Pangeran Berkuda Putih dan Putri Berkuda Hitam - Elvira

 Tugas Kelas Cerpen Erotika

Pangeran Berkuda Putih dan Putri Berkuda Hitam

Elvira

 

 

            “Bagaimana jika sebenarnya Putri Aurora tak pernah bertemu dengan pangeran yang menyelamatkannya? Justru putri tidur itu dicium perampok, bangun, lalu ditangkap, dan dijual ke harem sebagai budak? Bagaimana jika sebetulnya Putri Salju ditolak oleh sang pangeran karena dirinya tak suci? Siapa yang bisa menjamin tak terjadi apa-apa jika seorang perempuan muda tercantik di dunia tinggal bersama tujuh pria?”

            Suara Baoyu bernada menantang. Sungguh perempuan langka yang berani mengeraskan suaranya di depan pria.

“Jadi kamu memilih untuk tak percaya akan ada pangeran yang menjemputmu meskipun itu aku?” jawab Muyang balik bertanya.

            Muyang menatap mata Baoyu yang berkilau menyanggah. “Bagaimana jika pangeran berkuda putih penyelamat sang putri itu tidak pernah ada di dunia ini?” jawab Baoyu balas bertanya sambil menuangkan teh lagi ke dalam cangkir. “Bahkan kamu pun berutang nyawa kepadaku.”

            Muyang ingin mundur tapi terlambat. Seringai Baoyu sudah terpampang jelas di depan mata. Katup bibirnya membentuk celah kecil yang menantang bibir maskulin Muyang untuk masuk. Meski di antara mereka berdua terhalang meja tapi jemari Baoyu mampu mencapai dada Muyang dan itu sudah cukup membuat jantungnya memberontak. Gerak memutar ujung telunjuk Baoyu sungguh meliar di atas titik terlemah Muyang. Desakan panas untuk bangkit muncul dari seluruh titik pori. Baoyu berhenti, tersenyum menang, dan mundur.

            Muyang segera mengambil cangkir teh dan meminumnya sekali teguk meski masih terasa sangat panas. Dibuangnya pandangan ke jendela besar di samping tempat mereka duduk, berharap hilangnya wajah Baoyu segera menstabilkan deru napas yang semakin mencungap. Matanya berkeliling di antara deretan pohon magnolia yang berdiri menjulang di depan jendela. Kebanyakan bunga magnolia berwarna putih, tetapi bunga magnolia yang mekar di sekeliling halaman pondok ini menghasilkan magnolia putih dan ungu. Sungguh langka, ah, misterius tepatnya, seperti Baoyu.

            Otak Muyang berpikir keras menganalisis apa yang terjadi dalam hidupnya selama tujuh hari ke belakang. Baru kali ini, Muyang merasakan diburu, dijebak, dihujani panah layaknya binatang. Entah bagaimana bisa, dirinya masuk ke dalam jebakan pasukan kuda hitam musuh. Bahkan, 40.000 pasukan berkuda putih miliknya musnah seketika dan Muyang hanyut di sungai dengan tubuh penuh luka tembak anak panah padahal selama 10 tahun peperangan, dirinya berhasil merebut 13 kota perbatasan tanpa terkalahkan. Apakah ada pengkhianat?

            “Habiskan kue osmanthus ini.” Suara Baoyu memecahkan seluruh kecamuk di pikiran Muyang. “Kamu tak akan menemukan lagi yang lebih rapuh daripada buatanku,” sambung Baoyu seraya menyuapi sepotong kue putih beraroma bunga.

            Muyang menelan setiap bulir lembut kue yang tergigit dengan sangat sulit. Ada semacam perasaan tak rela meninggalkan pondok kayu ini. Dua hari lalu setelah mampu berdiri, Muyang segera memeriksa situasi di sekeliling pondok kayu yang ternyata terletak di pinggir Sungai Hanmur yang menjadi perbatasan kedua negara. Negaranya yang berwarna hijau terletak di seberang sungai. Tanah di selatan terasa lebih hangat, berbeda dengan yang dipijaknya, sungguh dingin menusuk tulang. Setelah hilang seminggu, Muyang yakin, sekarang seluruh pasukan invanteri miliknya sudah siap mendirikan kamp penyerangan di garis perbatasan sepanjang aliran sungai. 

            Angin bergerak perlahan dari arah jendela membawa aroma magnolia. Muyang tahu, itulah wangi yang meruap dari tubuh Baoyu. Ah, perempuan itu terlalu misterius. Mungkin saja Baoyu bukan nama sesungguhnya. Bahkan Muyang bertanya-tanya, dengan cara apa, tubuh kecil Baoyu berhasil mengangkut dirinya dari sungai dan membawanya pulang ke pondok? Tangannya bahkan terampil menjahit robekan di perut Muyang. Dalam sekali tarikan napas panjang, Muyang tahu, selain misterius, pesona Baoyu sungguh sulit ditolak, seperti tadi malam.

            Rasa panas mendadak menyerang pipi Muyang yang memerah. Tak ada setetes pun arak tapi semalam Muyang sudah terlalu mabuk. Tak ada adegan romantis dua tokoh yang kehujanan, kedinginan dan saling menghangatakan dengan merapatkan kulit. Tak ada juga adegan putri bangsawan yang pura-pura menjatuhkan diri untuk merapat di dadanya dengan suara lembut menggoda. Baoyu berbeda, dia sangat berani. “Aku akan memberimu bagian terbaik dari hidupku.” Kata-kata lantang dari Baoyu berhasil menyihir Muyang.

            Dalam sekejap ikat pinggang terlepas, kain-kain baju berserakan di lantai, bibir saling bersentuhan perlahan, dan tubuh Baoyu terkunci di erat di bawah tubuh Muyang. Seakan-akan tak ada hari esok, tanpa ampun, gelora Muyang menjelajah ganas setiap kulit Baoyu yang putih, kencang, dan padat. Tak diduga Muyang, Baoyu yang terlihat repas berhasil menundukkan dirinya. Baoyu terlalu liar, tak hanya bermain di dagu, leher, ataupun dada, tapi membuatnya mengaduh candu. Napas Baoyu berpacu dengan keringat Muyang. Merasakan kelihaian Baoyu di atas tubuhnya, Muyang semakin terkejut. Sungguh luwes bak menaklukkan kuda liar di atas padang rumput. Bergerak naik, turun, maju, dan mundur, mempermainkan kelelakiannya tanpa memberinya jeda untuk menarik napas.

            Semalam, udara dingin musim gugur berubah menjadi musim panas. Muyang sempat merasa puas setelah membawa Baoyu satu kali mengejang. Muyang merasa menang tapi nyatanya tidak. Setelah keringat di tubuh Muyang mencapai puncaknya, Baoyu hanya memberinya jeda sebentar untuk mulai lagi mendaki tubuhnya. Sekali membawanya ke puncak ternyata tidak cukup. Muyang rupanya telah tertaklukkan lebih dari satu kali. Dimulai ketika pertama kali menatap wajah Baoyu dan kedua di malam yang penuh angin gelora.

            “Muyang,” panggil Baoyu yang sekali lagi menariknya dari dunia lamunan. “Akan ada perahu yang mengantarmu ke seberang. Minumlah untuk yang terakhir kalinya,” sambung Baoyu sambil menuangkan teh lalu mengangkat cangkir tanda perpisahan.

             “Apakah kita akan bertemu lagi?” tanya Muyang dengan tangan menahan gemetar. Dirinya bukan takut akan siapa sebenarnya sosok Baoyu tapi bagaimana jika perempuan itu tak ingin menemuinya lagi.

            “Kita pasti akan bertemu lagi,” jawab Baoyu lirih lalu berjalan menuju pintu depan pondok dan membukanya. “Jika takdir memutuskan sudah waktunya.”

            Muyang bangkit, mengatupkan tangan memberi tanda hormat, mengucapkan terima kasih, dan melangkah pergi dengan memasung segala rasa tak rela. Terdengar bunyi pintu kayu pondok ditutup. Sekuat tenaga Muyang membendung keinginan hatinya untuk menoleh kembali ke belakang. Perlahan, titik-titik kegetiran mulai turun deras dari sudut mata. Hati Muyang menjerit dalam diam, “Baoyu, apakah kamu akan memaafkanku jika tahu bahwa diriku ini pangeran dari negeri Tuhuan Utara yang ingin menaklukkan negaramu?”

             Di dalam pondok, Baoyu menyandarkan punggungnya di daun pintu dengan pasrah. Kakinya segera merapat ke arah jendela besar yang membuka ke halaman. Mata redup Baoyu menatap punggung Muyang yang semakin mengecil dan hilang dari pandangan. Dirinya tahu, ini adalah kesalahan terbesar yang pertama kali dilakukan dalam hidupnya. Melepaskan pangeran dari negeri musuh bisa mengakibatkan lehernya dipenggal sang raja. Tak hanya lehernya, saja tapi seluruh leher yang terlibat. Namun, hatinya sungguh tak kuasa. Entah apa yang merasuki, ketampanan Muyang atau dirinya telah jatuh cinta, tapi sejak kapan? Apakah sejak bertahun-tahun lalu saat pertama kali melihat keanggunan pria tersebut di medan perang kala mengibaskan pedang dari atas kuda putih?

            Baoyu menuangkan teh yang telah mendingin ke dalam cangkir. Diteguknya habis isi cangkir sambil meneteskan air mata, hatinya berbsisik, “Muyang, saat pertempuran berikutnya tiba, di situlah kita akan bertemu lagi. Kamu tak akan pernah menyangka, akulah sang jenderal musuh berkuda hitam dari negeri Duanyu Selatan yang berhasil menghujanimu dengan puluhan ribu panah.” []

 

 

             

 

 

           

           

 

           


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url