Dinding yang Hampir Retak - Deen

 Tugas Kelas Menulis Cerpen Erotika

Dinding yang Hampir Retak

Deen

 

 

Namanya Helena, tinggal di kamar sebelah jauh sebelum aku datang. Usia kami terpaut cukup jauh, tapi tubuhnya yang pendek dan wajahnya yang mulus seperti bayi, membuat kami tampak sebaya. Aku pernah mengetuk pintu kamarnya, membawakan beberapa camilan, memperkenalkan diriku sebagai penghuni kamar baru yang akan berbagi dinding. Ia tersenyum ramah, dengan rambut panjangnya yang masih basah, dan sehelai handuk yang melilit tubuhnya. Aku tak pernah mendengar suara gaduh dari balik dinding, sebelum aku bertandang dan menginap di rumahnya malam itu karena instalasi listrik kamarku sedang konslet.

“Anggap rumah sendiri ya, kau bawa piama?”

“Tentu.”

“Kau takut kegelapan?” katanya dengan tangan yang sudah siap di tombol off lampu.

“Tidak, hanya saja aku malas tidur di kamarku sendirian.”

“Oh bukan maksudku ... Aku mau menyalakan lampu tidur.”

Helena mematikan lampu, kemudian menggantinya dengan lampu panjang berwarna ungu yang tertempel di sebelah dinding kamar, berbentuk hati.

“Bagus kan?”

Aku tak menjawab, justru menarik selimutku. Kami tidur di bawah, dengan kasur yang berdampingan, dan selimut masing-masing. Aku tak segera bisa tidur, ada rasa aneh yang mencekam, merasuk di sekujur tubuh. Kupalingkan badanku yang sebelumnya memunggungi Helena, kuperhatikan ia serius dengan ponselnya. Matanya melotot, telinganya tersumbat sepasang earphone, dan selimutnya bergerak-gerak di bawah remang-remang “lampu tidur.”

Aku memandanginya beberapa menit, setelah akhirnya ia seperti bernapas lega, dan tangan yang menggenggam ponsel sedikit turun ke bawah. Helena sadar aku memperhatikannya.

“Ah maaf, kau terganggu ya? Biasanya pacarku kemari, ia sedang pergi ke luar kota malam ini.”

Kupikir ia meracau, aku sama sekali tak paham apa yang baru saja dilakukannya. Tak lama kemudian ia berbisik.

“Mau lihat?”

“Apa itu?”

“Kau pernah lihat film dewasa?”

Aku terperanjat, barulah kusadari arti dari helaan kelegaan tadi. Aku cepat menguasai diriku, tetapi sedikit terlambat untuk menolak ajakannya. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat, memasangkan sebelah earphone dan menunjukkan adegan film yang tengah di-pause. Di sana ada seorang wanita tanpa busana, duduk di atas pria yang juga tanpa busana. Sedikit buah dadanya menonjol dari balik punggung dan putingnya tertutup tangan panjangnya. Aku menahan napas, dan Helena memutar lanjutan film tersebut. Berikutnya hanya terdengar suara desahan dalam film juga napas Helena yang tersengal-sengal. Sejak saat itu hidupku tak lagi tenang. Aku mengulangi kegiatanku bersama Helena, dan merasakan ada sesuatu yang mengalir ke bagian intim tubuhku.

Aku bukan anak yang pendiam, berpura-pura culun, tanpa mencari tahu. Aku mulai merasakan keganjilan pada diriku. Aku sering sekali melamun, dan pecah konsentrasi. Setelah bertanya kepada beberapa orang, tahulah diriku bahwa aku kecanduan film porno. Aku mulai menerima kenyataan itu dan belum berkeinginan untuk berhenti. Satu lagi yang mengusik ketenangan hidupku, Helena berulang-ulang mengeluarkan suara-suara aneh dari balik dinding. Terkadang ia setengah berteriak, menyumpah serapah, atau meneriakkan nama laki-laki yang berbeda-beda.

Aku belum sampai separah itu, meski beberapa kali aku meremas payudaraku sendiri dan mengelus bagian bawah tubuhku. Helena beberapa kali mengajakku menginap kembali, tetapi aku menolak, aku terlalu malu jika Helena mengetahui aku mengikuti jejak dirinya. Hari demi hari keadaan diriku semakin buruk, aku mulai jelalatan melihat para lelaki, terutama ke bagian-bagian –ah kurasa aku tak perlu segamblang itu. Aku mulai merasa kehormatanku sebagai perempuan ternoda dan saat itulah sepercik kewarasanku sedikit kembali. Aku memutuskan untuk menikah.

Tak perlu waktu lama bagiku menemukan jodoh, beberapa lelaki sudah lebih dulu mengirim lamaran, baik langsung kepadaku maupun kepada keluargaku. Setelah itu, aku kembali mengetuk pintu kamar Helena untuk memberikan selembar undangan pernikahan. Helena tampak bahagia, dan memberikan selamat kepadaku.

Setelah menikah dan berbulan madu, aku dan suamiku sepakat untuk menempati kamar kosku, lagi pula aku sudah membayar untuk beberapa bulan ke depan sekaligus. Sayang, aku sedikit kelepasan. Beberapa kali aku melepaskan suara-suara saat bercinta, yang aku yakin suara-suara itu menembus dinding kamar.

Satu bulan setelahnya, Helena berpamitan kepadaku. Ia mengatakan tidak sanggup lagi menahan keinginannya untuk bercinta dengan setiap laki-laki perkasa yang ditemuinya. Meski begitu, ia menolak untuk menikah, dan menolak untuk bertetangga denganku yang sudah lepas dari status kesendirian.

“Aku tak mau menodai persahabatan kita, Leona, dia suamimu, dan aku menghormatinya seperti aku menghormati dirimu. Aku tak mungkin tidur di bawah selangkangan kakinya sementara tubuh telanjangmu meringkuk di kamar sebelah. Aku bahkan tak berani menatap penisnya, sial ... seharusnya aku tak bertemu dengannya.”

Helena pergi, menyeret kopernya, dengan pakaian minim yang bahkan tak dapat menutupi separuh paha mulusnya yang bertato.

“Dia sungguh pergi?” tanya Victor memecah keheningan.

Aku hanya mengangguk. Losion yang sudah kutuangkan di punggung tanganku belum habis –aku melamun, berhenti mengusapkannya ke seluruh tubuhku.

“Kau tahu, kau tetap menggoda walaupun dengan wajah sedihmu,” kata Victor sambil mendekat ke tepi ranjang. Ia mengulurkan tangan, meratakan sisa losion ke sela-sela payudara, lalu meremasnya. Aku luluh dengan sedikit remasan di dada dan kuluman di bibir. Kami jatuh bercinta, dan tidur tanpa busana.

Aku tak pernah lagi mendengar kabar Helena. Kamar miliknya juga kosong untuk beberapa waktu lama. Para tetangga kamar lainnya ramai berbincang, sebagian merasa lega dengan kepergiannya, sebagian lain tampak tak peduli. Beberapa waktu sesudahnya aku menerima sebuah surat –tertulis dari Helena.

Dear Leona,

Sudah beberapa hari ini aku mengonsumsi beberapa obat-obatan anti depresan. Seorang kerabat membawaku ke psikolog, dan aku didiagnosis menderita nimfomania. Aku tak yakin bisa serius menjalani pengobatan ini, terasa sangat berat untuk tidak mengundang pria tidur di kamarku. Namun, aku tak bisa berhenti mengingat seorang lelaki yang tak pernah bisa kutiduri. Kalau bukan karena dia, aku menolak untuk berobat.

Aku sendiri bertanya-tanya mengapa aku menjadi sedemikian rupa. Jikalau aku kecanduan film porno, mengapa kau yang juga mengalaminya bisa berhenti dengan mudah, dan segera hidup dengan seorang kekasih?

Kupikir ini ada kaitannya dengan masa laluku. Aku memiliki sebuah trauma. Aku pernah diperkosa di usia belia, bahkan sebelum mens pertama. Aku tak ingat sosoknya, hanya rasa sakitnya.

Aku ingin berterima kasih kepadamu yang tetap bertetangga baik denganku. Kau tahu, penghuni sebelumnya pergi karena tak tahan dengan tingkahku.

Oh iya, aku lupa memberitahumu, ada sedikit celah di dinding pembatas kamar kita, tepatnya di sebelah lemari. Kau tak akan menemukannya sebelum kau mematikan lampu kamarmu. Pastikan menutupnya saat kau bercinta.

Salam hangat, Helena.

Setelah membaca surat itu, aku segera mematikan lampu dan bergegas ke tempat yang ditunjukkan Helena. Benar saja, ada sebuah celah di sana .... []

 


Sukoharjo, 17 Agustus 2024


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url