendung. Di ponselku, ada lima pesan baru dari Fidaris. Tanganku gemetar ketika membalasnya. ‘Maafkan, aku tidak bisa pergi bersamamu. Berjanjilah kau tidak akan pernah menggantungkan jubahmu. Selamanya, doaku ada bersamamu. Kita tidak perlu bertemu lagi. Kumohon, jangan cari aku.’
Tanpa menunggu jawaban, kutekan pilihan blokir. Saat itulah aku tahu, aku telah mati.
Wellington, 15 Juni 2024