Kembalinya Namira - Yunita Chearrish


Kembalinya Namira
Yunita Chearrish


“Nasib nahas dialami oleh seorang petugas Taman Sari di Banjar, Jawa Tengah, yang tewas setelah diterkam oleh harimau pada Minggu, 4 September. Diusut dari saksi di TKP, kejadian yang menimpa korban bernama Namira Mustikasari itu terjadi sekitar pukul 20:05 WIB. Tidak diketahui pasti kronologi peristiwa karena saksi mengetahuinya setelah mendengar teriakan. Para satpam yang bertugas segera mengevakuasi korban dan melarikannya ke IGD RSUD Antonius Banjarnegara. Namun, nyawa korban tak tertolong akibat kehabisan darah. Terdapat bekas gigitan pada bagian leher dan cakaran di bagian punggung korban.

Pihak manajemen menegaskan bahwa kejadian ini bukan menjadi tanggung jawab perusahaan sebab keberadaan korban sudah di luar jam bertugas. Perusahaan memastikan bahwa seluruh karyawan, termasuk korban, sudah mengetahui dan menerapkan SOP yang berlaku. Saat ini kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan pihak kepolisian—”

Berita terkini yang ditayangkan lewat benda pipih segi empat masih belum berakhir, tetapi sang penonton—Aries Ravandra—tak lagi mendengarkan. Pria itu menegakkan punggung sebelum bersandar sepenuhnya ke sofa. Seolah sedang merebahkan tubuhnya, kepalanya otomatis menghadap ke atas.

Matanya mungkin berpusat ke langit-langit ruangan, tetapi pikirannya berkelana. Ada banyak kenangan yang berseliweran, seperti film dokumenter yang dipercepat tanpa ada niatan untuk berhenti. Jujur saja, berita tadi berhasil mencekat tenggorokannya seakan ada benda tajam yang menghujam pita suaranya. Dadanya juga tiba-tiba sesak, membuatnya seperti sedang terjebak di lemari sempit.

Namira tidak terlalu dekat dengannya, tetapi bukan berarti keberadaannya seperti angin lalu. Mereka pernah tumbuh bersama dan tidak pernah tebersit sekali pun dalam benak Aries kalau masa hidup sepupunya di dunia harus berakhir seperti ini.

Dia bahkan belum sempat mengucapkan salam perpisahan ....

Pintu yang diketuk dengan kekuatan berlebih segera menyadarkan Aries dari suasana melow. Pria itu tersentak, lalu tersadar bahwa gebrakan tersebut akan mengganggu ketenteraman warga kompleks.

“Paklik Ariman?” Aries menganga seolah-olah tamunya berasal dari luar angkasa.

Paklik Ariman adalah paman Aries. Kehadirannya memang tak terduga sebab ada kejadian masa lalu yang menciptakan jurang pemisah di antara keduanya.

“Paklik memohon bantuanmu, Aries.” Ariman berujar. Kentara sekali nadanya terdengar memohon yang lagi-lagi membuat Aries melongo karena belum pernah melihat kegusaran pamannya.

“Saya baru tahu tentang kepergian Namira, Paklik. Turut berduka—”

“Inilah yang mendorong Paklik untuk ke sini, untuk menemui kamu. Semua ada kaitannya dengan Namira.”

“Maksud Paklik apa?”

“Namira belum meninggal. Dia masih hidup.”

“Hah?” Entah sudah berapa kali Aries membuka mulut untuk menunjukkan keterkejutan dan ketakjubannya. “Ta-tapi di berita—”

“Paklik tahu ini sudah diberitakan di mana-mana, apalagi Taman Sari termasuk objek wisata yang besar dan terkenal. Berita Namira hidup lagi juga bukanlah informasi yang bisa diterima begitu saja, makanya hanya pihak keluarga dan orang tertentu saja yang tahu. Paklik juga tidak mau percaya pada awalnya, tetapi segalanya terlalu teka-teki. Paklik yakin ada konspirasi di balik semua ini. Apa Paklik boleh meminta bantuanmu?”

“Duduk dulu, Paklik.” Aries menawarkan. Aksinya bisa terbilang spontan karena dia menggaruk tengkuk sembari berpikir. Kepalanya mulai pusing gara-gara terlalu banyak menerima informasi yang melawan kelogisannya.

“Terlepas dari kesempatan Namira hidup kembali atau tidak, Paklik tidak bisa menerima respons atasannya. Kamu sudah mendengar beritanya, kan, yang katanya—apa tadi? Bukan menjadi tanggung jawab perusahaan karena Namira berada di luar jam kerja? Itu jelas sedang menutupi kebohongan dan bukan itu saja! Semua berita sudah ditarik dari stasiun untuk dihentikan penayangannya!”

“Lalu, bagaimana dengan penyelidikannya?”

“Penyelidikan katamu? Omong kosong, Aries, omong kosong! Sama seperti caranya menghapus berita, penyelidikan ini tidak akan dilanjutkan! Ohya, satu lagi, Ries, yang perlu kamu tahu! Mereka menyembunyikan hasil otopsi!”

“Bagaimana bisa, Paklik?” Mulut Aries lagi-lagi membulat.

“Katanya, tidak ada yang perlu ditransparansikan dari kasus diserang hewan seperti ini.” Ariman mengembuskan napas panjang sebelum menatap keponakannya dengan ekspresi yang lebih melunak. “Kecurigaan Paklik tumbuh setelah mendapat perlakuan mencurigakan ini.”

“Namira ... gimana keadaannya?” Entah mengapa Aries merasakan firasat yang tidak enak. Jika perusahaan memang berniat untuk menutupi kesalahan sekaligus tidak ingin bocor ke ranah publik, bukan tidak mungkin mereka telah melakukan sesuatu yang buruk pada sepupunya.

“Namira normal-normal saja, tapi—”

“Normal?” Aries memotong refleks. Batinnya benar-benar tidak enak. Apakah ada campur tangan kriminal di dalamnya seperti di film-film? Atau bukti real-nya ... seperti yang pernah dia tangani di masa lalu?

“Normal dalam artian bisa merespons selayaknya manusia ….

“Selayaknya?”

“Oke, Paklik terus terang saja. Kami sekeluarga juga kaget kenapa tiba-tiba saat petugas sedang menyiapkan kantung jenazah. Namira bangkit seperti kayak baru bangun tidur, trus minta makan sama bundanya. Lalu, Namira makan ayam mentah. Apakah menurutmu bisa dikatakan sepenuhnya normal?”

“Ayam ... ayam mentah?”

“Iya. Ayam mentah dan sejenisnya yang biasa dipakai budemu untuk kebutuhan sesajen. Luka bekas gigitan di lehernya juga tidak bisa terbilang normal, Ries. Namira ... dia terlihat berbeda.”

“Jika diperhatikan dari waktu kejadian, Namira tidak mungkin berada di kandang harimau untuk bekerja.” Aries mulai berasumsi. Salah satu tangannya bergerak menuju dagu, lantas menempelkannya di sana. “Kalau begitu satu-satunya situasi yang logis adalah ... siapa yang memanggil Namira ke sana padahal daerah itu bukan area yang aman?”

“Berarti kamu setuju dengan Paklik kalau ada yang salah, ‘kan?” tukas Ariman lugas, seketika merasa lega karena pria itu akhirnya menemukan titik terang untuk kasus Namira.

“Bisa jadi, Paklik. Saya butuh bukti forensik, tapi sayang, saya bukan profiler lagi dan nggak punya hak untuk mengakses data-data di kepolisian. Seperti yang Paklik tahu dengan jelas, status saya sudah di-blacklist oleh instansi mana pun.”

“Maaf, ini semua gara-gara Bang Faris. Andaikan dia nggak berbuat aib, kamu pasti nggak akan seperti yang sekarang.”

“Nggak ada yang perlu disalahkan dan menyalahkan, Paklik. Soal Namira, saya bakal minta tolong sama mantan kolega. Jika lancar, saya bakal mengunjungi Paklik dua hari lagi.”

***

“Itu bukan gigitan harimau, Ries. Aku nggak tahu apa tepatnya spesies yang menggigit sepupumu, tapi yang jelas, itu bukan harimau karena ada jejak saliva lain di bagian tulang servikal.”

Aries mengganti letak ponsel ke telinga kiri, lalu membuang napas panjang. “Sudah kuduga bakal rumit begini, tapi aku bisa menjamin kalau ini bukan konspirasi seperti yang Paklik bilang karena aku belum tahu apa kepastian motifnya.”

“Maksudnya?”

“Begini. Bagaimana jika setelah Namira digigit sesuatu—entah apa itu, mereka menutupi jejaknya dengan menyerahkannya ke harimau? Hanya saja sayangnya, rencana nggak berjalan mulus karena Namira selamat. Sekarang yang perlu kita cari tahu adalah; apa sebenarnya spesies itu soalnya ayah Namira bilang banyak situasi aneh sejak kepulangan anak gadisnya.”

“Aneh gimana? Bentar, kayaknya aku bisa ngejar waktu untuk menyusul. Kamu sudah di rumah Namira?”

“Sudah. Aku sudah sampai setengah jam lebih awal.”

“Sendirian?”

“Ya, iyalah. Namanya juga jomlo.”

“Nggak lucu. Eh, tapi hati-hati. Kalau bisa jangan sendirian pas ketemu Namira. Kamu sempat bilang ayahnya ngaku kalau ada banyak situasi aneh sejak dia kembali, ‘kan? Yaa, kita nggak tahu aja semisal ada sesuatu yang nggak terduga—”

“Tenang aja. Walau statusku udah mantan, aku tetap profiler dengan segudang talenta pada masanya. Kamu lupa?”

“Ck, seperti biasa sok kepedean. Aku jadi nostalgia sama zaman kolaborasi kita dulu. Yowes, deh. Aku lanjut mantau praktek ilegal yang kuceritakan waktu itu, ya. Aku dapet bocoran kalau Presdir Taman Sari ini terlibat dalam kasus ini. Siapa tahu ada kaitannya sama kasus sepupu kamu.”

Okay, see you later.”

“Hati-hati, Bruh.”

“Tumben-tumbennya, nih, perhatian kamu rada over begini. Yowes, deh, Ben. Gue duluan ….

Insting Aries mendadak peka saat ekor matanya menangkap ada yang bergerak di dalam rumah Ariman. Penasaran, langkahnya segera dia arahkan menuju rumah bercat biru keunguan usai menyimpan ponsel ke dalam saku celananya.

Aneh, Aries membatin. Jika tidak ada orang selain Namira, akan sangat tidak masuk akal jika dia berlari dengan luka gigitan yang belum genap tiga hari.

“Namira?” Aries memanggil. Suaranya menggema di dalam ruangan yang didominasi oleh perabotan berwarna kayu, yang segera memberi kesan horor gara-gara desainnya yang klasik.

Aries memanggil sekali lagi, tetapi yang dipanggil belum kunjung menampakkan diri seolah sedang mengajaknya bermain petak umpet. Dia lantas masuk lebih jauh, membuka pintu demi pintu untuk memeriksa isinya hingga pemandangan janggal berhasil membekukan dirinya sedemikian rupa.

Di sana, pada celah pintu yang terbuka sedikit, ada penampakan seseorang yang Aries kenali—tidak, dua orang. Mereka adalah Ariman bersama sang istri di sisinya, dengan darah yang tersimbah ke mana-mana seolah-olah ada yang menyiram banyak cat merah di atas tubuh keduanya.

Tangan Aries langsung tremor, berusaha untuk tidak mempercayai indra penglihatannya, tetapi bau anyir tidak bisa berbohong. Lantas, bak benang kusut yang berhasil diurai, Aries mulai menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sempat dirasanya tak masuk akal.

Aries melepas pegangannya pada pegangan pintu sepelan yang dia bisa, bergerak untuk meninggalkan ruangan sebelum ketahuan oleh Namira yang untungnya belum menunjukkan diri, tetapi getaran ponsel berhasil menghalanginya dengan dramatis sebab Aries hampir saja latah saking kagetnya.

“Halo, Ben.” Aries menjawab panggilan tersebut pada detik ketiga.

“Ternyata bener, Ries, kalau Presdir Taman Sari punya andil dalam praktek ilegal, tapi ada kabar yang jauh lebih buruk.”

“Kenapa, Ben?”

“Mereka melakukan banyak penelitian antivirus selama COVID-19 dan berhasil meluncurkan obat, tapi efek sampingnya terlalu banyak; dimulai dari halusinasi, kecanduan, perubahan suasana hati, juga peningkatan konsentrasi. Pihak kepolisian sudah berhasil menarik obat tersebut dari edaran, tetapi sayang, penjualannya sudah berlangsung selama sebulan.”

“Memangnya apa yang terjadi jika mengonsumsi obat itu?”

“Belum diketahui secara pasti karena belum ada berita aneh atau yang esktrem, tapi ada satu kasus yang mirip dengan Namira dan kamu tahu apa keterkaitannya? Dia juga punya bekas gigitan di leher. Aku lagi nunggu laporannya dan hasilnya bakal keluar seperempat jam lagi. Kamu di mana? Ada Pak Ariman di sebelah kamu, ‘kan?”

“Nggak. Seperti yang kubilang tadi, aku sendiri.”

“A-apa?! Di rumahnya Namira?”

“Aku aman, tenang aja. Aku belum ketemu Namira dan ... dan nggak ada siapa-siapa di sini.” Aries melipat bibir saat berbohong, lantas menghela napas untuk mengusir luapan kesedihan.

Tidak, dia tidak boleh gegabah.

“Ya Allah, Aries! Ya, sudah! Segera keluar dari rumah itu dulu, aku nyusul ke sana, ya! Nanti kalau ada laporan susulan, aku bakal hubungin lagi.”

“Bang Aries.” Suara itu terdengar lirih, yang segera menghidupkan bulu kuduk Aries dari belakang.

“Astaghfirullah! Namira!” Aries hampir saja mengumpat untuk kali kedua saat melihat bagaimana penampilan sepupunya sekarang. Ada banyak noda darah yang menjejaki piyama tidurnya dan yang paling membuat Aries tidak tahan untuk menahan napas adalah ada bau anyir yang bercampur dengan bau busuk.

Alih-alih disebut sebagai manusia yang baru lolos dari kematian, Namira lebih cocok disebut sebagai mayat hidup.

Aries refleks bergidik ngeri, tetapi segera memasang ekspresi netral. Walau bagaimanapun, dia membutuhkan penjelasan atas teori yang sebenarnya sangat tidak masuk akal itu.

“Kamu ... nggak kenapa-kenapa, ‘kan?” tanya Aries, memandang bagian leher Namira, lantas bertanya-tanya bagaimana kesanggupan sepupunya dalam menahan rasa sakit.

“Baik. Bang Aries sendirian?” tanya Namira pelan, hampir berbisik. Lagi-lagi Aries merasakan hawa dingin yang membelai bulu kuduknya.

“I-iya. Abang sendirian. Paklik mana?”

“Udah nggak di sini waktu aku bangun.”

“Oh.”

“Aku lapar.” Namira tiba-tiba berkata seperti itu sambil menatap Aries dengan mata besarnya. “Bang Aries lapar nggak?”

“Hng ... nggak, sih. Abang udah makan tadi.”

“Kenapa aku terus lapar, ya, Bang Aries? Aku nggak bisa kenyang, nggak tahu kenapa.”

“Ohya, gimana kalau kamu ceritain awal kamu bangun dari rumah sakit aja? Kamu dari rumah sakit, kan, sebelum ke sini? Yuk, bicara sama Abang.”

Namira terlihat tidak senang karena pertanyaannya diabaikan, tetapi melihat bagaimana sang sepupu menunjukkan rasa ingin tahu yang kentara, maka dia duduk di sofa dan mempersilakan Aries untuk duduk di sampingnya.

“Nggak ada yang bisa diceritakan, Bang. Aku juga nggak tahu kenapa tiba-tiba bisa di sini.”

“Hah?! Gimana maksudnya?”

“Aku sering mimpi buruk, tapi serasa nyata banget, trus waktu bangun tahu-tahu udah berada di lokasi yang persis dengan yang aku mimpikan.”

“Oh. Hmm ... mimpi buruknya kayak gimana?”

“Membunuh orang.”

Aries melotot saat mendengar dua kata tersebut. Kini di matanya, Namira jadi terlihat mengerikan dan rasanya jadi lebih menyeramkan saat melihat gadis itu tersenyum.

“Yang paling sering itu kalau mimpi minum darah manusia kayak zombie. Gila, ya? Seharusnya aku takut atau jijik, tapi aku kayak menikmatinya di mimpi. Waktu di kandang juga gitu. Aku mimpi digigit zombie lain trus berakhir dimasukkan ke kandang harimau buat jadi mangsa. Semuanya seperti nyata, Bang Aries. Kalau aku memang zombie seperti yang aku mimpikan, apa yang harus kulakukan? Memangnya, aku mesti minum darah siapa?”

Tanpa sadar, kedua tangan Aries telah terjalin satu sama lain. Keringat dingin mulai mengucur satu demi satu dari pelipis selagi dia berusaha untuk tidak terlalu berpengaruh dengan ungkapan Namira.

“Mira.”

“Ya?”

“Ada yang telpon. Abang angkat dulu, ya?” Aries mengeluarkan ponsel, lantas segera menjawab panggilan Ben.

“Kamu baik-baik aja, ‘kan? Aku lagi terjebak macet di sini, nih!”

“Biasa aja, kok, Ben. Nih, lagi ngomong sama Namira.” Aries tersenyum, yang disambut oleh sang sepupu meski lebih cocok disebut seringai horor.

“Plis jangan gegabah, Ries. Aku nggak tahu apakah Pak Ariman atau aku yang duluan sampai, tapi satu hal yang perlu kamu inget adalah jangan sampai kamu kasih tahu apa yang udah kulaporkan. Aku baru aja dapet laporan susulan kalau hasil saliva pasien di rumah sakit memiliki kesamaan dengan sepupu kamu yang artinya adalah ... itu adalah pasien terinfeksi.”

“Maksud kamu?”

“Penggolongannya seperti rabies, Ries. Aku belum tahu informasi selanjutnya, tapi aku harap kamu hati-hati aja—”

“Aku lapar, Bang.”

“Hmm ... tunggu bentar, ya, Abang kelarin telpon dulu—dengerin, tuh, Ben. Si Namira lapar katanya. Kamu buruan ke sini buat beliin sesuatu, ya?”

“Ben temen Abang, ya? Beli apa memangnya?” tanya Namira usai Aries menutup percakapan telepon.

“Biasa, makanan. Nanti bakal dibawain. Kamu tunggu bentar lagi, ya?”

“Nggak tahan lagi, Bang. Aku lapar, tapi bukan makanan yang aku mau.”

Aries melipat bibir, lagi-lagi memilin sepasang tangannya di bawah perutnya. “Memangnya kamu maunya apa?”

“Entahlah.” Namira terlihat gelisah, lalu terdistraksi oleh noda darah yang melekat di jemarinya. Lantas begitu saja, dia mencicipi tangannya dengan terlalu bersemangat hingga menggigitnya.

“Jangan—” Kejadiannya berlangsung selama beberapa detik sebelum Aries merasakan sakit pada pergelangan tangannya. Tadinya itu hanyalah aksi spontan, tetapi siapa sangka, tangannya yang tergigit oleh gadis itu.

Tangan Aries langsung berdarah walau dia berhasil menarik tangannya kembali, dia sadar kalau kewaspadaannya belum berakhir.

Aries lagi-lagi mengakui apa yang dikatakan oleh pakliknya tentang Namira. Gadis itu benar-benar berbeda seolah-olah melupakan pola perilaku manusia yang seharusnya.

“Mira.” Terlambat untuk waspada sebab Namira telah berubah menjadi sosok yang tak dikenali. Beberapa giginya tampak tidak simetris dikarenakan telah menumbuh hingga satu sentimeter terutama pada bagian taring. Bagian putih pada matanya seketika berubah menjadi merah, yang turut memberi warna yang sama pada wajah. Otot-otot di lehernya juga tertarik secara mengerikan, seolah ada banyak saraf yang terdorong oleh gravitasi dari dalam tubuhnya.

Dalam sekejap, Namira berubah menjadi sosok yang tidak ada bedanya dengan serigala lepas, membabi buta dengan dengkusan yang berbahaya.

Bertepatan saat itu, ponsel Aries lagi-lagi bergetar. Mengikuti instingnya, cowok itu mencoba untuk meraih ponsel yang tergeletak di lantai gara-gara terjatuh sejak dia melakukan gerakan impulsif tadi, tetapi sayang, benda pipih tersebut berhasil ditendang oleh kaki Namira.

Saat Aries menatap langsung ke dalam matanya, pupil itu telah memutih sepenuhnya.[]


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url