Suara-Suara yang Mengerangkeng - Karima Rakhmayuni


Suara-Suara yang Mengerangkeng
Karima Rakhmayuni


Keberadaan kerangkeng di belakang rumah Juragan Awi seperti sudah lumrah saja. Seluruh kampung seakan mati rasa setiap kali teriakan menyayat hati terdengar dari sana. Suatu hari terdengar suara perempuan merintih, di hari lainnya terdengar suara lelaki seperti tengah melawan rasa sakit. Tidak satu orang pun yang mau membahas tentang sebab musabab suara dari kerangkeng itu, sekalipun desas-desus terus berdengung seperti suara lebah.

“Bu, aku merinding kalau dengar suara itu malam-malam. Kita pindah ke kota lagi, yuk?”

Yati yang tengah memotong-motong kubis langsung mengalihkan pandangannya pada Nur, anak gadisnya. Lingkar mata Nur memang kelihatan lebih hitam dari biasanya, raut wajahnya juga terlihat sayu.

“Itu suara bibinya Juragan Awi, dia dipasung di sana supaya tidak mencelakai orang lain. Kalau suara laki-laki itu biasanya suara penjaga kerangkeng. Tangannya sering digigit saat mengantarkan makanan.”

“Tapi aku sering dengar suara perempuan menangis. Suaranya sama setiap malam, selalu terdengar sebelum jam sepuluh.”

Yati mencoba tersenyum saat melihat Nur mulai merengek. Anak satu-satunya itu memang sudah terbiasa dengan hiruk pikuk suasana kota, bisa jadi desa itu terlalu hening bagi Nur di saat malam.

“Itu perasaanmu saja karena terlalu takut. Nanti lama-lama kamu akan terbiasa, Nur. Lagi pula, kita baru kembali ke sini, ya harus menyesuaikan diri. Mungkin kamu lupa kalau dulu sewaktu kecil sudah terbiasa mendengarnya.”

“Waktu itu, kan, Nur masih bayi, Bu. Belum paham betul.”

“Sudah, tidak usah terlalu dipikirkan. Sebaiknya kamu siap-siap untuk pergi latihan ke balai adat,” ucap Yati.

Nur memilih berbalik ke arah kamar, percuma baginya untuk membicarakan hal itu pada Yati karena jawaban yang didapat tetap sama. Ibunya selalu menolak untuk kembali ke kota, tempat tinggal mereka selama ini. Jawaban yang sama juga keluar dari mulut Mahdi, ayah Nur, yang kini bekerja sebagai tukang kebun di rumah Juragan Awi.

Sudah lebih dari tiga bulan mereka tinggal di kampung itu. Sebabnya adalah rumah yang dulu ditinggali oleh nenek Nur sudah semakin lapuk. Rumah tua itu ikut kehilangan nyawa dan warna sejak nenek Nur meninggal dua tahun lalu. Seiring dengan makin peliknya kehidupan di kota, Yati dan Mahdi sepakat untuk memulai kembali kehidupan mereka di kampung, sekaligus untuk menjaga agar rumah peninggalan keluarganya tidak roboh digerus waktu.

Dulu sekali saat Nur masih berusia satu tahun, Yati dan Mahdi mencoba keberuntungan di kota. Di sana mereka memilih bekerja sebagai penjual sarapan pagi, karena memang tangan Yati sangat telaten dalam meracik bumbu. Tiga belas tahun berlalu setelah waktu itu, belum banyak yang bisa mereka banggakan selain sebuah mobil bak bekas yang mereka beli secara kontan dan Nur yang tumbuh menjadi gadis yang luar biasa cantiknya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari keseharian mereka semenjak kembali dari kota. Mahdi bekerja sebagai tukang kebun di ladang milik juragan, Yati berjualan gorengan setiap sore di depan rumah, dan Nur bersekolah di salah satu SMA. Kehidupan mereka lebih dari cukup karena tidak perlu lagi mengontrak, ditambah gaji dari Juragan Awi yang terbilang tinggi.

Satu-satunya hal yang sangat mengusik hanyalah suara-suara menyedihkan yang terdengar hampir di setiap waktu. Bagi Nur, suara-suara itu seperti menjadi teror. Bagaimana mungkin jeritan itu bisa dibiarkan begitu saja oleh seluruh warga desa? Ditambah lagi jika seseorang melintasi setapak menuju ladang-ladang milik juragan, mereka bisa melihat langsung bentuk kerangkeng besi setinggi dua meter itu.

Kerangkeng itu jelas-jelas bukan kerangkeng hewan. Pernah sekali Nur melihat dari jauh saat harus mengantarkan makan siang untuk ayahnya. Kerangkeng besar itu setengahnya dililit plastik terpal dan kain batik, sedangkan bagian atasnya ditutupi seng yang sudah dipenuhi oleh karat. Nur tidak berani mendekat karena ada seorang laki-laki yang sedang berada di dekat kerangkeng dan menatapnya dengan tajam.

Sejak itu pula kerangkeng tadi mengerangkeng pikiran Nur. Tidur malamnya tidak lagi nyenyak, membuat mata gadis cantik itu semakin cekung. Berada di sekolah dan di balai adat saja yang bisa membuatnya bahagia. Di sekolah dia bisa berkumpul dengan banyak teman sementara di balai adat dia bisa ikut berlatih menari tradisi, hobi yang sudah ditekuninya semenjak kecil. Hanya di dua tempat itu Nur bisa merasa nyaman karena jauh dari rumah Juragan Awi.

“Memangnya kalian tidak pernah mendengar suara perempuan menangis tiap hampir jam sepuluh malam?” tanya Nur pada teman-temannya sebelum mereka mulai berlatih di balai adat.

“Siang memang ada suara-suara aneh, tapi kalau malam, aku belum pernah mendengarnya.”

“Kalian tahu, tidak? Ada yang bilang kalau kerangkeng itu tempat Juragan Awi menyimpan babi-babi ngepet miliknya.”

“Eh, jangan bikin fitnah. Itu kerangkeng tempat bibinya juragan. Bibinya itu sudah gila sejak kecil. Hanya ayah juragan yang mau mengasuhnya. Karena sering mengamuk, makanya dia dipasung di sana.”

Pertanyaan Nur tidak pernah terjawab karena masing-masing temannya punya cerita tersendiri perihal kerangkeng itu. Mungkin benar apa yang diucapkan ibunya, kalau Nur terlalu takut sehingga menduga-duga, bisa jadi kelak dia akan terbiasa. Namun, hati kecilnya tetap memberontak. Entah keyakinan dari mana yang membuat Nur percaya kalau jeritan perempuan sebelum jam sepuluh malam itu memang benar ada.

Bagi Nur suara jeritan itu seolah familiar. Seakan-akan dia mengenal suara itu sudah sejak lama. Jeritan yang didengarnya setiap menjelang jam sepuluh malam itu bukan seperti suara teriakan perempuan dari kerangkeng yang biasa didengarnya saat siang hari. Suaranya benar-benar berbeda. Jika memang suara perempuan di siang hari milik bibi Juragan Awi, lalu suara laki-laki adalah penjaga kerangkeng, suara siapakah yang didengarnya di malam hari? Lalu kenapa dia merasa begitu hafal dengan suara itu?

Pertanyaan dalam batin Nur nyaris saja bisa terjawab karena sebuah berita yang disampaikan oleh pelatih tarinya.

“Malam Minggu besok kita akan mengisi acara di rumah Juragan Awi. Istrinya akan memotong tumpeng untuk merayakan ulang tahun.”

Seperti sebuah angin segar, Nur berharap bisa mencari tahu soal suara jeritan itu saat mereka menari di rumah Juragan Awi. Memang benar dia takut, tapi rasa penasaran sudah terlanjur mengerangkeng pikirannya.

Hari itu pun tiba. Suara gamelan yang diperdengarkan lewat pengeras suara seolah mengundang warga kampung untuk berdatangan ke rumah Juragan Awi. Sebuah tumpeng berukuran besar diletakkan di atas meja di teras rumah. Tidak jauh dari tenda penonton, seekor kambing guling diputar oleh dua orang lelaki di atas bara.

Aroma berbagai macam masakan tercium, menggugah selera siapa saja yang berada di dekat sana. Dentingan gelas-gelas kopi dan canda tawa para lelaki beradu dengan asap yang keluar dari mulut setelah berbatang-batang rokok dihisap.

Semua bersukacita. Entah karena ikut merayakan bertambahnya usia istri Juragan Awi, entah karena bisa mengenyangkan perut dengan berbagai macam masakan mewah yang jarang menyentuh lidah. Tidak ada seorang pun yang menyadari saat Nur berjalan mengendap-endap ke arah belakang rumah juragan. Gadis itu baru saja menuntaskan dua buah tarian tradisi saat rasa penasarannya juga ingin dituntaskan.

Suara gamelan sudah berganti dengan musik dangdut saat langkah Nur berhenti tepat di pintu kerangkeng. Cahaya bulan tidak cukup terang saat itu, hanya sebuah lampu bohlam kuning terpasang di ujung tiang, tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Setelah memastikan kalau tidak ada seorang pun yang mengikutinya, Nur mulai mengintip ke dalam kerangkeng. Gelap saja yang ada di sana. Gadis itu kemudian berjalan berkeliling ke arah belakang, dia kembali mengintip di antara celah terpal yang sudah robek. Nur mendekatkan matanya ke arah robekan itu perlahan hingga sesuatu di dalam sana mengejutkannya.

Seorang nenek tua ikut menyibakkan terpal yang robek dari arah yang berlawanan. Mata tua itu dihiasi keriput di sekelilingnya. Nur terperanjat saat nenek tua itu terkekeh keras. Tubuh ringkih yang dibalut tulang itu sampai terguling karena tertawa.

Sejenak Nur bisa bernapas lega saat menyadari bahwa ucapan ibunya benar. Bisa jadi dia terlalu ketakutan hingga berhalusinasi, seolah mendengar suara perempuan berteriak pilu tiap malam. Tidak ada yang aneh dalam kerangkeng itu, hanya ada bibi juragan Awi yang sudah gila semenjak kecil.

Nur menghela napas dalam-dalam lalu menutup kembali terpal yang tadi sempat terbuka. Dengan pelan dia melangkah mundur, berusaha pergi sebelum si bibi gila menyadari. Baru selangkah, tubuhnya membentur sesuatu. Lebih tepatnya seseorang. Dengan cepat gadis itu berbalik. Sayangnya secepat itu pula tangan seseorang tadi membekap mulutnya.

Nur berusaha memberontak dengan memukuli orang tersebut, tapi usahanya sia-sia. Kedua tangannya diseret paksa hingga membuat tubuh Nur terjerembap. Seseorang itu lalu menariknya ke arah perkebunan. Nur sempat menjerit meminta tolong. Sayangnya teriakannya ditelan oleh suara musik yang semakin meriah.

Semakin jauh dia diseret ke dalam perkebunan, semakin tidak terdengar suara jeritannya. Rasa takut dan kecewa membuatnya nyaris gila. Saat semua orang berpesta di depan sana, dia justru dalam bahaya. Bahkan, tidak satu orang pun yang mencari. Pada saat itulah Nur sadar kalau suara jeritan pilu yang selalu didengarnya menjelang jam sepuluh malam adalah suaranya sendiri.

Suara jeritan pilu itu terus terngiang-ngiang dalam benak Nur sampai kapan pun, bahkan saat dia berbaring di dalam kerangkeng di belakang rumahnya bertahun-tahun setelah pesta itu usai. Setelah tubuhnya ditemukan meringkuk penuh luka, tanpa sehelai benang pun, di tengah perkebunan milik Juragan Awi.[]


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url